Ponsel Hilbram berdering, dan dia mengambil saja tanpa melihat siapa yang memanggilnya.Terdengar suara wanita di sana.“Hallo, Bram?” sapa itu terdengar lembut dan manis.“Siapa ini?” tanya Hilbram dingin. Di sampingnya Ayesha masih terlelap dalam tidurnya.“Haha, masa suara sepupu sendiri tidak tahu kamu?”Hilbram memijit kepalanya karena tidak suka tebak-tebakan.Dia punya dua sepupu perempuan dari dua tantenya, dan sepupu sambung dari pernikahan salah satu tantenya. Sepupu yang mana yang sedang menelponnya?Jujur, dia jarang mengenal mereka dengan baik karena kesibukan. Bertemu pun ketika momen hari besar dan berkumpul di rumah keluarga. Itu hanya sebentar. Kemudian mereka akan kembali ke dunia masing-masing.“Agnes! Waktu kecil kita sering main bareng. Tapi aku sedang menyelesaikan studiku di Australia sekarang,” Agnes menjelaskan dirinya.Hilbram mungkin lupa tentangnya karena hanya beberapa kali saja diajak ke rumah keluarga Al Faruq oleh ibu tirinya itu. Apalagi pria ini sema
Wanita itu kesal dan sebal karena terus saja didesak untuk mau dijodohkan dengan seseorang. Dia punya seorang kekasih dan sedang cinta-cintanya. Namun sang papa mengancam akan memutus keuangannya jika tidak mau melaksanakan keinginan mereka.“Dia itu pria yang dingin dan sama sekali tidak romantis. Beda banget denganmu,” tukas Agnes pada sang pacar. Namun sepertinya wajahnya terlihat santai dan datar.“Aku ini sedang kesusahan, kau malah terlihat tidak perduli? Apa kau mau hubungan kita kandas?”Pria itu hanya nyengir lalu meneguk minuman dari botolnya sampai habis.“Kaya tidak orangnya?”Justru pertanyaan itu yang didengar Agnes. Apa maksudnya?“Ren, kok malah tanya itu?”“Ya ‘kan nanya, kalau orang tuamu sampai pengen jodohin kamu, pasti pria itu kaya raya. Tahu diri lah aku, aku ini cuman mahasiswa gembel yang numpang hidup sama kamu.”“Ren, jangan bicarakan hal itu. Kamu tahu ‘kan, aku tergila-gila sama kamu! Mereka menjodohkanku dengan pria itu untuk mengambil hak waris istri pap
Karena sudah jarang turun hujan, Zain dan beberapa asisten rumah tangga sibuk menyiapkan pesta di halaman saja. Tuan dan Nyonya-nya baru mengabarkan masih dalam perjalanan. Dia berharap semua selesai tepat waktu, dan tamu undangan akan nyaman menikmati apa yang disiapkannya.“Bagaimana dengan kue dan minuman yang lain, Mo?” Zain bertanya pada rekannya itu.“Aku sudah mengkonfirmasinya ke pihak catering, besok pagi-pagi mereka sudah menyiapkannya.” Momo melaporkan.“Bagus, jangan sampai Tuan dan Nyonya komplain dengan kerja kita.” Zain memastikan.Sementara itu seorang satpam menghampiri Zain dan melaporkan bahwa ada seorang wanita yang berkeras ingin menemui Nyonya mereka.Zain berjalan untuk melihat siapa yang datang. Dia terkejut karena tahu siapa wanita itu.“Silahkan duduk, Bu!” Zain mempersilahkan tamu itu. padahal sudah dibilang tadi kalau tuan dan nyonya mereka sedang tidak ada di rumah.Zain ingat, dia kepala sekolah yang selalu menyusahkan Ayesha. Sudah bisa menebak apa tuju
Seorang pengawal menyampaikan pada Zain terkait ada gerakan yang mencurigakan saat terpantau CCTV. Ada wanita yang mengendap-endap memasukan sesuatu ke minuman yang akan disuguhkan pada tuan dan nyonya mereka. Sepertinya targetnya adalah sang nyonya. Karena Ayesha sejak awal memesan minuman tanpa soda. Namun, ternyata sang tuanlah yang meminum dari gelas yang seharusnya disediakan untuk Ayesha. Zain sudah membekuk pelakunya yang tidak lain adalah wanita yang rela sampai menginap di halaman itu. Pasti dia sudah memetakan keadaan sejak kedatangannya. Sehingga tahu pasti minuman yang akan disuguhkan pada Hilbram dan Ayesha. Dia jadi sungguh merasa lalai menjalankan s.o.p tugasnya. Seharusnya dia tidak membiarkan sembarang orang masuk apalagi sampai menginap. Rahman pasti marah besar padanya. “Bagaimana kondisi Tuan Hilbram?” Rahman terlihat cemas saat ditelpon Zain. “Sedang di observasi oleh dokter. Mudah-mudahan tidak ada yang serius, Paman!” Zain melaporkan dengan nada takut.
Mata Hilbram terbuka, menatap seseorang yang bukan istrinya dia berjingkat. “Siapa kau?” “Bram, tenanglah. Kau masih lemah, lebih baik jangan banyak gerak dulu!” Agnes menahan tubuh Hilbram dan memintanya tidur kembali. Bram menolak tangan Agnes dan memintanya menjauhinya. “Apa kau lupa? Aku Agnes, putri Mama Hamida!” Hilbram menatap Agnes dan baru teringat tentang wanita itu. Kalau dia di sini, artinya tantenya itu juga pasti bersamanya. “Mama sedang keluar sebentar.” Agnes menjawab lalu mendekati Hilbram. “Apa yang kau keluhkan?” “Aku bilang jangan sentuh aku!” “Kau ini kenapa sih, Bram? Aku ini sarjana kedokteran, hanya ingin memeriksamu. Ada apa kalau aku menyentuhmu?” Padahal tadi Agnes melihatnya bersama seorang wanita yang memeluknya. Hilbram tidak memperdulikan wanita itu dan sibuk mencari ponselnya. Namun tidak mendapatkannya. Saat itu, Hamida terlihat datang. “Ma, Bram sangat dingin sekali. Aku hanya berusaha membantunya tapi dia langsung marah-marah!” Agnes
Matahari bahkan belum terbit. Ayesha sudah berkeras ingin ke rumah sakit.Dia melihat beberapa panggilan tidak terjawab dari nomor suaminya, juga pesan-pesaan yang belum dibalasnya.Sedikit rasa bersalah membuatnya meminta Zain segera mengantarnya ke rumah sakit.“Jangan cemas, Nyonya! Paman Rahman juga sudah datang untuk menjaga Tuan, jadi lebih baik Nyonya sarapan dulu.” Zain juga harus memikirkan kebaikan sang nyonya.“Zain, aku ingin melihat suamiku. Aku belum bertemu dengannya sejak dia sadar. Kalau kau keberatan, aku bisa jalan ke pangkalan depan dan naik kendaraan umum saja.”Zain tidak bisa membiarkan sang nyonya sampai harus pergi ke rumah sakit sendiri. Apalagi mengancam naik kendaraan umum. Bisa-bisa tuannya itu akan memarahinya habis-habisan.“Baik, Nyonya!” ujar Zain kemudian mempersiapkan mobilnya.Di tengah perjalanan Ayesha mencoba menghubungi Hilbram. Tapi sejak tadi nada sibuk saja.Baiklah, seharusnya dia tenang karena akan segera sampai di rumah sakit dan bertemu
Sesampai di rumah, Ayesha membantu Hilbram beristirahat di kamar. Tubuh Hilbram terlihat masih lemas. Mungkin efek racun itu belum sepenuhnya hilang. “Obatnya harus di minum jam 12. Mas harus makan dulu sebelum minum obat.” Ayesha tidak bisa terus membisu, dia mencoba bersikap biasa. “Baiklah.” Hilbram tidak menolak. Ayesha meminta Momo menyiapakan makanan untuk Hilbram. Namun Hilbram menolak. Dia masih belum memiliki selera makan setelah harus dibersihkan pencernaannya kemarin. “Mau aku buatkan bubur?” Ayesha menawarkan lagi. “Tidak...” Hilbram ingin menolak, namun Ayesha sepertinya tidak menghiraukannya. Dia mendengar Ayesha akan membuat bubur untuknya dan bergegas ke dapur. Melihat itu, hati Hilbram merasa Ayesha masih marah padanya. Kenapa juga dia sekesal itu pada Ayesha hanya karena tidak menungguinya di rumah sakit? Sepertinya, alasannya bukan karena hal itu. Tapi lebih karena Hilbram merasa bukan sesuatu yang penting bagi Ayesha. Kenapa dia tidak mengira saja, Ayesha
Hamida dan Agnes sudah bersiap di meja makan menunggu kedatangan Hilbram.Ayesha datang terlebih dahulu karena Hilbram masih ada panggilan penting.Melihat wanita itu, Agnes memperhatikannya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Apa yang menarik dari wanita yang serba menutup dirinya itu? “Selamat malam, Tante! Selamat malam, Agnes!” tegur Ayesha pada mereka dengan sopan.Ayesha duduk dengan tenang menunggu suaminya bergabung. Niatnya tadi ingin sekedar basa-basi pada kedua wanita itu.Dia sudah menjadi anggota keluarga Al Faruq. Bagaimanapun masalah mereka, Ayesha tetap harus menyapa tantenya itu.“Bagaimana kau bisa mengenal keponakanku itu?” tanya Hamida pada Ayesha. Menatap wanita yang tampak anggun itu, dia jadi benci sendiri. “Saya guru di sekolah Yayasan Al Faruq.”Ayesha tidak mungkin menjelaskan bagaimana mereka bertemu. Lebih masuk akal jika menyampaikan bahwa dia guru di Yayasan Al Faruq. Bertemu Hilbram di sana sangatlah mungkin.Agnes terganggu dengan kenyataan bahw