Tiga menit sebelum insiden ....Nial merasa ia terus saja menuruti Bela akhir-akhir ini. Ia juga merasa bahwa Bela lebih mendominasi ketimbang dirinya.'Pusing,' ucapnya dalam hati. Ia sudah bisa melihat mobilnya yang parkir di sebelah motor sport. Ia baru tahu kalau itu adalah motor milik Niko.Karena anak itu muncul dengan wajah kesal dari arah koridor lain. Bertambah kesal saat melihat Nial."Apa yang kamu lakukan di sini?" Nial bertanya sambil mendekat padanya."Kenapa? Ini tempat umum.""Apa begini caramu bicara dengan orang lain?"Niko tertawa, ia menjauh dari motornya dan menyunggingkan sebuah seringai."Lihat dirimu dulu, Nial! Bagaimana caramu bicara dengan Bela!""Kenapa memangnya? Aku benci mengatakan ini, tapi hiduplah di dunia nyata! Jangan hidup dalam fantasi dengan istri orang!"Niko menggertakkan gigi-giginya saat kalimat Nial telah berhasil memprovokasinya."Tutup mulutmu, Nial! Jangan bicara lagi!""Sudah kubilang Bela milikku, jadi berhenti mengejarnya! Pulanglah!"
***Saat memasuki ruang ganti, Bela dapat melihat Nial sedang memakai kemeja yang tadi sudah ia siapkan."Makanlah dulu sebelum berangkat!" ucap Bela saat ia mendekat dan meraih dasi dari tangan Nial dan mengalungkannya ke leher di mana ia bisa mencium bau parfum yang harum dari sana.Nial sedikit membungkukkan badan saat Bela memakaikan dasi untuknya."Mau mencoba menarik perhatianku?"Bela tersenyum. "Mungkin."Nial memandang dagu Bela yang kecil. Semua yang ada pada dirinya tampak cantik, seperti disengaja oleh Tuhan agar ia mudah dipeluk oleh tangan besarnya."Kamu membuatkanku sarapan?"Bela mengangguk. Ia selesai memasangkan dasi untuk Nial yang kembali menegakkan punggungnya."Flu-nya sudah sembuh?""Lumayan, aku akan pulang cepat hari ini. Kamu pulang jam berapa? Aku akan menjemputmu.""Sungguh?""Iya.""Nanti aku akan mengirim pesan."Nial mengangguk. Ia masih memandang Bela, ia tahu ada yang ingin disampaikannya tapi ia ragu."Kenapa?"Nial menyentuh dagu kecil Bela."Eyes
Bela tersenyum saat membaca pesan dari Nial yang mengatakan dia akan menjemputnya sebentar lagi. Ia keluar dari kelas terakhirnya dan berjumpa dengan Niko yang memang tampak menunggunya. "Bela.""Kak Niko?"Bela dapat melihat bekas memar di wajah Niko yang ia dapat dari pertengkarannya dengan Nial semalam."Maaf untuk yang tadi malam, Bel.""Yang mana?""Yang memperlakukanmu seperti barang."Bela mengangguk. "Sudahlah! Nggak apa-apa.""Nial nggak melakukan sesuatu yang buruk padamu?""Nggak. Kak Niko mau pulang? Aku duluan ya!"Bela lebih dulu berjalan meninggalkan Niko tapi dengan cepat ia berhenti saat pergelangan tangan kirinya ditahan.Bela tidak tahu harus bersikap bagaimana karena banyak mata yang menyaksikan mereka. Sementara semua orang tahu Bela sudah menikah."Nggak ada kesempatan untukku masuk? Sama sekali?""Kak Niko sudah tahu jawabannya, maaf."Ia melanjutkan langkah setelah menarik tangannya dari Niko. "Bela!"'Tidak! Jangan menoleh, Bela!'"Bela!"Tidak ada jawaban
'Sangat cantik!'Nial tidak pernah melihat seseorang akan secantik itu bahkan hanya dengan diam berdiri di sana.Bela. Hanya Bela yang bisa membuat detak jantungnya berantakan. Ia tidak bisa menahan dirinya lebih lama.Bela hanya berdiri kaku saat berjalan keluar dari ruang ganti. Ia tersenyum saat melihat wajah terpukau Nial. Berpikir apakah ini bagus untuknya ataukah tidak sama sekali?Tapi sebelum ia sempat bertanya, ia terkejut. Karena Nial bangkit dan merengkuh pinggangnya dan mengecup bibirnya."Waaa!"Beberapa staf tampak tidak siap dengan tindakan tiba-tiba Nial. Bela juga sama. Ia merasakan bibirnya yang tertaut dengan erat dengan bibir Nial. Terkejut, bertanya-tanya dalan hati kenapa Nial menciumnya seperti ini bahkan saat banyak pasang mata yang menyaksikan mereka."Mas Nial?"Bela memandangnya yang baru saja menarik bibirnya pergi. "Sangat cantik."Akhirnya Nial mengatakannya.Bela menggigit bibirnya sekilas. Nial tidak pernah memujinya tapi sekali ia memuji itu tidak b
...."Ibuk."Bela masuk ke dalam rumah saat melihat ibunya yang duduk di ruang tamu dengan ayahnya. Tampak memang sengaja menunggunya datang."Kamu datang? Di mana Nial?"Ada di luar, sebentar lagi masuk."Bela sekilas melihat ke luar.Nial memang ada di sana bersama dengan Jerry yang menyerahkan beberapa paper bag padanya. Berisi pakaian yang tadi dibelinya sebelum pulang. Makanan ringan, cake dan juga suplemen kesehatan untuk Sasti dan jaga Handoko.Nial masuk dengan menentengnya di tangan kanannya. Tapi sebelum itu, Jerry lebih dulu menahan lengannya."Pak Nial!""Apa?" tanya Nial kesal.Jerry berbisik, "Jangan pakai pengaman! Aku mau lihat keponakan yang lucu!""Sial! Pergi sana!"Jerry terkekeh saat melihat wajah kesal Nial yang merah padam. "Aku bawa mobilnya. Besok akan aku jemput. Selamat malam!"Jerry menundukkan kepalanya sekilas sebelum menghilang dari pandangan Nial.Nial lalu masuk dan tersenyum melihat Sasti dan Handoko."Mamah sudah baikan?" Nial menyalaminya, lalu Han
***Pagi harinya di kampus ...."Samudera Nikolass? Bukannya dia Presiden Mahasiswa?""Iya, dia pingsan setelah main basket.""Di mana dia sekarang?""Ada, tadi dibawa temannya ke klinik kampus."Bisik-bisik kepanikan itu terdengar sampai ke telinga Bela yang sedang duduk di dalam perpustakaan.Bela tidak tahan jika ada hal buruk yang terjadi pada orang-orang terdekatnya. Ia pergi dari perpustakaan dan berlari ke klinik.Ia dapat melihat dua anak lelaki kakak tingkatnya yang ada di luar pintu dan melihat kedatangannya."Dia Bela," bisik lelaki yang memakai hoodie berwarna putih."Waah." Hanya itu reaksi satunya, lelaki yeng menenteng jas almamater di lengan kirinya.'Masa bodoh!' pikir Bela kesal.Karena tujuannya di sini untuk melihat keadaan Niko."Maaf, apa ... Kak Niko ada di dalam?" tanya Bela akhirnya, menggenggam erat-erat ponsel di tangan kanannya karena ia tidak nyaman dengan pandangan mereka yang belum beralih sedikit pun."Iya. Masuklah!"Bela mengangguk dan perlahan mengam
Bela menggeser kotak itu ke hadapan Nial. Sementara pandangan Nial masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.Itu adalah sebuah pin untuk jas pria. Yang berbentuk king crown. Pasti terbuat dari emas putih dan tampak berkilauan dengan cantik dan gagah dalam waktu yang bersamaan."Kamu membeli ini untukku?"Bela mengangguk."Dari uang yang Mas Nial kasih di kartu.""Kenapa membelikan hadiah? Kamu 'kan bisa memakainya untuk dirimu sendiri?""Mas Nial nggak suka dengan hadiah ini?"Nial dapat melihat perubahan pada mimik wajah Bela yang menjadi murung."Nggak.""Nggak suka?""Aduh. Bukan seperti itu, maksudku, aku nggak berpikiran begitu. Aku suka. Sangat suka. Terima kasih."Nial tersenyum dan mengusap puncak kepala Bela. Ia baru pertama kali ini sampai tergagap dan tidak bisa berpikir dengan benar karena saking bahagianya."Cobalah nanti di rumah!"Nial mengangguk. Rani kembali membawa pin itu masuk untuk dikemas"Apa artinya king crown?"Nial menyelipkan rambut panjang Bela ke bel
...."Mas Nial!"Bela ditahan seorang perawat agar tidak masuk ke dalam ruangan di mana di dalam sana Nial sedang berjuang atas hidup dan matinya sendirian. Di atas brankar rumah sakit yang sempit dengan keadaan bersimbah darah.Tubuh Bela kebas dan ia lupa bagaimana saat-saat ia menelpon ambulans dan mengabarkan adanya kecelakaan. Ulu hatinya nyeri hingga dadanya akan pecah.Ia jatuh terduduk di lantai dengan beruraian air mata. Menganggap Nial sangat jahat padanya karena membiarkannya menangis seperti ini.'Aku mencintaimu, Bela!'Kalimat yang paling membekas dalam ingatannya karena itu diucapkan Nial sebelum ia menutup mata. Sebelum mereka berdua tahu bahwa akan ada takdir lain yang tengah menunggunya dalam beberapa saat ke depan."Nona!"Bela mengangkat wajahnya dan melihat seorang lelaki yang berpakaian casual sedang berdiri di sana. Membutuhkan waktu beberapa saat baginya untuk memahami bahwa derap kaki yang baru saja datang adalah milik Jerry.Ia seperti baru saja lari dari ke
***"Selamat pagi."Bariton dalam nan seksi milik Nial selalu menyambutnya setiap pagi.Dia juga tampak baru saja mandi saat melihat Bela yang bangun dari tidurnya dan memberi istrinya kecupan yang manis."Selamat pagi, Mas. Kamu sudah mandi?""Sudah, Sayang. Hm ... kenapa kamu bangun cepat-cepat? Istirahatlah lagi!""Tapi belum ada makanan untuk pagi ini."Nial tersenyum mendengarnya. Ia berlutut di depan Bela dengan sebelah kakinya dan mengusap perutnya yang bulat dan lucu."Oh? Oh!"Nial terkejut. Ia memandang Bela dengan tidak percaya."Kenapa Mas? Dia gerak ya?""Iya. Oh mungkin ingin ucapan selamat pagi juga? Hm ... kamu iri?"Nial mengecup perutnya dan memandang Bela."Bela?""Ya?""Kamu sempurna. Terima kasih untuk sudah mengandung dan mwlahirkan anak-anak kita."Bela mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat senyum Nial juga tampak sangat manis."Kamu mandilah! Nanti jadi pergi, 'kan?"Nial lebih dulu bangkit dari posisinya. Mengusap puncak kepala Bela dan memer
***"Ini kebebasan?"Terik. Matahari bersinar terik siang ini.Cerah dan juga berawan. Gugusan Cirro stratus membentang seperti karpet selamat datang yang menyaksikannya keluar dari tahanan. Pada akhirnya ....Tahun-tahun penebusannya telah berlalu. Dan ia tersenyum sekarang. Senyum yang kini tampak lega. Itu adalah Vida.Ia bebas dari tahanan setelah melewati masa yang suram. Yang tidak ingin lagi ia ulangi untuk ke dua kalinya.Dadanya lega sekaligus sebah. Ada perasaan bersalah pada Bela yang kini meluap hingga tumpah.Ia berjalan di sepanjang jalur pedestrian, menunduk dan memasuki sebuah kafe setelah keluar dari toko emas, menjual perhiasan yang dulu masih ia pakai sebelum dibawa polisi.Ponsel dan emas yang dikembalikan padanya itu ia jual dan ia gunakan setidaknya untuk bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Sementara ponselnya masih bagus dan saat ini ada di atas meja.Ia duduk. Menghadap sebuah kertas kosong yang baru ia beli dari sebuah toko alat tulis.Netranya tergenan
Bela tersenyum membaca pesan dari Nial yang mengatakan agar ia bicara dengan Niko lebih dulu.Kini, bagi mereka ... semua telah sembuh dari luka. Tidak ada lagi pertengkaran atau baku hantam sama seperti yang dilakukan Nial dan Niko jika dulu mereka bertemu.Kebencian mereka telah berakhir. Bela ingat Nial sempat mengatakan bahwa Niko-lah yang dulu memberi tahu Nial saat Bela pergi ke Jawa Barat dan memutuskan akan mengakhiri hidupnya sendiri.Niko jugalah yang telah menanganinya saat Bela dilukai Jenni.Semuanya telah berlalu dengan sangat cepat. Waktu membuat kebencian bermetamorfosa menjadi obat penyembuh paling mujarab."Bagaimana kabarnya Pak Nial?"Pertanyaan Niko kembali merengkuh kesadaran Bela yang sedari tadi dibelenggu oleh pemikiran panjangnya."Kabar baik juga, Kak Nik. Dia sedang menikmati hari menjadi Papa yang super sibuk dengan anak lelakinya yang berlarian tanpa henti."Niko tersenyum mendengarnya. Sudah lama ia juga tidak bertemu Nial."Kak Niko mau bertenu dengan M
"Baby, be careful!"Bela merendahkan tinggi tubuhnya, berlutut saat anak kecil laki-laki berumur tiga tahun itu berlari dan memeluknya."Mommy! Mrs. Kim gets some letters!"Jari kecilnya menunjuk pada pintu ruang makan. Tapi saat Bela melihatnya, Nial lah yang masuk dengan bahu merosot penuh kelegaan. Ia baru saja berlari mengikuti anak lelakinya yang berderap secepat kilat meninggalkannya di belakang."Gavin? Papa 'kan sudah bilang jangan--""Mas? Sudahlah!"Bela tersenyum, mengusap punggung tangan Nial saat mendekat."Gavin, lihat perut mama! Hm? Gavin sayang dengan mama?"Nial ikut berlutut dan mengusap puncak kepalanya."Pasti sayang. Gavin sayang mama.""Kalau begitu pelan-pelan ya kalau peluk mama? Nanti kalau adik sakit bagaimana?"Gavin mengusap perut Bela yang membesar."Dia namanya adik?"Bela tertawa mendengar pertanyaan polosnya."No, Baby! Dia belum punya nama. Masih di dalam perut Mama. Nanti kalau sudah keluar, baru bisa diberi nama."Bela meraih tangan kecilnya. Meleta
Bela hanya menahan senyumnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Siska rasakan bersama Jerry untuk pertama kalinya.'Jadi, akan ada yang segelnya dirusak malam ini.'Bela tertawa sendiri. Ia berdiri di deoan cermin setinggi pintu yang ada di dalam kamar ganti dan mengulurkan tangannya ke belakang. Meraih resleting di punggungnya, untuk melepas gaun malam yang tadi ia gunakan untuk menghadiri pernikahan Siska dan juga Jerry."Astaga! Kenapa selalu saja seperti ini. Tadi dipakai mudah tapi kalau mau dilepas sulitnya minta ampun."Bela menggerutu. Ia masih mencoba menarik resletingnya tapi rasanya tidak bisa.Sampai sebuah tangan menariknya turun dan Bela dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menunduk teelalu lama sampai tidak sadar Nial sudah masuk dan membantunya."Terima kasih, Mas Nial.""Iya, sama-sama, Sayang."Bela melepasnya. Melemparnya ke sandaran sofa ruang ganti dengan hanya menyisakan underwear. Saat Nial juga membuka kancing jasnya dan ikut melemparnya di temp
Nial tidak bisa membendung senyumnya saat tahu isi di dalam kotak kado itu. Itu berisi figura yang membingkai sebuah foto.Foto anak kecil perempuan dengan topi bundarnya. Itu adalah foto masa kecil Bela."Mas Nial 'kan selalu bilang kalau aku adalah hadiah yang kamu sukai?""Ya. Memang benar begitu, kok.""Jadi aku memberikan foto anak kecil itu padamu. Anak kecil yang hidupnya kamu selamatkan dan meski terpisah selama lebih dari satu dekade, takdir kembali mempertemukannu dengannya.""Ya, benar. Terima kasih. Mas akan letakkan ini di atas meja kantor kalau pulang nanti. Tapi ada yang harus kamu lakukan sekarang."Nial menutup kotak kado itu dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraih tangan Bela dan membuatnya duduk di atas pangkuannya."Apa? Apa yang harus aku lakukan?""Berperan sebagai hadiah yang baik. Hm?"Nial telah membuka kancing dress yang dipakai Bela."Mas? Kamu nggak ingin makan kuenya dulu? Itu enak loh! Aku pesan di toko kue di ujung jalan yang ramai itu."Nial menggele
***Nial membuka matanya, hari sudah pagi. Dengan keadaan dirinya yang terbaring di atas ranjang bulan madunya. Dengan keadaan tanpa pakaian.Ia sama sekali tidak turun dari ranjang sejak dengan Bela kemarin sore. Akh.Mengingatnya saja membuatnya gerah setengah mati bahkan saat pendingin udara dinyalakan di atas sana. Ingatannya kembali terpanggil di saat-saat ia dan Bela memasuki kamar kemarin."Are you sure?" ragu Bela, bertanya memastikan pada Nial bahwa ia diperbolehkan mengambil alih kontrol mulai saat ini sejak Nial tidak bisa mendominasi hubungan ranjang karena ia masih tidak diperbolehkan bergerak terlalu banyak."Yeah, Baby! Take off my clothes!"Jantung Bela berdebar mendengar permintaan Nial agar melucuti pakaiannya. Bela tidak membantahnya dan membuka kancing kemeja Nial satu demi satu. Melihat perutnya yang masih terlilit perban dan belum sepenuhnya bisa dikatakan pulih.Nial hanya tersenyum saat Bela membuka kancing di celana panjang putih yang ia kenakan dan membuatny
Darah lebih kental dari Air. Jika di Swiss Leo menyerang Nial saat semua orang lengah, atau Jenni yang menyerang Bela saat itu, sekarang di sini, di Jakarta, Rafael menyerang Jerry.Tapi Jerry telah meningkatkan kewaspadaannya sepuluh kali lipat. Ia membaca pergerakan Rafael dan secepat mungkin menahan pergelangan tangannya yang membawa pisau cutter."Kamu yang brengsek!"Jerry memuntir tangannya hingga terbalik dan jatuhlah pisau itu. Rafael didorongnya hingga punggungnya terbentur dinding dengan kasar."Untuk semua yang telah kamu lakukan pada keluarga Nial, dan kali ini padaku. Bayarkan dan tebuslah semuanya, Rafael! Kamu punya kesempatan untuk menyesal."Jerry mengalihkan tangannya dari bahu Rafael ke kerah bajunya."Tapi saat kamu nggak berubah, aku pastikan kerah bajumu ini nggak lagi sama karena kamu akan mendekam di dalam penjara. Do you get it? Get lost you bastard!"Jerry memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Membuat Rafael bergidik ngeri karena dia dalam ancaman yan
"Selamat malam."Jerry datang dan menunduukan kepalanya pada Nial dan juga Bela yang ada di dalam kamar rawat."Selamat malam," balas mereka hampir bersamaan."Pak Nial sudah baikan?""Ya, Jerry. Dari mana kamu seharian? Kamu nggak datang menjengukku loh."Jerry menunjukkan senyumnya yang manis. Tapi Bela dapat melihat ada gurat kemarahan yang ia pendam saat ini."Bisa kita bicara? Hanya berdua saja."Jerry memandang Bela, memohon pengertian dan maaf."Sure, aku akan keluar. Aku akan ngobrol dengan Pak Watson."Bela hanya melemparkan senyumnya lalu memberi tempat untuk Jerry."Sebentar ya, Sayang?" Nial meraih tangannya sebelum ia benar-benar pergi."Iya, Mas. Kalian bicaralah!"Bela melambaikan tangannya sekilas pada Nial sebelum menghilang di balik pintu ruangan."Kenapa, Jerry? Hari ini kamu mengunjungi anak itu?"Nial bertanya sesegera mungkin. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak karena ia ingin dengar apa yang ingin dikatakan oleh Jerry sampai membuat Bela harus pergi dari si