Beberapa saat sebelum kejadian.
....
Bunga casablanca
Bela dapat menghidu bau harumnya karena bunga itu sedang disirami oleh petugas taman kampusnya. Bunga putih yang sedang mekar itu tampak sangat cantik.
Putih, tinggi dan tampak dingin, seperti Nial.
"Kenapa aku memikirkannya?" Bela merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia ingat Nial di saat melihat bunga yang sama sekali tidak ada persis-persisnya dengan Nial.
Ia meneruskan langkah untuk keluar dari gerbang kampus. Hari sudah sore. Manusia bernama Nial yang tadi bilang akan menjemputnya juga hanya menyuguhkan isapan jempol.
Bahkan batang hidungnya pun tidak terlihat. Bela akan memesan taksi atau ojek online dari ponselnya. Tapi saat itu, ia mendengar suara Niko yang berteriak dari kejauhan.
"AWAS, BELA!"
Terlambat, Bela tidak sa
CTARRR!Petir bergemuruh dengan hebatnya. Suaranya mampu menggetarkan kaca jendela yang terpasang di seluruh bangunan rumah sakit.Nial murka.Ia menarik kerah baju William karena menganggap lelaki ini hanya mengatakan kebohongan belaka."Bicara yang benar!"Handoko segera meraih tangan Nial agar lepas dari leher William. Sementara Niko masih berdiri dengan kaku merasakan lututnya yang lemas setelah apa yang di sampaikan ayahnya perihal kondisi terkini Bela."Ini 'kan hanya dugaan. Tenanglah!"William mencoba menenangkan Nial, tapi tampaknya rasa cemas telah menguasai Nial sangat jauh.Ia menunjuk wajah William saat menggertakkan gigi-giginya dan berujar,"Kalau kamu tidak bisa membuat istriku bangun, aku akan membuat rumah sakit ini tutup! Mengerti?"Nial mengerutkan alisnya
"Mas Nial akan membuangku sekarang?"Hati Nial mencelos. Ia tidak tahu apa maksud Bela dengan tiba-tiba mengatakan itu. Tapi satu hal yang ia tahu, mata putus asanya. Mata yang menggelepar dalam ketakutan yang membuat ulu hati Nial nyeri tak kepalang."Kenapa kamu bilang begitu?" Nial menyentuh pundak Bela. Bibir Bela bergetar, antara bisa atau tidak ia mengatakan ini."Karena aku lumpuh," lirihnya membuat hati Nial semakin berantakan.Ia tidak pernah merasakan seperti ini. Tapi saat Bela menangis di depannya dengan cara yang paling menyedihkan karena menganggap ia telah lumpuh membuat Nial menggigil.Bela tampak sangat ketakutan, bahkan ia tidak mengkhawatirkan hal lainnya. Yang ia pedulikan adalah bagaimana jika Nial membuangnya. Itu saja."Sudah jangan bicara lagi!"Nial memeluk Bela, menyalurkan energi agar tubuh lemah Bela sedikit hangat."Mas Nial, tapi aku—""Kamu tidak lumpuh! Ini hanya retak tulang yang ringan."Tangan Nial mendekapnya begitu hangat.Bela merasakan ini adala
"Maaf."Handoko merasa bersalah. Nial dengan cepat membuat jarak dan mengancingkan kemejanya yang entah bagaimana caranya terbuka bahkan hingga ke dadanya. Mungkin tanpa sengaja terlepas saat Bela memegang kuat-kuat bajunya barusan."Ayah duduklah!"Nial memberikan kursinya pada Handoko sementara sendirinya keluar dari ruangan untuk mencari angin segar. Berada dalam satu ruangan bersama Bela membuatnya gerah dalam gairah.Ia duduk di bangku yang ada di bawah pohon. Memandang langit sore yang menggelap. Sesaat barusan ia telah benar-benar tidak bisa memikirkan apapun selain Bela. Bahkan ia tidak menemukan adanya bayangan Catherine sama sekali. 'Maafkan aku Catherine, bagaimana kalau aku kalah?'Nial mengusap wajahnya. Ia melonggarkan dasinya. Tapi dasi di lehernya telah raib karena sudah ia gunakan untuk mengikat rambut Bela. Sekarang ia sadar bahwa yang selama ini mencekiknya itu bukanlah dasi di lehernya, tapi rasa dalam hatinya.Mengingatnya lagi telah memicu hormon lelakinya ban
"Itu bapak, Mas." Bela kenal betul itu adalah suara milik Handoko. Bela mendorong pelan lengan Nial mengisyaratkan agar segera keluar. Mata Nial melebar dan ia keluar dari pintu kamar mandi. Handoko sudah berdiri di sana dengan mata penuh selidik. Seperti sedang mengatakan, 'Kamu ngapain dengan Bela?' "A-Ayah kenapa di sini?" tanya Nial gugup. "Ingin memastikan kamu tidur, Nak Nial. Atau Bapak saja yang menjaga Bela? Tapi ... ternyata kalian ...." Handoko menghentikan kalimatnya, sekilas melirik ke pintu kamar mandi yang tertutup di mana ia yakin Bela ada di dalam sana sejak ia tidak bisa menemukan anak perempuannya di tempat tidur. Selidik Handoko membuat Nial tahu apa yang dipikirkan ayah mertuanya ini. Bahwa sekarang ia tampak baru saja seperti memaksa Bela untuk melakukan hal-hal berbau suami istri di dalam kamar mandi. Keringat dingin. Nial tidak tahu harus bagaimana di situasi seperti ini. "T-tapi Nial cuma—" "Bapak tahu, Nak. Tapi biarkan Bela membaik dulu, nanti ka
***Di tempat lain ...."Terima kasih, sampaikan itu pada Mas Nial!"Jerry mengatakan itu dengan tanpa dosanya saat ia dan Nial ada di dalam lift yang menuju lantai lima belas. Setelah selesai meeting dari gedung sebelah."Apa?" tanya Nial tak mengerti."Itu yang dikatakan Nona Bela padaku, harusnya aku menyampaikannya dari tadi tapi Pak Nial sibuk terus.""Itu saja?"Jerry dengan cepat memandangnya."Lalu apa lagi? Pak Nial ingin kata 'I love you' atau 'I want you?'"Nial menggertakkan gigi-giginya saat Jerry menertawakannya. "Sudah! Jangan bicara lagi!"Jerry hanya mengangkat kedua pundaknya sekilas saat lift berhenti dan pintu terbuka."Kapan Nona Bela di bawa pulang?""William bilang aku bisa membawanya hari ini asalkan keadaannya sudah membaik.""Bagaimana dengan retak tulangnya?""Nggak parah, kok! Dia pasti bisa berjalan lagi secepatnya."Jerry mengangguk, sementara Nial memasuki ruangannya. Tapi saat itu, ia berhenti dan memutar tubuhnya untuk menghadap Jerry yang sudah duduk
Degub jantung Bela berantakan saat tahu ia sedang dikecup oleh Nial. Napasnya memburu, ia membiarkan Nial melakukannya lebih dalam. Ia berpikir bagaimana jika Nial benar-benar menafkahi batinnya di sini? Di parkiran rumah sakit? Di dalam mobil?Hanya dengan memikirkan itu saja membuatnya semakin berdebar. Apalagi Nial tak kunjung menghentikannya. Ia melingkarkan tangannya di pinggang Bela dengan nyaman.Nial tidak pernah tahu bagaimana bisa bibir seseorang akan terasa manis seperti ini. Dan itu hanya karena ini adalah bibir Bela.Saat sudah bergerak menurunkan resleting pada punggung dress Bela. Namun, ia gagal.TIINN TIINN!Suara klakson mobil datang dari belakang mobilnya. membuat Nial dengan cepat menarik bibirnya dari Bela lalu memandang ke belakang.'Brengsek!'Ia mengumpat dalam hati lalu membenarkan posisi duduknya. "Kak Niko?"Bela tahu itu adalah mobil milik Niko. Dia pasti sedang menjemput ayahnya yang pulang dari rumah sakit."Niko?" tanya Nial memperjelas."Iya itu mobiln
Sesaat, Nial mengira Bela sedang menggodanya. Tapi saat melihat wajah Bela, ia tahu Bela benar-benar kesakitan. Suara yang baru saja diucapkannya terdengar lain di telinganya. Itu seperti suara desahan nikmat yang harusnya ia keluarkan semalam, jika si pengganggu Niko tidak menghancurkan rencananya. "Sakit, Bel?" "Iya, perih. Nggak seperti biasanya." "Lalu?" "Biarkan saja!" Bela melihat Nial yang kembali menutup kotak obat dan pergi dari sana. "Mas Nial." "Ya?" Bela ragu antara harus mengatakan ini atau tidak. "Berbaikanlah dengan ayahmu!" Nial mendorong napasnya dengan kesal lalu kembali mendekat pada Bela. "Baikan?" "Iya." "Setelah aku baik padamu kamu lupa s
Berdebar.Hanya itu yang dirasakan Nial saat Bela menyentuh wajahnya, menghapus air matanya yang sekali lagi telah tergenang karena mengingat Catherine.Nial hanya diam dengan kaku saat Bela mengecupnya. Netra cantik Bela sudah terpejam sementara mata Nial masih terbuka.Ia tidak siap karena Bela menciumnya, dengan cara yang tiba-tiba.Bela tahu ia bodoh karena dengan beraninya mencium Nial. Sekarang tuan pemarah pasti akan mengamuk karena Bela berbuat semaunya sendiri.Ia dengen cepat menarik wajahnya dari Nial. Namun, gagal.Karena Nial menahan tengkuknya agar ia tidak pergi ke manapun dan dalam posisi mereka saat ini.Nial tidak marah atau mengumpatinya dengan kata-kata kasar. Tapi justru memagutnya dengan begitu lembut. Yang mana hal ini membuat degub jantung Bela berantakan.Nial tidak pernah sehangat, sedekat da