***Saat memasuki ruang ganti, Bela dapat melihat Nial sedang memakai kemeja yang tadi sudah ia siapkan."Makanlah dulu sebelum berangkat!" ucap Bela saat ia mendekat dan meraih dasi dari tangan Nial dan mengalungkannya ke leher di mana ia bisa mencium bau parfum yang harum dari sana.Nial sedikit membungkukkan badan saat Bela memakaikan dasi untuknya."Mau mencoba menarik perhatianku?"Bela tersenyum. "Mungkin."Nial memandang dagu Bela yang kecil. Semua yang ada pada dirinya tampak cantik, seperti disengaja oleh Tuhan agar ia mudah dipeluk oleh tangan besarnya."Kamu membuatkanku sarapan?"Bela mengangguk. Ia selesai memasangkan dasi untuk Nial yang kembali menegakkan punggungnya."Flu-nya sudah sembuh?""Lumayan, aku akan pulang cepat hari ini. Kamu pulang jam berapa? Aku akan menjemputmu.""Sungguh?""Iya.""Nanti aku akan mengirim pesan."Nial mengangguk. Ia masih memandang Bela, ia tahu ada yang ingin disampaikannya tapi ia ragu."Kenapa?"Nial menyentuh dagu kecil Bela."Eyes
Bela tersenyum saat membaca pesan dari Nial yang mengatakan dia akan menjemputnya sebentar lagi. Ia keluar dari kelas terakhirnya dan berjumpa dengan Niko yang memang tampak menunggunya. "Bela.""Kak Niko?"Bela dapat melihat bekas memar di wajah Niko yang ia dapat dari pertengkarannya dengan Nial semalam."Maaf untuk yang tadi malam, Bel.""Yang mana?""Yang memperlakukanmu seperti barang."Bela mengangguk. "Sudahlah! Nggak apa-apa.""Nial nggak melakukan sesuatu yang buruk padamu?""Nggak. Kak Niko mau pulang? Aku duluan ya!"Bela lebih dulu berjalan meninggalkan Niko tapi dengan cepat ia berhenti saat pergelangan tangan kirinya ditahan.Bela tidak tahu harus bersikap bagaimana karena banyak mata yang menyaksikan mereka. Sementara semua orang tahu Bela sudah menikah."Nggak ada kesempatan untukku masuk? Sama sekali?""Kak Niko sudah tahu jawabannya, maaf."Ia melanjutkan langkah setelah menarik tangannya dari Niko. "Bela!"'Tidak! Jangan menoleh, Bela!'"Bela!"Tidak ada jawaban
'Sangat cantik!'Nial tidak pernah melihat seseorang akan secantik itu bahkan hanya dengan diam berdiri di sana.Bela. Hanya Bela yang bisa membuat detak jantungnya berantakan. Ia tidak bisa menahan dirinya lebih lama.Bela hanya berdiri kaku saat berjalan keluar dari ruang ganti. Ia tersenyum saat melihat wajah terpukau Nial. Berpikir apakah ini bagus untuknya ataukah tidak sama sekali?Tapi sebelum ia sempat bertanya, ia terkejut. Karena Nial bangkit dan merengkuh pinggangnya dan mengecup bibirnya."Waaa!"Beberapa staf tampak tidak siap dengan tindakan tiba-tiba Nial. Bela juga sama. Ia merasakan bibirnya yang tertaut dengan erat dengan bibir Nial. Terkejut, bertanya-tanya dalan hati kenapa Nial menciumnya seperti ini bahkan saat banyak pasang mata yang menyaksikan mereka."Mas Nial?"Bela memandangnya yang baru saja menarik bibirnya pergi. "Sangat cantik."Akhirnya Nial mengatakannya.Bela menggigit bibirnya sekilas. Nial tidak pernah memujinya tapi sekali ia memuji itu tidak b
...."Ibuk."Bela masuk ke dalam rumah saat melihat ibunya yang duduk di ruang tamu dengan ayahnya. Tampak memang sengaja menunggunya datang."Kamu datang? Di mana Nial?"Ada di luar, sebentar lagi masuk."Bela sekilas melihat ke luar.Nial memang ada di sana bersama dengan Jerry yang menyerahkan beberapa paper bag padanya. Berisi pakaian yang tadi dibelinya sebelum pulang. Makanan ringan, cake dan juga suplemen kesehatan untuk Sasti dan jaga Handoko.Nial masuk dengan menentengnya di tangan kanannya. Tapi sebelum itu, Jerry lebih dulu menahan lengannya."Pak Nial!""Apa?" tanya Nial kesal.Jerry berbisik, "Jangan pakai pengaman! Aku mau lihat keponakan yang lucu!""Sial! Pergi sana!"Jerry terkekeh saat melihat wajah kesal Nial yang merah padam. "Aku bawa mobilnya. Besok akan aku jemput. Selamat malam!"Jerry menundukkan kepalanya sekilas sebelum menghilang dari pandangan Nial.Nial lalu masuk dan tersenyum melihat Sasti dan Handoko."Mamah sudah baikan?" Nial menyalaminya, lalu Han
***Pagi harinya di kampus ...."Samudera Nikolass? Bukannya dia Presiden Mahasiswa?""Iya, dia pingsan setelah main basket.""Di mana dia sekarang?""Ada, tadi dibawa temannya ke klinik kampus."Bisik-bisik kepanikan itu terdengar sampai ke telinga Bela yang sedang duduk di dalam perpustakaan.Bela tidak tahan jika ada hal buruk yang terjadi pada orang-orang terdekatnya. Ia pergi dari perpustakaan dan berlari ke klinik.Ia dapat melihat dua anak lelaki kakak tingkatnya yang ada di luar pintu dan melihat kedatangannya."Dia Bela," bisik lelaki yang memakai hoodie berwarna putih."Waah." Hanya itu reaksi satunya, lelaki yeng menenteng jas almamater di lengan kirinya.'Masa bodoh!' pikir Bela kesal.Karena tujuannya di sini untuk melihat keadaan Niko."Maaf, apa ... Kak Niko ada di dalam?" tanya Bela akhirnya, menggenggam erat-erat ponsel di tangan kanannya karena ia tidak nyaman dengan pandangan mereka yang belum beralih sedikit pun."Iya. Masuklah!"Bela mengangguk dan perlahan mengam
Bela menggeser kotak itu ke hadapan Nial. Sementara pandangan Nial masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.Itu adalah sebuah pin untuk jas pria. Yang berbentuk king crown. Pasti terbuat dari emas putih dan tampak berkilauan dengan cantik dan gagah dalam waktu yang bersamaan."Kamu membeli ini untukku?"Bela mengangguk."Dari uang yang Mas Nial kasih di kartu.""Kenapa membelikan hadiah? Kamu 'kan bisa memakainya untuk dirimu sendiri?""Mas Nial nggak suka dengan hadiah ini?"Nial dapat melihat perubahan pada mimik wajah Bela yang menjadi murung."Nggak.""Nggak suka?""Aduh. Bukan seperti itu, maksudku, aku nggak berpikiran begitu. Aku suka. Sangat suka. Terima kasih."Nial tersenyum dan mengusap puncak kepala Bela. Ia baru pertama kali ini sampai tergagap dan tidak bisa berpikir dengan benar karena saking bahagianya."Cobalah nanti di rumah!"Nial mengangguk. Rani kembali membawa pin itu masuk untuk dikemas"Apa artinya king crown?"Nial menyelipkan rambut panjang Bela ke bel
...."Mas Nial!"Bela ditahan seorang perawat agar tidak masuk ke dalam ruangan di mana di dalam sana Nial sedang berjuang atas hidup dan matinya sendirian. Di atas brankar rumah sakit yang sempit dengan keadaan bersimbah darah.Tubuh Bela kebas dan ia lupa bagaimana saat-saat ia menelpon ambulans dan mengabarkan adanya kecelakaan. Ulu hatinya nyeri hingga dadanya akan pecah.Ia jatuh terduduk di lantai dengan beruraian air mata. Menganggap Nial sangat jahat padanya karena membiarkannya menangis seperti ini.'Aku mencintaimu, Bela!'Kalimat yang paling membekas dalam ingatannya karena itu diucapkan Nial sebelum ia menutup mata. Sebelum mereka berdua tahu bahwa akan ada takdir lain yang tengah menunggunya dalam beberapa saat ke depan."Nona!"Bela mengangkat wajahnya dan melihat seorang lelaki yang berpakaian casual sedang berdiri di sana. Membutuhkan waktu beberapa saat baginya untuk memahami bahwa derap kaki yang baru saja datang adalah milik Jerry.Ia seperti baru saja lari dari ke
***Di tempat lain ...."Danial Abdisatya? Sungguh?"Mata Vida melebar, terbelalak bahkan sampai membuatnya bangun dari ranjang hotel. Padahal ia kelelahan setelah melayani beberapa tamu secara beruntun.Ia sedang terhubung dengan panggilan telepon Reyhan—salah satu pelanggannya—yang memberinya kabar bahwa Nial dan Bela mengalami kecelakaan."Lalu bagaimana keadaan Bela? Apa dia mati?" tanyanya lagi."Vida, dia 'kan adikmu. Bagaimana bisa kamu sejahat itu, Sayang?""Tapi, aku nggak suka dengannya. Astaga, siapa sangka tuan arogan yang bernama Nial itu akan mengalami nasib buruk seperti ini?""Baiklah, aku tutup teleponnya, nanti malam kita bertemu. Dah ....""Dah, Pak Rey!"Vida melempar ponselnya ke samping kiri. Bibirnya mengatup rapat namun pikirannya bekerja tanpa henti. 'Bagaimana jika Nial mati? Bukankah itu artinya Bela akan jadi janda? Brengsek! Tapi dia akan jadi janda yang kaya raya. Nggak!'Ia meremas rambutnya dengan kesal. Saat itu, bel di pintu kamar hotelnya dipencet s