Bela menggeser kotak itu ke hadapan Nial. Sementara pandangan Nial masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.Itu adalah sebuah pin untuk jas pria. Yang berbentuk king crown. Pasti terbuat dari emas putih dan tampak berkilauan dengan cantik dan gagah dalam waktu yang bersamaan."Kamu membeli ini untukku?"Bela mengangguk."Dari uang yang Mas Nial kasih di kartu.""Kenapa membelikan hadiah? Kamu 'kan bisa memakainya untuk dirimu sendiri?""Mas Nial nggak suka dengan hadiah ini?"Nial dapat melihat perubahan pada mimik wajah Bela yang menjadi murung."Nggak.""Nggak suka?""Aduh. Bukan seperti itu, maksudku, aku nggak berpikiran begitu. Aku suka. Sangat suka. Terima kasih."Nial tersenyum dan mengusap puncak kepala Bela. Ia baru pertama kali ini sampai tergagap dan tidak bisa berpikir dengan benar karena saking bahagianya."Cobalah nanti di rumah!"Nial mengangguk. Rani kembali membawa pin itu masuk untuk dikemas"Apa artinya king crown?"Nial menyelipkan rambut panjang Bela ke bel
...."Mas Nial!"Bela ditahan seorang perawat agar tidak masuk ke dalam ruangan di mana di dalam sana Nial sedang berjuang atas hidup dan matinya sendirian. Di atas brankar rumah sakit yang sempit dengan keadaan bersimbah darah.Tubuh Bela kebas dan ia lupa bagaimana saat-saat ia menelpon ambulans dan mengabarkan adanya kecelakaan. Ulu hatinya nyeri hingga dadanya akan pecah.Ia jatuh terduduk di lantai dengan beruraian air mata. Menganggap Nial sangat jahat padanya karena membiarkannya menangis seperti ini.'Aku mencintaimu, Bela!'Kalimat yang paling membekas dalam ingatannya karena itu diucapkan Nial sebelum ia menutup mata. Sebelum mereka berdua tahu bahwa akan ada takdir lain yang tengah menunggunya dalam beberapa saat ke depan."Nona!"Bela mengangkat wajahnya dan melihat seorang lelaki yang berpakaian casual sedang berdiri di sana. Membutuhkan waktu beberapa saat baginya untuk memahami bahwa derap kaki yang baru saja datang adalah milik Jerry.Ia seperti baru saja lari dari ke
***Di tempat lain ...."Danial Abdisatya? Sungguh?"Mata Vida melebar, terbelalak bahkan sampai membuatnya bangun dari ranjang hotel. Padahal ia kelelahan setelah melayani beberapa tamu secara beruntun.Ia sedang terhubung dengan panggilan telepon Reyhan—salah satu pelanggannya—yang memberinya kabar bahwa Nial dan Bela mengalami kecelakaan."Lalu bagaimana keadaan Bela? Apa dia mati?" tanyanya lagi."Vida, dia 'kan adikmu. Bagaimana bisa kamu sejahat itu, Sayang?""Tapi, aku nggak suka dengannya. Astaga, siapa sangka tuan arogan yang bernama Nial itu akan mengalami nasib buruk seperti ini?""Baiklah, aku tutup teleponnya, nanti malam kita bertemu. Dah ....""Dah, Pak Rey!"Vida melempar ponselnya ke samping kiri. Bibirnya mengatup rapat namun pikirannya bekerja tanpa henti. 'Bagaimana jika Nial mati? Bukankah itu artinya Bela akan jadi janda? Brengsek! Tapi dia akan jadi janda yang kaya raya. Nggak!'Ia meremas rambutnya dengan kesal. Saat itu, bel di pintu kamar hotelnya dipencet s
'Pak Nial sudah sadar, datanglah ke rumah sakit!'Bela terbangun saat mendapat pesan dari Jerry yang mengatakan bahwa Nial sudah sadar. Ia bangun kesiangan, tapi untungnya tidak ada kelas hari ini. Ia bersiap dan melihat potret dirinya di depan cermin.Memakai dress berwarna peach di bawah lutut, ia tersenyum saat memberikan sedikit tint pada bibirnya dan berjalan keluar kamar dengan hati yang bahagia."Nona Bela akan ke mana?"Kim menyapanya dari arah ruang tengah saat melihatnya berlarian menuruni tangga."Mau melihat keadaan Mas Nial.""Dia sudah sadar?""Iya.""Baiklah, Nona cantik sekali. Pergilah! Hati-hati di jalan!"Bela mengangguk dan ia diantar oleh salah satu sopir Nial untuk menuju rumah sakit. Ia tak bisa menghentikan senyumnya dan berjalan melewati koridor yang dipenuhi oleh aktivitas pasien dan juga beberapa perawat yang melintas di sana.Tiba di depan ruang rawat VIP Nial, ia sudah akan masuk karena pintu memang sedikit terbuka.Tapi, langkahnya terhenti, senyum yang s
"Kamu kedinginan, ayo berteduh!"Niko menarik Bela untuk pergi dari bawah gerimis yang berubah menjadi hujan. Mengisyaratkan pada keluarganya untuk tidak mengikutinya dan memberinya ruang berdua untuknya dan juga Bela.Dan di sinilah mereka sekarang, duduk di teras yang ada di depan hall. Niko melepas pakaian hitam—jubah wisuda—yang tadi ia kenakan. Sehingga menunjukkan setelan jas yang ia pakai. Ia melepas jasnya dan memberikannya pada Bela.Bela? Ia masih tertunduk menghindari tatapan Niko saat tangannya menutup tubuh Bela dengan jas hangat yang tadi dipakainya.Bela malu karena ia sadar hanya menjadikan Niko sebagai pelariannya."Aku sudah dengar adanya kemungkinan itu dari ayahku, Bel."Niko ikut duduk di sampingnya. "Benar begini, Bela.""Apa?"Bela menoleh dan mata mereka bertemu. Ia juga bisa melihat senyuman Niko yang sama manis seperti biasanya. Apalagi dengan aksen zygomaticus mayor yang ia tunjukkan."Bukankah aku sudah pernah bilang padamu, saat Nial menyakitimu, kamu b
"Lalu kamu akan menyerah begitu saja?!" Jerry setengah berteriak saat mendesak Bela agar ia tidak menyerah atau mundur setelah tahu kondisi terkini Nial. Suaranya meninggi, bersaing dengan derasnya air hujan yang menulikan telinga setiap orang."Turunkan suaramu!"Niko yang kesal pada Jerry akhirnya memasang badan untuk melindungi Bela."Nona Bela ... kumohon jangan menyerah! Demi Pak Nial, tolong ... bawa kembali ingatannya padamu!""Dengan cara apa? Mas Nial telah memilih dengan siapa pikirannya harus bersama. Memaksanya mengingatku?""Ya! Buat dia ingat denganmu!""Dan melihatnya kesakitan?"Jerry tahu Bela menangis saat ia merapatkan jas hitam yang sudah pasti milik Niko. Hanya saja, ia tidak tampak demikian karena air matanya jatuh bergulir bercampur dengan air hujan."Lebih baik aku yang merasakan sakit itu dari pada harus melihat Mas Nial menderita saat memaksanya mengingatku.""Kamu menyerah?"Jerry mencoba mengambil jarak agar dekat dengan Bela, tanpa ada gangguan dari makh
***Bela terbangun dari tidurnya dengan mata yang bengkak, ia selalu menangis setiap malam, sebelum tidur. Membayangkan apa yang dilakukan Nial bersama Vida di atas ranjang yang harusnya menjadi miliknya. Ia berharap apa yang dilaluinya beberapa waktu belakangan hanyalah mimpi belaka.Tapi tampaknya, bangun di dalam kamarnya sendiri telah memberinya jawaban bahwa semua ini bukanlah mimpi. Ini kenyataan yang dibawa oleh arus takdir yang berubah.Bela ingat ia pernah beraktivitas panas bersama Nial di sini, membicarakan hal-hal manis tentang memberi pewaris untuk Ones Air dan Ones Company yang membuatnya tidak tidur sampai pagi.Semuanya ... hanya kenangan.Ia keluar dari kamar saat aroma masakan Sasti tercium menggugah rasa lapar di perutnya."Makanlah, Nak!"Bela hanya mengangguk dan mengambil duduk di seberang Handoko."Bapak sudah ketemu Vida kemarin, Bel."Bela mengalihkan pandangannya dari piring makannya ke wajah putus asa Handoko."Lalu? Dia bilang apa, Pak?""Dia ngamuk sama
Beberapa saat sebelum panggilan itu tiba di ponsel Jerry........Siska bilang, dia akan menunggu Bela di depan pintu gerbang kampus untuk bersama-sama menghadiri kelas mereka. Setidaknya itulah yang disampaikan Siska lewat pesan.Bela turun dari taksi online dan tiba di depan kampus. Tapi, matanya menangkap kerumunan yang tak jauh dari gerbang. Bersama sebuah mobil ambulans yang ada di sana.Ada sebuah mobil polisi dan mobil yang menabrak pagar kampusnya.Seorang perempuan bersimbah darah ada di atas brankar dan di masukkan ke dalam ambulans."SISKA!"Bela berlari untuk memastikan bahwa apa yang dilihatnya adalah salah. Tapi itu benar-benar Siska, Fransiska Nalendra yang baru saja mengiriminya pesan agar mereka berjumpa di depan gerbang.Tapi Bela tidak tahu mereka akan bertemu dengan keadaan seperti ini."Anda mengenalnya?" Seorang polisi mendekat dan bertanya."Iya, teman saya, Pak.""Dia baru saja ditabrak pengemudi mabuk. Bisa ikuti dia ke rumah sakit?"Iya."Bela mengangguk dan