Setelah puas menikmati pemandangan kota Zermatt dengan kereta gantung yang mengantar mereka ke Matterhorn Glacier Paradise— yang merupakan stasiun gondola tertinggi di Eropa itu, Ayesha sudah nampak tidak murung lagi.
Sayang sekali Adam tidak mau diajak dan lebih memilih bersama sang kakek pergi ke suatu tempat. Kalau tidak, mereka bisa bersenang-senang bersama.
“Kau tahu kita sekarang ada di ketinggian 3.883 meter di atas permukaan laut? Kita ada di puncak gunung Alpen. Kalau cuaca mendukung kita bisa melihat banyak pemandangan indah di sini. Sayang kau sedang hamil, jadi aku tidak bisa mengajakmu bermain ski dan snowboard di sini.”
Hilbram menggandeng tangan Ayesha dan mengajaknya ke sebuah kabin yang masih ada di sekitar stasiun itu. Kabin-kabin itu dilengkapi dengan lantai kaca yang memungkinkan bisa melihat pemandangan gletser dari bawah kaki mereka.
Ayesha terkagum-kagum dengan apa yang d
“Sayang, ada panggilan!”Ayesha mengingatkan suaminya di sela kegiatan intim mereka yang baru saja dimulai.“Iya, nanti saja. Aku sudah merindukanmu,” bisik Hilbram sambil membaluri sang istri dengan ciuamannya.Suara panggilan itu terhenti seolah memberikan kesempatan pada dua insan itu untuk memadu cinta kasih. Suara desah tercipta semakin membangkitkan gelora hasrat yang masih juga membara, meskipun saat ini Ayesha sedang berbadan dua.“Katakan kalau kau merasa tidak nyaman,” tutur Hilbram saat memasuki sang istri.“Tidak apa, Mas. Aku baik-baik saja,” Ayesha yang juga menikmati sensasi itu tidak mau begitu saja mengakhirinya. Dia juga merindukan sang suami.“Dulu, saat hamil Adam, aku terkadang merindukan Mas Bram, namun hanya bisa menangis seorang diri,” cerita Ayesha selesai kegiatan intim mereka.“Maafkan aku!” ujar Hilbram memeluk istrinya dan menciumi puncak kepalanya. Teringat lagi bahwa semua itu terjadi karena ulah Rahman. Dia sudah memiliki rencana untuk menghukum pria
“Kalian ada di Kota Zurich?”Ketika Miko menyampaikan bahwa sudah bersama Adam di salah satu kota terpenting di Negara Switzerland itu, Hilbram merasa begitu lega.“Benar, Bos. Aku mendapat pesan dan panggilan dari seseorang untuk menjemput Adam di kota ini.”“Adam tidak bersama kakeknya?”“Aku tidak bertemu dengan Tuan Elyas, dia menitipkan Adam pada temannya saat bertemu di stasiun Kota Visp. Temannya itu mengatakan, Tuan Elyas ada urusan penting dan memberikan nomor ponselku juga nomor ponsel Anda pada pria itu.”“Astaga!” Hilbram mendegus antara lega dan risau. Membayangkan bagaimana sang putra harus bersama pria asing di tempat asing pula. Banyak kemungkinan buruk yang mungkin saja bisa terjadi pada putranya itu.“Bagaimana kondisi Adam sekarang?” Hilbram tidak berhenti mencemaskan Adam.“Dia baik, tidak ada hal yang membuatnya
Taher barusan menyampaikan bahwa melihat Fatma ada di pinggir jalan layaknya seperti pengemis sedangkan tentang keberadaan Thalita masih belum ada yang mengetahui.Taher mencoba meminta seorang anak buahnya untuk menyamar menjadi pegawai di rumah Rahman dan mendapatkan informasi bahwa salah satu wanita di rumah itu ada yang dibawa mobil rumah sakit jiwa atas permintaan penghuni di rumah itu.Dia belum mengechek kebenarannya, tapi sudah melaporkannya ke Hilbram.Awalnya Hilbram sudah tidak lagi memperdulikan mereka setelah apa yang dua wanita itu lakukan pada istri dan anaknya.Namun, mendengar dari Taher bahwa orang Rahman dengan sengaja membuat keluarga Al Faruq menjadi pengemis dan gelandangan, harga dirinya sebagai pewaris Al Faruq terusik.Hilbram merasa malu pada leluhurnya yang mempercayakan tanggung jawab ini di pundaknya.Dia menjadi resah mondar-mandir memikirkan dan memperhitungkan bany
“Ada apa, Nyonya?” Miko mencoba menggedor pintu kamar sang nyonya karena mendengarnya berteriak.Ayesha berkeringat dingin dan masih mendengar suara pria itu di seberang sana. “Kau mau Ayahmu mati untuk ke dua kalinya?”“Nyonya, kalau nyonya tidak membuka pintu aku minta izin untuk mendobraknya.” Miko terdengar berteriak dari luar.Ayesha yang bingung mencoba menenangkan diri terlebih dahulu. Dia memang tidak tahu apa mau pria peneror ini. Tapi dia harus menyahuti Miko dulu agar tidak merasa cemas.“A-aku tidak apa-apa, Miko. Maaf, tadi hanya sedikit ada masalah tapi sudah bisa diatasi,” teriak Ayesha balik pada Miko agar tidak mendobrak pintunya.“Baiklah, Nyonya!” sahut Miko yang kemudian sudah tidak lagi terdengar ribut di luar.Barulah Ayesha kembali memberanikan diri menguping benda pipih itu. Sepertinya pria di ujung sana terkekeh. Sungguh terdengar sangat misterius.“Aku tahu kau anak yang baik, jadi bagaimana?” suara itu bertanya.“Apa maumu dan siapa kau?” Ayesha menco
“Braaaam!!!” Isaknya merangkak pada keponakannya dan langsung memeluknya erat saat sudah ada di jangkauannya.Hilbram tampak terenyuh dan terluka melihat tantenya—putri dari keluarga Al Faruq sampai harus terbuang di jalanan dalam kondisi yang menyedihkan. Dia segera menggendong tantenya itu ke dalam mobil.“Tenanglah, Tante. Aku akan mengajakmu pulang.” Hilbram menenangkan wanita yang masih merapatkan pelukannya itu saat sudah di mobil. Sementara Hilbram harus menyetir.“Tolong, Bram. Tolong lindungi aku. Aku minta maaf. Aku mengaku salah. Hukumlah aku, tapi jangan biarkan aku menjadi pengemis dan gelandangan. Maafkan aku, Bram!” Fatma seolah menyadari bahwa selama ini telah dengan bodohnya terbujuk Rahman yang munafik itu.“Kalau Tante mau cepat pergi dari tempat ini, biarkan aku menyetir dulu,” ujar Hilbram pada Fatma yang masih menahan lengan Hilbram dengan erat.&l
“Miko, bagaimana?”Hilbram seperti orang gila terus menghubungi Miko yang belum juga memberikan kabar tentang istrinya.“Bos, segala tempat sudah kami sisir sesuai petunjuk yang ada, tapi kami belum menemukan Nyonya.” Terdengar suara Miko yang terlihat begitu bersalah.“Miko, aku sudah memintamu menjaga istriku. Apa itu sulit bagimu?”Hilbram tampak tidak berdaya. Dia sudah mengusahakan penerbangan ke Swiss tapi masih harus menunggu beberapa persiapan dan tidak bisa memaksakannya. Lagi pula perjalanan dari Kota Surajaya ke Swiss memakan waktu hampir sehari semalam. Percuma jika dia pergi ke sana saat ini. Dia tidak akan bisa bergerak cepat untuk menyelamatkan sang istri.“Maafkan kami. Saat ini kami juga sedang mengusahakan yang terbaik termasuk melibatkan keamanan di negara ini.”“Apa yang harus aku lakukan, Miko...” suara Hilbram seolah terdengar putus asa. Kakinya lemas membayangkan sang istri kenapa-kenapa.Sungguh, Rahman memang benar. Dia hanya bisa menyerang Hilbram dengan m
“Kami sudah melakukan pemeriksaan menyeluruh, putri Anda tidak sedang mengalami luka pemerkosaan. Hanya beberapa luka penyiksaan yang mungkin dia dapatkan saat mencoba mempertahankan diri dari para penjahat itu,” terang dokter pada Elyas yang sejak seharian tidak bisa tenang menunggu hasil pemeriksaan Ayesha.Dia bersyukur datang tidak terlambat. Masih bisa menyelamatkan harga diri sang putri dari para pria yang tidak beradap itu.“Bagaimana dengan kandungannya?” Elyas tidak lupa menanyakan hal itu mengingat putrinya sedang hamil.“Kami belum bisa memastikan, kita observasi lagi nanti. Namun sejauh pemeriksaan tidak ada hal yang buruk terlihat dari kandungannya.”Elyas bernapas lega. Putri dan calon cucunya masih baik-baik saja. Dia harus benar-benar berterima kasih pada sang pencipta, karena putrinya masih dilindungi.“Apakah dia sudah bisa ditemui?”Elyas tidak sabar ada d
“Aku mengurus banyak hal dengan segera saat balik ke Indonesia agar lekas bisa kembali, aku harap kau bisa mengerti apa yang aku lakukan. Maafkan aku!” Dengan suara bergetar Hilbram menyampaikan ungkapan hatinya pada Elyas dan meminta maaf sekali lagi.Hilbram sadar diri. Dia tidak mengelak jika memang harus disalahkan. Dia meminta maaf pada ayah sang istri karena tidak bisa menjaga putrinya dengan baik.Bukan hanya Ayesha yang saaat ini psikologisnya terganggu. Jika bukan karena dia harus tetap terlihat baik-baik saja untuk semuanya, mental Hilbram jauh lebih hancur.Pria mana yang sanggup mengetahui wanita yang dicintainya harus mengalami hari yang naas ini. Yang harus dilecehkan dengan sepengetahuannya tanpa dirinya bisa melakukan apapun.Kalau dia menangis, maka air matanya yang keluar adalah darah dari luka batin yang entah apa bisa disembuhkan begitu saja.“Aku harus bagaimana?” ucapnya bergetar menahan p