“Lepaskan istriku!” tukas Hilbram pada Furqon.“Bisa, kalau kau tanda tangan dan lepaskan ego-mu untuk masih ingin menguasai perusahaan. Jangan kuatir, aku tidak akan membuatmu miskin. Aku akan tetap memberimu bagian yang selayaknya.”Anak buah Furqon datang meletakan dokumen yang harus di tanda tangani Hilbram di samping laptop yang terus menayangkan kamera yang menyorot istrinya itu.“Kenapa aku masih belum bisa mengerti, dari mana sikapmu berasal? Kakekku bukan pria kejam. Dia pria yang luhur dan disegani.” Hilbram sepertinya mengulur waktu berharap anak buahnya datang lebih banyak dan membantunya meringkus pria ini.Namun melihat pintu gerbang besar yang tertutup rapat itu, Hilbram mulai turun rasa optimisnya. Apalagi dia juga baru ingat, bisa jadi diantara anak buahnya masih ada sisa anak buah Rahman yang sengaja masih menyusup.Supir yang membawa Ayesha ke kebun jagung waktu itu, bukankah sebagi bukti bahwa di dalam kubunya masih disusupi penghianat, anak buah Rahman.Hilbra
“Elyas, kurang ajar kau!” Furqon melihat pria itu berdiri menantangnya. Dia sudah bergerak dengan cepat hingga saat ini sudah menodong Rahman.“Turunkan senjata kalian atau aku bunuh pria ini!” tukas Elyas dengan gerakan seolah hendak menarik pelatuk. Furqon segera menahannya dan segera meminta anak buahnya menurut.“Jangan kau coba melakukan itu pada putraku! Apa yang membuatmu membelot dariku?”Elyas menatap Ayesha yang ketakutan di pelukan suaminya. Lalu menatap pria itu lagi sambil berkata ketus, “Kau sudah dengan gila menjadikan seorang wanita dan anak kecil menjadi tawananmu. Karena itu aku membelot darimu!”“Sejak kapan kau punya hati untuk kasihan?” Furqon tidak pernah melihat sisi penyayang pria ini saat bersamanya.“Aku memang kejam, tapi itu hanya pada orang yang salah dan sepadan. Tidak pada perempuan dan anak kecil yang lemah!”“Omong kosong apa ini?” Furqon geram namun baru ingat Rahman masih dalam intimidasi Elyas.Jika itu orang lain, mungkin Rahman sudah bisa dengan
Mumpung Ayesha ditemani Hanin dan Sebastian, Hilbram menyempatkan waktu mendatangi rumah sakit tempat pria itu di rawat.Sejak mengalami penyekapan, Ayesha tidak mau ditinggal sendiri. Jadi Hilbram tidak beranjak dari sampingnya semenitpun sejak kemarin.“Bos, Tuan Elyas sudah membaik dan kini sedang proses pemindahan ke ruang perawatan.” Miko melaporkan saat Hilbram terlihat datang.“Dia masih mencariku?” Hilbram ingat, Miko mengatakan hal itu sejak semalam.“Sepertinya, Elyas hanya mengigau. Tadi saat sudah sadar aku tanyakan lagi dia bahkan tidak ingat sudah mengatakannya.”Mereka duduk sebentar di tempat sepi sambil membicarakan tentang pria itu. Miko belum sempat memberitahukan banyak tentang bagaimana pria itu bisa tiba-tiba berbalik membelanya. Bahkan rela mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan hidupnya.“Entahlah, dia tidak banyak bicara. Tapi sejak awal, dia sudah terlihat melindungi nyonya dan Adik Adam agar anak buah Furqon tidak melakukan hal buruk pada mereka,” tukas
Nada panggil tidak berhenti terdengar dari ponsel Hilbram yang sedang fokus menyetir. Dilihatnya layar sekilas untuk mengetahui siapa yang memanggil. Nama ‘istriku’ terpampang di layar yang berkedip itu.“Ini dalam perjalanan pulang, Sayang?” ujar Hilbram memasang earphone agar bisa mengangkat panggilan istrinya itu.Ayesha selalu merasa tidak aman setelah kejadian penyekapan itu, meski di sekitar rumah sudah ada beberapa penjaga yang memang ditugasi Hilbram untuk mengawasi rumahnya. Ayesha tetap merasa tidak tenang jika tanpa suaminya itu.Hilbram memilih tinggal di sebuah vila yang sedikit jauh dari keramaian, sekalian agar Ayesha bisa menenangkan dirinya dulu. Setelah menyelesaikan satu hal lagi, mereka akan memutuskan memulai perjalanan untuk berlibur.Hilbram sudah menguruskan paspor untuk anak dan istrinya itu. Tidak sabar rasanya melepaskan diri dari kesibukan kerja untuk bisa bersama anak dan istrinya sepanjang waktu bersenang-senang.“Adam anteng tidurnya?” tanya Hilbram men
Cuaca tidak terlalu panas. Angin berhembus sepoi-sepoi menerbangkan dedaunan kering, ketika Ayesha menuntun Adam yang sejak tadi sudah mau melepaskan diri untuk berlarian di tempat itu. “Biar saya jaga Adik Adam, Bu.” Nur mengikuti Adam yang tidak berhenti berlarian itu. “Sudah, biar saja. Nanti kalau sudah bosan dia akan cari kita!” Hilbram mengajak Ayesha segera menunaikan ziarahnya. Mereka membawa banyak pengawal untuk menjaga. Hilbram sudah tidak khawatir lagi. Apalagi semua sudah diclearkan. “Hati-hati ya, Nur. Jangan biarkan terlalu jauh!” Ayesha berpesan pada pengasunya itu. “Baik, Nyonya!” tukas Nur dan langsung mengejar Adam yang langsung ngibrit saat terlepas sedikit saja. Ayesha hanya menggeleng-geleng dengan anak yang aktifnya bukan main itu. Lalu mengikuti sang suami menuju makam kedua orang tuanya. Sama seperti saat mereka mengunjungi makam orang tuanya terakhir kali, ada bunga-bunga segar yang hanya terlihat di atas makam ibunya. Sementara makam ayahnya yang b
Fatma melangkah tergopoh menuju ruang kerja Rahman dan melihat pria itu ada di sana bersama pengasuh dan cucunya. Dia sedikit mewakili kecemburuan putrinya, melihat kedekatan Rahman dengan wanita yang selama ini mengasuh cucunya itu.“Ada apa?” tanya Rahman pada Fatma yang sudah begitu saja masuk ruang kerjanya tanpa mengetuk pintu. Membuat Momo jadi terkejut dan canggung bersikap.“Oh, aku pikir setelah putriku sudah merubah sikapnya dan tidak lagi berulah, kau akan meninggalkan wanita ini. Ternyata tidak!”Rahman menatap Momo dan memintanya keluar sebentar. Dia perlu berbicara dengan wanita ini.“Kau tidak ingin menyapa cucumu?” tanya Rahman melihat Fatma sedingin salju saat Momo mendorong stroler Vivian melewatinya.Fatma bergeming dan mengabaikan pertanyaan tentang cucunya itu. Dia sama sekali tidak pernah terlibat dalam pengasuhan Vivian. Jadi tidak ada ikatan batin yang terpaut pada bayi itu.“Kau seharusnya paham mengapa aku tidak meninggalkan Momo.” Rahman memilih duduk kem
Elyas terbangun di kontrakannya karena suara ketukan pintu. Dia reflek bangkit dan hendak mengambil pistolnya. Beberapa saat kemudian Elyas meletakannya lagi, dan bangkit berjalan membuka pintu itu.“Selamat pagi?” Miko bergegas masuk meski pemilik rumah belum mengizinkannya.“Keluar, Kau!” Elyas menarik lengan Miko yang ngeloyor itu. Namun pemuda nakal itu mengelak.“Tuan, bukankah kita sudah berteman? Kenapa kau tidak mengizinkanku sekedar meminta minuman di lemari es-mu?”Miko membuka lemari es dan duduk dengan santai di kursi, meneguk minuman yang baru diambilnya.“Karena aku tahu kau pasti hanya menjalankan perintah bosmu itu.” Elyas menutup lagi pintu rumahnya dan pasrah melihat Miko yang sudah duduk.“Good, kau tahu hal itu?” Miko menanggapi. Dia tidak heran bagaimana Elyas mengetahui hal itu.“Apa saja yang sudah kau dapatkan?”“Tidak banyak, aku hanya tahu bahwa nama aslimu adalah Zulkarnain.”Elyas terdiam dan sudah bisa menduganya. Namun dia hanya ingin tahu sejauh mana
Miko melempar kunci mobil yang segera ditangkap Elyas. Pria itu keheranan. “Itu mobil dari menantumu, dia juga sebenarnya sudah menyiapkan apartemen untukmu,” ujar Miko menjelaskan. “Aku tidak tertarik dengan hal itu.” “Terima saja, putrimu pasti akan marah kalau mengetahui suaminya tidak memperlakukan mertuanya dengan baik.” Elyas menatap Miko dengan raut resah. Apa Ayesha sudah diberitahu hal ini? Elyas jadi merasa cemas. “Jangan cemas begitu. Bos sepertinya tidak mengatakan apapun. Dia menunggumu berinisiatif mengatakannya sendiri pada Nyonya.” Tangan Elyas tidak berhenti mempermainkan kunci yang dipegangnya itu. Miko tahu Elyas jadi grogi setelah mendengar tentang putrinya. “Kalau saja aku tidak melakukan banyak kesalahan padanya, tentu aku sudah menemuinya, Miko. Aku malu pada diriku sendiri, aku tidak bisa...” Elyas terlihat sedih dan berkaca-kaca. Miko melihat itu. Elyas yang dingin dan bisa dikata kejam membantai musuhnya, tidak pantas sekali menangis. Elyas membaya
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber