“Apa boleh saya menganggap kamu seperti putri saya sendiri?” tanya Bianca tiba-tiba. Sepersekian detik kemudian wanita paruh baya itu malah terkekeh. “Maaf, saya lupa. Kamu pasti masih membenci saya. Abaikan saja permintaan saya tadi.”Syera yang menimang putranya yang baru saja terlelap spontan menoleh. Ia terkejut bukan main mendengar permintaan Bianca. Semenjak meminta maaf padanya tempo hari, wanita paruh baya itu menunjukkan perubahan sikap yang signifikan. Dalam sekejap, Bianca yang semula begitu membencinya hingga mengatai dirinya ‘murahan’ menjadi sangat baik padanya. Bahkan, ketika dirinya sakit waktu itu, Bianca benar-benar menemani dan membawakan makanan yang membuatnya lebih cepat pulih. Namun, tetap saja Syera tak menyangka Bianca akan melontarkan permintaan seperti itu. Apalagi jika mengingat seberapa besar kebencian wanita paruh baya itu padanya selama ini. Mereka dapat mengobrol santai seperti ini saja tak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Tentu saja boleh. Aku s
Tuttt … tuttt ….“Sial! Apa yang sebenarnya terjadi di sana?!” umpat Tama yang spontan melempar ponselnya ke dashboard mobil. Lelaki itu mencengkam kemudi sembari melajukan mobilnya dengan kecepatan dua kali lipat dari sebelumnya. Suara sesuatu yang bertabrakan cukup nyaring di seberang sana tadi mengganggu konsentrasinya. Terlebih ketika jalanan yang semula lengang menjadi padat merayap. Padahal seharusnya Tama telah sampai di butik milik mantan ibu mertuanya. Sebenarnya Tama memang hendak menjemput sang istri walaupun waktu yang mereka sepakati belum usai. Firasatnya tidak enak sejak tadi dan lelaki itu memutuskan menghampiri istrinya daripada hanya menunggu di rumah. Tak sabar menunggu kemacetan ini berakhir, Tama memutuskan turun dari mobil dan membiarkan kendaraannya terparkir di bahu jalan. Ia telah meminta anak buahnya datang dan membawa mobil itu. Sedangkan dirinya memilih berlari ke lokasi tujuannya yang hanya berjarak beberapa meter lagi dari tempatnya berada. “Apa
“Mama yakin kalung ini milik Sheilla, adiknya Kirana. Bagaimana bisa istri kamu memilikinya?” tutur Bianca dengan mata berkaca-kaca. Wanita paruh baya itu spontan melirik Syera, lalu kembali menatap kalung di tangannya. “Atau jangan-jangan dia—” Bianca langsung membekap mulutnya tanpa melanjutkan kata-katanya. Pandu bergegas menghampiri sang istri yang mulai terisak. “Tama, kamu tahu berapa usia istrimu?” Pandu bertanya pada mantan menantunya. “22 tahun,” jawab Tama sembari membuka dompetnya dan mengambil kartu identitas Syera yang ia simpan di sana. “Umurnya sama dengan Sheilla, Pa. Bagaimana kalau dia benar-benar Sheilla yang kita cari selama ini? Mama sangat jahat padanya. Bahkan, Mama yang membuatnya seperti ini.” Bianca semakin terisak mengingat seberapa banyak dosanya pada Syera selama ini. Rebecca berdeham pelan seraya berkata, “Kenapa tidak kita lakukan tes DNA saja untuk membuktikan siapa dia sebenarnya? Dengan begitu kita tidak perlu—” “Ma, Syera masih sakit. Bahkan, dia
Jeritan dan tangisan Viandra mengiringi langkah Tama keluar dari gudang tua tersebut. Tak tampak sedikitpun iba di wajah lelaki itu. Baginya, apa yang Viandra terima belum cukup untuk membalas perbuatan wanita itu baik pada Kirana maupun pada Syera. Menyaksikan penyiksaan kecil yang Viandra alami pasti sangat menyenangkan. Akan tetapi, ada hal yang jauh lebih penting di banding hanya menyaksikan hukuman wanita itu. Ia tak bisa meninggalkan istrinya sendirian di rumah sakit terlalu lama.Sebelum kembali ke rumah sakit, tiba-tiba Tama ingin membelikan sebuket bunga untuk Syera. Ia tak tahu bunga jenis apa yang istrinya sukai. Selama ini dirinya belum pernah memberikan hal-hal seperti ini pada istrinya. Karena tak tahu harus membeli bunga apa, ia meminta sang penjual bunga memilihkan bunga-bunga jenis terbaik. “Tuan, video yang Anda minta sudah saya kirim,” tutur Arman yang menunggu di depan pintu toko bunga langsung menghampiri sang tuan setelah selesai bertransaksi di toko tersebu
Syera bertanya-tanya dalam hati, tes DNA untuk apa dan siapa yang suaminya maksud. Ia hendak membuka mata dan bertanya secara langsung, namun jika tes itu berkaitan dengannya, sudah pasti Tama dan Pandu tidak akan menjawab. Oleh karena itu, Syera memilih tetap bertahan dengan posisi pura-pura tidurnya sembari mendengarkan pembicaraan suaminya dan Pandu. Entah apa yang terjadi sampai kedua lelaki itu tiba-tiba membahas tentang tes DNA. Tiba-tiba Syera merasakan rambutnya ditarik pelan entah oleh siapa. Lalu, terdengar samar-samar suara gunting juga. Jangan-jangan mereka sedang menggunting rambutnya untuk melakukan tes DNA itu? Jika iya, memangnya siapa yang akan dites dengannya? Dan untuk apa tes DNA itu dilakukan? Apa ini yang membuat Bianca juga Pandu bersikap aneh hari ini? Terlalu banyak pertanyaan yang memenuhi kepalanya dan Syera tak dapat menemukan satu pun jawaban dari pertanyaannya. Kalaupun ada orang yang ingin melakukan tes dengannya, seharusnya ia diberi tahu, bukan denga
Syera membuka kertas yang berada di tangannya dengan wajah pucat pasi dan tangan gemetar. Ia membaca lamat-lamat setiap baris kata yang tertera di sana. Kertas itu berisi hasil tes DNA nya dengan Pandu Adiwijaya. Dan hasilnya positif. Manik mata Syera langsung berkaca-kaca melihat hasil tes tersebut. Selama ini orang tuanya berada di dekatnya, namun ia tidak menyadari hal itu. Dan ternyata dirinya dan istri pertama suaminya adalah saudara kandung.“Maaf Papa tidak bisa datang. Ada urusan penting yang tidak bisa Papa tinggal. Tapi, setelah urusannya selesai, Papa pasti menyusul ke sini.” Suara Bianca yang sedikit serak karena menangis berhasil membuyarkan lamunan Syera.Syera spontan mengalihkan pandangan dari kertas di tangannya ke arah Bianca yang sekarang sedang mengusap rambutnya. Pantas saja ia merasakan perasaan yang berbeda saat berdekatan dengan Bianca, bahkan ketika wanita paruh baya itu masih membencinya. Ternyata wanita di hadapannya ini adalah ibu kandungnya. “Mama mi
“Memecatnya? Kenapa? Kesalahan apa yang Bibi Utari lakukan sampai Mas memecatnya? Bukankah selama ini Mas lebih mempercayainya dibanding pelayan lain?” berondong Syera dengan berbagai pertanyaan sekaligus. Syera yakin selama ini Utari telah menjalankan tugas dengan baik. Bahkan, di antara seluruh pelayan yang bekerja di sini, wanita paruh baya itu yang paling Tama percaya. Biasanya juga suaminya itu selalu menitipkan Elvina pada Utari di saat-saat mendesak. Tak mungkin Tama melakukannya jika tidak mempercayai wanita paruh baya itu.Hanya seminggu dirinya tidak berada di rumah, namun sudah begitu banyak hal yang berubah. Bahkan, satu-satunya orang yang selalu berada di pihaknya selama ini malah sudah pergi entah ke mana. Padahal ia lebih nyaman berbagi cerita dengan Utari dibanding yang lainnya. “Tadinya memang begitu, tapi tidak lagi setelah aku tahu yang sebenarnya.” Tama bergerak menjauh dari kursi roda Syera, kemudian mengatur suhu air di bath up menjadi air hangat. “Dia terli
“Mas yakin di sini tempat tinggal Bibi Utari?” tanya Syera sembari menatap area sekitarnya. Karena jalan yang mereka tuju tak bisa dilalui mobil, keduanya pun memilih berjalan kaki. Syera sendiri tak masalah dengan hal itu. Ia lebih terkejut saat menyadari di mana mereka berada sekarang. Syera ingat betul jika jalan yang mereka lalui ini terhubung dengan area kontrakan yang selama bertahun-tahun ia tempati bersama ayahnya. Hanya saja area tempat tinggalnya dulu masih bisa dilalui kendaraan beroda empat. Sedangkan gang ini tak bisa. Namun, hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja untuk mencapai rumah yang dirinya tempati sejak kecil itu. “Aku juga baru tahu kemarin, tapi aku yakin alamatnya sudah benar. Kamu pasti familiar dengan daerah ini, ‘kan?” sahut Tama sembari merangkul pinggang istrinya. “Ini memperkuat bukti kalau mereka memang bekerja sama selama ini.” “Tentu saja, Mas. Aku menghabiskan waktu puluhan tahun di daerah ini. Aku tidak mungkin melupakannya. Aku tidak menyang
“Huek! Huek!” Syera memejamkan mata seraya memijat pelipisnya setelah mual yang dialaminya sedikit membaik. Selama beberapa saat, wanita itu masih berpegangan pada pinggiran wastafel sembari mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Setelah dirasa mualnya tak akan datang lagi, barulah wanita itu membersihkan mulut dan wajahnya. Kemudian, beranjak dari toilet dengan langkah pelan karena kepalanya masih berdenyut-denyut. Padahal ia sudah meminum obat masuk angin, namun tetap saja tak ada hasil yang signifikan. Semenjak hari ulang tahun Aidan yang ke-1 seminggu lalu, Syera selalu seperti ini. Tubuhnya lemas dengan pening dan mual yang melengkapinya. Untung saja Bianca dan Rebecca sering berkunjung belakangan ini. Jadi, dirinya tidak keteteran mengurus kedua anaknya dalam keadaan seperti ini. “Kamu masih mual-mual? Yakin tidak perlu ke dokter? Suamimu akan marah besar kalau tahu kamu sakit tapi tidak mau ke dokter,” tutur Bianca yang baru saja masuk ke kamar putrinya bersama Aidan yang sedang
“Maaf membuatmu kesal seharian ini. Aku sengaja melakukan itu agar kamu tidak sadar kalau orang-orang rumah sedang mempersiapkan pesta ini,” ucap Tama membongkar rencana terselubungnya memuat Syera kesal seharian ini. Syera spontan menoleh. Tak menyangka jika sikap menyebalkan suaminya adalah unsur kesengajaan. Ia menyadari hari ini para pelayan yang biasanya jarang berkeliaran tampak lebih sibuk. Tetapi, mengabaikannya karena dibuat kesal dengan sikap sang suami. Hal yang lebih mengejutkan adalah mereka mengingat hari ulang tahunnya. Entah siapa yang memiliki ide untuk merayakan ulang tahunnya. Tetapi, jujur saja ini sangat membahagiakan baginya. Sebelumnya tak pernah ada yang membuat kejutan di hari ulang tahunnya. Dulu, sang ayah hanya mengucapkan selamat ulang tahun jika ingat saja dan tidak ada perayaan spesial setelahnya. Syera mengira hal itu karena ayahnya masih mengingat ibu kandungnya. Tetapi, ternyata itu terjadi karena Kuncoro memang bukan ayah kandungnya. Wajar jika
“Kenapa mataku harus ditutup, Mas? Memangnya kita akan ke mana? Bagaimana kalau aku tersandung?” protes Syera setengah menggerutu karena Tama memaksa menutup matanya dengan kain begitu mereka turun dari mobil. Ketika pulang dari kantor, tiba-tiba Tama memaksa Syera yang saat itu sedang memasak di dapur untuk bersiap-siap pergi. Ternyata lelaki itu mengajaknya mengunjungi salah satu salon di dekat tempat tinggal mereka dan langsung meminta para stylish mendandaninya. Syera tak sempat bertanya karena para stylish itu langsung membawanya memasuki ruangan lain. Setelah dirinya selesai didandani oleh mereka dengan riasan yang cukup mewah, barulah ia bertanya pada sang suami ke mana mereka akan pergi karena riasan juga gaun yang dirinya pakai rasanya terlalu merah jika untuk menghadiri undangan dari rekan bisnis lelaki itu. Namun, seperti biasa, Tama lebih senang membuat Syera penasaran dan bertanya-tanya sendiri. Lelaki itu hanya mengatakan jika mereka akan mendatangi acara penting. Enta
“Tadi kamu mengunjungi makam Kirana, ‘kan? Kenapa tidak terus terang padaku?” Tama yang baru saja berbaring di ranjang langsung bertanya tanpa basa-basi. “Supirku tidak mungkin bisa kamu ajak bekerja sama.” Tama yang tahu kalau Syera belum tidur langsung membalikkan tubuh wanita itu. “Aku tidak akan marah atau melarangmu kalau kamu jujur. Jadi, kenapa kamu memilih berbohong? Bagaimana kalau terjadi sesuatu di luar sana dan aku tidak tahu?” Syera merutuk dalam hati. Ia memang tak ingin Tama mengetahui dirinya mengunjungi makam sang kakak karena tidak mau ditanya macam-macam. Sebenarnya wanita itu berencana berangkat menggunakan taksi. Namun, hal itu pasti semakin memicu kecurigaan Tama. Syera sudah berpesan pada supir yang mengantarnya agar tidak perlu memberitahu ke mana dirinya pergi setelah mengunjungi makam Kuncoro. Namun, ia lupa jika semua orang yang bekerja di rumah ini pasti memberitahu aktivitasnya pada lelaki itu. “Emm … aku tidak bermaksud menyembunyikannya. Lagipula aku
Selama ini Syera tak pernah mendengar informasi apa pun mengenai ayah mertuanya. Ia sempat mengira jika mungkin saja kedua orang tua Tama sudah berpisah dan hidup masing-masing hingga tak pernah berkumpul lagi. Namun, setelah Tama mengajaknya ke suatu tempat yang mengejutkan, Syera tahu dugaannya salah. Setelah mereka makan siang bersama, Tama benar-benar mengajak istri dan anaknya mendatangi tempat papanya berada. Syera mengikuti langkah Tama yang lebih dulu berjalan memasuki area pemakaman umum yang ternyata berlokasi cukup dekat dengan kantor lelaki itu. Tak berselang lama, mereka sampai di sebuah pusara bertuliskan nama Bagas Ravindra. “Selamat siang, Pa. Maaf baru mengunjungi Papa lagi. Aku ingin mengenalkan orang-orang yang sangat ku sayangi. Istri dan anak-anakku,” ucap Tama sembari berjongkok di samping pusara sang papa dan mengusap batu nisannya. Syera ikut berjongkok di samping suaminya sembari membetulkan gendongan Aidan yang sedikit melorot. “Halo, Pa. Maaf baru d
“Apa?! Lalu, bagaimana, Mas?” sahut Syera khawatir. Syera sudah menduga jika cepat atau lambat Elena pasti melakukan sesuatu yang akan merugikan pihak mereka. Walaupun jelas wanita itu yang salah, Elena tak mungkin tinggal diam setelah diperlakukan seperti itu oleh Tama. Perusahaan yang Tama pimpin baru mulai stabil beberapa bulan lalu, itupun karena bantuan dari Elena juga. Jika wanita itu tiba-tiba menarik seluruh investasi, pasti dampaknya cukup besar bagi perusahaan sang suami. Tama menarik pelan sang istri yang hendak bangkit kembali ke pelukannya. “Jangan khawatir, Sayang. Sejak kejadian malam itu aku sudah menebak kalau dia akan melakukan ini. Aku juga sudah mempersiapkan semuanya. Tadi aku hanya memperbaiki sedikit masalah. Perusahaanku tidak akan kolaps seperti waktu itu lagi.” Syera yakin Tama pasti dapat menyelesaikan masalah di perusahaan yang lelaki itu pimpij secepatnya. Akan tetapi, bukan tidak mungkin Elena kembali berulah setelah ini. Sebelumnya wanita itu selalu m
Syera yang merasa tidak pernah dekat dengan ibu mertuanya terus tak berhenti menerka apa yang akan wanita paruh baya itu bicarakan dengannya. Selama ini Rebecca hanya mengancam, menghina atau mengintimidasinya ketika mereka sedang berbicara. Wanita paruh baya itu berubah lebih baik setelah mengetahui siapa dirinya. Akan tetapi, mereka belum pernah berbicara empat mata setelah itu. Terlebih, saat ini tak ada Tama di rumah. Bukannya ia tak suka dengan keberadaan Rebecca, hanya saja menurutnya sangat aneh ketika wanita itu tiba-tiba mengajaknya mengobrol. Syera masih dipusingkan dengan sikap aneh suaminya. Ia tak mau menambah beban pikirannya hanya karena pembicaraannya dengan Rebecca. Walaupun belum tentu juga wanita paruh bata itu akan membicarakan sesuatu yang melukai hatinya. “Atau jangan-jangan ini juga ada hubungannya dengan sikap aneh Mas Tama?” gumam Syera menebak-nebak. Ia sedang membuat teh chamomile untuk teman mengobrolnya dengan sang ibu mertua nanti. Selain sedang malas
“Sayang, kamu yakin tidak mau bergabung bersamaku?” tutur Tama sembari menyugar rambutnya yang basah menggunakan tangan. Ia sengaja berenang mendekati Syera dan mencipratkan air kolam ke arah wanita itu. “Mas, basah!” gerutu Syera kesal. Pakaian yang baru dipakainya beberapa menit sebelum datang ke privat pool ini basah karena kelakuan suaminya. Sejak awal ia memang tidak akan ikut berenang karena cukup sadar jika dirinya tak mahir berenang. Kalau bukan karena Tama yang tadi memaksanya ikut kemari ia akan memilih bermain bersama anak-anaknya di kamar. Syera tahu pasti suaminya akan terus mengusiknya jika berada di sini. Apalagi hanya ada mereka berdua di sini. Villa yang Tama sewa untuk bulan madu mereka memang dilengkapi dengan fasilitas privat pool di bagian belakangnya. Namun, sejak pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini. Syera sama sekali tak tertarik untuk mencoba berenang di sini. Apalagi setelah melihat jika air kolam itu mencapai dada suaminya yang berarti mencapai dag
Walaupun kesalahpahaman di antara Syera dan Tama telah terungkap, nyatanya pesta pernikahan mereka tetap tidak jadi dilaksanakan karena Elvina jatuh sakit. Mereka sepakat menunda pesta tersebut dan fokus merawat Elvina dulu. Dua hari kemudian pesta tersebut baru bisa dilaksanakan. Pesta sangat mewah yang bahkan jauh lebih indah dari yang Syera bayangkan. Syera sempat mendengar dari beberapa pelayan yang berbincang jika pesta ini lebih mewah dari pesta pernikahan Tama dengan Kirana. Syera tak tahu hal itu benar atau tidak karena dirinya tidak berani menanyakan secara langsung pada Tama. Lagipula ia tidak ingin bersaing dengan kakaknya sendiri. Diberi pesta seperti ini saja sudah sangat membahagiakan baginya. 6 “Mas, kenapa saat di restoran waktu itu Mas malah mencekik Elena? Memangnya apa yang dia katakan?” tanya Syera sembari menyelipkan tangannya di lengan Tama. Syera tahu pembahasan ini kurang cocok dibahas sekarang, namun ia sudah terlanjur penasaran. Setiap hendak bertanya, pas