"Maaf."Handoko merasa bersalah. Nial dengan cepat membuat jarak dan mengancingkan kemejanya yang entah bagaimana caranya terbuka bahkan hingga ke dadanya. Mungkin tanpa sengaja terlepas saat Bela memegang kuat-kuat bajunya barusan."Ayah duduklah!"Nial memberikan kursinya pada Handoko sementara sendirinya keluar dari ruangan untuk mencari angin segar. Berada dalam satu ruangan bersama Bela membuatnya gerah dalam gairah.Ia duduk di bangku yang ada di bawah pohon. Memandang langit sore yang menggelap. Sesaat barusan ia telah benar-benar tidak bisa memikirkan apapun selain Bela. Bahkan ia tidak menemukan adanya bayangan Catherine sama sekali. 'Maafkan aku Catherine, bagaimana kalau aku kalah?'Nial mengusap wajahnya. Ia melonggarkan dasinya. Tapi dasi di lehernya telah raib karena sudah ia gunakan untuk mengikat rambut Bela. Sekarang ia sadar bahwa yang selama ini mencekiknya itu bukanlah dasi di lehernya, tapi rasa dalam hatinya.Mengingatnya lagi telah memicu hormon lelakinya ban
"Itu bapak, Mas." Bela kenal betul itu adalah suara milik Handoko. Bela mendorong pelan lengan Nial mengisyaratkan agar segera keluar. Mata Nial melebar dan ia keluar dari pintu kamar mandi. Handoko sudah berdiri di sana dengan mata penuh selidik. Seperti sedang mengatakan, 'Kamu ngapain dengan Bela?' "A-Ayah kenapa di sini?" tanya Nial gugup. "Ingin memastikan kamu tidur, Nak Nial. Atau Bapak saja yang menjaga Bela? Tapi ... ternyata kalian ...." Handoko menghentikan kalimatnya, sekilas melirik ke pintu kamar mandi yang tertutup di mana ia yakin Bela ada di dalam sana sejak ia tidak bisa menemukan anak perempuannya di tempat tidur. Selidik Handoko membuat Nial tahu apa yang dipikirkan ayah mertuanya ini. Bahwa sekarang ia tampak baru saja seperti memaksa Bela untuk melakukan hal-hal berbau suami istri di dalam kamar mandi. Keringat dingin. Nial tidak tahu harus bagaimana di situasi seperti ini. "T-tapi Nial cuma—" "Bapak tahu, Nak. Tapi biarkan Bela membaik dulu, nanti ka
***Di tempat lain ...."Terima kasih, sampaikan itu pada Mas Nial!"Jerry mengatakan itu dengan tanpa dosanya saat ia dan Nial ada di dalam lift yang menuju lantai lima belas. Setelah selesai meeting dari gedung sebelah."Apa?" tanya Nial tak mengerti."Itu yang dikatakan Nona Bela padaku, harusnya aku menyampaikannya dari tadi tapi Pak Nial sibuk terus.""Itu saja?"Jerry dengan cepat memandangnya."Lalu apa lagi? Pak Nial ingin kata 'I love you' atau 'I want you?'"Nial menggertakkan gigi-giginya saat Jerry menertawakannya. "Sudah! Jangan bicara lagi!"Jerry hanya mengangkat kedua pundaknya sekilas saat lift berhenti dan pintu terbuka."Kapan Nona Bela di bawa pulang?""William bilang aku bisa membawanya hari ini asalkan keadaannya sudah membaik.""Bagaimana dengan retak tulangnya?""Nggak parah, kok! Dia pasti bisa berjalan lagi secepatnya."Jerry mengangguk, sementara Nial memasuki ruangannya. Tapi saat itu, ia berhenti dan memutar tubuhnya untuk menghadap Jerry yang sudah duduk
Degub jantung Bela berantakan saat tahu ia sedang dikecup oleh Nial. Napasnya memburu, ia membiarkan Nial melakukannya lebih dalam. Ia berpikir bagaimana jika Nial benar-benar menafkahi batinnya di sini? Di parkiran rumah sakit? Di dalam mobil?Hanya dengan memikirkan itu saja membuatnya semakin berdebar. Apalagi Nial tak kunjung menghentikannya. Ia melingkarkan tangannya di pinggang Bela dengan nyaman.Nial tidak pernah tahu bagaimana bisa bibir seseorang akan terasa manis seperti ini. Dan itu hanya karena ini adalah bibir Bela.Saat sudah bergerak menurunkan resleting pada punggung dress Bela. Namun, ia gagal.TIINN TIINN!Suara klakson mobil datang dari belakang mobilnya. membuat Nial dengan cepat menarik bibirnya dari Bela lalu memandang ke belakang.'Brengsek!'Ia mengumpat dalam hati lalu membenarkan posisi duduknya. "Kak Niko?"Bela tahu itu adalah mobil milik Niko. Dia pasti sedang menjemput ayahnya yang pulang dari rumah sakit."Niko?" tanya Nial memperjelas."Iya itu mobiln
Sesaat, Nial mengira Bela sedang menggodanya. Tapi saat melihat wajah Bela, ia tahu Bela benar-benar kesakitan. Suara yang baru saja diucapkannya terdengar lain di telinganya. Itu seperti suara desahan nikmat yang harusnya ia keluarkan semalam, jika si pengganggu Niko tidak menghancurkan rencananya. "Sakit, Bel?" "Iya, perih. Nggak seperti biasanya." "Lalu?" "Biarkan saja!" Bela melihat Nial yang kembali menutup kotak obat dan pergi dari sana. "Mas Nial." "Ya?" Bela ragu antara harus mengatakan ini atau tidak. "Berbaikanlah dengan ayahmu!" Nial mendorong napasnya dengan kesal lalu kembali mendekat pada Bela. "Baikan?" "Iya." "Setelah aku baik padamu kamu lupa s
Berdebar.Hanya itu yang dirasakan Nial saat Bela menyentuh wajahnya, menghapus air matanya yang sekali lagi telah tergenang karena mengingat Catherine.Nial hanya diam dengan kaku saat Bela mengecupnya. Netra cantik Bela sudah terpejam sementara mata Nial masih terbuka.Ia tidak siap karena Bela menciumnya, dengan cara yang tiba-tiba.Bela tahu ia bodoh karena dengan beraninya mencium Nial. Sekarang tuan pemarah pasti akan mengamuk karena Bela berbuat semaunya sendiri.Ia dengen cepat menarik wajahnya dari Nial. Namun, gagal.Karena Nial menahan tengkuknya agar ia tidak pergi ke manapun dan dalam posisi mereka saat ini.Nial tidak marah atau mengumpatinya dengan kata-kata kasar. Tapi justru memagutnya dengan begitu lembut. Yang mana hal ini membuat degub jantung Bela berantakan.Nial tidak pernah sehangat, sedekat da
Bela tahu Nial suka melakukan hal-hal di luar yang diperkirakan orang-orang. Tapi kali ini ia benar-benar nekad.Bagaimana tidak?Di tengah-tengah seminar Nial bangkit dari duduknya dan meninggalkan Jerry yang memanggilnya dengan kesal. Bela melihat sendiri bagaimana Nial lewat di jalan yang ada di tengah hall.Untung saja ini memasuki waktu jeda istirahat sebentar sehingga ia tidak mengganggu berlangsungnya seminar. Tapi ia tidak gagal membuat beberapa perempuan terperangah saat ia lewat.'Dia sudah gila?' Bela sangat kesal dalam hati karena Nial terus berjalan mendekat padanya. Suara jejeritan anak gadis orang semakin ramai terdengar. Bela meremas tangannya sendiri dengan gugup, ia hanya berharap Nial tidak melakukan hal yang lebih banyak menarik perhatian.Tapi, tidak semudah itu.Karena Nial justru berlutut di samping Bela, yang memang duduk di barisan tengah tapi pada kursi paling tepi."Nanti pulanglah denganku!"Dia mengucapkannya tanpa beban selagi Bela mengatupkan kedua bi
Bela dapat mendengar suara gemuruh petir dari kejauhan seperti sedang menyetujui bahwa Nial adalah serigala buas saat ia marah.Sama seperti sekarang, ia tampak tidak bisa mengendalikan diri saat tahu bahwa orang yang menyebabkann kecelakaan padanya adalah Vida."Kamu bilang kamu nggak ingat sama kecelakaan itu. Tapi bagaimana bisa kamu tahu itu adalah Vida?"Bela tidak berani membalas tatapan mata Nial. "Jawab aku, Bela!"Nial sebisa mungkin menjaga nada bicaranya karena ia tidak ingin berteriak dan membuat Bela ketakutan."Aku mengingatnya, Mas. Aku ingat semuanya setelah melihat bunga casablanca yang kamu bawa ke rumah sakit.""Kenapa kamu nggak bilang?""Bilang apa? Kalau kakak perempuanku yang menabrakku?"Nial hanya melemparkan pandangan kesalnya sebelum berbalik arah dan mengatakan,"Aku akan memberinya pelajaran."Namun, baru mengambil langkah pertamanya, ia berhenti. Tangan Bela merengkuhnya dari belakang mencegahnya melakukan hal itu."Jangan, Mas Nial!"Bela tidak tahu apa