“Braaaam!!!” Isaknya merangkak pada keponakannya dan langsung memeluknya erat saat sudah ada di jangkauannya.Hilbram tampak terenyuh dan terluka melihat tantenya—putri dari keluarga Al Faruq sampai harus terbuang di jalanan dalam kondisi yang menyedihkan. Dia segera menggendong tantenya itu ke dalam mobil.“Tenanglah, Tante. Aku akan mengajakmu pulang.” Hilbram menenangkan wanita yang masih merapatkan pelukannya itu saat sudah di mobil. Sementara Hilbram harus menyetir.“Tolong, Bram. Tolong lindungi aku. Aku minta maaf. Aku mengaku salah. Hukumlah aku, tapi jangan biarkan aku menjadi pengemis dan gelandangan. Maafkan aku, Bram!” Fatma seolah menyadari bahwa selama ini telah dengan bodohnya terbujuk Rahman yang munafik itu.“Kalau Tante mau cepat pergi dari tempat ini, biarkan aku menyetir dulu,” ujar Hilbram pada Fatma yang masih menahan lengan Hilbram dengan erat.&l
“Miko, bagaimana?”Hilbram seperti orang gila terus menghubungi Miko yang belum juga memberikan kabar tentang istrinya.“Bos, segala tempat sudah kami sisir sesuai petunjuk yang ada, tapi kami belum menemukan Nyonya.” Terdengar suara Miko yang terlihat begitu bersalah.“Miko, aku sudah memintamu menjaga istriku. Apa itu sulit bagimu?”Hilbram tampak tidak berdaya. Dia sudah mengusahakan penerbangan ke Swiss tapi masih harus menunggu beberapa persiapan dan tidak bisa memaksakannya. Lagi pula perjalanan dari Kota Surajaya ke Swiss memakan waktu hampir sehari semalam. Percuma jika dia pergi ke sana saat ini. Dia tidak akan bisa bergerak cepat untuk menyelamatkan sang istri.“Maafkan kami. Saat ini kami juga sedang mengusahakan yang terbaik termasuk melibatkan keamanan di negara ini.”“Apa yang harus aku lakukan, Miko...” suara Hilbram seolah terdengar putus asa. Kakinya lemas membayangkan sang istri kenapa-kenapa.Sungguh, Rahman memang benar. Dia hanya bisa menyerang Hilbram dengan m
“Kami sudah melakukan pemeriksaan menyeluruh, putri Anda tidak sedang mengalami luka pemerkosaan. Hanya beberapa luka penyiksaan yang mungkin dia dapatkan saat mencoba mempertahankan diri dari para penjahat itu,” terang dokter pada Elyas yang sejak seharian tidak bisa tenang menunggu hasil pemeriksaan Ayesha.Dia bersyukur datang tidak terlambat. Masih bisa menyelamatkan harga diri sang putri dari para pria yang tidak beradap itu.“Bagaimana dengan kandungannya?” Elyas tidak lupa menanyakan hal itu mengingat putrinya sedang hamil.“Kami belum bisa memastikan, kita observasi lagi nanti. Namun sejauh pemeriksaan tidak ada hal yang buruk terlihat dari kandungannya.”Elyas bernapas lega. Putri dan calon cucunya masih baik-baik saja. Dia harus benar-benar berterima kasih pada sang pencipta, karena putrinya masih dilindungi.“Apakah dia sudah bisa ditemui?”Elyas tidak sabar ada d
“Aku mengurus banyak hal dengan segera saat balik ke Indonesia agar lekas bisa kembali, aku harap kau bisa mengerti apa yang aku lakukan. Maafkan aku!” Dengan suara bergetar Hilbram menyampaikan ungkapan hatinya pada Elyas dan meminta maaf sekali lagi.Hilbram sadar diri. Dia tidak mengelak jika memang harus disalahkan. Dia meminta maaf pada ayah sang istri karena tidak bisa menjaga putrinya dengan baik.Bukan hanya Ayesha yang saaat ini psikologisnya terganggu. Jika bukan karena dia harus tetap terlihat baik-baik saja untuk semuanya, mental Hilbram jauh lebih hancur.Pria mana yang sanggup mengetahui wanita yang dicintainya harus mengalami hari yang naas ini. Yang harus dilecehkan dengan sepengetahuannya tanpa dirinya bisa melakukan apapun.Kalau dia menangis, maka air matanya yang keluar adalah darah dari luka batin yang entah apa bisa disembuhkan begitu saja.“Aku harus bagaimana?” ucapnya bergetar menahan p
Suara burung berkicau saling bersahutan di antara gemericik air sungai yang mengalirkan kejernihan dan keteduhan. Melenakan wanita itu dalam meditasinya. Sinar mentari pagi yang lembut menyapu wajah cantik itu hingga terlihat laksana emas yang berkilauan.Pengantar surat itu terpana menatap pemandangan itu dari depan pagar kayu, hingga lupa tidak memencet bel karena terpukau dengan apa yang dilihatnya.“Mau apa?” suara itu membuat sang pengantar surat terkejut.“Hehe, anu—anu, Pak. Wonten surat saking baai desa kangge bapak Elyas. Leres njih niki Pak Elyas?” Elyas bukan orang keturunan jawa asli. Jadi tidak paham dengan bahasa pria itu.“Bisa Bahasa Indonesia?” tanya Elyas pada pria itu. Di atas saku kemejanya ada name tag dengan tulisan Waluyo.“Oh, bisa, Pak!” sahut pria itu.“Baiklah Pak Waluyo, tolong ulangi kata-kata yang tad
“Hati-hati, Sha. Kandunganmu sudah besar. Jangan kelelahan!” pesan Elyas sesampai mengantar Ayesha di tempatnya mengajar.“Baik, Ayah,” tukas Ayesha sambil mencium tangan ayahnya.“Jam 12 Ayah sudah jemput kamu.” Elyas memastikan agar Ayesha merasa nyaman. Hal itulah yang selama ini dilakukannya agar putrinya merasa aman dan tidak kembali dirundung kecemasan yang membuat traumanya muncul kembali.“Iya, Ayah. Terima kasih!” Ayesha mengulas senyum. Dia sudah merasa baik-baik saja sekarang karena ayahnya itu sudah berhasil meyakinkannya untuk bisa menyingkirkan perasaan was-wasnya. Ayesha reflek mengelus perutnya yang membuncit itu. Sudah tujuh bulan dan dua bulan ke depan dia akan melahirkan.Terkenang kembali bagaimana dulu dia berjuang melahirkan Adam seorang diri tanpa sosok suami. Saat ini, Ayesha juga akan menjalani masa persalinan anak keduanya tanpa suaminya.
“Kau bilang sama Ayah kau sudah mengikhlaskan semua yang terjadi. Apa yang masih memberatkanmu?”Elyas mencoba membimbing pemikiran Ayesha agar tidak terlalu menurutkan perasaannya. Dia juga harus memikirkan banyak hal dari sikap yang akan ditimbulkannya.Sebagai orang tua, dia tidak ingin ada penyesalan saat putrinya mengambil keputusan besar dengan hanya berdasarkan emosi sesaat. Ini bukan hanya tentang masa depannya, tapi juga masa depan anak-anak mereka.“Ayah tidak akan menekanmu, Nak. Ayah tidak akan memaksamu untuk mengikuti saran Ayah. Tapi sebagai orang tua, izinkan Ayah menasehatimu. Sebelum memutuskan perkara besar, bicarakan dulu baik-baik dengan Hilbram. Kalian harus saling memahami apa yang membuat keputusan itu diambil. Agar kalian bisa mengakhiri dan menjalani semua ini dengan baik selanjutnya.” Sudah sejak sebulan yang lalu ketika Ayesha menyatakan mengikhlaskan apa yang terjadi padanya, putrinya
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber