Aira celingukan ke kiri dan kanan untuk memastikan tak ada seorangpun yang memperhatikan saat mereka melangkah kaki masuk ke salah satu ruangan kosong di gedung ini."Apa sih yang kamu lakukan?" Desis Aileen risih. Sedari tadi ia terus mengerutkan keningnya heran melihat tingkah Aira yang mengendap-endap, memperhatikan keadaan di sekelilingnya dengan waspada bak seorang detektif handal."Aku harus memastikan tidak ada orang yang melihat kita," balas Aira."Kita?" Dengus Aileen kasar."Eh …" Aira terkekeh geli menyadari kesalahannya. "Kamu, maksudku."Aileen memutar bola matanya. "Hentikan apa yang kamu lakukan," sergahnya. "Kamu membuat kepalaku pusing.""Bagaimana?" Alihnya pada ketiga hantu lain yang telah menunggu sambil memasang wajah bengong."Kalian berdua sangat kocak." Rachel terkikik geli. "Seperti duo pelawak."Mardiana menepuk pelan tangan Rachel, mencegahnya untuk meneruskan leluconnya.Aira mengernyit. "Apa ini semacam pujian?""Cukup bercanda nya, kita tidak punya banya
"I—itu …" Rachel mengangkat telunjuknya ke arah pria yang mengenakan tuxedo. "Dia.""Papanya," ucap Rachel ke arah pria yang menggunakan tuxedo. "Papanya membayar orang untuk membunuh Moana agar putranya bisa menikah dengan putri dari rekan bisnisnya."Aileen melotot, mulutnya ternganga begitu mendengar pernyataan yang dilontarkan Rachel."Papanya?" Ulang Aileen untuk memastikan. "Kamu yakin?"Rachel mengangguk cepat. "Aku mendengar Papanya bicara dengan seorang pria berpakaian serba hitam di taman belakang.""Maaf, tapi bisakah kalian menjelaskan ini semua dengan akal sehat?" Hardik pria memakai tuxedo.Aileen berbalik menghadap Moana. "Apa kamu ingat apa yang terjadi sebelum kamu meninggal?" tuntutnya."A—aku tidak ingat jelas. Saat itu aku membuka pintu apartemen untuk menerima paket dan …" Moana tampak berpikir keras untuk kembali memanggil ingatannya yang samar-samar. "Ada tangan yang membekap mulutku dan tak lama semuanya menggelap, aku sempat melihat bayangan seseorang tapi itu
Bagas memeras handuk kecil di dalam baskom berisi air hangat dan meletakkannya di atas kening Aileen. Begitu mereka tiba di rumah, Bagas langsung memerintahkan Aileen menuju kamarnya untuk beristirahat sedangkan dia singgah ke dapur untuk membuka isi lemari pendingin, mencari sesuatu yang bisa di makan. Namun nihil, karena Mama sedang mengikuti Papa perjalanan dinas, otomatis tidak ada seorangpun di rumah ini yang berinisiatif untuk mengisi ulang bahan makanan di tempat penyimpanan.Akhirnya, Bagas memutuskan untuk pesan antar. Dia mengetuk pintu kamar Aileen untuk bertanya apa yang diinginkan wanita itu tapi setelah mengulang beberapa kali, tak ada sahutan dari dalam sehingga Bagas memutuskan untuk masuk."Tiga puluh sembilan," desah Bagas khawatir. Ia menatap termometer yang baru saja selesai mengukur suhu tubuh Aileen."Panas sekali," ucapnya sambil meletakkan tangan di atas kening yang suhunya cukup untuk menggoreng telur ceplok."Hmm …""Apa sangat sakit?" Gumam Bagas saat mend
"Bagas …" Derap langkah Cynthia ringan memasuki rumahnya. Ia meletakkan belasan paperbag di tangannya di atas meja dan berjalan menuju kamar putranya.Begitu pintu terbuka, ia tak menemukan Bagas."Gio, kata mu Bagas tidak masuk kantor hari ini?" tanyanya pada sang asisten yang menjemput di bandara dan mengantarkannya pulang."Iya, Bu Cynthia. Semalam Pak Bagas, meminta saya untuk menjemput Ibu di bandara pagi ini dan mengabarkan dia tidak masuk kantor untuk hari ini," jelas Gio yakin.'Lalu, kemana dia?' pikir Cynthia."Bagaimana dengan menu sarapan, Bu Cynthia? Apa mau saya minta chef restoran untuk mengirim makanan?"Cynthia mengangguk setuju lalu berbalik, menuju kamar lainnya yang berada di lantai yang sama."Apa Soraya masih disini?" tanyanya sambil lalu."Masih, Bu Cynthia. Tapi beberapa hari ini beliau jarang pulang," sahut Gio. Menjeda sejenak percakapannya melalui ponsel dengan chef restoran.Setelah mendengar jawaban asisten putranya, Cynthia memutar langkah menuju kamar ke
"Sayang, kamu ingin makan sesuatu? Biar Mama buatkan," tawar Cynthia.Aileen menggelengkan kepalanya pelan lalu memaksakan seulas senyum. Begitu membuka matanya, ia langsung dihadapkan dengan Cynthia yang menatapnya dengan raut wajah cemas."Ini aja cukup, Tante," ucap Aileen sambil mengaduk bubur hangat di hadapannya, yang mengepulkan aroma sedap.Cynthia mendesah pelan karena Aileen tetap saja bersikap canggung kala berada didekatnya."Bagas dan Gio harus ke kantor, mungkin mereka akan kembali saat waktu makan malam," jelasnya setelah menangkap gelagat Aileen yang tampak seolah mencari seseorang. Aileen mengangguk paham lalu kembali memaksa sesendok bubur melewati tenggorokannya yang perih hingga sulit untuk menelan apapun."Oh ya, Papa mengirim pesan untukmu." Cynthia menempelkan jari di ponselnya lalu membuka aplikasi pesan. Tak lama terdengar voicenote yang memperdengarkan suara yang bernada hampir sama dengan suara Bagas namun terdengar lebih berat."Beri dia banyak makanan seh
"Aileen! Lihat …"Suara teriakan Rachel yang tiba-tiba muncul dari balik dinding, membuat Aileen menutup telinganya rapat-rapat. "Apaan sih?!" Desisnya kesal sambil membanting ke ranjang, buku yang tengah dibacanya."Lihat ini," jerit Rachel histeris sambil melambaikan papan berbentuk persegi. Aira dan Mardiana yang mengikuti langkahnya hanya dapat mengelenggkan kepala."Apa itu? Papan ouija?" tebak Aileen asal. Ia memperhatikan lebih jelas dan langsung tertawa begitu menyadari apa yang dibawa oleh ketiga hantu wanita itu."Eh …" Rachel menghentikan gerakannya dengan wajah bingung. "Apa itu ouija?""Papan jelangkung," jelas Aira sambil terkekeh geli. "Kamu jahat, Ai," tudingnya pada Aileen yang tertawa keras.Rachel seketika melempar papan itu menjauh darinya. "Seriusan?" serunya panik.Tawa Aileen semakin keras begitu melihat wajah Rachel yang berubah pucat dan takut. "Kamu ngerjain, ya?" Melihat Aileen begitu senang membuat Rachel memicingkan matanya curiga.Aileen mengendikkan b
Aileen keluar dari kamar, menuju ke ruang tengah yang terkoneksi langsung dengan dapur dan ruang makan. Di sana, orang-orang duduk mengelilingi meja makan dengan wajah tertunduk muram. Mereka tak bersuara bahkan untuk sekedar saling menyapa. Hanya Cynthia yang tampak sibuk hilir mudik di dapur sambil bersenandung kecil."Tante, mari aku bantu," tawar Aileen seraya mengambil alih centong kayu di tangan wanita yang selalu tampak bersemangat."Kamu duduk aja, Sayang. Lagian kerjaan Mama udah selesai." Cynthia merebut alat perangnya dari tangan Aileen dan mendorong wanita muda itu untuk duduk disamping Bagas."Kamu duduk disini aja." Perintah Cynthia sembari meletakkan mangkuk bubur.'Hhh … bubur lagi,' desah Aileen nelangsa. Ia muak hingga merasa mual hanya dengan melihat makanan bertekstur lembek itu. "Kamu boleh makan ini." Daren mendorong piring yang berisikan potongan sandwich. "Tapi, tanpa saos apapun," imbuhnya yang seketika berhasil memupus selera makan Aileen yang menggebu-gebu
Sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan Aileen dan dan Aira. Wajah Bagas muncul dari balik kaca bangku penumpang yang perlahan turun."Masuk."Aileen bertukar pandangan dengan Aira sebelum mengangguk kecil dan membuka pintu dan melompat masuk ke dalam mobil. Aileen memberi ruang bagi Aira untuk masuk lebih dulu dan duduk diantara ia dan Bagas.Manik mata Aileen membulat begitu mendapati ada sosok berambut panjang lain yang duduk di bangku depan, tepatnya disamping Gio yang bertugas mengemudikan mobil."Hai, Aileen," sapa Gio.Aileen tersenyum sambil mengangguk kecil. "Hai, Gio," balasnya sambil mencuri pandang pada Soraya yang tampak enggan untuk menyapanya. "Hai, Soraya." Wanita yang di sapa hanya mendengus kecil tanpa niat untuk menanggapi. Aileen mengendikkan bahunya cuek lalu menyandarkan punggungnya, mencari posisi nyaman."Kenapa berkeluyuran kesana-kemari. Kamu baru saja sembuh dari demam tinggi," omel Bagas."Aku tidak keluyuran, hanya kembali bekerja," sanggah Aileen.Ba
Aileen bergerak gelisah dalam tidurnya. Napasnya tersengal-sengal hingga beberapa kali terdengar erangan tertahan, lolos dari bibirnya yang bergetar.Perlahan ia membuka mata lalu beranjak ke posisi duduk. Aileen menekuk punggung lalu menyangga kepalanya yang terasa berat dengan kedua tangan—serasa tengah menopang beban ribuan kilo. “Sakit,” lenguhnya pelan sambil menekan perutnya.Aileen menegakkan tubuh lalu menginjak kaki di lantai dingin. Matanya meneliti bungkusan obat di atas nakas. Aileen yakin, sebelum naik ke atas ranjang, ia telah menegak sebungkus obat yang harus rutin di minumnya.Jemarinya meraih bungkusan kecil yang tersusun rapi di dalam box lalu menggenggam erat. Tertatih, Aileen menyeret langkahnya keluar dari kamar. Ia mendekatkan lengan ke wajah untuk menyeka keringat yang mengaburkan pandangan dengan permukaan lengan piyama yang dikenakannya.Aileen memanfaatkan setiap permukaan dinding sebagai tempat menumpukan tubuhnya yang lemah. Begitu melewati ruang tengah, A
“Bagas, bisakah aku pulang ke rumah?” Aileen bersuara setelah menimbang lama, ia merasa ini adalah waktu yang tepat.Ia menatap Bagas yang baru saja memarkirkan mobil dan melepaskan kemudi.“Bukankah kita sekarang di rumah?” tanggap Bagas sambil menjangkau seatbelt di sisi Aileen dan melepaskannya.Aileen menahan napasnya saat wajah Bagas hanya berjarak sebatas pandangan—sangat dekat hingga membuatnya tak bisa berkutik. “Maksudku rumah Ibu,” ralat Aileen setelah Bagas kembali ke kursinya.Buku-buku jari Aileen memerah akibat meremas jemarinya terlalu erat saat gugup. Ia mengatur ritme napasnya, demi menutupi kegelisahan yang tiba-tiba menghampirinya.“Buat apa?” Bagas menarik diri, namun tetap menautkan pandangannya dengan kening berkerut. “Dokter bilang kondisi Ibu sudah membaik. Apa beliau mengeluhkan sakit?”Ia menatap lekat untuk menyelami apa yang tengah dipikirkan oleh Aileen hingga membuat wanita itu gelisah dan terus saja mengalihkan pandangan, seolah tengah menghindar agar k
“Aileen!” Suara nyaring yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, setengah berlari—menghampiri Aileen dan menyentak tubuhnya agar menjauh dari sisi Daren. “Apa yang kalian lakukan?”“Bagas! Soraya?” Seru Aira, terkejut akan kehadiran sosok Bagas yang datang bersama adik tirinya.Daren bergerak risih—menepis tangan Soraya yang memeluk lengannya. “Lepaskan, Soraya.” Wajah Soraya berubah masam namun hal itu tak menyurutkan langkah Daren untuk menarik diri dan beralih untuk menghampiri Aileen yang masih terpaku dengan wajah bingung.Sayangnya, langkah Daren kurang cepat karena Bagas telah lebih dulu menjangkau lengan Aileen dan menarik tubuh ringkih itu ke sisinya. “Bukankah aku menyuruhmu tetap diam di rumah,” desis Bagas. Ia meraih tangan Aileen dan terkejut akan jemari sedingin es. “Apa yang terjadi?” Burunya cemas.Bagas menempelkan punggung tangannya di atas dahi pucat itu. Dua alisnya saling bertaut begitu menyadari suhu tubuh Aileen jauh lebih rendah dari manusia normal.Pandangan
“Dok.”“AAA …”“Eh, kenapa?” Aira segera menghampiri dua orang yang kompak menjerit bersamaan.“Ah, maafkan aku,” desah Daren sembari mengelus dadanya. “Aku belum terbiasa dengan ini,” ujarnya seraya beringsut mundur—menjauhi Rachel dan Aira.“Apa maksudnya?” Rachel mengerjabkan kedua matanya, bingung.Aira mengulum senyum geli. “Dia takut padamu, Rachel. Apa kamu tak mengerti juga?” urainya di balik tawa tertahan.Rachel mengerucutkan bibirnya, sebal. “Aku adalah hantu tercantik diantara semua hantu di abad ini. Tidak sopan berteriak ketakutan di hadapan wajah se cantik ini,” protesnya sambil menyibak rambut sebahu yang menutupi sebagian wajahnya. Aira mencelos malas sedangkan Daren mengurai senyum serba salah.“Abaikan saja dia, Daren. Kamu hanya butuh sedikit waktu agar terbiasa melihat kami.” Aira beralih pada kertas di tangan Daren. “Apa itu?”“Entahlah.” Daren mengedikkan bahunya. “Dukun itu memintaku menyiapkan obat,” jelasnya sambil melambaikan kertas panjang itu.“Obat?” Air
“Wanita itu sangat keras kepala,” desis Bagas gusar. Ia menggenggam erat ponselnya seraya menatap titik merah yang berkedip-kedip di atas peta—aplikasi tracking.“Padahal aku sudah melarangnya keluar rumah,” gerutunya sembari berjalan keluar rumah menuju mobil yang terparkir di halaman.“Bagas, kamu mau kemana?” Wanita anggun berambut sebahu, menghentikan langkah Bagas yang tengah bersiap memasuki mobilnya.“Soraya?” Bagas menautkan alisnya. Sudah beberapa hari, ia tak melihat adik iparnya pulang ke rumah ini. “Apa renovasi rumahmu sudah selesai?” Soraya terdiam sesaat sebelum menggelengkan kepalanya. “Masih ada beberapa bagian yang membutuhkan perbaikan,” ulasnya ragu-ragu.“Hmm,” gumam Bagas acuh tanpa berniat mencari tahu lebih jauh.“Bagas, boleh aku ikut? Belakangan ini aku tidak nyaman berada di rumah ini sendirian,” pinta Soraya dengan suara lembut, berhias senyum manis di bibirnya.Bagas terdiam lama, ia kurang nyaman akan keberadaan Soraya disekitarnya, karena ia tahu wanit
'Apa yang sekarang dipikirkan Aira? Apa dia tahu kalau mereka pernah bertemu di masa lalu? Harus'kah aku menceritakannya?' Pertanyaan demi pertanyaan saling sambut menyambut dalam benak Aileen. Sesekali ia melirik wanita yang duduk disampingnya. Sejak meninggalkan restoran dan memasuki mobil mewah, tak banyak yang terucap di antara Aileen dan Aira. Keduanya saling berdiam diri, larut dalam pemikiran masing-masing.Mobil memasuki area parkir, mata kedua wanita yang duduk di kursi belakang terpaku pada gedung bergaya artistik dimana puluhan orang tengah mengantri untuk memasuki area dalam."Ini?" Aileen bergumam samar, bertanya pada benaknya."Galeri Mama Viona," balas Aira. Ia menarik pergelangan tangan Aileen agar mereka bisa segera mengikuti langkah cepat sosok dirinya dalam ingatan. "Mau kemana dia?"Tanpa sadar, Aileen terkikik geli akan celetukan yang di lontarkan wanita disampingnya."Kenapa? Apa yang lucu?" Selidik Aira dengan alis yang saling bertaut."Aku hanya merasa aneh k
'Bocah? Wanita? Siapa yang sebenarnya yang mereka maksud?'"Apa kamu kenal? Siapa yang sedang mereka bicarakan?" Usik Aileen."Entahlah," sahut Aira dengan mata meraut bingung. "Kami punya yayasan yang mengasuh banyak anak-anak telantar tapi Papa tidak pernah mengatakan niatnya untuk mengadopsi salah satunya.""Tapi Kak …" Farhan terdiam saat wanita yang dilingkupi keangkuhan itu menatapnya tajam."Farhan, aku merasa kamu terlalu bertele-tele. Apa kamu sudah menemukan wanita itu?" Selidik Viona curiga.Farhan menggeleng cepat seakan hendak melepaskan kepalanya dari pangkal leher. "Ti-tidak, Kak," cicitnya terbata.Viona mendesis jengkel. "Jangan coba-coba untuk membohongi ku, Farhan. Kau tentu tahu apa akibatnya," kecamnya."Ba-baik, Kak." Farhan takut-takut untuk membalas sang Kakak.Aileen terdiam sesaat sambil memicingkan matanya, meneliti dengan lebih seksama sosok Farhan. Wajah itu seolah tak asing baginya namun tak juga spesial hingga meninggalkan jejak khusus dalam ingatannya.
"Berhati-hati 'lah! Jangan sampai terjebak ..."Aileen membuka matanya perlahan, sayup-sayup kalimat terakhir Vincent terngiang-ngiang di benaknya. 'Kenapa nada suaranya terdengar sangat cemas?' pikirnya."Kamu baik-baik saja, Ai?"Suara Aira membuat kesadaran Aileen meningkat sedikit demi sedikit. Ia menggosok pelipisnya yang berdenyut nyeri, rasanya seluruh isi dalam perutnya bergejolak—berlomba untuk keluar.'Kenapa Vincent tidak mengatakan kalau rasanya akan seburuk ini! Paling tidak aku bisa bersiap sebelumnya,' desah Aileen dalam hati."Oke," ucapnya dengan susah payah demi memenangkan wajah panik yang terus menatapnya. "Di mana kita sekarang?"Aira memperhatikan keadaan disekelilingnya. "Ku rasa ini kamar ku," tebaknya."Di rumah?" Aileen mengerutkan keningnya ragu. "Rasanya ini bukan kamar Bagas," gumamnya."Bukan. Ini kamar ku di rumah Papa," jelas Aira. "Oh." Aileen mengangguk paham. "Kenapa kita disini?" Ia mendekati rak bertingkat tiga dimana puluhan buku tertata rapi.
"Terlambat!"Kalimat pertama yang diucapkan Vincent dengan kening berkerut, begitu melihat Aileen dan Aira muncul dari balik pintu masuk kafe."Dan, apa ini?" Vincent menyeringai sinis, sengaja ingin menggoda Aileen. "Kali ini kamu membawa yang mana? Nomor satu atau dua?"Aileen mendesis jengkel. "Buang pikiran buruk mu itu. Daren sedang libur, jadi dia ikut untuk membantu," kilahnya ketus."Oh … membantu? Emangnya dokter tampan ini, bisa merawat hantu?" Ujar Vincent mengolok-olok alasan Aileen."Apa kamu akan terus mengocehkan hal konyol? Berarti aku bisa pulang lebih awal hari ini," kecam Aileen bernada ancaman."Ok … ok. Aku berhenti." Vincent mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Ayo ke lantai atas.""Di mana Rachel? Aku tidak melihatnya dari tadi." Aira mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok yang tak pernah ingin ketinggalan dalam setiap kegiatan yang menurutnya menyenangkan."Aku mengutusnya untuk melakukan sesuatu," sahut Vincent singkat sembari melangkahkan kakiny