"Jadi selama ini kamu sudah tahu, semuanya?" Anjas yang duduk di sofa berdekatan dengan Nasya yang sekarang duduk di sofa lainnya, dia bahkan tak berani memandang Nasya. "Ayolah Nasya, katakan sesuatu sama aku, jadi kamu diam-diam menulis semuanya dan bodohnya aku, bahkan tidak curiga sama sekali." Anjas yang masih tidak berani menatap Nasya. "Aku akan membawa Aysan sama aku, aku juga bakal balik ke desa, kalau Mas mau tetap bareng Anara, nggak masalah, tapi Mas udah nggak punya hak ketemu sama Aysan," jelas Nasya dengan suara tenang yang lembut, tangan Anjas mengepal, "Aku tahu ini tiba-tiba, tetapi aku harap Mas juga sadar apa yang Mas udah lakuin ke aku." "Aku nggak mau cerai." Mata Nasya langsung mengarah ke arah Anjas dengan tatapan yang terlihat marah, dan Anjas degan berani pula mengangkat pandangannya dan menatap mata Nasya dengan tatapan yang sama pula, "Aku tidak akan bercerai Nasya, tidak peduli kamu punya bukti apa untuk nuntut aku, tetap aku tidak akan menceraikan kamu,
"Pak Anjas sudah lima hari nggak ada kabar, nggak masuk-masuk kerja, memangnya ada apa ya?" Terdengar di telinga Jaka ketika dia melewati divisi tempat Anjas berkerja, banyak diantara mereka mulai bergunjing. "Katanya istrinya melahirkan, tapi kan udah lima hari padahal cutinya cuman tiga hari, terus nggak ada perayaan juga buat bayinya, padahal anak pertama." Jaka terhenti setelah mendengar percakapan itu dan dia langsung mengarahkan pandangannya ke arah karyawan yang bergunjing sekarang dengan tatapan yang menyipitkan mata, karena tak menyadari akan tatapan Jaka, mereka masih bergunjing hingga akhirnya mereka sadar akan kehadiran Jaka yang berdiri sejak tadi di sana sehingga semua orang yang bergunjing berhenti mengatakan sesuatu mengenai Anjas. "Jadi Anjas masih belum masuk kerja?" Pertanyaan itu datang dari Jaka, "Oh berarti jika seperti itu banyak pekerjaan yang terbengkalai, astaga aku akan mendatanginya dan memberikan dia surat peringatan jika tidak maka akan aku pecat." Ucap
Permasalahan antara Anjas dan juga Nasya masih belum selesai, dan Anjas betul-betul tidak ingin bercerai dengan Nasya, dia menyadari kesalahannya tetapi dia juga tidak ingin kehilangan Nasya apalagi sampai bercerai, padahal mereka baru saja punya seorang anak, dan anak itu adalah anak pertama mereka. Sangat disayangkan jika mereka langsung bercerai. Saat malam tiba, mereka bahkan belum makan malam karena Anara sendiri tidak ingin keluar kamar, dia lebih memilih berada di dalam sana sendirian dan bermain ponsel memikirkan bagaimana nasibnya nanti, apalagi dia menyadari kalau Anjas sama sekali tidak mencintai dirinya, sangat menyakitkan, padahal Anara sekarang sudah bawa perasaan kepada Anjas. Walaupun semuanya hanya misi belaka, tetap saja bagi Anara, Anjas adalah sosok yang dia inginkan, padahal dia tahu sendiri bagaimana sifat Anjas yang sebenarnya, sosok bajingan yang tidak merasa bersalah, kadang memikirkan pria seperti itu saja sangat menjijikkan bagi setiap gadis di luar sana t
"Ambilkan aku seember air." Perintah itu langsung dilaksanakan oleh anak buah, Jaka. Setelah seember air itu datang, Jaka dengan sangat tenang langsung menyeramkan air itu ke wajah Roy yang saat itu terlelap dan secara mendadak kini bangun tiba-tiba. "Hai Bajingan, kamu kenal saya kan, oh baiklah sekarang sebaiknya kamu mendapatkan ganjaran atas perbuatan mu." Mata itu langsung membelalak sementara kursi yang dia duduki hampir saja jatuh karena tubuhnya yang terhentak ke belakang, dia betul-betul kaget melihat Jaka yang berada di hadapannya, Jaka yang memakai kacamata saat itu melepas kacamatanya dan mengelap kacamata itu dengan kain. "Kamu pasti terkejut kan? Wah akhirnya aku bisa membuat kami terkejut, setelah selama ini aku ingin sekali memberikan kamu sesuatu yang bahkan lebih mengejutkan." Senyum menyeringai diberikan Jaka setelah dia kembali menempelkan kacamata itu dan membingkai kedua kelopak mata siren yang tajam. Dia menghentikan senyumnya dan dia duduk di kursi tepat di
Nasya begitu menjauh dari Anjas, di bahkan memilih untuk tidur sedikit lebih meminggir, dan itu membuat Anjas merasa bersalah. Dia lalu memilih untuk keluar dari kamarnya dan tidur di ruang tamu. Nasya mengunci diri sendiri setelah dia menyadari bahwa Anjas keluar dari kamar itu. Berharap bahwa dia bisa menanggung rasa sakitnya. Dia juga begitu takut seandainya Anjas tahu bahwa selama ini dialah yang mandul dan tidak bisa memiliki anak. Nasya tidak ingin menyakiti Anjas lebih dalam jika saja dia tahu bahwa Aysan bukanlah putranya. Nasya sudah tahu bahwa Anjas lah yang tidak subur sejak terakhir kali mereka mengecek kesuburan. Hanya saja, sayang sekali Nasya menyembunyikan semua itu, hanya agar Anjas tidak sakit hati, berharap bahwa pengecekan setelahnya akan menjawab dengan jawaban yang berbeda dari sebelumnya, tetapi sebelum pengecekan mereka lagi, Nasya sudah mengalami dan menderita penyakit alzheimer. Kini dia berharap bahwa perceraian mereka akan mengakhiri penderitaan mereka
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana caraku menyelesaikan ini? Bagaimana aku bisa membesarkan Aysan sendirian tanpa sosok ayah?" Nasya betul-betul kehilangan sesuatu dalam dirinya, dia betul-betul hancur sekarang, dan dia bahkan tidak tahu ke mana arah hidupnya. "Ini sangat menyakitkan." Dia kembali menangis terisak sendirian sambil memeluk kedua lututnya. Lalu dia mendengar pertengkaran yang terjadi antara Anara dan Anjas di luar kama, membuat Nasya semakin geram dan berdiri dari duduknya lalu keluar dari sana. Mendengar suara Nasya membuat Anjas dan Anara berhenti dan menoleh ke arah Nasya yang terlihat sangat depresi. Nasya menggelengkan kepala dan dia lalu berlutut di atas lantai. "Bisakah kalian tenang? Kepala ku bahkan belum bisa melupakan bagaimana kalian bercinta di hadapan ku, dan bagaimana ... Bagaimana kalian bisa bersenang-senang di hadapan ku." Kepala Masya tertunduk dan menatap lantai, "Bisakah kalian meninggalkan aku sendiri saja. Aku yang pergi atau kali
Pagi harinya, Anara berusaha untuk menghubungi Jaka tapi Jaka sangat sulit untuk dihubungi, sekarang dia betul-betul butuh uang, dia tidak mau terjebak di dalam rumah itu lagi, dia tidak ingin lagi memikirkan mengenai perasaan yang dia miliki untuk Anjas, sebaiknya sekarang dia berpikir logis dan meninggalkan rumah itu atau dia mungkin akan menyesal. Nasya mengumpat beberpaa kali karena Jaka bahkan tidak membalas pesannya dan dia mengurung di dalam kamar, sekarang siapa yang akan memasak? Siapa yang akan membersihkan rumah? Yang membereskan rumah? Nasya? Anara? Mereka berdua mengurung diri di dalam kamar dan perut Anjas keroncongan, dia lapar tapi dia bahkan tidak punya niat untuk makan. Bagaimana dengan Nasya, dia lemas dan harus memberikan makanan untuk bayinya, susu dan asi, tapi tubuhnya begitu lemas sehingga seharusnya dia keluar dari kamar dan memasak makanan untuk dimakan olehnya, sayangnya dia sangat muak dengan wajah Anjas, karena memandang wajah suaminya saja membuat dia
"Pe ... Pengacara?" Anjas menganga tipis, "Apa maksud nya pengacara, apa Anda ... oh tidak, Nasya tidak akan bercerai Pak, kami tidak akan bercerai, sebaiknya Anda pergi saja dari sini." Anjas mencoba untuk melarang pria ini masuk ke dalam rumah dan mendorong pelan tubuhnya tetapi si pengacara mengernyitkan kening dan mencari-cari Nasya. "Tapi aku dan Bu Nasya sudah punya janji, Pak. Katanya dia tidak bisa keluar rumah karena Anda melarangnya keluar rumah, apa benar seperti itu, jika memang seperti itu, Anda akan mendapatkan pidana." "Pidana? Apa maksudnya? Dia masih sah istri saya, kenapa ada pidana di sini!" Mata Anjas sudah sangat nanar, "Sebaiknya jangan ancam saya seperti itu! Jangan bilang kamu ini pengacara gadungan! Benar?"Pria dengan setelan jas ini menggelengkan kepala, "Jika anda seperti itu maka berarti Anda memang salah dan menekan istri Anda yang sudah ingin bercerai dengan Anda, apalagi ada beberapa bukti bahwa anda melakukan perzinahan yang akan menambah hukuman, A