Lupa jalan pulang? Tidak bukan itu yang terjadi, ingatan Nasya perlahan demi perlahan terungkap, sebelum dia tersesat dan berada di jalan yang selalu membuatnya hilang arah. Nasya masih berada di sekolah, mengajar dengan tenang dan tidak depresi sama sekali, dia wanita yang ceria hanya saja kadang dia tidak senang jika ditanya kapan hamil. Semuanya dimulai bukan setelah Anara datang, atau ingatan Nasya menghilang bukan karena sesuatu yang menyangkut dengan Anjas, saat ini dengan kondisi koma dan berada di atas ranjang rumah sakit, di ruang rawat dan dalam kondisi yang tidak sadar. Alam bawah Nasya membawanya mengungkap ingatan demi ingatan, tali demi tali, apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa semuanya terjadi. Semuanya dimulai ketika Nasya mendengar suara yang memanggil, "Bu Nasya." Suara itu membuat Nasya yang masih berada dalam kelas dan hendak keluar kelas karena sudah jam istirahat, menoleh. "Pak Roy?" Nasya seperti biasa memberikan senyum kepada Roy, "Ada apa,
"Oeeek, Oeeek, Oeeek!" Perlahan mata itu terbuka, kedua kelopak mata Nasya yang teduh, pandangannya kabur dan tubuhnya lemah, walau seperti itu pada akhirnya dia tetap bisa melawan kondisi koma yang dia alami. Dia menatap langit-langit dan mendengar suara rengekan bayi, Nasya menganga dan beberapa kali berkedip. Dia begitu lemas dan seolah tak merasa ada semangat selain setelah dia mendengar suara tangisan bayi yang dia tahu bahwa bayi itu adalah miliknya. "Nasya, sayang kamu udah sadar." Senyum di bibir Anjas terlihat dan Nasya pun mengarahkan pandangannya pada Anjas yang saat itu sedang menggendong bayinya. "Mas Anjas." Suara itu lembut dan dia tiba-tiba saja meneteskan air mata saat melihat Anjas yang begitu bahagia sedang menggendong bayi mereka. "Iya sayang aku di sini. Dan ini bayi kita, oh iya kamu udah siapkan nama untuk bayi kita, atau kamu mau aja yang ngasih?" Anjas bertanya, di sisi yang lain Anara yang berdiri di pinggir pintu memilih untuk pulang dan tid
"Akhirnya Aysan mama sama papa mu udah mau ke rumah kita, uch." Nasya mengecup kening putranya dan dia sudah bersiap-siap. Saatnya untuk pulang, Anjas bersiap-siap mengemas barang mereka bersama dengan Nasya dan putranya, mereka baru saja memberikan nama pada bayi laki-laki yang saat ini berada di gendongan Nasya. "Ayo sayang, Mas udah siapin mobilnya, semua barang udah ada di mobil," kata Anjas dengan lembut. Setelah berpamitan dengan para perawat yang merawat Nasya dan Anjas juga sudah mengurus administrasi serta pembayarannya dengan lunas, akhirnya mereka berdua sudah berada di dalam mobil dan melakukan perjalanan pulang. Nasya terus berbicara dengan bayinya dan ada sesuatu yang aneh, mata Anjas tiba-tiba membulat setelah dia menyadari sesuatu, bahwa istrinya tidak lagi melupakan dan tidak bersikap seperti biasanya. Seperti layaknya penderita Alzheimer, apa Nasya sekarang sudah sembuh, jangan-jangan dia sudah mengingat semuanya. Tetapi bagaimana bisa? Jika saja memang Nasya te
"Gimana Anara apa kamu bakal balik ke desa, kok cepat banget?" Nasya yang sekarang duduk di kursi makan dan menikmati makan malamnya stelah beberapa saat yang lalu dia menidurkan bayinya. Anara terkejut mendengar Nasya bertanya kepadanya, karena biasanya Nasya lupa dengan semua yang terjadi padanya tetapi sekarang apa yang terjadi? "Ke desa, hmm tergantung Mbak, aku belum tahu kapan. Tapi kalau Mbak Nasya udah bisa ngurus rumah sendiri aku bakal balik ke desa, mungkin satu pekan ke depan," jawab Anara membuat Nasya mengangguk-angguk. "Kan tujuan kamu ke rumah Mbak bukan buat bantuin Mbak, tapi buat kamu nebeng untuk kuliah kan?" "Uhk uhk uhk." Anjas langsung saja tersedak dan menatap ke arah Nasya, apa memang Nasya sudah sembuh?"Hmm ...." Anara menjadi gugup, dan Nasya menatap ke arahnya dengan tatapan yang bertanya-tanya, alisnya terangkat dan semakin membuat Anara hilang kata-kata. "Anara, kok diam aja sih?" Anara menelan saliva dan berkata dengan ragu, "Hmm ... Maaf Mbak ta
"Maksud Mbak Nasya sampai kami bercerai, apa?" Anara bertanya dengan bibir yang menganga, "Kok Mbak Nasya sampai bilang kayak gitu?" Anara yang masih berdiri kaku di hadapan Nasya, sementara Nasya hanya tersenyum dan semakin maju, sedikit demi sedikit ke arah Anara, dia menatap adiknya dengan tatapan yang tidak begitu tajam. "Hmm ... nggak, Mbak Nasya nggak bilang gitu, maksud kamu, apa Anara?" Pertanyaan itu membuat Anara semakin terkejut dan terhentak, tak lama setelah itu suara rengekan Aysan terdengar di kamar Nasya yang membuat Anara ditinggalkan Nasya saat ini. "Apa Mbak Nasya salah ucap atau aku yang salah dengar?" Anara masih diam di tempatnya berdiri, dia tidak bisa memikirkan sesuatu yang lain selain ucapan Nasya saat ini. Kenapa Nasya berkata seperti itu. Sangat membingungkan. "Uch uch uch sayangku, jangan nangis ya, uh sayang aku lagi lapar ya," ucap Nasya dengan lembut lalu memberikan bayinya susu, dia duduk di atas ranjang dan meluruskan kakinya. "Ah hari ini rasany
"Aku pasti bisa buat mereka pisah," gumam Anara sendirian sedang memeluk lututnya di dalam kamar, dia gemetar setelah mengingat apa yang dikatakan Nasya sebelumnya. "Tidak ... tidak mungkin Mbak Nasya ingat semuanya, tidak mungkin ... atau ... dia sama sekali tidak pernah lupa ingatan!" Mata Anara membelalak sempurna setelah dia mengatakan apa yang baru saja dia ucapakan. "Ini hal yang paling mustahil, apa Mbak Nasya cuman mempermainkan aku, apa ini semua sudah diketahui sama Mbak Nasya, apa sebenarnya rencana Mbak Nasya?" Anara berada dalam masalah yang tidak bisa dia pecahkan, karena bukannya dia bisa memecahkan masalah malah yang pecah bakal kepalanya sendiri. "Aku harus melakukan sesuatu, Mas Anjas mungkin harus tahu semua ini, sia harus tahu kalau Mbak Nasya memiliki rencana yang ...." Tok Tok Tok Suar ketukan pintu yang membuat Anara langsung terhentak dari duduknya dia menelan saliva takut-takut seseorang mendengar pembicaraan yang dia lakukan pada dirinya sendir
"Apa maksud kamu kalau Nasya lagi keluar?" Anjas yang sekarang menatap Anara dengan tatapan yang tajam membuat Anara sedikit merasa gugup. "Aku nggak tahu Masa, Mbak Nasya aja yang aja yang bilang kalau sebaiknya aku jagain Aysan," kata Anara yang masih terlihat sedikit gugup. Tidak biasa anak-anak terlihat gugup di hadapan Anjas. tetapi kali ini dia merasa sedikit kegugupan. "dan kamu biarin aja kakak kamu yang baru aja melahirkan dan menderita penyakit pikun buat keluar dari rumah ini?" Anjas membesarkan suaranya, "Astaga Anara bagaimana bisa aku percaya sama kamu, ah lihat apa yang kamu lakuin sekarang!" "Mas ini bukan salah aku, bukannya Mbak Nasya udah baikan ya ingatannya, kenapa sekarang Mas malah cemas. Mas juga yang ngusir aku dari rumah ini. Seolah Mas nggak butuh sama aku lagi!" Anara yang melepaskan rasa gugupnya dan tidak ingin begitu saja terlihat lemah di hadapan Anjas dan saat ini Anjas yang mendengar apa yang dikatakan oleh anara membuat dirinya naik pitam. bisa-b
"Aku sudah tahu semuanya, semua yang dilakukan Mas Anjas, aku sudah ingat dengan apa yang dia lakukan bersama Anara." Penjelasan yang dikatakan oleh Nasya kepada Jaka yang hanya diam di hadapannya, tampak Jaka hanya menganga dan sedang mencari kata apa yang akan dia gunakan guna membalas keterkejutannya saat ini. "Jadi ....""Aku ingin kau membantu aku Mas Jaka, agar aku bisa bercerai dengan Anjas, dan mengakhiri semua ini, aku ingin membawa anakku dan hidup di desa, aku sedang tidak ingin memikirkan banyak hal lagi," jelas Nasya dengan nada suara yang begitu lemah. "Tapi bagaimana jika Anjas menolak dan ingin mendapatkan hak asuh Aysan?" tanya Jaka. "Aysan ... Dia bukan anak Mas Anjas." Mata Jaka membelalak sempurna dan dipenuhi dengan tanda tanya, sesekali Jaka menelan saliva dan masih heran dengan apa yang dikatakan oleh Anara, kenapa Anara mengatakan hal demikian, apa maksud Anara bahwa Aysan bukan anak Anjas? "Kamu pasti bercanda kan, kamu nggak mungkin selingkuh dari Anjas