Hilbram melenguh karena lagi-lagi Ayesha membahas tentang Thalita. Dia mengendurkan ikatan dasinya dan duduk di kursi depan ruang rawat Adam. Nampak lelah sekali dengan hal-hal yang akhir-akhir ini membebani pikirannya.“Aku minta maaf, Sha. Jangan marah padaku, ya?” Hilbram akhirnya mengalah dan merendahkan hatinya untuk meminta maaf pada istrinya itu. Dia tidak suka melihat istrinya terus menjauhinya.Adam sudah tidur, begitu pun pengasuhnya. Melihat suaminya datang dan merasa bersalah, Ayesha tidak sampai hati menolaknya.“Kita bicara di luar saja, Mas. Adam baru saja tidur.” Ayesha bangkit berjalan keluar. Hilbram membuntutinya.Mereka memilih duduk di taman rumah sakit yang tidak jauh dari ruang rawat inap Adam. Di sini, Ayesha tidak harus menahan suaranya kalau saja tiba-tiba nanti harus berdebat dengan suaminya itu. Karena, Ayesha ingin menanyakan apa yang sudah dikatakan Thalita tadi siang padanya.Taher datang membawakan roti dan minuman untuk tuan dan nyonya-nya. Melihat it
“Aku boleh keluarin apa saja yang selama ini buat aku tidak terima dan sakit hati, enggak, Mas?” Ayesha masih menggunakan etika untuk meminta izin. Hilbram mengangguk. “Thalita itu suka sama Mas, dia tidak bisa hanya dianggap sepupu biasa. Bahkan Mas pernah menikahinya!” Hilbram hendak protes dengan pengulangan pembahasan itu lagi, namun Ayesha segera mengangkat tangan sebagai kode agar dia diberi waktu untuk menyelesaikan ucapannya. “Sepanjang hari selalu mencoba mengungkit semua hal tentang kedekatan kalian selama ini, sekedar ingin membuatku sakit hati” “Itu kamu tahu kalau dia hanya ingin buat kamu sakit hati. Jangan diladenin!” “Enggak bisa, Mas! Gimana enggak ngeladenin kalau apa yang dikatakannya ternyata benar. Mas sendiri yang terus bilang tidak-tidak pada akhirnya juga mengaku ‘kan?” “Mas bahkan tidak menjelaskan tentang pembalut itu, tentang betapa kau mencemaskannya, tentang dia yang kau biarkan tinggal serumah dengan wanita yang tentu hatinya akan sakit melihat si
“Mas sudah, aku capek lho!” Ayesha menolak kehadiran Hilbram yang tiba-tiba masuk ke kamar mandi dan kembali mencumbuinya di bawah shower.Pria itu tidak membiarkan istrinya membersihkan diri dulu, karena beban di bawah tubuhnya masih butuh untuk dilepaskan.Dia langsung mengangkat tubuh polos yang sudah basah itu kembali ke ranjang untuk mengeluarkan isi di sela selangkangannya.Ayesha tentu pasrah dan membiarkan saja suaminya itu melakukannya.Tubuhnya sudah lemah dan dia sungguh tidak berdaya sekedar menolak suaminya.Saat membuka bibirnya sekedar ingin memohon agar disudahi kegiatan mereka, pria yang bengis itu malah menyumpalinya dengan ciuman-ciumannya.❤️❤️❤️“Apa maksudmu, Taher?” Thalita nampak murka ketika Taher memintanya segera bersiap untuk ke Kota Pusat.“Tuan Bram memerintahkan hal itu, Nona. Kami sudah menyiapkan penerbangan untuk Nona ke Kota Pusat.” Taher menjelaskan pada Thalita.“Mana dia? Kenapa tidak berani sendiri yang memintaku pergi?”Thalita tidak mengindahka
Thalita mendengar Taher menelpon Hilbram untuk mengadukannya. Dia jadi kesal sekali dengan Hilbram karena beraninya hanya menyuruh asistennya itu yang memintanya keluar dari rumah ini. Bilang saja dia tidak tega melihatnya menangis-nangis.Bagaimanapun juga, Thalita tidak mau pergi dari rumah ini. Orang tuanya hanya memikirkan dirinya sendiri, lalu pria yang statusnya sebagai suaminya pun bahkan tega memukulinya demi selingkuhannya itu.Hanya Hilbram yang dia punya saat ini. Thalita tidak mau kehilangan perhatiannya.Dia harus memikirkan cara agar Hilbram tidak akan memintanya pergi. Sekilas dia melihat kotak makanan di meja. Ada tulisan sea food. Dia punya alergi dengan segala macam sea food. Thalita jadi punya ide.Ditolehnya ke kanan dan ke kiri, lalu dengan cepat disambarnya kotak makanan itu dan langsung dibawanya ke kamar.“Makananku mana?” Salah seorang satpam mencari-cari makanannya.Dia melihat Taher yang berjalan mendekat dengan penuh selidk.“Ada apa melihatku begitu?” Ta
Hilbram meminta Nur membawa Adam ke mobil dulu. Sudah ada Taher dan Miko menunggu mereka di luar. Dia menarik lengan istrinya itu dengan lembut untuk meminta pengertian. “Kau lihatlah kondisi Thalita, dia dirawat di rumah sakit ini juga. Nanti kalau sudah sehat, aku akan memintanya ke Kota Pusat,” ucap Hilbram membujuk. Berharap Ayesha memahami kondisi inii. Hilbram yakin setelah Ayesha melihat kondisi Thalita, dia tidak akan tega meminta Thalita pergi. Ayesha melihat raut serius di wajah suaminya itu. Dia jadi penasaran separah apa kondisi Thalita? “Dia kenapa, Mas?” tanya Ayesha melihat Thalita yang sampai harus dibantu tabung oksigen untuk bernapas. “Dokter bilang Alergi. Napasnya sesak dan seluruh tubuhnya bengkak. Barusan dia diberi obat penenang jadi baru bisa tidur.” Kalau tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa menyedihkannya keadaan Thalita, Ayesha mungkin masih tidak percaya. Dia jadi merasa bersalah sudah seburuk itu berpikir tentang Thalita. “Adam sudah
Suara Adzan dari mushola yang tidak jauh dari rumahnya menggugahnya dalam lelap tidur yang sepertinya baru saja dia memejamkan matanya.Saat merasakan tubuhnya terasa berat dalam pelukan seseorang, Ayesha membuka matanya dan melihat pria yang tampak sangat lelah ada di sampingnya. Sejak kapan suaminya itu datang?“Mas, aku mau sholat” ujar Ayesha yang tidak berhasil bangkit karena tangan Hilbram menarik tubuhnya kembali ke dekapannya.“Ya, bentar lagi, aku masih ngantuk!” tukas Hilbram dengan suara bantalnya mendekap Ayesha yang mencoba melepaskan diri itu.Ayesha akhirnya menunggu sebentar sampai pria ini melepaskannya. Dia juga masih mengantuk, tapi sudah tidak bisa mencoba memejamkan matanya. Hanya bisa menatapi wajah tampan yang masih anteng dalam pejaman matanya itu. “Jam berapa Mas pulang?” tanya Ayesha sambil membelai wajah itu dengan lembut.“Jam dua mungkin?” jawab Hilbram lebih terdengar sebagai gumaman.“Nunggu di rumah sakit?” tanya Ayesha lagi.Dia tahu, meski terlelap
“Tuan, Nona Thalita sudah dibawa pulang dan Nyonya Fatma juga sudah dijemput. Kondisi rumah Kota Pusat masih dalam renovasi, jadi belum layak untuk ditempati.” Taher melaporkan pada sang Tuan. Meski tahu ada sang nyonya di sampingnya.Ayesha menatap Taher yang berlalu setelah menyampaikan hal itu. Dia berpikir seolah pria itu sengaja menjelaskan tentang kondisi rumah Kota Pusat di hadapannya agar dirinya bisa memaklumi kalau Thalita tidak bisa pergi ke sana saat ini.“Kenapa rumah di Kota Pusat direnovasi?” tanya Ayesha kemudian meminta penjelasan. Padahal sebelumnya tidak ada sesuatu hal.“Kau mengira aku yang meminta itu agar Thalita tidak di antar ke sana?” Hilbram mulai merasa Ayesha sangat menyebalkan dengan terus mencurigainya.“Mas sakit hati sekali sepertinya?” Ayesha merasa suaminya dengan terang-terangan menunjukan rasa sebalnya.“Bukan begitu, Sayangku...” Hilbram segera menyadari sudah kelepasan salah bersikap.“Aku ‘kan sudah bilang tidak masalah juga Thalita tinggal d
Panggilan dari Ayesha membuat Hilbram teralihkan dari fokus pekerjaannya. Dia menyambar ponsel di meja kerjanya.“Iya, Sayang?” ujar Hilbram cepat, berharap istrinya itu berubah pikiran dan memintanya menjemputnya.“Aku hanya minta waktu sebentar, Mas. Kenapa masih mengirim orang mengawasiku? Tidak enak dengan Hanin sekeluarga yang kalau tahu merasa privasinya terganggu!”“Apa?” Hilbram terkejut Ayesha bahkan tahu hal itu.Hilbram tahu, Ayesha memang wanita cerdas, dia cepat sekali menghafal semua tentang dirinya. Sepertinya dia harus hati-hati dengan langkahnya.“Aku tidak bisa membiarkan anak dan istriku dalam bahaya, Sayang! Kau sudah tidak bersamaku, jadi aku tidak bisa tenang memikirkan kalian.” Hilbram dengan terpaksa mengakuinya. Saat panggilan diakhiri, Hilbram sambil keheranan menatap Miko. Raut kesal nampak juga di wajahnya.“Anak buahmu tidak profesional sekali. Istriku sampai tahu ada orang yang mengintainya.”“Benarkah?” Miko juga jadi keheranan. Sejeli apa nyonyanya
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber