“Tuan, Nyonya Bianca dan Tuan Pandu sudah menunggu Anda di ruang tamu,” tutur seorang pelayan yang berdiri di depan pintu kamar Tama dan Syera. “Katakan pada mereka aku akan turun sebentar lagi,” jawab Tama datar. Sang pelayan langsung mengangguk dan pamit pergi. Setelah sosok pelayan itu tak terlihat lagi, Tama malah kembali mengecupi leher belakang Syera alih-alih langsung beranjak pergi. Melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda karena kedatangan pelayan itu. “Mas! Orang tua Nyonya Kirana sudah menunggu di bawah. Sangat tidak sopan kalau kita membiarkan tamu menunggu terlalu lama,” protes Syera yang berusaha melepaskan diri dari pelukan Tama. Meski tidak menyakitkan, namun memhuatnyai kesulitan bergerak. Syera spontan menghela napas lega setelah Tama melepaskan dirinya. Ia bersingkut mundur dengan ekspresi cemberut. Dirinya sedang dalam kondisi seperti ini dan suaminya itu malah sengaja bermain-main dengannya. “Sayang sekali aku tidak bisa menyentuhmu.” Tama berdecak p
“Selamat pagi, Sayang. Sudah puas menatap wajahku?” sapa Tama dengan suara serak. Kedua matanya masih terpejam, namun menyadari jika sang istri sedang memandangi wajahnya. “Terima kasih untuk yang semalam. Aku baru tahu kamu bisa melakukannya. Lain kali, kita ulang lagi ya?” Syera spontan mengalihkan pandangan dengan wajah merah padam. Selain karena godaan yang lelaki itu lontarkan, hatinya berdebar kencang karena panggilan lelaki itu. Panggilan yang asing baginya, tetapi membuat hatinya menghangat. Syera pikir Tama akan menggunakan panggilan seperti itu lagi padanya. Atau mungkin ini hanya karena apa yang ia lakukan semalam. Di luar itu, tak mungkin suaminya menyematkan panggilan seperti itu padanya. “Tidak ada lain, Mas! Semalam aku hanya kasihan. Memangnya Mas mau aku kasihani terus?” sahut Syera setengah menyindir. Ia sengaja membuat suaminya kesal agar lelaki itu tidak terus-terusan menggodanya. Tama langsung membuka mata, namun ekspresinya tak menunjukkan kemarahan sama sekal
“Apa boleh saya menganggap kamu seperti putri saya sendiri?” tanya Bianca tiba-tiba. Sepersekian detik kemudian wanita paruh baya itu malah terkekeh. “Maaf, saya lupa. Kamu pasti masih membenci saya. Abaikan saja permintaan saya tadi.”Syera yang menimang putranya yang baru saja terlelap spontan menoleh. Ia terkejut bukan main mendengar permintaan Bianca. Semenjak meminta maaf padanya tempo hari, wanita paruh baya itu menunjukkan perubahan sikap yang signifikan. Dalam sekejap, Bianca yang semula begitu membencinya hingga mengatai dirinya ‘murahan’ menjadi sangat baik padanya. Bahkan, ketika dirinya sakit waktu itu, Bianca benar-benar menemani dan membawakan makanan yang membuatnya lebih cepat pulih. Namun, tetap saja Syera tak menyangka Bianca akan melontarkan permintaan seperti itu. Apalagi jika mengingat seberapa besar kebencian wanita paruh baya itu padanya selama ini. Mereka dapat mengobrol santai seperti ini saja tak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Tentu saja boleh. Aku s
Tuttt … tuttt ….“Sial! Apa yang sebenarnya terjadi di sana?!” umpat Tama yang spontan melempar ponselnya ke dashboard mobil. Lelaki itu mencengkam kemudi sembari melajukan mobilnya dengan kecepatan dua kali lipat dari sebelumnya. Suara sesuatu yang bertabrakan cukup nyaring di seberang sana tadi mengganggu konsentrasinya. Terlebih ketika jalanan yang semula lengang menjadi padat merayap. Padahal seharusnya Tama telah sampai di butik milik mantan ibu mertuanya. Sebenarnya Tama memang hendak menjemput sang istri walaupun waktu yang mereka sepakati belum usai. Firasatnya tidak enak sejak tadi dan lelaki itu memutuskan menghampiri istrinya daripada hanya menunggu di rumah. Tak sabar menunggu kemacetan ini berakhir, Tama memutuskan turun dari mobil dan membiarkan kendaraannya terparkir di bahu jalan. Ia telah meminta anak buahnya datang dan membawa mobil itu. Sedangkan dirinya memilih berlari ke lokasi tujuannya yang hanya berjarak beberapa meter lagi dari tempatnya berada. “Apa
“Mama yakin kalung ini milik Sheilla, adiknya Kirana. Bagaimana bisa istri kamu memilikinya?” tutur Bianca dengan mata berkaca-kaca. Wanita paruh baya itu spontan melirik Syera, lalu kembali menatap kalung di tangannya. “Atau jangan-jangan dia—” Bianca langsung membekap mulutnya tanpa melanjutkan kata-katanya. Pandu bergegas menghampiri sang istri yang mulai terisak. “Tama, kamu tahu berapa usia istrimu?” Pandu bertanya pada mantan menantunya. “22 tahun,” jawab Tama sembari membuka dompetnya dan mengambil kartu identitas Syera yang ia simpan di sana. “Umurnya sama dengan Sheilla, Pa. Bagaimana kalau dia benar-benar Sheilla yang kita cari selama ini? Mama sangat jahat padanya. Bahkan, Mama yang membuatnya seperti ini.” Bianca semakin terisak mengingat seberapa banyak dosanya pada Syera selama ini. Rebecca berdeham pelan seraya berkata, “Kenapa tidak kita lakukan tes DNA saja untuk membuktikan siapa dia sebenarnya? Dengan begitu kita tidak perlu—” “Ma, Syera masih sakit. Bahkan, dia
Jeritan dan tangisan Viandra mengiringi langkah Tama keluar dari gudang tua tersebut. Tak tampak sedikitpun iba di wajah lelaki itu. Baginya, apa yang Viandra terima belum cukup untuk membalas perbuatan wanita itu baik pada Kirana maupun pada Syera. Menyaksikan penyiksaan kecil yang Viandra alami pasti sangat menyenangkan. Akan tetapi, ada hal yang jauh lebih penting di banding hanya menyaksikan hukuman wanita itu. Ia tak bisa meninggalkan istrinya sendirian di rumah sakit terlalu lama.Sebelum kembali ke rumah sakit, tiba-tiba Tama ingin membelikan sebuket bunga untuk Syera. Ia tak tahu bunga jenis apa yang istrinya sukai. Selama ini dirinya belum pernah memberikan hal-hal seperti ini pada istrinya. Karena tak tahu harus membeli bunga apa, ia meminta sang penjual bunga memilihkan bunga-bunga jenis terbaik. “Tuan, video yang Anda minta sudah saya kirim,” tutur Arman yang menunggu di depan pintu toko bunga langsung menghampiri sang tuan setelah selesai bertransaksi di toko tersebu
Syera bertanya-tanya dalam hati, tes DNA untuk apa dan siapa yang suaminya maksud. Ia hendak membuka mata dan bertanya secara langsung, namun jika tes itu berkaitan dengannya, sudah pasti Tama dan Pandu tidak akan menjawab. Oleh karena itu, Syera memilih tetap bertahan dengan posisi pura-pura tidurnya sembari mendengarkan pembicaraan suaminya dan Pandu. Entah apa yang terjadi sampai kedua lelaki itu tiba-tiba membahas tentang tes DNA. Tiba-tiba Syera merasakan rambutnya ditarik pelan entah oleh siapa. Lalu, terdengar samar-samar suara gunting juga. Jangan-jangan mereka sedang menggunting rambutnya untuk melakukan tes DNA itu? Jika iya, memangnya siapa yang akan dites dengannya? Dan untuk apa tes DNA itu dilakukan? Apa ini yang membuat Bianca juga Pandu bersikap aneh hari ini? Terlalu banyak pertanyaan yang memenuhi kepalanya dan Syera tak dapat menemukan satu pun jawaban dari pertanyaannya. Kalaupun ada orang yang ingin melakukan tes dengannya, seharusnya ia diberi tahu, bukan denga
Syera membuka kertas yang berada di tangannya dengan wajah pucat pasi dan tangan gemetar. Ia membaca lamat-lamat setiap baris kata yang tertera di sana. Kertas itu berisi hasil tes DNA nya dengan Pandu Adiwijaya. Dan hasilnya positif. Manik mata Syera langsung berkaca-kaca melihat hasil tes tersebut. Selama ini orang tuanya berada di dekatnya, namun ia tidak menyadari hal itu. Dan ternyata dirinya dan istri pertama suaminya adalah saudara kandung.“Maaf Papa tidak bisa datang. Ada urusan penting yang tidak bisa Papa tinggal. Tapi, setelah urusannya selesai, Papa pasti menyusul ke sini.” Suara Bianca yang sedikit serak karena menangis berhasil membuyarkan lamunan Syera.Syera spontan mengalihkan pandangan dari kertas di tangannya ke arah Bianca yang sekarang sedang mengusap rambutnya. Pantas saja ia merasakan perasaan yang berbeda saat berdekatan dengan Bianca, bahkan ketika wanita paruh baya itu masih membencinya. Ternyata wanita di hadapannya ini adalah ibu kandungnya. “Mama mi