“Kakak cantik sekali!” ujar gadis itu pada Ayesha sambil meraba-raba wajahnya. Ayesha membiarkan saja gadis itu melakukan apa yang dia ingin. Merasa bersalah sudah sempat berpikir buruk tentang Farin. Tadi, begitu Hilbram mengenalkannya pada Farin, gadis itu terlihat begitu terkesan dengan senyum tulus Ayesha. Karenanya selalu menempel saja pada Ayesha. “Farin, nanti Kak Ayeshanya tidak nyaman, lho!” Papa Farin mencoba menarik tubuh putrinya dari Ayesha “Tidak apa, Om. Biar aku bujuk Farin agar ikut makan malam juga.” Ayesha mencoba menenangkan Farin agar tidak berlebihan mengekspresikan perasaannya. Dia tentu memiliiki pengetahuan tentang menghadapi gadis itu. Seorang guru selalu dibekali ilmu psikologi untuk mendidik anak. “Jangan, Sha! Farin tidak boleh gabung dalam makan bersama keluarga.” “Tidak boleh begitu, Om. Farin juga butuh sosialisasi dan interaksi agar bisa belajar bersikap baik.” Ayesha terlihat tidak sepakat. Itu namanya diskriminasi. Dia akan membujuk Hilbra
Kalau ada yang lebih tegang dari persidangan, itu adalah pembacaan surat wasiat dan pembagian hak waris keluarga Al Faruq pada anak-anaknya. Apalagi setelah pembacaan itu ada pihak yang merasa sangat tidak terima.Siapa lagi kalau bukan Hamida dan suaminya. Mereka mencak-mencak karena hak waris mereka dicabut setelah melakukan banyak hal yang sangat merugikan keluarga Al Faruq. Mencemarkan nama baik dan terus-terusan mengumbar keburukan keluarga sendiri di media sosial.Namun, Nyonya Safina masih memberikan kemurahan dengan memberinya tunjangan seumur hidupnya yang baginya itu tidaklah seberapa.“Aku anaknya, kenapa malah tidak mendapatkan apapun!” Hamida tidak terima pada pengacara itu. membuatnya berpikir, Bharata pasti ada main dalam proses pembagian hak waris ini.“Hak Anda secara otomatis akan dilimpahkan pada anak Anda, Nona Farin Dahlia Al Faruq, sekaligus saham perusahaannya.” Bharata menjelaskan.“Tidak
“Apa itu, Mas?” Ayesha jadi ketakutan mendengar suara yang keras itu. Apalagi disusul suara orang ribut di luar. Hilbram merasa terganggu sekali. Dia bangkit untuk memeriksanya dan meminta Ayesha tetap di kamar. Siapa orang tidak waras yang berani-berani membuat masalah di waktu istirahat? Gerutunya sambil bersungut-sungut keluar. Di ruang tengah, Rahman dan beberapa anak buahnya yang lain memegangi Hardi yang tampak beringas, sementara Bobby terkulai lemas memegangi perutnya yang sudah bersimbah darah. Hilbram jadi tahu apa yang terjadi. Berjalan menghampiri Hardi, Hilbram langsung menamparnya dengan keras. Hingga hidung Hardi mimisan dan sudut mulutnya meneteskan darah. Tenaga Hilbram tidaklah lemah. “Bram! Jangan pukul suamiku!” Hamida berteriak ketika Hilbram memukul Hardi. “Rahman, bawa masuk wanita itu!” Hilbram menyuruh Rahman mengatasi Hamida. Lalu beralih pada Zain. “Periksa Om Bobby, kalau ada yang serius, segera bawa ke rumah sakit!” “Baik, Tuan!” Zain sigap melak
“Suamimu itu, hampir membunuh Bobby!” Fatma dengan ketus mengomeli kakaknya sebelum berangkat kembali ke negara asal suaminya.“Itu sah-sah saja, kita orang diperlakukan tidak adil!” Hamida tidak merasa apa yang dilakukannya salah.“Bharata sudah bilang, kalau kau tidak terima hasil pembagian waris itu, kau bisa menggugat di pengadilan!” Fatma menantang.“Kau pikir aku tidak akan melakukannya?”“Lakukan saja! Apa kau perlu kami umumkan pada semua orang, kalau sebenarnya kau hanyalah anak adopsi?”“Jaga mulutmu!” Hamida menatap tajam Fatma dan menunjuk mukanya. Dengan segera Fatma menampik tangan itu.“Kenapa? Kau pikir aku tidak tahu hal itu?”Kenyataan bahwa Hamida hanyalah anak adopsi sudah diketahui Fatma sejak remaja. Ketika dia menemukan beberapa surat adopsi dari panti asuhan tempat Hamida diambil.Tapi, demi keinginan sang Ibu
Lily melihat Ayesha tepat ketika pria itu menjambak rambutnya dan menariknya kasar. Penampilan tampak berantakan dengan eyeliner, belepotan tersapu air matanya.Sungguh menyedihkan.“Nyonya?”Zain muncul karena merasa Ayesha sedikit lama tidak segera kembali. Dia cemas ada sesuatu dengan Ayesha.Tak jauh dari sana, pemandangan seorang pria menyeret lengan perempuan membuatnya heran. Karena sang Nyonya terlihat membeku.“Nyonya?” Zain memanggil kembali.Ketika baru tersadar, Ayesha segera mengguncang lengan Zain.“Zain, aku kenal wanita itu. Bisakah kau membantu melepaskannya dari pria yang menyiksanya tadi?” Ayesha tampak mendesak.Zain juga keheranan. Ada kejadian seperti itu di tempat umum. Apa pria itu sudah gila? Dan lagi, kemana security tempat ini?“Maaf, Nyonya. Itu bukan urusan kita. Lebih baik kita kembali ke depan.” Zain dengan tegas menolak. Meski terlihat
Melihat suaminya terdengar marah-marah pada Rahman, Ayesha urung membuka pintu ruang kerjanya. Pasti ada masalah serius. Mudah-mudahan bukan lagi tentang hak waris itu.Sejak dulu masalah warisan memang sangat sensitif. Keluarga bisa bercerai berai karena hal ini. Bahkan sampai terjadi pertumpahan darah untuk itu. Apalagi, sebagai satu-satunya anggota keluarga laki-laki yang memiliki banyak tanggung jawab di pundaknya, Hilbram mendapatkan hak yang istimewa.Ayesha cemas, itu hanya akan membuat hidup mereka tidak damai.“Sudah makan, Mas?” tanya Ayesha melihat suaminya baru keluar dari ruang kerjanya. Dia tahu dari pelayan rumah bahwa meja makan masih utuh tanpa ada yang berkenan untuk sekedar mencicipi.Ayesha dan Zain tadi sudah makan di luar. Tapi pria ini pasti belum.“Oh, aku tidak lapar!” Hilbram hanya mengusap kepala Ayesha dan berlalu meninggalkannya ke kamar.Ayesha mengikuti ke kamar. Melihat pria itu masih sibuk dengan sesuatu, Ayesha tidak berani mengganggu. Padahal dia ing
“Hari ini aku boleh keluar menemui teman ya, Mas?” Ayesha meminta izin pada suaminya itu yang sudah rapi. Bilangnya mau mengunjungi kantor perusahaan di Kota ini.“Kau punya teman di sini?” Hilbram mengernyitkan keningnya. Ayesha bilang hanya pernah sekali dua kali ke kota ini, teman-temannya juga tidak banyak.“Nanti aku ceritakan, sepertinya Mas Bram terburu-buru.”“Aku tidak terburu-buru. Hanya kalau bisa menyelesaikan urusanku lebih cepat, nanti sore bisa mengajak istriku jalan-jalan.” Hilbram mencubit lembut pipi Ayesha yang kemerahan itu.“Hmm, baiklah kalau begitu. Aku juga akan segera menyelesaikan urusanku.” Ayesha memberikan senyum manisnya.Hilbram mencium bibir Ayesha dengan mesra sebelum berangkat. Diantar sang istri sampai depan, membuatnya sudah tidak sabar untuk kembali dari urusannya. Bahkan ini belum juga berangkat.“Apa Nyonya juga ingin keluar sekarang?” tanya Zain menghampiri sang nyonya.“Baik, Zain. Aku juga tidak ingin berlama-lama.” Ayesha ingat nanti sore Hil
“Banci kamu, Ren!” Agnes memukul lengan Ren karena hanya diam melihatnya diancam Zain tadi.“Dia kan perempuan, aku mana bisa memukul perempuan!” Ren dengan mulut lamisnya beralasan.“Dasar mulut besar. Apa kau lupa kau selalu menyiksaku?” Agnes kembali melototi Ren yang pengecut itu.Agnes semakin kesal dengan pria yang tidak berguna itu. Dia jadi tidak mengerti dirinya sendiri. Sudah tahu sering dibuat kecewa dan sakit hati, tapi masih juga selalu peduli padanya.“Katakan padaku, jangan-jangan wanita itu bukan kiriman temanmu, tapi kamunya yang doyan!” Agnes mencecar Ren.Tidak terima saja kalau sudah bersusah-susah membantunya, sementara Ren justru main gila.Ini bukan pertama kali kekasihnya itu menyelingkuhinya.“I-itu tidak benar, Temanku memang yang menyuruh pelacur itu untuk merayuku!”“Pelacur?”Agnes baru teringat sesuatu. Dia kemudian menatap dari kejauhan tempat Zain—supir Ayesha itu menunggu seseorang.Sebenarnya siapa yang dia tunggu?Lalu, ada hubungan apa wanita itu
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber