"Aku akan membalaskan dendam mu, Nasya. Aku akan menghancurkan manusia yang sudah menodai mu. Aku berjanji padaku." Jaka sekarang sibuk mengendarai mobil dan tatapannya tajam ke depan, mengarah ke arah jalan raya, dia tahu dia akan ke mana, tentu saja ke arah tempat tinggal Roy. Jika saja dia tidak bisa membalaskan dendam Nasya maka dia tidak tahu bagaimana dia akan membuat Nasya bahagia. Walaupun Nasya tidak meminta untuk dibalas kan dendamnya, tetap saja Jaka tetap tidak terima perlakuan buruk itu. Dia akan menghancurkan Roy dan Anjas hingga berkeping-keping sampai mereka baikan berharap bahwa mereka tidak pernah dilahirkan sama sekali ke dunia. "Lihat saja, setelah Roy, aku akan menghabisi Anjas, aku akan menghabisi kalian semua, penjahat, bajingan! tidak tahu diri! Arh mereka hanya membuat aku marah saja!" Jaka sambil memukul-mukul setir mobil dan tatapannya penuh dengan kebencian, sebuah kebencian yang tidak bisa dijelaskan betapa marahnya dia terhadap Anjas dan Roy. Sekarang
"Anda mungkin salah orang, sebaiknya aku pergi dari sini," ucapnya dan hendak membuka pintu mobil tetapi Jaka menghentikannya dengan menahan tangan wanita itu, dia lalu mengulurkan niatnya untuk pergi, menatap Jaka dengan tatapan yang mengernyitkan kening seoalah ada yang salah dengan Jaka saat ini, dia berkata, "Apa sebenarnya yang salah dengan Anda. Kenapa Anda melakukan hal ini, dan kenapa Anda memfitnah tunangan saya, calon suami saya bahwa sia bajingan yang tidak pantas untuk saya nikahi, ha? Memangnya apa urusannya dengan Anda?" Tatapan itu tajam dan Jaka lalu melepaskan tangan itu, dia masih diam dan bersikap tenang di samping wanita ini. "Jadi kamu memilih untuk tak percaya sama aku? Tidak masalah jika kamu memang tidak percaya." Jaka yang masih menatap ke arah depan, mereka masih berada di dalam mobil yang sama. "Lagi pula aku tidak peduli jika memang kamu masih percaya pada sosok yang tidak berguna itu dibandingkan saya." Dia lalu menolehkan pandnagannya ke arah wanita yang
"Kok Mas Roy nggak datang-datang ya, kok dia nggak ngangkat telpon aku padahal kita udah janji buat ketemu di sini, ih ada apa sih sama dia?" Pertanyaan itu keluar dari bibir Ina yang merasa kesal karena Roy tidak mengangkat panggilannya. Dia bahkan mengepalkan tangan dan ingin membanting ponselnya hanya karena Roy tidak menjawab panggilan darinya. "Memang ada masalah apa sih sama dia." Kembali lagi Ina memanggil nomor tunangannya itu tapi sama sekali tidak ada balasan, tidak ada jawaban dan hanya rasa sakit di kepalanya dan kekesalan yang dia rasakan sekarang. "Pasti dia ngurus organisasi nih ya sampai-sampai dia lupa sama aku." Lalu dia kemudian duduk dan berdiri lagi, dia melakukan hal itu terus menerus tanpa lelah, mondar-mandir sampai make up nya akan segera luntur, dia juga memijat kening yang penat itu, dan kembali duduk lalu mencoba menghubungi Roy tetapi Roy sama sekali tidak memberikan balasan pada Ina, yang di mana saat itu, Ina bahkan mengirimkan pesan berkali-kali kepa
"Jadi selama ini kamu sudah tahu, semuanya?" Anjas yang duduk di sofa berdekatan dengan Nasya yang sekarang duduk di sofa lainnya, dia bahkan tak berani memandang Nasya. "Ayolah Nasya, katakan sesuatu sama aku, jadi kamu diam-diam menulis semuanya dan bodohnya aku, bahkan tidak curiga sama sekali." Anjas yang masih tidak berani menatap Nasya. "Aku akan membawa Aysan sama aku, aku juga bakal balik ke desa, kalau Mas mau tetap bareng Anara, nggak masalah, tapi Mas udah nggak punya hak ketemu sama Aysan," jelas Nasya dengan suara tenang yang lembut, tangan Anjas mengepal, "Aku tahu ini tiba-tiba, tetapi aku harap Mas juga sadar apa yang Mas udah lakuin ke aku." "Aku nggak mau cerai." Mata Nasya langsung mengarah ke arah Anjas dengan tatapan yang terlihat marah, dan Anjas degan berani pula mengangkat pandangannya dan menatap mata Nasya dengan tatapan yang sama pula, "Aku tidak akan bercerai Nasya, tidak peduli kamu punya bukti apa untuk nuntut aku, tetap aku tidak akan menceraikan kamu,
"Pak Anjas sudah lima hari nggak ada kabar, nggak masuk-masuk kerja, memangnya ada apa ya?" Terdengar di telinga Jaka ketika dia melewati divisi tempat Anjas berkerja, banyak diantara mereka mulai bergunjing. "Katanya istrinya melahirkan, tapi kan udah lima hari padahal cutinya cuman tiga hari, terus nggak ada perayaan juga buat bayinya, padahal anak pertama." Jaka terhenti setelah mendengar percakapan itu dan dia langsung mengarahkan pandangannya ke arah karyawan yang bergunjing sekarang dengan tatapan yang menyipitkan mata, karena tak menyadari akan tatapan Jaka, mereka masih bergunjing hingga akhirnya mereka sadar akan kehadiran Jaka yang berdiri sejak tadi di sana sehingga semua orang yang bergunjing berhenti mengatakan sesuatu mengenai Anjas. "Jadi Anjas masih belum masuk kerja?" Pertanyaan itu datang dari Jaka, "Oh berarti jika seperti itu banyak pekerjaan yang terbengkalai, astaga aku akan mendatanginya dan memberikan dia surat peringatan jika tidak maka akan aku pecat." Ucap
Permasalahan antara Anjas dan juga Nasya masih belum selesai, dan Anjas betul-betul tidak ingin bercerai dengan Nasya, dia menyadari kesalahannya tetapi dia juga tidak ingin kehilangan Nasya apalagi sampai bercerai, padahal mereka baru saja punya seorang anak, dan anak itu adalah anak pertama mereka. Sangat disayangkan jika mereka langsung bercerai. Saat malam tiba, mereka bahkan belum makan malam karena Anara sendiri tidak ingin keluar kamar, dia lebih memilih berada di dalam sana sendirian dan bermain ponsel memikirkan bagaimana nasibnya nanti, apalagi dia menyadari kalau Anjas sama sekali tidak mencintai dirinya, sangat menyakitkan, padahal Anara sekarang sudah bawa perasaan kepada Anjas. Walaupun semuanya hanya misi belaka, tetap saja bagi Anara, Anjas adalah sosok yang dia inginkan, padahal dia tahu sendiri bagaimana sifat Anjas yang sebenarnya, sosok bajingan yang tidak merasa bersalah, kadang memikirkan pria seperti itu saja sangat menjijikkan bagi setiap gadis di luar sana t
"Ambilkan aku seember air." Perintah itu langsung dilaksanakan oleh anak buah, Jaka. Setelah seember air itu datang, Jaka dengan sangat tenang langsung menyeramkan air itu ke wajah Roy yang saat itu terlelap dan secara mendadak kini bangun tiba-tiba. "Hai Bajingan, kamu kenal saya kan, oh baiklah sekarang sebaiknya kamu mendapatkan ganjaran atas perbuatan mu." Mata itu langsung membelalak sementara kursi yang dia duduki hampir saja jatuh karena tubuhnya yang terhentak ke belakang, dia betul-betul kaget melihat Jaka yang berada di hadapannya, Jaka yang memakai kacamata saat itu melepas kacamatanya dan mengelap kacamata itu dengan kain. "Kamu pasti terkejut kan? Wah akhirnya aku bisa membuat kami terkejut, setelah selama ini aku ingin sekali memberikan kamu sesuatu yang bahkan lebih mengejutkan." Senyum menyeringai diberikan Jaka setelah dia kembali menempelkan kacamata itu dan membingkai kedua kelopak mata siren yang tajam. Dia menghentikan senyumnya dan dia duduk di kursi tepat di
Nasya begitu menjauh dari Anjas, di bahkan memilih untuk tidur sedikit lebih meminggir, dan itu membuat Anjas merasa bersalah. Dia lalu memilih untuk keluar dari kamarnya dan tidur di ruang tamu. Nasya mengunci diri sendiri setelah dia menyadari bahwa Anjas keluar dari kamar itu. Berharap bahwa dia bisa menanggung rasa sakitnya. Dia juga begitu takut seandainya Anjas tahu bahwa selama ini dialah yang mandul dan tidak bisa memiliki anak. Nasya tidak ingin menyakiti Anjas lebih dalam jika saja dia tahu bahwa Aysan bukanlah putranya. Nasya sudah tahu bahwa Anjas lah yang tidak subur sejak terakhir kali mereka mengecek kesuburan. Hanya saja, sayang sekali Nasya menyembunyikan semua itu, hanya agar Anjas tidak sakit hati, berharap bahwa pengecekan setelahnya akan menjawab dengan jawaban yang berbeda dari sebelumnya, tetapi sebelum pengecekan mereka lagi, Nasya sudah mengalami dan menderita penyakit alzheimer. Kini dia berharap bahwa perceraian mereka akan mengakhiri penderitaan mereka
"Akan ada operasi yang mungkin kau akan lakukan, jadi aku mohon janga membangkang untuk kesembuhan kau, Nasya, aku harap aku paham." Jaka yang saat ini masih memandang ke arah Nasya yang duduk di hadapannya. sebenarnya pikran Nasya masih ingin percaya dengan apa yang dikatakan oleh Jaka tetapi sepertinya berbeda dengan hati Nasya yang tentu saja masih berpikir bahwa Anjas atau mantan suaminya itu adalah pribadi yang setia dan tidak mungkin menghianati Nasya. jadi Nasya masih memilih untuk tidak mempercayai apa yang Jaka katakan. "Aku hanya ingin sekali saja bertemu dengan Anjas dan mendengar apa yang dia katakan, jika kau mengurungku seperti ini bagaimana aku bisa percaya kepadamu, aku sama sekali tidak ...." dia menundukkan kepala dan merasa bimbang dengan apa yang harus dia katakan. Sesekali dia menelan saliva dan mencoba berpikir kata apa yang harus dia keluarkan dari mulutnya. "tentu saja ... astaga apa yang harus aku katakan lagi agar bisa membuat kau percaya. sepertinya tidak
"Aku sudah katakan semuanya, berkali-kali, Nasya, tapi kenapa kau sama sekali tidak percaya?" Jaka mencondongkan tubuhnya ke arah Nasya yang menghindar dan mengernyitkan kening. "Tolong jangan terlalu dekat dengan ku," ucap Nasya, dia memalingkan pandangan dan Jaka merasa bahwa ya sebaiknya Nasya diberikan sedikit ruang. Lalu tidak lama setelah itu, Boca berusia tiga tahun yang sudah bisa dikatakan aktif dalam berbicara dan memahami pembicaraan ringan seseorang itu berjalan ke arah Jaka. "Aysan." Jaka berdiri dari duduknya dan menghampiri Aysan, "Apa kau butuh sesuatu?" "Apa Mama masih marah sama Aysan?" dia menundukkan kepala cara dia bicara masih sangat sulit untuk dipahami tapi Jaka bisa cukup memahami ucapan Aysan, Nasya juga bisa memahami ucapan itu tapi dia memalingkan pandangannya sekarang, dia tidak ingin memikirkan banyak hal selain pikirannya sendiri yang lupa semuanya. Sementara Jaka dia berlutut setengah di hadapan Aysan dan berusaha meyakinkan bocah itu. "Aysan, Nak.
"Aku tidak bisa terus seperti ini," ucap Nasya yang sekarang berada dalam kondisi yang berantakan, wajahnya dan rambut gelombang yang bahkan belum disisir, matanya menandakan bahwa dia lelah dan tidak bisa berpikir jernih. Semua seolah menghilang dari memorinya. Dan hidup seolah tetap sama, dia merasa bahwa hidupnya sama seperti sebelumnya, tidak seperti apa yang dilihatnya sekarang, yaitu Jaka yang berada di hadapannya mungkin hanyalah omong kosong yang dibuat-buat oleh Jaka untuk mendekati Nasya, itulah Jaka di pikiran Nasya. "Seperti apa?" Jaka yang menyuguhkan makanan di atas meja, sekarang mereka berada di taman halaman depan rumah, Nasya tidak mau makan jika masih berada di dalam rumah karena dia menganggap bahwa jika dia terus berada di dalam rumah maka dia seolah dikurung di dalam sana. Dan dia tidak ingin seperti itu, Jaka pun tidak mau Nasya berpikir demikian. Sehingga yang dia lakukan adalah menuruti saja apa yang diinginkan oleh Nasya untuk saat ini. "Kau seperti menguru
Tok ... tok ... tok .... Suara ketukan yang datang dari luar kamar Nasya, saatnya adalah sarapan pagi, Nasya tidak membuka pintu semalam sehingga tidak ada makan malam yang membuat Jaka merasa cemas. Bagaimana tidak, Nasya menolak bertemu sementara Jaka terus membujuk dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau berusaha, Jaka masih belum bisa membujuk. Pagi harinya, Jaka masih berusaha keras, tapi sepertinya Nasya masih menolak, karena itulah Jaka pun mencoba untuk membujuk satu kali, berharap kali ini Nasya mengurungkan niat untuk bersifat keras. Ketukan demi ketukan, bujukan demi bujukan, tak ada satu pun yang berhasil. Aysan juga sudah sangat ingin bertemu dengan ibunya, yang semakin membuat Jaka merasa tidak nyaman. Makan malam gagal, sarapan pagi pun tidak digubris, hingga akhirnya makan siang tiba, Jaka bahkan tidak masuk kerja, dan dia pun bersama dengan Aysan mencoba membujuk Nasya. "Mama tidak mau makan." Aysan dengan ucapan yang masih belum fasih, "Aku tidak mau kalau Mama
Untuk saat ini, Anara terlupakan dan dia hidup dengan dirinya sendiri, tidak ada siapa pun yang dia temani bahkan Jaka tak lagi menghubunginya, sementara dia sendiri berusaha untuk hidup tenang walau masih ada rasa benci terhadap kakaknya sendiri. Dia tidak ingin kakaknya bahagia dan dia berusaha agar bisa kembali mendapatkan kedamaian dan kebahagian dari kakaknya. Dengan kata lain dia berusaha agar bisa menghancurkan hidup kakaknya sendiri. Tetapi bukan momennya menceritakan mengenai Anara yang dab masalahnya yang terus menerus merugikan tubuhnya dan hidup dalam kebebasan malam, karena saat ini Nasya sedang bergelut dengan dirinya sendiri dan pikirannya, dia mondar-mandir dan bahkan lupa apa yang selama ini terjadi pada hidupnya. Foto dan rekaman terus dia lihat tapi sama sekali tidak ada yang membuat Nasya merasa percaya. Seolah semuanya begitu dibuat-buat. Jaka sementara mencoba menenangkan Aysan yang terus menangis memanggil ibunya yang terkunci di dalam kamar, walau berada di d
"Aku pikir Bu Nasya sudah sembuh, tapi ternyata itu hanya bersifat sementara saja," kata dokter Afia yang dipanggil kembali oleh Jaka, dokter Afia sangat baik dan merawat Nasya sebelumnya, dan Jaka berharap bahwa dokter Afia kembali bisa membantu Nasya. "Aku pikir begitu juga, dokter. Sayangnya aku salah dan ternyata alzheimer tidak semudah itu untuk hilang bagi pengidapnya." Dokter Afia diam sejenak dan berpikir lalu berkata, "Aku pikir itu bukan Alzheimer. Ini penyakit yang berbeda, aku tidak tahu apa. Alzheimer adalah penyakit yang tidak akan sembuh dan Bu Nasya sempat mengingat semuanya sementara penderita Alzheimer tidak bisa. Mungkin ini adalah penyakit yang disebabkan trauma berat, bukankah penyakit Bu Nasya pertama kali ada setelah dia mengalami trauma yang terjadi padanya di sekolah, Pak Jaka?" Jaka diam karena terlalu fokus dalam mendengarkan dan dia membayangkan apa yang akan terjadi jika penyakit Nasya betul-betul kembali dan Anjas datang kepadanya maka Nasya pasti akan
Mengetahui bahwa Nasya sekarang kembali mengalami penyakit Alzheimer yang akan melupakan apa pun yang terjadi membuat Anjas merasa semakin bersemangat untuk melakukan misi yang diberikan padanya, kini dia tahu apa yang harus dia lakukan, selain itu dia juga meminta agar Aina memberikan dia sebuah pekerjaan yang pada akhirnya Aina memberikan pekerjaan untuk menjadi seorang bodyguard pribadi dari Aina. Awalnya Anjas merasa enggan dan tak mau menjadi seorang bodyguard, tapi pada akhirnya dia menerima saja apa yang diinginkan oleh Aina. Lagi pula mereka memiliki misi yang sama dan berharap bahwa mereka bisa meraih misi mereka, memisahkan Jaka dan juga Nasya, yang di mana Anjas juga memiliki perasaan dendam pada Jaka, untuk pertama kali dalam hidupnya dia tidak akan membiarkan Jaka menang, dia sebenarnya jika bersaing dengan Jaka, maka Anjas akan keluar sebagai pemenang, tapi kali ini Jaka memenangkan Nasya bahkan Aysan yang membuat Anjas semakin membara karena selama ini dia belum pernah
"Jadi selama ini dia menulisnya?" gumaman itu muncul dari mulut Anjas yang menemukan lembaran kertas dan buku yang pernah disembunyikan oleh Nasya, dia menemukan beberapa foto dan juga rekaman dan dia menyadari bahwa selama ini Nasya telah membencinya, ya Nasya begitu membenci Anjas selama ini. "Menyebalkan, kenapa aku harus melakukan hal bejat itu, bahkan sekarang aku tidak tahu bagaimana semua ini akan berakhir." Dia menelan saliva dan mencoba berbaring dengan tenang, apalagi sekarang dia punya masalah dengan bos besar yang menjadi atasan di tempat dia bekerja, sekarang dia terancam dipecat, sehingga tak akan ada lagi pekerjaan untuk Anjas, betul naas hidup Anjas setelah bercerai dengan Nasya, padahal selama ini hidupnya baik-baik saja bersama dengan Nasya, aman dan dia merasa dendam kepada Jaka. Tetapi Anjas terlalu lemah untuk menjadi pendendam, lagi pula dia masih bisa memanfaatkan Aina yang juga ingin memisahkan Jaka dengan Nasya, bahkan dalam hidup Anjas, Anara sudah tidak ada
Jaka yang saat ini melangkah cepat dan jantung yang berdetak dengan kencang, Dia segera mengangkat tubuh Nasya, tubuh yang saat ini begitu lemah dan dia dengan cemas menggendong tubuh Nasya segera ke tempat tidur. Di sudut kamar, Aysan, balita kecil, dia sangat membutuhkan ibunya, dan terus merengek, suaranya memecah keheningan.. Tangisan itu membuat suasana semakin mencekam, sementara Jaka mencoba menenangkan Nasya dan memeluk Aysan di saat bersamaan. Aina, yang masih berdiri di ambang pintu kamar, hanya memperhatikan tanpa menunjukkan rasa peduli pada keadaan Nasya. Tatapan yang begitu dingin, dan bibirnya tersenyum sinis. Dia menyilangkan tangan di dada, tampak tak sabar. “Jaka, sampai kapan kamu akan bertahan dengan wanita ini? Lihat dirimu, kamu terlihat lelah dan kehabisan tenaga. Ha ya mungkin penyakit itu kambuh." Tatapan Jaka mengernyit, apa maksudnya, apa Aina tahh semuanya, maksud Jaka, apa Aina tahu mengenai penyakit Nasya dan berusaha mengolok-olok Lika Nasya, dan saa