Ayesha terlihat berjalan masuk ke kantor. Dia melihat Dannil dan Verni sedang bersama. Entah mengapa mereka sepertinya sengaja berhenti untuk menunggunya.“Selamat pagi?” sapa Ayesha pada dua orang itu.“Sha, kau diantar siapa?” Dannil bertanya dengan raut menyelidik.Ayesha menatap dua orang itu dan menyembunyikan keresahan tentang apakah mereka melihatnya turun dari mobil yang mengantarnya tadi?Dia menoleh ke belakang melihat sebuah mobil berhenti di depan daycare untuk menurunkan seseorang. Ketika berlalu, orang yang diturunkan tidak terlihat dari tempatnya berdiri.Ayesha pikir, mereka juga tidak akan melihat saat supir menurunkannya di depan daycare tadi. “Kenapa? Aku setiap hari memang ada teman searah yang menumpangi. Apa penting untuk memberitahu dengan siapa aku diantar?”Verni yang sejak tadi terdiam jadi ikutan menyahut.“Pak Dannil ini kemarin melihatmu masuk ke mobil mewah, jadinya dia tadi mencoba memastikan apakah penglihatannya benar. Kami merasa mobil mewah yang
Ayesha merapikan beberapa dokumen yang sudah selesai dikerjakannya. Sudah saatnya untuk pulang. Dia menekuk—nekuk jemarinya yang tegang karena seharian harus wara-wiri di atas keyboard.“Akhirnya selesai juga, Alhamdulillah!” ucap Ayesha terlihat lega mengambil ponselnya di meja untuk dimasukannya ke dalam tas. Namun benda pipih itu terlihat berkedip. Ayesha menahannya sejenak untuk melihat pesan dari siapa yang masuk.“Astaga, Adam?!” Ayesha terkejut melihat foto putranya yang duduk di meja kerja Hilbram di kantor ini.“Kenapa, Sha?” Nola yang sudah siap pulang terlihat menjinjing tasnya, namun masih menyempatkan menanyakan mengapa Ayesha tampak terkejut menerima pesan seseorang.“Anakmu kenapa?” tanya Nola memastikan lagi.“Ahaha, anakku tidak apa-apa kok. Tadi hanya lihat fotonya yang belepotan dari pengasuh daycare.” Ayesha jadi terpaksa berbohong karena temannya yang selalu kepo itu.“Oh, aku kira ada apa? Ya sudah aku duluan baliknya!”“Baik, hati-hati Nola!”Ayesha melambaikan
“Astaga, aku kira Mas yang hebat bisa buat dia anteng di depan meeting tanpa rewel.”Ayesha baru tahu bagaimana pria ini bisa membuat anaknya tidak rewel. Ternyata ada layar bersebelahan yang membuka channel cocomelon. Meski suaranya di mute, tentu gambar-gambar lucu itu menarik perhatian Adam.“Sini anak aku, enak saja masih kecil sudah dieksploitasi untuk meeting!” gumam Ayesha mengambil Adam dari tangan sang papa yang hanya tertawa kecil itu.Tapi Hibram serius, Adam adalah putranya. Dia sudah akan mengenalkan dunianya ini sejak dini pada sang putra. Karena pada akhirnya dialah yang harus mengambil alih tanggung jawab.“Enak saja, kalau Adamnya pengen jadi penyanyi atau yang lain bagaimana?” Ayesha mengomentari ucapan suaminya yang sudah lebih dini menyatakan bahwa sang putra adalah big bos perusahaan ini pada akhirnya.“Waaah, berarti kita harus bikin anak banyak biar tidak bingung cari penerus.” Hilbram mentowel pipi istrinya itu, lalu menciumnya karena sudah kangen.“Ahhhhh....
Niat hati hanya ingin mengalihkan fokus perhatiannya saat sang suami menelpon mantan istrinya itu, Ayesha iseng menghubungi Hanin.Tidak tahu apa yang ingin dibicarakannya, asal dia bisa mengalihkan pikiran negatifnya saja. Supaya, tidak juga terkesan masih ingin tahu apa yang dibicarakan dua orang itu. “Ada apa, Sha?” Hanin terlihat masih repot tapi mengangkat ponsel temannya itu.“Ah, enggak apa-apa, hanya nanya kabarmu saja!”“Jangan iseng deh, katakan ada apa?” Hanin mendesak, Ayesha jadi bingung harus membahas apa?“Kau ada masalah lagi dengan suamimu?” Hanin hanya menerka-nerka.“Oh, Tidaklah!” Ayesha menjawab cepat. Mereka tidak ada masalah.“Lalu kenapa menghubungi aku....” Hanin terlihat sebal dengan Ayesha. Tidak biasanya dia iseng begini.“Apa itu, temanmu yang EO itu, apa sudah punya penyanyi?” Sedikit belibet menyampaikannya. Hanya itu hal yang diingat Ayesha yang belum dibahasnya dalam setiap kali dia dan Hanin ngrumpi.“Oh, aku baru ingat, Sha. Dia masih nanyain
“Aduh, Nin. Gimana ini?” Ayesha jadi bingung karena Hanin menelponnya untuk mengkonfirmasi bahwa temannya yang EO itu sudah menyetujui Ayesha yang akan menjadi singer di acara yang di handle.Waktu itu, dia sedang kesal dan resah hingga tidak sengaja mengiyakan. Setelah berpikir jernih, Ayesha tentu saja tidak bisa melakukan hal itu tanpa seizin suaminya.“Gimana apanya? Kan kamu sendiri yang menyanggupinya waktu itu?” Hanin jadi keheranan dengan sikap Ayesha.“Ini sudah mepet, lho, Sha? Jangan macam-macam deh!” Hanin yang malah tegang sendiri.“O-oke, aku akan coba ngomong baik-baik ke Mas Bram, barangkali dibolehin! Aku enggak mungkin Nin bisa keluar tanpa izin Mas Bram. Kamu kan tahu sendiri kemana-mana kita dikawal!” Ayesha meminta pengertian temannya itu. Dia pasti tahulah keadaan Ayesha.“Hhg, buruan, aku tunggu ya, jangan lama-lama, biar kalau kamunya enggak jadi temanku itu bisa cari gantinya!”“Oke, Sayangku! Kau memang yang paling pengertian. Aku mencintaimu!” ujar Ayesha
Hilbram diberitahu bahwa Ayesha mendatangi lantainya saat masih ada tamu di ruangannya. Lalu dia bergegas menghubungi istrinya itu.“Ada apa tadi ke ruanganku?” tanya Hilbram. Saat itu Ayesha sudah di daycare mengunjungi Adam putranya.“Hanya ada perlu sedikit, tapi tidak apa nanti saja di rumah aku sampaikan.”“Sudah makan siang kamu?” tanya Hilbram mengingatkan Ayesha.“Sudah, Mas. Mas sudah belum?”“Ini baru mau makan siang. Nanti pulangnya dijemput supir saja, ya. Aku harus ninjau proyek bersama Taher.”“Baik, Mas!”“Adam tidak rewel ‘kan?”“Tidaklah, Papa. Adam habis makan siang sama Sus Nur, ya, Nak?” Ayesha memangku anaknya agar bisa ikut mengobrol dengan sang papa.“Papapapa...” celoteh anak itu. Membuat sang papa di seberang sana terdengar tertawa kecil.“Ya sudah, makan siang papa sudah siap. Sampai ketemu di rumah ya?”“Daah, Papa!” Ayesha memungkasi panggilan. Adam yang sudah tidak bisa lama-lama dipangku itu merosot maunya belajar merangkak.“Sebentar dong, Nak. Mama
Semalam Hilbram pulang larut saat Ayesha sudah terlelap dalam tidurnya. Jadi mereka belum membicarakan tentang apa yang ingin Ayesha sampaikan. Pagi ini kelihatannya pun suaminya tidak bisa diganggu karena Taher sudah membuatnya sibuk di ruang kerjanya dengan beberapa dokumen yang membutuhkan tanda tangannya. “Adam sudah halum?” Ayesha menimang putranya yang sudah rapi itu. “Bentar, tunggu papa dulu ya, kita berangkat bareng papa!” “Papapapap!” Adam seolah sudah tidak sabar. Melihat mamanya sudah rapi, dia tahu bahwa akan segera berangkat ke tempat bermainnya di daycare. Sedikit siang mereka baru berangkat karena Hilbram masih ada yang harus dikerjakan. Dia juga tidak mengizinkan Ayesha berangkat duluan. Jadi Ayesha harus bersabar menunggu sang suami. “Aku pikir kau sudah tidak mau ke kantor karena kejadian kemarin?” ujar Hilbram yang duduk di belakang, membiarkan Taher menyupirinya. Karena setelah ini mereka akan ke luar kota untuk sedikit urusan. “Oh, jadi Mas sudah tahu hal it
“Astaghfirullah!” Ayesha yang baru masuk benar-benar terkejut melihat beberapa orang duduk dengan serius mendengar arahan suaminya, lalu kompak menatap ke arahnya dengan tatapan yang mengerikan sekali baginya. “Maaf, aku—aku sudah salah masuk!” ujar Ayesha yang kemudian menyadari kebodohannya. Mana mungkin dia bisa salah masuk ke ruangan big bos. Mata-mata itu semakin menelanjangi dirinya. Dia benar-benar sudah gegabah. Sudah sukses membuat orang di sana menjadi semakin terheran-heran penuh hal buruk tentangnya. “Ya sudah, kalian bisa keluar dan lanjutkan pekerjaan. Aku akan mengurus karyawan yang nakal yang sudah salah masuk ruangan ini!” ucap Hilbram menahan senyum. Sementara justru membuat pikiran di kepala pegawainya itu sudah kemana-mana. Hanya bisa saling menatap dan tanpa banyak bicara bangkit keluar. Curi-curi lirik pada wanita berhijab yang berdiri canggung itu. “Jadi gosip di kantor ini benar, kalau Tuan kita memang ada affair dengan salah satu karyawan di sini?” tuka
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber