Prak! Satu tamparan jatuh tepat di pipi kiri Nasya, tamparan yang diberikan Anjas kepadanya karena kecemburuan dan kemarahan yang telah dirasakan Anjas saat ini. "Kenapa kamu, ha? Kenapa kamu pergi tanpa seizin aku! Beraninya kamu Nasya!" Suara itu menggelegar di telinga Nasya yang saat ini terjatuh ke atas sofa. Anjas betul-betul hilang kendali seoalah dia bukan Anjas yang dikenal oleh Nasya, matanya nanar dan dia membentak Nasya seoalah Nasya telah melakukan sebuah kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. "Apa-apaan kamu, Mas? Kenapa kamu tiba-tiba banget kayak gini!" Nasya dengan suara yang terdengar habis menangis. "Oh jadi kamu pura-pura nggak tahu? Astaga Nasya, kenapa kamu tidak sekalian saja tinggal di rumah Jaka!" "Mas." Tangan Nasya saat ini berada di pipi kirinya yang terasa begitu panas, dia merasa bahwa Anjas tidak peduli lagi mau Nasya hamil atau tidak. "Mas seharusnya mikir, nggak mungkin aku sama Mas Jaka selingkuh! Aku ...."Anjas mengangguk-angguk karena saat ini
"Mas Anjas, Mas ada apa?" Tubuh Anjas sedikit digoncang oleh Nasya yang baru saja terbangun karena suaminya sedang mengigau, terlihat wajah cemas yang datar itu terus berusaha membangunkan suaminya saat ini. "Mas, bangun Mas." Kedua kelopak mata itu tiba-tiba terbuka dengan tatapan yang membelalak sempurna membuat Nasya merasa terkejut dan keringat dingin. "Mas apa yang salah sama Mas, mimpi buruk ya?" Nasya berusaha menenangkan suaminya tapi terlihat Anjas menepis tangan yang berada di bahunya itu, dia keringat dingin dan nafasnya putus-putus. "Ada apa sih, Mas?" tanya Nasya sekali lagi dengan raut muka yang cemas. Dia menunggu jawaban Anjas tapi sekarang Anjas hanya duduk di atas ranjang dan masih kesulitan mengatur nafasnya sendiri. "Aku sepertinya mimpi buruk, atau ...." "Atau apa mas?" Nasya bertanya dengan wajah yang masih terlihat begitu cemas. "Hmm, aku tidak tahu." Dia lalu menoleh ke arah Nasya yang tersenyum kepadanya dan tatapannya semakin dalam dan semakin mengeri
Tentu saja Roy merasa getir ketika Jaka mengatakan hal demikian padanya. Dia tahu bahwa Jaka pasti tidak akan tinggal diam setelah tahu bahwa Roy telah melaporkan sesuatu kepada Anjas. Dia menelan saliva dan hanya diam melihat punggung Jaka yang sekarang menghilang dari pandangannya. Roy tidak tahu kenapa sekarang dia merasa takut kepada Jaka. Atau mungkin karena Jaka terlihat tidak seperti orang bodoh atau orang lemah, Jaka memiliki sesuatu yang dimiliki oleh orang kaya dalam dirinya, sampai akhirnya Roy memilih untuk kembali ke ruang guru. Sayangnya dia dihantui dengan tulisan Jaka yang mengatakan bahwa Roy seharusnya tidak mendekati Nasya atau Roy akan menyesal. "Siapa yang cari, Pak Roy?" tanya salah seorang guru ketika Roy masuk ke dalam ruang guru. Membuat Roy langsung mengangkat pandangannya. "Hmm?" "Pak Roy melamun ya, aduh kebiasaan anak muda melamun kayak gitu. Tadi aku nanya Pak, yang cair Paka Roy siapa?" tanya dia sekali lagi. "Oh soal itu, Bu, ada tadi orang kena
Anara menyadari bahwa selama ini memang Anjas akan selalu memilih Nasya, yang bisa dilakukan oleh gadis belia ini hanyalah duduk di samping Anjas dengan tatapan kosong ke depan. Dia mengepalkan tangan dan penuh dendam di matanya, jika saja Anjas tidak mengatakan hal itu maka Anara mungkin tidak akan semarah ini. Tetapi kemarahan saja tidak akan memiliki dampak. Tentu saja ada aksi yang akan dilakukan Anara untuk bisa mendapatkan Anjas, karena memberikan seluruh tubuh Anara pada Anjas ternyata sama sekali tidak cukup. "Jadi bahkan tubuh aku tidak cukup, Mas?" Anara dengan suara yang terdengar jelas, untungnya tidak ada orang di sana, atau kalau tidak maka Anjas akan merasa malu luar biasa seperti dia malu di dalam mimpi tentang Jaka yang mempermalukannya. "Apa maksud kamu?" Anjas yang tanpa memandang ke arah Nasya. "Kamu seharusnya nggak ngomong gitu di sini, tempat seperti ini bukan tempat dan waktu yang cocok, Anara!" Anjas tampak mengernyitkan kening dan tidak suka
Lupa jalan pulang? Tidak bukan itu yang terjadi, ingatan Nasya perlahan demi perlahan terungkap, sebelum dia tersesat dan berada di jalan yang selalu membuatnya hilang arah. Nasya masih berada di sekolah, mengajar dengan tenang dan tidak depresi sama sekali, dia wanita yang ceria hanya saja kadang dia tidak senang jika ditanya kapan hamil. Semuanya dimulai bukan setelah Anara datang, atau ingatan Nasya menghilang bukan karena sesuatu yang menyangkut dengan Anjas, saat ini dengan kondisi koma dan berada di atas ranjang rumah sakit, di ruang rawat dan dalam kondisi yang tidak sadar. Alam bawah Nasya membawanya mengungkap ingatan demi ingatan, tali demi tali, apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa semuanya terjadi. Semuanya dimulai ketika Nasya mendengar suara yang memanggil, "Bu Nasya." Suara itu membuat Nasya yang masih berada dalam kelas dan hendak keluar kelas karena sudah jam istirahat, menoleh. "Pak Roy?" Nasya seperti biasa memberikan senyum kepada Roy, "Ada apa,
"Oeeek, Oeeek, Oeeek!" Perlahan mata itu terbuka, kedua kelopak mata Nasya yang teduh, pandangannya kabur dan tubuhnya lemah, walau seperti itu pada akhirnya dia tetap bisa melawan kondisi koma yang dia alami. Dia menatap langit-langit dan mendengar suara rengekan bayi, Nasya menganga dan beberapa kali berkedip. Dia begitu lemas dan seolah tak merasa ada semangat selain setelah dia mendengar suara tangisan bayi yang dia tahu bahwa bayi itu adalah miliknya. "Nasya, sayang kamu udah sadar." Senyum di bibir Anjas terlihat dan Nasya pun mengarahkan pandangannya pada Anjas yang saat itu sedang menggendong bayinya. "Mas Anjas." Suara itu lembut dan dia tiba-tiba saja meneteskan air mata saat melihat Anjas yang begitu bahagia sedang menggendong bayi mereka. "Iya sayang aku di sini. Dan ini bayi kita, oh iya kamu udah siapkan nama untuk bayi kita, atau kamu mau aja yang ngasih?" Anjas bertanya, di sisi yang lain Anara yang berdiri di pinggir pintu memilih untuk pulang dan tid
"Akhirnya Aysan mama sama papa mu udah mau ke rumah kita, uch." Nasya mengecup kening putranya dan dia sudah bersiap-siap. Saatnya untuk pulang, Anjas bersiap-siap mengemas barang mereka bersama dengan Nasya dan putranya, mereka baru saja memberikan nama pada bayi laki-laki yang saat ini berada di gendongan Nasya. "Ayo sayang, Mas udah siapin mobilnya, semua barang udah ada di mobil," kata Anjas dengan lembut. Setelah berpamitan dengan para perawat yang merawat Nasya dan Anjas juga sudah mengurus administrasi serta pembayarannya dengan lunas, akhirnya mereka berdua sudah berada di dalam mobil dan melakukan perjalanan pulang. Nasya terus berbicara dengan bayinya dan ada sesuatu yang aneh, mata Anjas tiba-tiba membulat setelah dia menyadari sesuatu, bahwa istrinya tidak lagi melupakan dan tidak bersikap seperti biasanya. Seperti layaknya penderita Alzheimer, apa Nasya sekarang sudah sembuh, jangan-jangan dia sudah mengingat semuanya. Tetapi bagaimana bisa? Jika saja memang Nasya te
"Gimana Anara apa kamu bakal balik ke desa, kok cepat banget?" Nasya yang sekarang duduk di kursi makan dan menikmati makan malamnya stelah beberapa saat yang lalu dia menidurkan bayinya. Anara terkejut mendengar Nasya bertanya kepadanya, karena biasanya Nasya lupa dengan semua yang terjadi padanya tetapi sekarang apa yang terjadi? "Ke desa, hmm tergantung Mbak, aku belum tahu kapan. Tapi kalau Mbak Nasya udah bisa ngurus rumah sendiri aku bakal balik ke desa, mungkin satu pekan ke depan," jawab Anara membuat Nasya mengangguk-angguk. "Kan tujuan kamu ke rumah Mbak bukan buat bantuin Mbak, tapi buat kamu nebeng untuk kuliah kan?" "Uhk uhk uhk." Anjas langsung saja tersedak dan menatap ke arah Nasya, apa memang Nasya sudah sembuh?"Hmm ...." Anara menjadi gugup, dan Nasya menatap ke arahnya dengan tatapan yang bertanya-tanya, alisnya terangkat dan semakin membuat Anara hilang kata-kata. "Anara, kok diam aja sih?" Anara menelan saliva dan berkata dengan ragu, "Hmm ... Maaf Mbak ta