"Ini tempatnya?"Aileen menengadahkan kepalanya, menatap neon box berwarna cerah, semerah darah. Bersinar terang di antara deret pamplet toko lainnya.Aileen, Aira dan Rachel menunggu di luar gedung sementara Mardiana masuk terlebih dahulu untuk menyapa pemilik gedung."Magic Art, tarot cafe?" Gumam Aileen saat membaca nama yang tertulis di neon box."Cafe? Kalian yakin ini tempatnya?"Rachel mengangguk cepat untuk menanggapi keraguan di wajah Aileen."Kalian yakin dia bukan penipu?"Rachel berdecak sebal. "Jangan menghina pangeran Vincent.""Hah?" Aileen membelalakkan matanya. "Pangeran Vincent?" Kekehnya mengejek."Itu nama panggilan, kami menggunakannya untuk menyanjung Vincent di kalangan para fansbase." Jelas Rachel dengan sorot mata penuh kebanggaan.Aira menyodok pinggang Aileen untuk bertanya. "Hantu punya fansbase?""Jangan tanyakan pada ku. Aku belum pernah menjadi hantu," balas Aileen sambil terkekeh geli.Aira mendengus kesal. "Tidak lucu.""Ayo, masuk. Vincent menunggu ki
"Bagaimana? Kamu tertarik dengan penawaran ku?"Vincent mengayunkan pajangan bandul besi di atas meja—bergerak maju mundur memainkan keseimbangan sembari mengalihkan waktu."Kenapa aku harus melakukannya?" Seperti yang ia harapkan dari seorang Aileen. Vincent menarik senyum di sudut bibirnya. Sulit untuk mengontrol wanita berwatak keras. Hanya ada satu cara untuk mengatasinya, bukan penawaran tapi ancaman terhadap orang-orang disekelilingnya ..."Sepertinya ini bukan waktu yang tepat bagi mu untuk memilih. Bukankah hantu itu mulai melancarkan serangan?""Itu artinya dia tidak punya banyak waktu lagi, sama hal nya dengan orang yang menjadi incarannya. Semakin cepat kita mengirim hantu itu ke neraka maka semakin besar kesempatan kita untuk menyelamatkan targetnya." Tutur Vincent."Kenapa kamu tidak meminta uang saja sih?" Geram Aileen. "Untuk saat ini aku bisa memberi sebanyak yang kamu inginkan."Vincent tertawa keras. "Coba lihat di sekeliling mu, apa menurutmu aku membutuhkan uang?
"A—apa kamu menghamilinya?" tanya Nani. Ia tidak siap untuk mendengar kabar bila Aileen hamil di luar nikah.Meski ia tak merawat dan membesarkan Aileen sebagaimana mestinya seorang Ibu, namun Nani tak ingin anaknya mengalami nasib yang sama dengannya."Hamil?" Bagas terkekeh pelan. Ia tetap berusaha menjaga intonasi suaranya agar terdengar sopan meski terlihat santai."Aileen tidak hamil dan kami tidak melakukan apapun yang melanggar norma sebelum pernikahan," tegasnya."Mungkin, secara teori anda benar. Kami tinggal bersama tapi di rumah itu tidak hanya kami berdua, ada kedua orangtua.""Jadi, saya harap anda tidak berpikiran buruk tentang hubungan kami.""Lalu, kenapa kamu tidak datang untuk menemui orangtua Aileen?" Serang Bono."Paling tidak kamu punya sopan santun untuk datang dan membujuk kami dengan itikad baik agar menyerahkan Aileen."Bagas melonggarkan dasinya. "Kalau masalah itu, lebih baik anda bertanya langsung pada Aileen.""Dan satu hal yang harus saya tegaskan, Ailee
Bagas turun dengan postur gagah dari balik pintu Lexus yang membawanya. Raut wajahnya datar dan dingin. Menatap Aileen tajam."Mati aku," desis Aileen panik."Apa yang kamu lakukan disini?"Aileen mengaruk pipinya lalu melambaikan tangannya di depan neon box bertuliskan Cafe."Ngopi," balasnya.Bagas mengerutkan keningnya. "Kenapa harus di tempat aneh seperti ini?" Desisnya sambil menarik Aileen ke sisinya."Lalu, apa yang kamu lakukan disini?" Alihnya pada Daren. "Ngopi juga?"Daren berdeham singkat begitu mendengar sindiran sepupunya."Aku yang memintanya datang karena aku butuh tumpangan pulang," sela Aileen.Vincent meneliti dua pria yang mendampingi Aileen lalu beralih pada Aira yang berdiri tak jauh dari mereka dengan tatapan sedih.Senyum simpul menghiasi bibir Vincent tak kala ia menyadari jalinan benang merah di antara hubungan yang rumit itu."Ayo pulang," perintah Bagas sambil menarik pergelangan tangan Aileen untuk mengikutinya ke mobil."Ah, tunggu." Aileen melepaskan tan
"A—apa ini?" Aira mengangkat jari kelingking dan menunjukkannya pada Vincent."Benang takdir.""Itu yang aku maksud. Sejak awal kamu dan Aileen terikat oleh benang merah takdir.""Aku dan Aileen?" Aira menatap jarinya tak percaya. Ada benang tipis berwarna merah yang menjuntai jatuh dari ujung jari kelingking, terurai jauh tak berujung."Kenapa? Kamu berpikir itu mengarah pada suamimu?"Aira mengangguk pelan. Ia masih cukup tercengang dengan apa yang dikatakan sang paranormal."Banyak para hantu yang tersesat di antara dua dunia karena belum bisa merelakan kematian atau adanya masalah di dunia yang belum terselesaikan.""Awalnya, aku mengira benang merah di jari mu itu terikat pada pria dengan wajah angkuh,"Vincent terkikik pelan karena Aira melotot protes saat dia mengambarkan Bagas sebagai sosok yang angkuh."Tapi, tadi aku melihat hal yang berbeda. Tidak ada apapun di jari suamimu, benang itu justru berarah pada Aileen.""Tapi, mengapa?""Untuk itu kamu harus berusaha mencari tah
Setengah jam yang lalu, Daren melihat Aileen turun dari mobil Bagas dengan wajah marah, membuatnya ingin segera turun dan bertanya pada sepupunya, apa gerangan yang terjadi.Namun, begitu melihat Aileen menghentikan taksi dan naik dengan terburu-buru, Daren memilih untuk segera mengikuti taksi tersebut. Dari gelagat Aileen, wanita itu tampaknya punya tujuan dan maksud tersendiri saat memasuki warung ramai yang letaknya agak terpencil. Karena itu, Daren memilih untuk memantau dari kejauhan sembari menunggu Aileen keluar dari sana.Untuk pertama kalinya semenjak mengenal wanita itu, Daren tak lagi melihat tawa atau mendengar suara ketusnya. Semua itu berganti suara tangis dan airmata. Melihatnya menekuk tubuh dalam-dalam dan terisak, seketika Daren merasakan denyut pilu dihatinya. Hingga ia tak mampu menahan dorongan hati untuk menghampirinya.Daren mengulurkan tangan ke hadapan Aileen."Aileen," panggilnya.Aileen menengadahkan kepala, masih bersama airmata yang mengalir dari sudut m
"Hhh … kenyang." Seru Aileen sembari mengelus perutnya yang membuncit.Ia melepas seatbelt untuk memberi ruang—bernapas dengan lega."Kalau nggak kenyang malah aneh, Ai. Kamu menghabiskan lima mangkuk bakso," ledek Daren. Ia terkekeh melihat tingkah Aileen yang mengeluh kekenyangan seperti bocah."Habisnya, bakso uratnya enak banget." Aileen berseru senang. "Kapan-kapan kita kesana lagi, tapi aku yang traktir."Daren mengangguk setuju. "Ke depannya aku akan makan lebih banyak," candanya."Sip." Aileen mengacungkan dua jempolnya. "Yuk, masuk.""Ah, bentar." Tahan Daren."Kenapa?"Daren membuka dasboard, merogoh sesuatu di dalam sana dan mengeluarkan sebuah kotak kecil."Buat kamu."Aileen mengernyitkan keningnya curiga. "Apa ini? Sogokan?""Kamu perlu di sogok," goda Daren."Tergantung. Kalau kamu menyogok dan meminta ku bekerja sama untuk melawan Bagas, aku angkat tangan." Aileen mengantungkan kalimatnya demi mengingat amukan Bagas yang sering diarahkan padanya.Aileen bergidik ngeri
"Aku berciuman dengan Daren," cicitnya pelan."Apa?!""Sssttt …" Aileen menahan telunjuknya di depan bibir. "Jangan teriak keras-keras.""Hmm, Ai. Siapa yang bakalan dengan ya?" Tukas Rachel."Ah, iya." Aileen terkekeh ketika menyadari kebodohannya."Kenapa kamu melakukan itu, Ai?" Raut wajah Aira redup. "Kamu tahu 'kan? Daren dan Bagas bersaudara."Aileen menunduk lemah. "Maafkan aku," sesalnya. "Aku tidak bermaksud melakukannya. Semua itu terjadi begitu saja," pukasnya."Kenapa kamu menyalahkannya?" Bela Rachel. "Wajar bila Aileen tergoda oleh sosok dokter Daren yang tampan dan baik. Suamimu jelas-jelas memperlakukan Aileen dengan sangat buruk.""Rachel, jangan ikut campur." Mardiana menarik tangan hantu Belanda itu untuk mundur dari konflik antara Aileen dan Aira. Keduanya melewati dinding dan menghilang dibaliknya.Aira menunduk sedih. "Aku tahu, tapi aku tak ingin ada masalah diantara keduanya. Mereka sangat dekat dari kecil, Bagas akan sangat sedih kalau tahu sepupunya menyukai