“Bram, kau datang?” Thalita yang melihat Hilbram langsung berlari dengan semangat ingin memeluknya. Namun dengan cepat Ayesha berdiri di depannya untuk menghalau. Thalita terhenti dan menatap Ayesha dengan heran campur sebal. Bagaimana mereka bisa datang bersama lagi? Bukankah Rahman bilang Hilbram sibuk membereskan masalah sabotase perusahaannya? “Selamat sore, Tha?” sapa Ayesha pada wanita yang ternyata tidak berhenti mencoba mengganggu suaminya itu. Sekarang kalau mau menyentuh suaminya lagi, wanita itu harus melewatinya dulu! Thalita melengos medapat sapaan Ayesha. Dia sepertinya masih berusaha mencari cara mendekati Hilbram. “Mas bukannya masih ada urusan?” tukas Ayesha pada suaminya itu, yang berdiri terbengong karena melihatnya tiba-tiba dengan cepat berdiri menghindarkannya dari wanita yang gatel itu. “Oh, kau tidak masalah aku tinggal?” tanya Hilbram pada istrinya itu. “Tidaklah, Mas. Ini kan rumah suamiku sendiri, mana mungkin aku akan bermasalah di sini.” Ayesha
Ayesha tahu di rumah utama tidak memperbolehkan pelayan pria berkeliaran kalau sudah malam. Hilbram memberlakukan peraturan itu sejak ada istrinya di rumah. Dia ingin istrinya itu juga merasa nyaman dan bebas berkeliaran di rumah tanpa lagi menggenakan hijabnya. Seperti saat ini Ayesha hanya menggunakan gaun rumahan yang feminim dengan rambut panjang yang tergerai di punggungnya. Dia keluar dari kamar untuk meminta Tika menyiapkan makanan sang suami. Meski ada dua wanita yang dengan bahagianya duduk menonton serial televisi di sana. Ayesha tidak peduli dan malah sengaja melewati mereka begitu saja. “Astaga, munafik sekali wanita itu?” tukas Thalita. Fatma melongo melihat Ayesha yang tampak menawan menggunakan pakaian rumahan itu berjalan melewati mereka. Yang dia tahu Ayesha hanyalah wanita yang menutup seluruh tubuhnya. Mengetahui dia berlenggak-lenggok tanpa hijabnya, tentu Fatma terkejut. “Sok centil banget dia?” Thalita juga jadi sebal karena baru tahu, Ayesha berani
“Mau apa kamu?!”Ayesha terburu keluar ketika melihat Thalita yang sudah berdiri di samping stroler anaknya yang sedang berjemur itu.Jangan-jangan wanita itu ingin berniat jahat pada Adam.Di mana pengasuhnya?“Maksudmu apa? Aku juga mau berjemur kali...”Thalita memang ingin menjahili Adam saat meminta pengasuhnya mengambilkan sunbloknya yang tertinggal di dalam. Sayang sekali, mamanya cepat sekali keluar. Dia jadi belum sempat mengusik bayi itu.Ayesha tidak banyak bicara langsung mendorong stroler Adam masuk ke dalam.“Maaf, Nyonya. Tadi hanya diminta tolong ambil sunblok Nona Thalita.” Pengasuh Adam merasa bersalah karena sang nyonya marah anaknya ditinggal sendiri.Ayesha tentu cemas. Apa Nur tidak ingat, Adam pernah sampai hilang di kantor dan naik sendiri ke rooftop gedung demi ingin melihat helikopter. Dia juga pernah digigit ular di taman. Bag
Ayesha dan Nur keluar dari dalam mobil di bawah todongan pistol tiga pria misterius itu.Bocah kecil yang ada dalam gendogannya, awalnya tampak tertawa melihat tiga orang sangar itu menatapnya sambil menodongkan pistol.Namun, gertakan salah satu pria itu membuat Adam mulai tegang dan ketakutan. Ayesha memeluknya erat.“Nur, aku akan mengecoh mereka, lalu cobalah berlari dan mencari pertolongan!” bisiknya pada pengasuhnya itu saat mereka dipepetkan.Nur mengangguk dan menunggu celah para pria itu lengah. Di samping mereka ada ladang jagung. Kalau dia masuk ke ladang itu, pasti mereka kesulitan menembak dan mengejarnya.“Apa mau kalian?” tanya Ayesha melas. Tidak kasihankah mereka pada anaknya yang mulai merengek itu.“Kami diperintahkan untuk menghabisi kalian!” ujar seorang pria yang dekat sekali menodongkan pistolnya.“Tapi, anakku rewel. Dia harus meminum susunya. Biarkan pengasuhku m
“Sialan! Siapa yang membunuh Lucky?” Rahman tampak marah karena mendengar satu anak buah yang paling diandalkannya tewas terbunuh.Bagaimana bisa pria itu terbunuh begitu saja?“K-kami mengejar pengasuh anak itu, dan tiba-tiba anak buah Hilbram sudah mengepung. Sepertinya Lucky dibunuh anak buah Hilbram!” ungkap salah satu yang ikut dalam misi di kebun jagung itu.“Dashcam di mobil juga sepertinya tidak berfungsi. Jadi Lucky ditembak anak buah Hilbram, masih salah satu kemungkinan utamanya, Tuan.” Lapor yang lain.“Pekerjaan kalian macam anak baru saja. Dipikir dulu sebelum bertindak. Pria itu sudah tidak memiliki anak buah yang bisa diandalkan. Taher hanya anak baru kemarin sore yang biasa membuntut di ketiakku. Menghadapi para cecunguk itu saja kalian tidak becus!” Rahman masih ngedumel marah-marah tidak jelas.Dia sangat yakin, Hilbram sudah kehilangan taringnya setelah dia memutuskan membelot. Sejak dulu Rahman yang mengurus semuanya. Anak itu tidak boleh sepintar dirinya. Li
Ayesha jadi sedih kembali karena untuk sesaat memikiran suaminya itu belum bisa hidup secara normal layaknya orang biasa sepertinya. Setelah semuanya diambil Rahman. Bukankah mereka bukan lagi orang yag punya kuasa dan kemewahan. Mana bisa masih bermimpi jalan-jalan keliling dunia? ‘Ya Allah, jangan-jangan suamiku belum bisa menghadapi kenyataan hidupnya?’ “Ada apa?” Hilbram melambai di depan mata Ayesha yang menatapnya lekat dan sedih. “Aku sudah tidak tertarik keliling dunia, Mas. Permintaanku sederhana saja, kita tinggal di sebuah pedesaan, menikmati udara yang sejuk sepanjang hari, berinteraksi dengan tetangga kanan kiri yang ramah, dan fokus besarin anak-anak kita.” Ayesha tidak ingin banyak maunya. Pria ini tentu akan mengusahakan apa yang dia mau. Tapi Ayesha harus tahu diri. Suaminya itu sudah bukan lagi big bos perusahaan. Hanya orang biasa yang bahkan mungkin tidak memiliki pekerjaan. “Hahaha...” tawa Hilbram menggugah Ayesha yang sedih itu. Membuat Ayesha mencubit len
Pria itu menyedot cerutunya dan duduk di ranjang rumah sakit dengan tangan di-infus.Seorang perawat dan dokter yang memeriksa terlihat tidak berani mengingatkannya agar tidak merokok di ruangan.Mereka hanya menjalankan tugasnya setelah itu pergi seketika selesai. Tampak tidak betah sekali berlama-lama di ruangan itu.“Apa kata perawat itu?” tanya seorang pria tua pada asistennya karena tidak bisa berbahasa asing. “Gula darah masih tinggi, Tuan. Tekanan darah juga tinggi. Mohon Tuan Furqon fokus penyembuhan dulu." Sang asisten menjawab pertanyaan tuannya.Pria yang dipanggil Furqon menyerahkan rokoknya pada asisten yang lain dan duduk dengan sedikit ringkuh. Teringat betapa usia sudah membuatnya lemah, namun harapan yang selama ini digenggamnya tidak juga ditunaikan.“Apa ada kabar dari Rahman?” tanya Furqon menatap dua asistennya itu.“Salah satu anak buah Tuan Rahman tertembak mati oleh anak buah Hilbram, Tuan.”“Apa yang mereka lakukan?”“Nyonya Fatma meminta Lucky dan beberapa
“Biadab! Jadi pria itu yang membunuh Lucky?” Rahman menendang bangku yang ada di depannya. Kecurigaannya memang benar. Bahwa pria itu ada indikasi membelot padanya. “Cari tahu apakah pria itu ada hubungan dengan Hilbram!” tukas Rahman meminta anak buahnya menyelidiki tentang Elyas. “Sepertinya tidak ada, Tuan.” Salah seorang pria menjawabnya. “Sepertinya katamu!” Rahman melotot tajam ke arah pria yang menjawab tadi. “Aku butuh data yang pasti, bukan hanya kata sepertinya!” “Akan kami selediki lebih jauh.” Segera mereka menjawab agar tidak membuat lebih panjang kemarahan sang bos. Belum selesai ketegangan di antara mereka, pria yang sedang mereka bicarakan tampak hadir. Ruangan yang penuh amuk Rahman itu mulai senyap dengan langkah kaki yang mendekat pada pria yang tadi sudah marah besar padanya. “Katakan padaku, ada apa?” tanya-nya tenang. Dia sudah melawati banyak hal di dunia ini. Menghadapi pria di depannya dengan penuh ambisi yang begitu gila, Elyas tidak merasa gegabah.