Tentu saja Roy merasa getir ketika Jaka mengatakan hal demikian padanya. Dia tahu bahwa Jaka pasti tidak akan tinggal diam setelah tahu bahwa Roy telah melaporkan sesuatu kepada Anjas. Dia menelan saliva dan hanya diam melihat punggung Jaka yang sekarang menghilang dari pandangannya. Roy tidak tahu kenapa sekarang dia merasa takut kepada Jaka. Atau mungkin karena Jaka terlihat tidak seperti orang bodoh atau orang lemah, Jaka memiliki sesuatu yang dimiliki oleh orang kaya dalam dirinya, sampai akhirnya Roy memilih untuk kembali ke ruang guru. Sayangnya dia dihantui dengan tulisan Jaka yang mengatakan bahwa Roy seharusnya tidak mendekati Nasya atau Roy akan menyesal. "Siapa yang cari, Pak Roy?" tanya salah seorang guru ketika Roy masuk ke dalam ruang guru. Membuat Roy langsung mengangkat pandangannya. "Hmm?" "Pak Roy melamun ya, aduh kebiasaan anak muda melamun kayak gitu. Tadi aku nanya Pak, yang cair Paka Roy siapa?" tanya dia sekali lagi. "Oh soal itu, Bu, ada tadi orang kena
Anara menyadari bahwa selama ini memang Anjas akan selalu memilih Nasya, yang bisa dilakukan oleh gadis belia ini hanyalah duduk di samping Anjas dengan tatapan kosong ke depan. Dia mengepalkan tangan dan penuh dendam di matanya, jika saja Anjas tidak mengatakan hal itu maka Anara mungkin tidak akan semarah ini. Tetapi kemarahan saja tidak akan memiliki dampak. Tentu saja ada aksi yang akan dilakukan Anara untuk bisa mendapatkan Anjas, karena memberikan seluruh tubuh Anara pada Anjas ternyata sama sekali tidak cukup. "Jadi bahkan tubuh aku tidak cukup, Mas?" Anara dengan suara yang terdengar jelas, untungnya tidak ada orang di sana, atau kalau tidak maka Anjas akan merasa malu luar biasa seperti dia malu di dalam mimpi tentang Jaka yang mempermalukannya. "Apa maksud kamu?" Anjas yang tanpa memandang ke arah Nasya. "Kamu seharusnya nggak ngomong gitu di sini, tempat seperti ini bukan tempat dan waktu yang cocok, Anara!" Anjas tampak mengernyitkan kening dan tidak suka
Lupa jalan pulang? Tidak bukan itu yang terjadi, ingatan Nasya perlahan demi perlahan terungkap, sebelum dia tersesat dan berada di jalan yang selalu membuatnya hilang arah. Nasya masih berada di sekolah, mengajar dengan tenang dan tidak depresi sama sekali, dia wanita yang ceria hanya saja kadang dia tidak senang jika ditanya kapan hamil. Semuanya dimulai bukan setelah Anara datang, atau ingatan Nasya menghilang bukan karena sesuatu yang menyangkut dengan Anjas, saat ini dengan kondisi koma dan berada di atas ranjang rumah sakit, di ruang rawat dan dalam kondisi yang tidak sadar. Alam bawah Nasya membawanya mengungkap ingatan demi ingatan, tali demi tali, apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa semuanya terjadi. Semuanya dimulai ketika Nasya mendengar suara yang memanggil, "Bu Nasya." Suara itu membuat Nasya yang masih berada dalam kelas dan hendak keluar kelas karena sudah jam istirahat, menoleh. "Pak Roy?" Nasya seperti biasa memberikan senyum kepada Roy, "Ada apa,
"Oeeek, Oeeek, Oeeek!" Perlahan mata itu terbuka, kedua kelopak mata Nasya yang teduh, pandangannya kabur dan tubuhnya lemah, walau seperti itu pada akhirnya dia tetap bisa melawan kondisi koma yang dia alami. Dia menatap langit-langit dan mendengar suara rengekan bayi, Nasya menganga dan beberapa kali berkedip. Dia begitu lemas dan seolah tak merasa ada semangat selain setelah dia mendengar suara tangisan bayi yang dia tahu bahwa bayi itu adalah miliknya. "Nasya, sayang kamu udah sadar." Senyum di bibir Anjas terlihat dan Nasya pun mengarahkan pandangannya pada Anjas yang saat itu sedang menggendong bayinya. "Mas Anjas." Suara itu lembut dan dia tiba-tiba saja meneteskan air mata saat melihat Anjas yang begitu bahagia sedang menggendong bayi mereka. "Iya sayang aku di sini. Dan ini bayi kita, oh iya kamu udah siapkan nama untuk bayi kita, atau kamu mau aja yang ngasih?" Anjas bertanya, di sisi yang lain Anara yang berdiri di pinggir pintu memilih untuk pulang dan tid
"Akhirnya Aysan mama sama papa mu udah mau ke rumah kita, uch." Nasya mengecup kening putranya dan dia sudah bersiap-siap. Saatnya untuk pulang, Anjas bersiap-siap mengemas barang mereka bersama dengan Nasya dan putranya, mereka baru saja memberikan nama pada bayi laki-laki yang saat ini berada di gendongan Nasya. "Ayo sayang, Mas udah siapin mobilnya, semua barang udah ada di mobil," kata Anjas dengan lembut. Setelah berpamitan dengan para perawat yang merawat Nasya dan Anjas juga sudah mengurus administrasi serta pembayarannya dengan lunas, akhirnya mereka berdua sudah berada di dalam mobil dan melakukan perjalanan pulang. Nasya terus berbicara dengan bayinya dan ada sesuatu yang aneh, mata Anjas tiba-tiba membulat setelah dia menyadari sesuatu, bahwa istrinya tidak lagi melupakan dan tidak bersikap seperti biasanya. Seperti layaknya penderita Alzheimer, apa Nasya sekarang sudah sembuh, jangan-jangan dia sudah mengingat semuanya. Tetapi bagaimana bisa? Jika saja memang Nasya te
"Gimana Anara apa kamu bakal balik ke desa, kok cepat banget?" Nasya yang sekarang duduk di kursi makan dan menikmati makan malamnya stelah beberapa saat yang lalu dia menidurkan bayinya. Anara terkejut mendengar Nasya bertanya kepadanya, karena biasanya Nasya lupa dengan semua yang terjadi padanya tetapi sekarang apa yang terjadi? "Ke desa, hmm tergantung Mbak, aku belum tahu kapan. Tapi kalau Mbak Nasya udah bisa ngurus rumah sendiri aku bakal balik ke desa, mungkin satu pekan ke depan," jawab Anara membuat Nasya mengangguk-angguk. "Kan tujuan kamu ke rumah Mbak bukan buat bantuin Mbak, tapi buat kamu nebeng untuk kuliah kan?" "Uhk uhk uhk." Anjas langsung saja tersedak dan menatap ke arah Nasya, apa memang Nasya sudah sembuh?"Hmm ...." Anara menjadi gugup, dan Nasya menatap ke arahnya dengan tatapan yang bertanya-tanya, alisnya terangkat dan semakin membuat Anara hilang kata-kata. "Anara, kok diam aja sih?" Anara menelan saliva dan berkata dengan ragu, "Hmm ... Maaf Mbak ta
"Maksud Mbak Nasya sampai kami bercerai, apa?" Anara bertanya dengan bibir yang menganga, "Kok Mbak Nasya sampai bilang kayak gitu?" Anara yang masih berdiri kaku di hadapan Nasya, sementara Nasya hanya tersenyum dan semakin maju, sedikit demi sedikit ke arah Anara, dia menatap adiknya dengan tatapan yang tidak begitu tajam. "Hmm ... nggak, Mbak Nasya nggak bilang gitu, maksud kamu, apa Anara?" Pertanyaan itu membuat Anara semakin terkejut dan terhentak, tak lama setelah itu suara rengekan Aysan terdengar di kamar Nasya yang membuat Anara ditinggalkan Nasya saat ini. "Apa Mbak Nasya salah ucap atau aku yang salah dengar?" Anara masih diam di tempatnya berdiri, dia tidak bisa memikirkan sesuatu yang lain selain ucapan Nasya saat ini. Kenapa Nasya berkata seperti itu. Sangat membingungkan. "Uch uch uch sayangku, jangan nangis ya, uh sayang aku lagi lapar ya," ucap Nasya dengan lembut lalu memberikan bayinya susu, dia duduk di atas ranjang dan meluruskan kakinya. "Ah hari ini rasany
"Aku pasti bisa buat mereka pisah," gumam Anara sendirian sedang memeluk lututnya di dalam kamar, dia gemetar setelah mengingat apa yang dikatakan Nasya sebelumnya. "Tidak ... tidak mungkin Mbak Nasya ingat semuanya, tidak mungkin ... atau ... dia sama sekali tidak pernah lupa ingatan!" Mata Anara membelalak sempurna setelah dia mengatakan apa yang baru saja dia ucapakan. "Ini hal yang paling mustahil, apa Mbak Nasya cuman mempermainkan aku, apa ini semua sudah diketahui sama Mbak Nasya, apa sebenarnya rencana Mbak Nasya?" Anara berada dalam masalah yang tidak bisa dia pecahkan, karena bukannya dia bisa memecahkan masalah malah yang pecah bakal kepalanya sendiri. "Aku harus melakukan sesuatu, Mas Anjas mungkin harus tahu semua ini, sia harus tahu kalau Mbak Nasya memiliki rencana yang ...." Tok Tok Tok Suar ketukan pintu yang membuat Anara langsung terhentak dari duduknya dia menelan saliva takut-takut seseorang mendengar pembicaraan yang dia lakukan pada dirinya sendir
Keputusan yang sangat berat, membuat Nasya melupakan semuanya lalu menulis kenangan baru? Itulah yang disampaikan oleh Anjas kepada Aina yang saat ini masih mengejar Jaka, ya berkat dukungan ibu Jaka. "Itu bisa menjadi peluang mu, Anjas, kau bisa kembali menarik perhatian Nasya jika itu terjadi, sementara Jaka, dia sulit merayu seorang wanita, Nasya akan sulit jatuh cinta padanya." "Nasya membenciku." Anjas yang sekarang memainkan secangkir kopi yang berada di hadapannya, dia menoleh ke samping dan berkata lagi, "Jaka bahkan berhasil membuatku ragu tentang anakku sendiri, dia berkata seharusnya aku mengecek kondisi fisik ku, secara tidak langsung dia mendidih aku mandul." Anjas mengepalkan tangan. "Jadi, Jaka berpikir bahwa Aysan adalah anaknya?" "Entahlah. Aku tidak tahu, hanya saja dengan hal itu, aku meragukan diriku sendiri." Dia lalu meraih gelas berisikan kopi hangat lalu meneguknya dalam sekali tegukan. "Tapi." Iya menekan gelas itu ke meja dan hampir meremukkan dengan tang
"Kau, astaga kau pikir kau siapa!" Jaka menghentakkan tubuh Anjas ke lantai dan kepalanya terbentur tepat ke dinding. "Kau sudah menghancurkannya, sejak awal, kau merebutnya dariku dan berharap agar bisa merebut Nasya lagi? Kau membuatnya menderita dan kau pikir kau akan mendapatkan kesempatan lagi hanya karena dia melupakan banyak hal tentang ku, he?" Jaka memberikan pelajaran pada Anjas walaupun dokter berusaha menenangkan Jaka tapi tetap saja kemarahan Jaka luar biasa, walau demikian Anjas juga Tidka ingin tinggal diam, dia lalu berdiri dan melawan Jaka dengan perkataan. "Walau pun kau berusaha keras untuk mengambil Nasya dariku, aku pastikan bahwa dia tidak akan mau dengan mu! Sia mencintai ku selamanya, dan aku adalah ayah dari putranya, aku adalah ayah Aysan."Jaka alu tertawa terbahak-bahak, dia maju selangkah, matanya seolah akan segera keluar dari kelopak matanya dengan urat wajah yang begitu terlihat jelas. "Aku pikir kau tahu soal ini, Anjas." Jaka tertawa, dia menggelen
"Apa yang harus aku lakukan Dok? Dia bahkan tidak bisa mengingat anaknya sendiri." Jaka tampak frustasi, luar biasa, dia meremas rambut tebalnya dan mengepalkan tangan satunya. Dokter yang duduk di belakang meja hanya bisa menghela nafas melihat betapa frustasinya Jaka. "Satu-satunya jalan adalah melakukan operasi, beda, ini bukan hanya mengenai psikologis Bu Nasya, tapi juga terjadi benturan di kepalanya, bukan hanya trauma tetapi juga masalah di dalam otaknya, kami sudah menemukan titik masalahnya, apa yang terjadi pada Bu Nasya sepenuhnya adalah trauma dan luka dalam." "Jadi ... Apa hal itu bisa membantunya, dokter?" Sang dokter tampak ragu tapi pada akhirnya dia menganggukkan kepala, dan berkata kepada Jaka, "Ya, kami akan melakukan yang terbaik untuk Bu Nasya dan Anda, Anda tak perlu cemas, serahkan semuanya kepada medis, Pak Jaka." Jaka merasa bahwa dia diberikan sebuah pencerahan yang dapat membuatnya merasa lega sempurna. Dia lu berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangan
Jaka panik luar biasa stelah dia melihat Nasya saat ini berada di dalam mobil yang berbeda dengannya, sebuah mobil taksi ke sebuah tempat yang dia kenali, yaitu rumah Anjas. Rupanya Nasya masih mengingat mengenai rumah mantan suaminya, tapi memorinya selama tiga tahun berlalu tidaklah dia ingat. Sementara di sisi yang lainnya Aysan sekarang berada di dalam rumah sakit dan berada dalam perawatan yang serius, yang membuat Jak betul-betul tidak bisa memahami situasi dan bagaimana dia akan mengontrol semua ini, semua yang terjadi sekarang. Walau pun seperti itu, dia tidak bisa melakukan apa pun selain ikut di belakang mobil taksi yang Nasya tumpangi, dan kini mobil itu berhenti tepat di hadapan rumah Anjas, sore sudah tiba, dan mungkin Anjas sudah berada di rumah saat ini, karena sudah jam pulang kantor. Nasya yang keluar dari taksi langsung menggedor-gedor pintu sambil berteriak di depan pintu, "Anjas, Mas, tolong cepat buka pintunya." "Nasya." Tangan Jaka langsung mencengkeram lenga
"Astaga." Kepanikan tentu saja sekarang dirasakan oleh Nasya, melihat bocah yang terus-menerus memanggilnya Mama sekarang terjatuh dari tangga menuju lantai paling bawah dan sekarang tubuhnya membeku tidak tahu bagaimana dan apa yang harus dilakukan olehnya. Tetapi beberapa saat kemudian dia tersadar bahwa kekacauan itu terjadi karenanya, Lalu Nasya kemudian berlari menuruni tangga. "Aku mohon jangan terjadi sesuatu, kamu harus baik-baik saja, apa yang aku telah lakukan padanya." air mata kemudian mengalir dari pipinya. dia langsung membungkuk dan meraih tubuhnya yang kepalanya sekarang terbentur dan mengalir darah dari sana. bocah ini tidak sadarkan diri Nasya sama sekali tidak tahu bagaimana harus apa. Jadi yang dia lakukan adalah mungkin membaca itu dan keluar dari rumah, ke arah pos satpam. Nasya sekarang panik lalu berteriak, "Tolong, terjadi sesuatu, Tolong! Bantu aku, Pak." satpam yang sedang meminum kopi dan membaca koran di pos satpam yaitu mendengar suara Nasya langsung
"Akan ada operasi yang mungkin kau akan lakukan, jadi aku mohon janga membangkang untuk kesembuhan kau, Nasya, aku harap aku paham." Jaka yang saat ini masih memandang ke arah Nasya yang duduk di hadapannya. sebenarnya pikran Nasya masih ingin percaya dengan apa yang dikatakan oleh Jaka tetapi sepertinya berbeda dengan hati Nasya yang tentu saja masih berpikir bahwa Anjas atau mantan suaminya itu adalah pribadi yang setia dan tidak mungkin menghianati Nasya. jadi Nasya masih memilih untuk tidak mempercayai apa yang Jaka katakan. "Aku hanya ingin sekali saja bertemu dengan Anjas dan mendengar apa yang dia katakan, jika kau mengurungku seperti ini bagaimana aku bisa percaya kepadamu, aku sama sekali tidak ...." dia menundukkan kepala dan merasa bimbang dengan apa yang harus dia katakan. Sesekali dia menelan saliva dan mencoba berpikir kata apa yang harus dia keluarkan dari mulutnya. "tentu saja ... astaga apa yang harus aku katakan lagi agar bisa membuat kau percaya. sepertinya tidak
"Aku sudah katakan semuanya, berkali-kali, Nasya, tapi kenapa kau sama sekali tidak percaya?" Jaka mencondongkan tubuhnya ke arah Nasya yang menghindar dan mengernyitkan kening. "Tolong jangan terlalu dekat dengan ku," ucap Nasya, dia memalingkan pandangan dan Jaka merasa bahwa ya sebaiknya Nasya diberikan sedikit ruang. Lalu tidak lama setelah itu, Boca berusia tiga tahun yang sudah bisa dikatakan aktif dalam berbicara dan memahami pembicaraan ringan seseorang itu berjalan ke arah Jaka. "Aysan." Jaka berdiri dari duduknya dan menghampiri Aysan, "Apa kau butuh sesuatu?" "Apa Mama masih marah sama Aysan?" dia menundukkan kepala cara dia bicara masih sangat sulit untuk dipahami tapi Jaka bisa cukup memahami ucapan Aysan, Nasya juga bisa memahami ucapan itu tapi dia memalingkan pandangannya sekarang, dia tidak ingin memikirkan banyak hal selain pikirannya sendiri yang lupa semuanya. Sementara Jaka dia berlutut setengah di hadapan Aysan dan berusaha meyakinkan bocah itu. "Aysan, Nak.
"Aku tidak bisa terus seperti ini," ucap Nasya yang sekarang berada dalam kondisi yang berantakan, wajahnya dan rambut gelombang yang bahkan belum disisir, matanya menandakan bahwa dia lelah dan tidak bisa berpikir jernih. Semua seolah menghilang dari memorinya. Dan hidup seolah tetap sama, dia merasa bahwa hidupnya sama seperti sebelumnya, tidak seperti apa yang dilihatnya sekarang, yaitu Jaka yang berada di hadapannya mungkin hanyalah omong kosong yang dibuat-buat oleh Jaka untuk mendekati Nasya, itulah Jaka di pikiran Nasya. "Seperti apa?" Jaka yang menyuguhkan makanan di atas meja, sekarang mereka berada di taman halaman depan rumah, Nasya tidak mau makan jika masih berada di dalam rumah karena dia menganggap bahwa jika dia terus berada di dalam rumah maka dia seolah dikurung di dalam sana. Dan dia tidak ingin seperti itu, Jaka pun tidak mau Nasya berpikir demikian. Sehingga yang dia lakukan adalah menuruti saja apa yang diinginkan oleh Nasya untuk saat ini. "Kau seperti menguru
Tok ... tok ... tok .... Suara ketukan yang datang dari luar kamar Nasya, saatnya adalah sarapan pagi, Nasya tidak membuka pintu semalam sehingga tidak ada makan malam yang membuat Jaka merasa cemas. Bagaimana tidak, Nasya menolak bertemu sementara Jaka terus membujuk dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau berusaha, Jaka masih belum bisa membujuk. Pagi harinya, Jaka masih berusaha keras, tapi sepertinya Nasya masih menolak, karena itulah Jaka pun mencoba untuk membujuk satu kali, berharap kali ini Nasya mengurungkan niat untuk bersifat keras. Ketukan demi ketukan, bujukan demi bujukan, tak ada satu pun yang berhasil. Aysan juga sudah sangat ingin bertemu dengan ibunya, yang semakin membuat Jaka merasa tidak nyaman. Makan malam gagal, sarapan pagi pun tidak digubris, hingga akhirnya makan siang tiba, Jaka bahkan tidak masuk kerja, dan dia pun bersama dengan Aysan mencoba membujuk Nasya. "Mama tidak mau makan." Aysan dengan ucapan yang masih belum fasih, "Aku tidak mau kalau Mama