“Kau tidak sendiri, Sha! Ada aku bersamamu,” ujar Hanin yang terlihat lebih murka dari Ayesha sendiri.Dia melihat sahabatnya itu hanya terdiam dengan tatapan kosong sepanjang jalan, Hanin bertambah sakit hati.“Turunin aku sebentar, Nin!” ujar Ayesha yang merasa pusing.Hanin menghentikan mobilnya dan melihat Ayesha terburu-buru keluar. Dia duduk di trotoar jalan yang sepi itu sambil menangis sesenggukan. Hanin menatapnya dengan penuh iba. Bukan sekali ini dia melihat sahabatnya seperti itu.Ayesha bukan wanita yang jahat dan kejam hingga harus menerima takdir cinta yang terus membuatnya hancur itu. Ayesha anak sebatang kara yang malang. Hidupnya susah dan penuh cobaan. Pria kejam itu apa tidak punya rasa belas kasihan saat harus membuat wanita sebaik Ayesha mengalami semua ini.Bukankah akan lebih sederhana kalau dia mengakhiri hubungannya dengan Ayesha saat mereka terpisah waktu itu, jika dalam hatinya masih juga mencintai wanita lain?Apa karena mereka orang kaya lalu bisa seena
“Kau yakin akan balik ke rumahmu sendiri?” Hanin yang mengunjungi Ayesha menanyakan tentang rencana sahabatnya itu.“Iyalah!” sahut Ayesha cepat. Seolah tidak mau merubah keputusannya. Dia akan segan jika tanpa malu terus tinggal di tempat orang.“Sudah siap akan bertemu kembali dengan suamimu itu?”“Kenapa tidak, cepat atau lambat aku juga pasti bertemu dengannya.” Ayesha dengan mantap menjawabnya.Sebulan ini mengunci diri dari dunia luar membuatnya mulai bisa berpikir lebih baik. Mencoba mendewasakan hati dan pikirannya dalam kesendirian dan doa-doanya disetiap sholatnya. Dia bersyukur, hatinya memiliki iman yang selalu bisa membimbingnya.Setelah ini, dia harus mempersiapkan diri menjalani babak baru hidupnya. Ayesha sudah ikhlas jika pada kenyataannya suaminya itu memang masih memiliki hubungan asmara dengan sepupunya sendiri. Dia juga sudah menyiapkan mental menjadi seorang single parent untuk Adam. Sejak hamil dia memang sudah memupuk mental seperti itu.“Sha, Pak Dirga tidak
Ayesha meminta Adam dari gendongan Hilbram. Dia lebih memilih menghubungi Dirga untuk menjemputnya. Seharusnya pria itu memaklumi mengapa Ayesha sampai harus bersikap demikian.“Kita pulang sama Om Dirga, ya?” ujar Ayesha yang melihat Dirga sudah menghampiri.Untungnya, Adam tidak menolak. Anak kecilnya itu juga sudah akrab dengan Dirga. Sebulan ini, pria itu sudah merelakan waktunya untuk menemani Adam.“Om...Om...” Adam terlonjak senang melihat Dirga datang.Ayesha langsung berjalan menuju mobil Dirga tanpa sedikitpun melirik Hilbram yang masih berdiri di sana. Dirga yang mengambil stroler itulah yang menyapa sang pemilik yayasan tempatnya mengajar. Tidak mungkin dia mengabaikan begitu saja pria itu.“Permisi, Tuan!” ujarnya basa-basi lalu segera memasukan stroler itu dan bersiap melajukan mobilnya keluar halaman rumah sakit.Meninggalkan pria yang masih berdiri membeku menatap mereka sampai tidak terlih
Bunyi deru mobil itu membuat Ayesha terbangun. Dia sadar kalau barusan ketiduran. Sepertinya hanya terlelap sesaat.Namun, melihat Adam yang sudah bermain di boxnya dengan sudah harum dan berganti baju, Ayesha keheranan. Tidak mungkin dia bermimpi sudah memandikan anaknya itu.“Astaghfirullah!” gumamnya melihat jam di dinding kamarnya yang menunjukan sudah menjelang malam.Dia tentu sudah tertidur berjam-jam. Ayesha baru ingat belum sholat ashar. Bergegas keluar mengambil air wudhu. Mungkin sekalian sholat maghribnya.Selesai sholat dia melirik lagi putranya yang masih anteng di boxnya itu. Siapa yang memandikan dan mengganti bajunya?Tatapannya kembali ke arah pintu. Di rumah ini tidak ada siapapun kecuali dirinya dan suaminya itu. Hilbram pasti sudah memandikan Adam saat dia tertidur tadi.Pria itu memang begitu. Kalau mencoba menarik perhatian, akan terus melakukannya sampai berhasil. Seperti dulu saat mereka kembali bersua setelah kesalahpahaman itu. Hilbram dengan gigih mencoba
“Kau yakin pria ini yang mencoba menabrakku waktu itu?” tanya Hilbram memperhatikan wajah pria itu. Sekilas dia terlihat sedikit familiar. Tapi dimana dia pernah melihatnya? “Dia pernah mengendarai mobil ferrari sport dengan nopol sama persis yang Bos hafalkan!” ujar Miko memberi penjelasan. Hilbram sudah mengingat semuanya. Tentang tragedi penabrakannya waktu itu hingga berakhir koma dan amnesia. Dia sempat melihat dengan jelas plat mobil itu. Hilbram bahkan bisa mengingat nomor plat itu dengan baik. Tandanya, ingatannya sudah pulih kembali. “Apa pria ini berhubungan dengan Rahman?” Hilbram kembali meminta penjelasan. “Pria ini sangat sulit dilacak, aku pikir dia pasti bukan orang sembarangan. Aku belum bisa memastikan ada tidakknya kaitan pria ini dengan Rahman. Kalau memang ada, berarti fix pria ini memang anak buah Rahman yang memang sengaja mencoba menghabisi nyawa Anda.” Hilbram manggut-manggut. Dia sudah mulai curiga pada Rahman sejak dia memisahkannya dengan Ayesha. S
“Astaga, Mas!”Ayesha tidak sengaja membuka suaranya pada Hilbram yang tidak tahu sudah berapa lama ada di sana?Padahal, sebelumnya dia masih menikmati sikap diamnya pada pria ini.Bahkan semalam, ketika Hilbram kembali lagi untuk bicara padanya, Ayesha malah mengunci pintu kamarnya.Rasanya belum puas bisa mengabaikan keberadaan suaminya itu di rumahnya.“Kau pergi masih pagi dan baru pulang malam begini?” Hilbram menutup pintu setelah Ayesha begitu saja masuk ke dalam.“Boleh menjenguk orang sakit, tapi anaknya juga dipikirkan!” Hilbram bertutur pada Ayesha yang menaruh sepatunya di rak sepatu. Entah sampai kapan Ayesha akan mendiamkannya.Hilbram melihat Ayesha masih bergeming lalu masuk ke dalam kamarnya. Dia hanya menghela napas panjang. Sebenarnya, dia pria yang mudah terpancing emosi. Namun untuk wanita itu Hilbram sudah menebalkan kesabarannya.Hilbram cemas, saat ini dalam kondisi pikirannya yang ruwet dan melihat putranya yang diabaikan, akan membuatnya tidak bisa mengend
Ayesha mencoba bangkit dari tubuh Hilbram, namun pria itu tidak akan membiarkannya begitu saja.Wanita ini yang sudah membuatnya tidak bisa tidur dengan tenang dan terus menguji kesabarannya, sepertinya harus diberi pelajaran malam ini.Hilbram harus mendapat kompensasi karena sebulan ini sudah dibuat merana dengan kepergiannya.“Lepasin, Mas!” Ayesha memberontak dan menahan saat tangan Hilbram melucuti pakaiannya. Hingga suara kain robek terdengar karena Hilbram sudah terlihat tidak sabar.Rasa kesal dan cemburu yang terbit sebagai ungkapan rindu yang tertahan sebulan ini, membuat gelora hasrat Hilbram tidak terbendung.Hilbram seolah menutup telinganya dan mengabaikan ratapan Ayesha yang terus meminta dilepaskan. Dibiarkanya saja wanitanya itu tersedu di sela kegiatan yang tidak bisa dihentikannya begitu saja itu.Ayesha terlihat masih tidak terima kalau pria ini dengan seenaknya sendiri memperlakukannya begini.Padahal sudah sempat terbersit dalam pikirannya untuk mengakhiri hu
Melihat Ayesha yang sudah keluar, Hilbram dengan sabar bertanya apa dia mau dirinya mengantar ke rumah sakit ke tempat ibu Dirga di rawat?“Enggak usah, Mas.” Ayesha langsung menolaknya. Lagi pula, Ayesha sendiri enggan pergi.“Memangnya kenapa pria itu memintamu ke rumah sakit?”“Tante Wardha nanyain terus.” “Sakit apa?”“Terakhir diperiksa, katanya jantung!”“Kalian sudah dekat sekali, ya?” tanya Hilbram.Ayesha ketar-ketir saja, apa suaminya itu marah?Tapi, dari ekspresi wajahnya sepertinya tidak ada bekas marah sama sekali yang terpancar di sana. Dia seharusnya menjelaskannya. “Tante Wardah wanita yang kesepian, jadi ... “ Ayesha merasa enggan membahas hal itu.Tiba-tiba sudah melihat mobil Dirga parkir di depan rumahnya.‘Astaga, pria ini!’ batin Ayesha yang menjadi resah.Bagaimana Dirga nekat datang sementara suaminya ada di rumah.Sepagi ini hubungan mereka baru saja terlihat membaik lagi. Haruskah suasananya akan dirusak lagi?“Suruh dia masuk?” tukas Hilbram pada Ayes
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber