Tanpa berkata apa-apa, Riana bangkit dari posisinya. Maya, yang sudah sejak tadi membaca suasana, berdiri di sampingnya. Mereka berjalan beriringan keluar ruang kerja, langkah kaki mereka bergema pelan di lorong panjang yang dingin.“Marah nggak sih, Riana?” tanya Maya, suaranya terdengar seperti keluhan halus yang menggantung di udara.Riana menggeleng cepat, seperti ingin menepis bayangan buruk. “Nggak ada. Dia nggak berhak marahin kita hanya karena telat lima belas menit.” Nada bicaranya datar, namun ada jejak ketegasan yang sulit disangkal.Maya menghela napas kasar, seolah ingin mengusir rasa kesal yang menggumpal di dadanya. “Lagian kamu aneh. Pak Fandy udah berusaha baik, malah kamu cuekin.”Riana melirik Maya, tatapannya tajam namun tak sepenuhnya dingin. “Bukan dicuekin,” jawabnya pelan, seperti membela dirinya sendiri di hadapan bayangan. “Aku nggak mau aja larut dalam sikap baiknya dia. Belum tentu benar kalau dia memang mencintai aku.”Maya menepuk bahu Riana dengan lembut,
Riana hanya mengangguk pelan, senyumnya tipis bagai kabut yang melayang di atas permukaan pagi. Ia tahu arah pembicaraan yang akan diurai Fandy, seperti jalinan benang yang sudah terlalu sering disentuh.Apa lagi kalau bukan soal pemindahan jabatan dan serangkaian makan siang, sore, hingga malam yang disiapkan khusus bagi para karyawan.Lima belas menit berlalu dalam keheningan yang mengalir tenang. Riana menyelesaikan suapan terakhir makan malamnya, kemudian menatap Fandy yang masih duduk teguh di seberang meja, seperti gunung yang menolak runtuh. Matanya terfokus pada sesuatu yang entah apa, namun jelas menyimpan tanya.“Mau bahas apa?” suara Riana lirih namun tajam, mengiris keheningan seperti bilah pisau di permukaan kaca.Fandy menghela napas pelan, napas yang terasa lebih berat dari udara malam yang pekat. Ia menatap Riana, tatapannya dalam dan penuh rahasia, seperti samudra yang menyembunyikan ribuan kapal karam. “Kalau bicara di sini, kamu nggak keberatan orang-orang tahu kalau
Di balik wajah tegar Riana, hatinya bergemuruh seperti laut yang tak pernah diam. Ia bingung harus melangkah ke mana.Ia sudah berjanji pada Yuni untuk tidak meninggalkan Fandy. Tapi ia juga sudah menetapkan dalam dirinya, bila Citra kembali, ia akan pergi. Tidak ada tempat untuk dirinya di hati Fandy, begitu ia percaya.“Kamu sudah yakin dengan keputusan kamu?” suara Maya pelan namun menusuk, seperti nyala lilin yang mencoba menembus kabut gelap. “Kalau ternyata Pak Fandy benar-benar cinta kamu dan melupakan Citra, kenapa harus meninggalkannya?”Riana hanya mengedikkan bahu, gerakannya pasrah namun penuh beban. “Aku mau kerja, May. Pusing kalau mikirin rumah tanggaku.”Ia mengambil kemoceng dan handuk kecil, langkahnya menjauh seperti seseorang yang melarikan diri dari kenyataan yang terlalu berat untuk dihadapi.Di balik gerak-geriknya yang tenang, ada ribuan pertanyaan yang tak terjawab, ribuan luka yang ia sembunyikan di balik senyumnya yang palsu.**Jam di dinding telah menunjuk
Riana buru-buru mengusap lengan mertuanya dengan lembut, mencoba meredakan badai yang mulai mengamuk di depan matanya.“Sabar, Ma. Jangan marah lagi ke Mas Fandy. Nanti yang kena imbasnya saya karena selalu mengadu pada Mama.” Nada Riana memohon, matanya memancarkan ketulusan yang penuh harap.Yuni mengembuskan napas dengan kasar, seolah ingin menghempaskan amarahnya ke udara. “Baiklah. Mama tidak akan memarahi anak sialan itu lagi,” katanya, meskipun suaranya masih penuh dengan bara yang belum sepenuhnya padam.“Iya, Ma. Mas Fandy sudah berubah jadi lebih baik kok, Ma. Mama tenang saja,” ujar Riana, mencoba menenangkan suasana.“Heuh? Jadi baik? Kamu yakin?” tanya Yuni, keraguan tergambar jelas di wajahnya, seperti awan mendung yang enggan menghilang.Riana mengangguk pelan. “Sudah dua hari ini sikapnya jadi baik. Berubah hampir seratus delapan puluh derajat.”Tapi kemudian, kepala Riana sedikit meneleng, pikirannya melayang jauh. ‘Isshh … emang, yaa. Dia nggak akan berubah seratus pe
Yuni mengangguk pelan, gerakan kepalanya seperti angin yang menggoyangkan ranting kecil. “Yang penting kalian tidak memilih negara Singapura, tak apa,” lanjutnya, suara lembutnya kini dilapisi ketegasan seorang ibu yang sedang menjaga keluarganya dari bahaya.“Silakan pergi. Jangan jauh-jauh dari Fandy. Jangan sampai anak itu diam-diam pergi ke Singapura.” Ia berhenti sejenak, matanya menyipit, menyiratkan pikiran yang dalam. “Kalau bisa, pergi ke negara Eropa saja. Jangan di negara Asia.”Suasana di ruang makan menjadi lebih sunyi, hanya suara kecil mangkuk yang digeser Riana terdengar, seperti bisikan dalam keramaian.Di dalam hatinya, Yuni merasa gelisah. Ia tahu Fandy, anaknya, bukan pria yang mudah ditebak. Ia juga tahu tentang Citra, wanita yang pernah menjadi bagian dari hidup Fandy.Yuni memejamkan matanya sejenak, mengumpulkan ketenangan dalam dirinya, lalu membuka kembali matanya dengan tekad yang membara.Ia tidak ingin Fandy menemui Citra secara diam-diam, tidak ingin bayan
Tawa kecil Dimas terdengar, nyaring namun lembut. “Aku, kamu, dan Maya sedang dipromosikan, Riana. Katanya, mulai bulan depan diumumkan.” Nada bahagia menghiasi setiap kata yang ia ucapkan, seperti seorang anak kecil yang berbagi kabar baik.Riana meringis kecil, senyum ragu menghiasi wajahnya. “Tahu dari siapa, kita naik jabatan?” tanyanya dengan nada ingin tahu yang hampir seperti bisikan.“Ada di papan pengumuman, Riana. Sepertinya kamu belum melihatnya, padahal kamu lewati tadi.”“Hehe. Iya, Dim. Nggak ngeuh aku. Nggak ada yang aneh-aneh kan, kita akan naik jabatan?” tanyanya, masih mencoba memastikan seperti seseorang yang takut ada jebakan tersembunyi.Dimas menggeleng pelan. “Untuk saat ini tidak ada. Semoga tidak ada sampai seterusnya.”Riana menghela napas lega, suara tarikan napasnya terdengar seperti angin yang menyerah di tengah malam. Ia menatap Dimas sekali lagi. “Pak Fandy yang memerintahkan untuk menempel pengumuman itu?” tanyanya memastikan, nada suaranya seperti sedan
“Kamu di mana?” Suara Satya terdengar tegas, nyaris seperti lonceng peringatan di ujung telepon.“Di rumah. Ada apa, Kak?” jawab Fandy, nada suaranya penuh kebingungan.“Ke sini sekarang juga. Riana jatuh pingsan,” ucap Satya dingin sebelum menutup panggilan tanpa menunggu jawaban.Fandy terdiam sesaat, darahnya seperti berhenti mengalir. Napasnya tersendat, tapi ia segera tersadar. Dengan gerakan terburu, ia meraih kunci mobil. “Apa karena kecapekan? Padahal tadi dia terlihat segar bugar,” gumamnya seraya melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.Angka di speedometer terus naik. Jalanan di depannya terasa seperti bayangan kabur, namun pikirannya hanya tertuju pada Riana. “Semoga ini tidak serius,” bisiknya pada dirinya sendiri, meski detak jantungnya berdegup tak karuan.Lima belas menit berlalu, dan akhirnya ia tiba di hotel. Dengan langkah panjang, Fandy bergegas menuju ruang kerja Satya, tempat Riana dibawa setelah ditemukan pingsan. Ia membuka pintu dengan satu gerakan tegas.Cklek
Senyum Satya berubah menjadi sesuatu yang dingin, nyaris berbahaya. “Apa pun itu, yang jelas dia akan menyesal karena sudah mengganggu kamu sampai membuatmu pingsan.”Fandy menggaruk-garuk kepalanya, bingung sekaligus gelisah. “Kak. Tapi, dia tamu kit—”“Diam, kamu!” bentak Satya, memotong ucapan Fandy. Suaranya menggelegar, seperti petir yang menyambar di malam yang gelap.“Riana tidak akan memiliki trauma seperti ini kalau bukan karena kecerobohan kamu. Aku pemilik hotel ini. Mau aku apakan tamu gila itu, terserah aku. Jangan ikut campur kalau kamu masih ingin jadi bagian dari hotel ini!”Sementara itu, di meja resepsionis, seorang pria dengan ekspresi licik sedang melontarkan keluhan. “Mohon maaf atas ketidaknyamanannya, Pak. Untuk orangnya, masih Anda ingat?” Resepsionis mencoba menjaga nada sopannya, meski tahu ada sesuatu yang tidak beres.Lelaki itu, dengan nada penuh manipulasi, mulai mengadu. Ia menyebut Riana tidak mau membantunya, bahkan memfitnah perempuan itu untuk membang
Waktu sudah menunjuk angka satu pagi. Riana sudah memasuki bukaan lengkap. Dokter Mery dan juga tiga perawat sudah berada di sana hendak membantu proses persalinan Riana."Tarik napasnya dalam-dalam, lalu keluarkan. Oke! Satu ... dua ... tiga ...."Riana menarik napasnya dan mengeluarkannya kembali. Mengejan dengan sekuat tenaga dengan tangan memegang erat tangan Satya.Lelaki itu benar-benar tak pernah meninggalkan Riana sejak mereka tiba di rumah sakit."Ayo, Sayang. Kamu pasti bisa," ucap Satya sembari mengusapi kening Riana yang sudah bercucuran keringat."Eeuurrnghhh ...." Dengan sekuat tenaga ia mengejan agar bayinya segera keluar.Riana mengatur napasnya yang sudah tersengal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tubuhnya sudah sangat lemas. Namun, bayinya belum juga ingin keluar dari sana."Ayo, Bu. Tarik lagi, yuk! Tarik napasnya, kemudian keluarkan." Dokter Mery memberikan interupsi lagi kepada Riana.Perempuan itu kembali mengejan. Tangannya sudah semakin erat memegang tang
Sembilan bulan sudah, usia kandungan Riana. Perkiraan Riana akan melahirkan sekitar dua sampai tiga harian lagi."Kamu sudah cuti, Kak?" tanya Riana menghampiri Satya yang baru saja selesai mandi."Iya, Sayang. Waktu lahir Fabian dulu, kamu lahiran lebih cepat dari perkiraan. Aku tidak ingin hal yang dulu terjadi, terjadi lagi untuk saat ini. Aku mau stay di rumah dan menemani kamu."Riana menerbitkan senyumnya. "Manis banget. Suaminya siapa sih, ini?""Kamu nggak ngakuin aku?"Riana terkekeh pelan kemudian menggeleng pelan. "Aku anggapnya kamu teman hidupku. Forever."Satya mencubit gemas hidung istrinya itu. "Bisa aja. Mau sarapan apa? Mau aku buatkan lagi?""Boleh. Roti bakar selai strawbery, yaa.""Siap! Tunggu sebentar, yaa. Fabian udah bangun?""Udah. Mulai hari ini kan, Fabian udah sekolah. Lupa?""Oh, iyaa. Aku udah janji ke Fabian akan antar dia ke sekolah hari ini. Astaga! Untung kamu ingetin."Satya segera keluar dari kamarnya dan menghampiri Fabian. Riana yang melihatnya h
Riana mengerucutkan bibirnya. Satya kemudian menarik tangan Riana hingga kini perempuan itu duduk di sampingnya.Bibirnya menyapu bibir mungil perempuan itu dengan lembut. Tangannya melingkar di ceruk leher Riana merasakan sensasi ciuman yang semakin nikmat mereka rasakan.Lelaki itu sudah tidak sabar lagi. Ia lantas membuka celana dan juga kaus yang ia kenakan dan mengambil majalah yang ada di tangan Riana.Meraup bibir Riana lagi dengan ganas seraya meremas dada Riana dengan gemas. Suara desahan dari mulut Riana sudah mulai terdengar. Begitu jelas dan membuat Satya semakin ingin menghujam lebih dalam ciumannya itu.“Mmmpphh …,” desah Riana merasakan ciumannya itu. Lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya dengan tangan satunya membuka tali dress yang ia kenakan.Hingga kini, hanya celana dalam yang ia kenakan. Bagian atasnya sudah tereskpos dan tangan kekar itu kembali meremas gundukan kenyal dan indah milik istrinya itu
Satya menghela napasnya dengan panjang. "Nggak banyak, hanya segilintir saja. Lagian kan, jam tiga nanti baru berangkat. Jadi ini kan, alasan kamu nggak mau ikut karena lagi hamil?"Riana mengangguk. "Iya. Kalau lagi nggak hamil sih, aku pasti ikut. Kapan-kapan aja, yaa. Itu pun kalau nggak malas sih.""Babymoon?""Eum! Boleh deh."Satya kemudian mencium punggung tangan istrinya itu dan menatapnya sekali lagi. Membuat Riana yang melihatnya lantas salah tingkah karena ulah suaminya itu."Udah, aah. Aku mau ke dapur dulu. Mau minum susu hamil.""Biar aku saja. Kamu tunggu di sini, sambil nunggu Fabian bangun." Satya beranjak dari duduknya dan berlari kecil ke luar untuk membuatkan susu hamil untuk sang istri.Kali ini, ia benar-benar menikmati peran sebagai suami yang harus standby untuk istrinya yang tengah hamil bayinya itu.Lima menit kemudian, Satya masuk lagi ke dalam dan memberikan satu gelas susu hamil kepada sang istri.
Riana menerbitkan senyumnya lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya yang kemudian mengecup singkat bibir lelaki itu."Terima kasih, sudah mau bertahan demi aku. Kalau nggak ada kamu, entah apa yang akan terjadi pada hidupku dan juga Fabian. Mungkin akan sengsara selamanya."Satya menghela napasnya dengan panjang dan menatap wajah Riana dengan lekat. "Jika aku tidak ada, mungkin akan ada pria lain yang akan buat kamu bahagia. Dan sepertinya aku tidak terima."Riana mengerucutkan bibirnya. "Alasan kamu nggak mau pulang ke Indonesia itu karena kamu tidak yakin akan sembuh?" tanyanya ingin tahu.Satya menggeleng pelan. "Karena aku tidak ingin melihat air mata Mama dan Papa yang terus meratapi kesedihan akan kondisiku. Itulah kenapa Mama sangat menyayangi kamu. Karena kamu sudah menyelamatkan hidup anak sulungnya."Riana mengulas senyumnya kepada suaminya itu. "Begitu rupanya. Aku bersyukur punya Mama dan Papa yang care dan sayang sama aku, Kak
Riana menganggukkan kepalanya dan menerbitkan senyum kepadanya. "Semangat."Tak lama kemudian, Satya pun datang menghampiri istrinya itu. Ia lalu menyapa Deasy yang tengah duduk di samping istrinya."Kenalin, ini suami saya. Namanya Satya.""Deasy." Perempuan itu memperkenalkan dirinya kepada Satya."Satya." Ia hanya tersenyum kepada perempuan itu tanpa menjabat tangannya."Suami saya pernah memiliki penyakit aneh. Dia tidak berani menyentuh perempuan mana pun kecuali mamanya. Dan sampai sekarang, dia masih belum berani menyentuh perempuan lain selain saya dan mamanya."Riana menjelaskan kepada Deasy tentang Satya yang menolak jabatan tangannya.Deasy akhirnya paham kemudian mengulas senyumnya. "Memang ada, penyakit seperti itu dan sangat langka."Riana mengangguk. "Iya. Dan suami saya merupakan salah satunya yang mengalami penyakit itu."Deasy mengangguk. Ia kemudian pamit kepada Riana sebentar untuk mengambil ponselnya
Satya menarik tangan Riana dan memeluknya lagi. Angin yang bertiup cukup kencang dengan terik matahari yang menyinari bumi, keduanya berpijak di sana menikmati keindahan alam.Malam harinya, Riana dan Satya memilih untuk dinner di sebuah restoran yang ada di dalam hotel miliknya.Baru pertama kali buka, pengunjung hotel sudah sebanyak hampir tiga puluh persen. Banyak yang menyukai desain dan interiornya. Juga pelayanan yang ramah, seperti hotel di Jakarta."Kak. Aku baru tahu kalau kamu punya banyak teman ternyata. Aku pikir kamu ini introvert," ucap Riana sembari melahap makanan miliknya.Satya terkekeh pelan. "Bisa-bisanya kamu mikir kalau aku seorang introvert. Aku menutup diri hanya sejak mengalami penyakit itu saja. Sebenarnya aku tidak seperti itu."Riana manggut-manggut dengan pelan kemudian menerbitkan senyumnya kepada suaminya itu."Sekarang udah berani buat terbuka lagi?"Satya mengendikan bahunya. "Aku sudah menikah, sudah
Riana mengulas senyum dan mengangguk kecil. "Sama-sama. Makin ke sini kamu makin menggila, Kak."Satya terkekeh pelan. "Malu, sama badan kekar tapi payah dalam melakukan itu."Riana mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan suaminya itu. Ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tidur.Pun dengan Satya. Lelaki itu juga masuk ke dalam kamar mandi dan mengenakan celana boxer miliknya."Kamu yakin, hanya ingin satu bulan saja di sini? Memangnya cukup?" tanya Satya kepada Riana yang tengah membasuh wajahnya.Riana menoleh dan menatap suaminya itu. "Kenapa emang? Mau nambah hari?""Terserah kamu sih."Riana menghela napasnya. "Nggak deh, Kak. Di sini hanya cabang, kan? Kamu nggak harus nuruti semua yang aku inginkan, Kak. Karena kamu pun pasti punya keinginan."Satya kembali mengecup kening Riana. "I love you," ucapnya kemudian keluar dari kamar mandi tanpa be
Riana tampak begitu bahagia bahkan menganggukkan kepalanya sangat antusias. "Yeaayy! Liburan ke Bali.""Belum pernah, hm?" tanyanya sembari mengusapi sisian wajah Riana dengan lembut.Riana menggeleng pelan. "Belum. Karena nggak ada yang ngajakin."Satya manggut-manggut dengan pelan. "Mau satu bulan, di sana?""Woah! Lama juga. Boleh. Itu pun kalau kamu nggak keberatan.""No, Honey. Kapan, aku keberatan nurutin permintaan kamu? Gendong kamu aja nggak berat."Riana lantas mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan dari suaminya itu. "Nggak gitu maksudnya, Kak Satya."Lelaki itu lantas tertawa dengan pelan. "Canda, Sayang. Kamu boleh tinggal di sana sepuas kamu. Karena aku juga masih harus cek kondisi hotel dan semua karyawan juga pemimpin di sana.""Sekalian kerja juga, yaa. Bukan beneran mau liburan sama bininya," ucapnya kemudian menyunggingkan bibirnya.Melihat itu, sontak membuat Satya mencium gemas pipi istrinya. "Nggak