[Aku pernah berhasil menghabisi Kirana. Bukan persoalan sulit menghabisi kalian semua. Ingatlah, tidak akan ada yang percaya padamu!]Pesan itu dikirim oleh nomor asing. Tidak ada juga nama sang pengirim di sana. Namun, Syera bisa menebak siapa pengirimnya. Siapa lagi kalau bukan Faisal Adiwijaya. Seseorang yang telah menyebabkan seluruh kekacauan ini. Syera mencengkram ponselnya tanpa sadar. Ia tahu Faisal bukan hanya memberi ancaman belaka. Pria paruh baya itu akan merealisasikannya jika dirinya berani melawan. Faisal jauh lebih berbahaya dari suaminya. Kirana pasti mendapat ancaman-ancaman seperti ini juga sampai membuat wanita itu ketakutan. Entah apa salahnya sampai dirinya juga harus menerima teror yang sama. Padahal ia tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga Kirana. “Kenapa kamu malah diam? Sebenarnya apa? Jangan menggantung kata-katamu. Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?” desak Tama dengan mata memicing. Syera tertawa kaku. “Ya ampun, apa Mas tidak bisa berhenti be
“Kebetulan sekali kamu yang membukakan pintu. Bagaimana kabarmu?” Faisal yang melipat tangan di depan dada dan menyeringai ke arah Syera. Jemari Syera yang masih menyentuh gagang pintu gemetar tanpa bisa dicegah. Namun, sepersekian detik kemudian ekspresinya berubah. Ketakutannya berganti dengan sorot tajam dan tangan mengepal. Bak siap memberikan bogem mentah, Meski sudah jelas ia tidak akan melakukan itu. Syera tak menyangka jika tamu yang datang pagi-pagi begini adalah sosok yang sangat ia hindari. Sebelum kejadian di pesta itu terjadi, dirinya pasti akan menyambut kedatangan Faisal dengan senang hati. Namun, ia tidak akan beramah tamah lagi dengan seseorang yang tidur andil menghancurkan hidupnya. “Apa lagi yang Anda inginkan?!” desis Syera penuh penekanan. Namun, ia masih menjaga nada bicaranya agar tidak terdengar oleh orang lain. Faisal terkekeh pelan. “Santai saja. Saya tidak akan melakukan kejahatan di sini. Dan urusan saya dengan suamimu, bukan denganmu. Bisa kamu pa
“Bukannya tadi Mas bilang kita akan makan di luar? Kenapa malah ke sini?” sembur Syera spontan dengan alis menukik. “Aku mau pulang saja. Kalau Mas mau masuk ke sana, silakan. Aku bisa pulang naik taksi.”Syera merasa dibohongi oleh suaminya. Kalau tahu lelaki itu akan mengajaknya ke tempat ini, lebih baik ia tidak perlu ikut. Bukan karena dirinya takut bertemu Faisal atau Viandra. Tetapi, baginya mendatangi acara keluarga itu hanyalah membuang waktu. Sejak awal Syera sudah heran karena Tama malah menitipkan Elvina pada Utari bukannya mengajak bocah itu ikut serta. Padahal, biasanya Elvina selalu diajak jika mereka makan malam di luar. Ternyata Tama memang bukan mengajaknya makan di luar. Tama langsung menarik tangan Syera yang hendak membuka pintu mobil.“Tunggu dulu. Kamu tidak boleh pergi sendirian. Apa kamu tidak ingat apa yang terjadi beberapa hari lalu? Aku berjanji kita tidak akan lama-lama di sini.”Syera berdecak kesal. Justru berada di sini malah semakin berbahaya. Ini
Darah yang masih saja mengalir dari tangan Tama membuat Syera tak berhenti gemetar di tempat duduknya. Ia hampir menangis melihat suaminya terluka karena menyelamatkannya. Wanita itu bersikukuh ingin Tama dibawa ke rumah sakit, namun sang suami malah menolak dengan dalih ini hanya luka kecil. Tangan Tama memang hanya mengalami lecet karena terkena pecahan gelas yang Faisal lemparkan tadi. Namun, darah lelaki itu masih saja keluar padahal Syera sudah berusaha membersihkan dan menghentikan pendarahannya. “Mas, lebih baik kita ke rumah sakit sekarang, darahnya banyak sekali. Aku yakin lukanya pasti cukup dalam.” Syera kembali melontarkan permohonan dengan suara memelas dan mata berkaca-kaca. “Aku baik-baik saja. Biarkan aku saja yang mengobati luka ini, nanti juga darahnya akan berhenti sendiri “ Tama hendak mengambil kapas alkohol di tangan Syera, namun langsung dicegah oleh sang empunya. Meskipun dengan tangan sedikit gemetar, Syera tetap memaksakan mengobati Tama. Lelaki itu t
Syera terduduk di kursi dengan isak tangis tertahan. Sedangkan Tama langsung pergi setelah mengatakan kalimat menusuk itu. Padahal ini yang dirinya inginkan, tetapi ketika lelaki itu yang mengatakannya, entah kenapa terasa sangat menyakitkan. Syera membiarkan tangisnya terus bercucuran hingga ia merasa puas. Nyatanya, hingga air lelehan air matanya kembali mengering pun, sesak yang membelenggu dadanya tak kunjung berkurang. Membayangkan harus pergi setelah melahirkan darah dagingnya sendiri membuat hatinya tersayat-sayat. Wanita itu memilih tidak melanjutkan kegiatan masaknya yang belum rampung. Keinginannya untuk melanjutkan kegiatannya telah sirna. Ia pun belum berminat untuk mengisi perutnya yang mendadak terasa kenyang. “Nyonya, biar saya saja yang membersihkan pecahan gelasnya.” Ketika Syera hendak berjongkok dan membersihkan pecahan gelas yang Tama lempar tadi, seorang pelayan tiba-tiba mencegah. “Tuan mengatakan lebih Anda kembali ke kamar. Sarapan Anda akan diantarkan.” Pel
Syera mengerang kesakitan sembari mencengkram lengan suaminya. Air matanya sudah bercucuran dengan isakan yang semakin lama semakin kuat. Namun, sang suami yang tampaknya sudah tertidur nyenyak tak menyadari hal itu. Sedari tadi Syera tak bisa tidur. Perutnya sudah tidak nyaman sejak beberapa jam lalu. Tadinya ia hanya mengabaikan dan menganggap sakit itu akan menghilang dengan sendirinya. Namun, bukannya berkurang, nyeri itu malah semakin terasa. “M-mas bangun!” Syera sengaja mencengkram lengan sang suami lebih kuat dan berharap lelaki itu segera bangun. “Mas, kumohon bangun!” Isak tangis Syera mulai mengusik tidur Tama dan membuat lelaki itu sontak terbangun. Kantuknya langsung menghilang seketika melihat sang istri yang sedang kesakitan. Lelaki itu nyaris melompat dari ranjang karena terkejut. “Kamu kenapa? Apa kamu akan melahirkan sekarang?” tanya Tama dengan kepanikan yang sangat ketara dari suaranya. Ekspresi datar dan tenang yang biasanya selalu menghiasi wajah lelaki itu me
Sisa tenaga yang berusaha kumpulkan sejak tadi langsung lenyap tak berbekas. Jika tak berpegangan pada gagang pintu, mungkin tubuhnya yang lemas telah meluruh ke lantai. Air matanya langsung meluncur tanpa bisa dicegah. Tak apa ia diminta pergi setelah ini, akan tetapi didinya tidak mau disamakan dengan wanita bayaran. Syera sempat berharap Tama akan melupakan sejenak tentang pengusirannya. Namun, ternyata malah Rebecca yang mengingatkan lelaki itu. Jika sudah begitu, bisa dipastikan setelah ini dirinya akan benar-benar diusir. Sepersekian detik berikutnya Syera langsung menghapus air mata yang membasahi wajahnya. Dengan segenap keberanian yang dimilikinya, wanita itu memberanikan diri membuka pintu ruang perawatannya. Namun, langkahnya langsung dihalangi oleh dua penjaga yang berdiri di depan ruangan tersebut. “Nyonya, lebih baik Anda beristirahat di dalam. Tuan Tama akan marah besar jika tahu Anda keluar tanpa izinnya,” tutur salah satu dari penjaga itu. “Jika Anda membutuhkan
Tama bangkit dari posisinya dan melangkah mendekati Syera dengan tatapan penuh perhitungan. “Kenapa kamu menanyakan pendapatku? Kalau aku sependapat dengan Mama memangnya kamu mau pergi sekarang, hm?”“Aku hanya bertanya. Mas tinggal menjawab, bukan malah balik bertanya. Aku sedang serius, Mas!” balas Syera setengah menggerutu. Ia lupa kalau suaminya itu selalu saja membalikkan pertanyaannya dalam hal apa pun. Tama menarik kursi di samping brankar sang istri dan duduk di sana. “Aku juga serius. Kamu pikir aku sedang bergurau? Sebegitu besarnya keinginanmu pergi dariku?” tanya lelaki itu dengan sebelah alis terangkat. Syera mengerutkan keningnya, tak mengerti mengapa Tama malah menanyakan hal itu. Padahal lelaki itu juga tidak membutuhkan keberadaannya. Sejak awal memang begitu. Tama hanya menjadikannya tawanan, bukan istri yang sesungguhnya. “Siapa tahu keberadaanku menghalangi hubungan Mas dan orang lain. Padahal sebenarnya tidak apa-apa kalau Mas ingin berhubungan dengan wani