Hanin mendatangi rumah Ayesha untuk melihat kondisi Adam yang kemarin habis jatuh bersamanya dari motornya. Mengetahui bayi 1 tahun yang menggemaskan itu menyambutnya sambil tersenyum senang, legalah perasaan Hanin yang sejak semalam mencemaskannya itu.Dia sendiri tidak bisa menghubungi Ayesha lagi karena ponselnya tercebur di got saat jatuh kemarin.“Kok bisa jatuh sih, Nin?” Ayesha melihat siku sahabatnya itu juga lecet-lecet. Dia jadi merasa bersalah sudah terlalu sering merepotkan Hanin.“Adam mau jalan-jalan kelililing perumahan, pas belok tidak tahunya ada mobil yang datang tiba-tiba. Aku kaget dan reflek putar gas. Tapi Adam cuma kepentok sedikit kok kepalanya. Maaf, ya?”“Jangan begitu, aku yang minta maaf sudah membuatmu sampai begini, padahal udah mau nikah lho kamu!” Ayesha memeriksa lengan sahabatnya itu.Hanin membelai Adam yang asyik rebahan di pangkuaannya sambil melihat program kartun di televisi itu. Mungkin badannya masih kurang enak pasca jatuh kemarin. Jadinya
“Bram, kau datang?” Thalita yang melihat Hilbram langsung berlari dengan semangat ingin memeluknya. Namun dengan cepat Ayesha berdiri di depannya untuk menghalau. Thalita terhenti dan menatap Ayesha dengan heran campur sebal. Bagaimana mereka bisa datang bersama lagi? Bukankah Rahman bilang Hilbram sibuk membereskan masalah sabotase perusahaannya? “Selamat sore, Tha?” sapa Ayesha pada wanita yang ternyata tidak berhenti mencoba mengganggu suaminya itu. Sekarang kalau mau menyentuh suaminya lagi, wanita itu harus melewatinya dulu! Thalita melengos medapat sapaan Ayesha. Dia sepertinya masih berusaha mencari cara mendekati Hilbram. “Mas bukannya masih ada urusan?” tukas Ayesha pada suaminya itu, yang berdiri terbengong karena melihatnya tiba-tiba dengan cepat berdiri menghindarkannya dari wanita yang gatel itu. “Oh, kau tidak masalah aku tinggal?” tanya Hilbram pada istrinya itu. “Tidaklah, Mas. Ini kan rumah suamiku sendiri, mana mungkin aku akan bermasalah di sini.” Ayesha
Ayesha tahu di rumah utama tidak memperbolehkan pelayan pria berkeliaran kalau sudah malam. Hilbram memberlakukan peraturan itu sejak ada istrinya di rumah. Dia ingin istrinya itu juga merasa nyaman dan bebas berkeliaran di rumah tanpa lagi menggenakan hijabnya. Seperti saat ini Ayesha hanya menggunakan gaun rumahan yang feminim dengan rambut panjang yang tergerai di punggungnya. Dia keluar dari kamar untuk meminta Tika menyiapkan makanan sang suami. Meski ada dua wanita yang dengan bahagianya duduk menonton serial televisi di sana. Ayesha tidak peduli dan malah sengaja melewati mereka begitu saja. “Astaga, munafik sekali wanita itu?” tukas Thalita. Fatma melongo melihat Ayesha yang tampak menawan menggunakan pakaian rumahan itu berjalan melewati mereka. Yang dia tahu Ayesha hanyalah wanita yang menutup seluruh tubuhnya. Mengetahui dia berlenggak-lenggok tanpa hijabnya, tentu Fatma terkejut. “Sok centil banget dia?” Thalita juga jadi sebal karena baru tahu, Ayesha berani
“Mau apa kamu?!”Ayesha terburu keluar ketika melihat Thalita yang sudah berdiri di samping stroler anaknya yang sedang berjemur itu.Jangan-jangan wanita itu ingin berniat jahat pada Adam.Di mana pengasuhnya?“Maksudmu apa? Aku juga mau berjemur kali...”Thalita memang ingin menjahili Adam saat meminta pengasuhnya mengambilkan sunbloknya yang tertinggal di dalam. Sayang sekali, mamanya cepat sekali keluar. Dia jadi belum sempat mengusik bayi itu.Ayesha tidak banyak bicara langsung mendorong stroler Adam masuk ke dalam.“Maaf, Nyonya. Tadi hanya diminta tolong ambil sunblok Nona Thalita.” Pengasuh Adam merasa bersalah karena sang nyonya marah anaknya ditinggal sendiri.Ayesha tentu cemas. Apa Nur tidak ingat, Adam pernah sampai hilang di kantor dan naik sendiri ke rooftop gedung demi ingin melihat helikopter. Dia juga pernah digigit ular di taman. Bag
Ayesha dan Nur keluar dari dalam mobil di bawah todongan pistol tiga pria misterius itu.Bocah kecil yang ada dalam gendogannya, awalnya tampak tertawa melihat tiga orang sangar itu menatapnya sambil menodongkan pistol.Namun, gertakan salah satu pria itu membuat Adam mulai tegang dan ketakutan. Ayesha memeluknya erat.“Nur, aku akan mengecoh mereka, lalu cobalah berlari dan mencari pertolongan!” bisiknya pada pengasuhnya itu saat mereka dipepetkan.Nur mengangguk dan menunggu celah para pria itu lengah. Di samping mereka ada ladang jagung. Kalau dia masuk ke ladang itu, pasti mereka kesulitan menembak dan mengejarnya.“Apa mau kalian?” tanya Ayesha melas. Tidak kasihankah mereka pada anaknya yang mulai merengek itu.“Kami diperintahkan untuk menghabisi kalian!” ujar seorang pria yang dekat sekali menodongkan pistolnya.“Tapi, anakku rewel. Dia harus meminum susunya. Biarkan pengasuhku m
“Sialan! Siapa yang membunuh Lucky?” Rahman tampak marah karena mendengar satu anak buah yang paling diandalkannya tewas terbunuh.Bagaimana bisa pria itu terbunuh begitu saja?“K-kami mengejar pengasuh anak itu, dan tiba-tiba anak buah Hilbram sudah mengepung. Sepertinya Lucky dibunuh anak buah Hilbram!” ungkap salah satu yang ikut dalam misi di kebun jagung itu.“Dashcam di mobil juga sepertinya tidak berfungsi. Jadi Lucky ditembak anak buah Hilbram, masih salah satu kemungkinan utamanya, Tuan.” Lapor yang lain.“Pekerjaan kalian macam anak baru saja. Dipikir dulu sebelum bertindak. Pria itu sudah tidak memiliki anak buah yang bisa diandalkan. Taher hanya anak baru kemarin sore yang biasa membuntut di ketiakku. Menghadapi para cecunguk itu saja kalian tidak becus!” Rahman masih ngedumel marah-marah tidak jelas.Dia sangat yakin, Hilbram sudah kehilangan taringnya setelah dia memutuskan membelot. Sejak dulu Rahman yang mengurus semuanya. Anak itu tidak boleh sepintar dirinya. Li
Ayesha jadi sedih kembali karena untuk sesaat memikiran suaminya itu belum bisa hidup secara normal layaknya orang biasa sepertinya. Setelah semuanya diambil Rahman. Bukankah mereka bukan lagi orang yag punya kuasa dan kemewahan. Mana bisa masih bermimpi jalan-jalan keliling dunia? ‘Ya Allah, jangan-jangan suamiku belum bisa menghadapi kenyataan hidupnya?’ “Ada apa?” Hilbram melambai di depan mata Ayesha yang menatapnya lekat dan sedih. “Aku sudah tidak tertarik keliling dunia, Mas. Permintaanku sederhana saja, kita tinggal di sebuah pedesaan, menikmati udara yang sejuk sepanjang hari, berinteraksi dengan tetangga kanan kiri yang ramah, dan fokus besarin anak-anak kita.” Ayesha tidak ingin banyak maunya. Pria ini tentu akan mengusahakan apa yang dia mau. Tapi Ayesha harus tahu diri. Suaminya itu sudah bukan lagi big bos perusahaan. Hanya orang biasa yang bahkan mungkin tidak memiliki pekerjaan. “Hahaha...” tawa Hilbram menggugah Ayesha yang sedih itu. Membuat Ayesha mencubit len
Pria itu menyedot cerutunya dan duduk di ranjang rumah sakit dengan tangan di-infus.Seorang perawat dan dokter yang memeriksa terlihat tidak berani mengingatkannya agar tidak merokok di ruangan.Mereka hanya menjalankan tugasnya setelah itu pergi seketika selesai. Tampak tidak betah sekali berlama-lama di ruangan itu.“Apa kata perawat itu?” tanya seorang pria tua pada asistennya karena tidak bisa berbahasa asing. “Gula darah masih tinggi, Tuan. Tekanan darah juga tinggi. Mohon Tuan Furqon fokus penyembuhan dulu." Sang asisten menjawab pertanyaan tuannya.Pria yang dipanggil Furqon menyerahkan rokoknya pada asisten yang lain dan duduk dengan sedikit ringkuh. Teringat betapa usia sudah membuatnya lemah, namun harapan yang selama ini digenggamnya tidak juga ditunaikan.“Apa ada kabar dari Rahman?” tanya Furqon menatap dua asistennya itu.“Salah satu anak buah Tuan Rahman tertembak mati oleh anak buah Hilbram, Tuan.”“Apa yang mereka lakukan?”“Nyonya Fatma meminta Lucky dan beberapa
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber