Karena sudah jarang turun hujan, Zain dan beberapa asisten rumah tangga sibuk menyiapkan pesta di halaman saja. Tuan dan Nyonya-nya baru mengabarkan masih dalam perjalanan. Dia berharap semua selesai tepat waktu, dan tamu undangan akan nyaman menikmati apa yang disiapkannya.“Bagaimana dengan kue dan minuman yang lain, Mo?” Zain bertanya pada rekannya itu.“Aku sudah mengkonfirmasinya ke pihak catering, besok pagi-pagi mereka sudah menyiapkannya.” Momo melaporkan.“Bagus, jangan sampai Tuan dan Nyonya komplain dengan kerja kita.” Zain memastikan.Sementara itu seorang satpam menghampiri Zain dan melaporkan bahwa ada seorang wanita yang berkeras ingin menemui Nyonya mereka.Zain berjalan untuk melihat siapa yang datang. Dia terkejut karena tahu siapa wanita itu.“Silahkan duduk, Bu!” Zain mempersilahkan tamu itu. padahal sudah dibilang tadi kalau tuan dan nyonya mereka sedang tidak ada di rumah.Zain ingat, dia kepala sekolah yang selalu menyusahkan Ayesha. Sudah bisa menebak apa tuju
Seorang pengawal menyampaikan pada Zain terkait ada gerakan yang mencurigakan saat terpantau CCTV. Ada wanita yang mengendap-endap memasukan sesuatu ke minuman yang akan disuguhkan pada tuan dan nyonya mereka. Sepertinya targetnya adalah sang nyonya. Karena Ayesha sejak awal memesan minuman tanpa soda. Namun, ternyata sang tuanlah yang meminum dari gelas yang seharusnya disediakan untuk Ayesha. Zain sudah membekuk pelakunya yang tidak lain adalah wanita yang rela sampai menginap di halaman itu. Pasti dia sudah memetakan keadaan sejak kedatangannya. Sehingga tahu pasti minuman yang akan disuguhkan pada Hilbram dan Ayesha. Dia jadi sungguh merasa lalai menjalankan s.o.p tugasnya. Seharusnya dia tidak membiarkan sembarang orang masuk apalagi sampai menginap. Rahman pasti marah besar padanya. “Bagaimana kondisi Tuan Hilbram?” Rahman terlihat cemas saat ditelpon Zain. “Sedang di observasi oleh dokter. Mudah-mudahan tidak ada yang serius, Paman!” Zain melaporkan dengan nada takut.
Mata Hilbram terbuka, menatap seseorang yang bukan istrinya dia berjingkat. “Siapa kau?” “Bram, tenanglah. Kau masih lemah, lebih baik jangan banyak gerak dulu!” Agnes menahan tubuh Hilbram dan memintanya tidur kembali. Bram menolak tangan Agnes dan memintanya menjauhinya. “Apa kau lupa? Aku Agnes, putri Mama Hamida!” Hilbram menatap Agnes dan baru teringat tentang wanita itu. Kalau dia di sini, artinya tantenya itu juga pasti bersamanya. “Mama sedang keluar sebentar.” Agnes menjawab lalu mendekati Hilbram. “Apa yang kau keluhkan?” “Aku bilang jangan sentuh aku!” “Kau ini kenapa sih, Bram? Aku ini sarjana kedokteran, hanya ingin memeriksamu. Ada apa kalau aku menyentuhmu?” Padahal tadi Agnes melihatnya bersama seorang wanita yang memeluknya. Hilbram tidak memperdulikan wanita itu dan sibuk mencari ponselnya. Namun tidak mendapatkannya. Saat itu, Hamida terlihat datang. “Ma, Bram sangat dingin sekali. Aku hanya berusaha membantunya tapi dia langsung marah-marah!” Agnes
Matahari bahkan belum terbit. Ayesha sudah berkeras ingin ke rumah sakit.Dia melihat beberapa panggilan tidak terjawab dari nomor suaminya, juga pesan-pesaan yang belum dibalasnya.Sedikit rasa bersalah membuatnya meminta Zain segera mengantarnya ke rumah sakit.“Jangan cemas, Nyonya! Paman Rahman juga sudah datang untuk menjaga Tuan, jadi lebih baik Nyonya sarapan dulu.” Zain juga harus memikirkan kebaikan sang nyonya.“Zain, aku ingin melihat suamiku. Aku belum bertemu dengannya sejak dia sadar. Kalau kau keberatan, aku bisa jalan ke pangkalan depan dan naik kendaraan umum saja.”Zain tidak bisa membiarkan sang nyonya sampai harus pergi ke rumah sakit sendiri. Apalagi mengancam naik kendaraan umum. Bisa-bisa tuannya itu akan memarahinya habis-habisan.“Baik, Nyonya!” ujar Zain kemudian mempersiapkan mobilnya.Di tengah perjalanan Ayesha mencoba menghubungi Hilbram. Tapi sejak tadi nada sibuk saja.Baiklah, seharusnya dia tenang karena akan segera sampai di rumah sakit dan bertemu
Sesampai di rumah, Ayesha membantu Hilbram beristirahat di kamar. Tubuh Hilbram terlihat masih lemas. Mungkin efek racun itu belum sepenuhnya hilang. “Obatnya harus di minum jam 12. Mas harus makan dulu sebelum minum obat.” Ayesha tidak bisa terus membisu, dia mencoba bersikap biasa. “Baiklah.” Hilbram tidak menolak. Ayesha meminta Momo menyiapakan makanan untuk Hilbram. Namun Hilbram menolak. Dia masih belum memiliki selera makan setelah harus dibersihkan pencernaannya kemarin. “Mau aku buatkan bubur?” Ayesha menawarkan lagi. “Tidak...” Hilbram ingin menolak, namun Ayesha sepertinya tidak menghiraukannya. Dia mendengar Ayesha akan membuat bubur untuknya dan bergegas ke dapur. Melihat itu, hati Hilbram merasa Ayesha masih marah padanya. Kenapa juga dia sekesal itu pada Ayesha hanya karena tidak menungguinya di rumah sakit? Sepertinya, alasannya bukan karena hal itu. Tapi lebih karena Hilbram merasa bukan sesuatu yang penting bagi Ayesha. Kenapa dia tidak mengira saja, Ayesha
Hamida dan Agnes sudah bersiap di meja makan menunggu kedatangan Hilbram.Ayesha datang terlebih dahulu karena Hilbram masih ada panggilan penting.Melihat wanita itu, Agnes memperhatikannya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Apa yang menarik dari wanita yang serba menutup dirinya itu? “Selamat malam, Tante! Selamat malam, Agnes!” tegur Ayesha pada mereka dengan sopan.Ayesha duduk dengan tenang menunggu suaminya bergabung. Niatnya tadi ingin sekedar basa-basi pada kedua wanita itu.Dia sudah menjadi anggota keluarga Al Faruq. Bagaimanapun masalah mereka, Ayesha tetap harus menyapa tantenya itu.“Bagaimana kau bisa mengenal keponakanku itu?” tanya Hamida pada Ayesha. Menatap wanita yang tampak anggun itu, dia jadi benci sendiri. “Saya guru di sekolah Yayasan Al Faruq.”Ayesha tidak mungkin menjelaskan bagaimana mereka bertemu. Lebih masuk akal jika menyampaikan bahwa dia guru di Yayasan Al Faruq. Bertemu Hilbram di sana sangatlah mungkin.Agnes terganggu dengan kenyataan bahw
Demi tidak berlarut-larut dalam masalah hak waris, Hilbram meminta Rahman menghubungi pengacaranya dan menyegerakan untuk menuntaskan wasiat neneknya. Dia tidak mau dituduh ingin memguasai semua harta Al Faruq. Karena sejak dulu, Hilbram selalu diistimewakan dari cucu-cucu yang lain. Tak terkecuali dari anak-anak Al Faruq sendiri. Rahman paham apa yang harus dilakukannya. Dia segera menghubungi anak cucu keluarga Al Faruq agar bisa hadir untuk mendengar wasiat dari mendiang sang Nyonya Besar Al Faruq. Biasanya sangat sulit untuk mengumpulkan keluarga yang terberai itu. Tapi karena membahas tentang hak waris, mereka merespon dengan sangat cepat. “Aku malah terkejut, Hilbram sudah menikah. Dasar keponakan satu itu! Tantenya sendiri tidak di undangnya,” suara Fatma, tante Hilbram yang lain. Sepertinya bahagia sekali mendengar hak waris akan segera di bacakan. “Tuan Hilbram meminta maaf, karena tahu diri, tante-tantenya sangat repot dan tidak bisa diganggu. Jadi sekalian saja
Kedatangan anggota keluarga Al Faruq tidak berbarengan. Hamida yang terus mendesak agar pembacaan wasiat itu segera dilaksanakan, tentu datang lebih dulu di rumah keluarga. Dia datang bersama suaminya, Hardi dan juga tidak ketinggalan sang putri, Agnes.Mereka memilih beristirahat terlebih dahulu karena pembacaan wasiat itu masih nanti malam.Ayesha secara tidak langsung adalah sang Nyonya rumah, yang harus menyambut tamu-tamu keluarga. Dia sedikit bingung karena selama ini tamu yang paling agung yang disambutnya hanyalah Bu RT di perumahan.Hilbram menahan senyum mendengar ucapan istrinya itu.“Jangan becanda, Mas. Aku benar-benar tidak tahu harus bersikap bagaimana nanti?”“Tenang, aku akan selalu bersamamu!”“Apa mereka akan mengomentari penampilanku?” Ayesha jadi kurang percaya diri.Pernah dicecar Hamida dan Agnes, membuatnya meminta pendapat suaminya. Dia tidak ingin Hilbram sampai malu karena dirinya.“Kau selalu cantik, Ayesha!”Hilbram memeluk istrinya itu dan merasa baha
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber