"Gimana Anara apa kamu bakal balik ke desa, kok cepat banget?" Nasya yang sekarang duduk di kursi makan dan menikmati makan malamnya stelah beberapa saat yang lalu dia menidurkan bayinya. Anara terkejut mendengar Nasya bertanya kepadanya, karena biasanya Nasya lupa dengan semua yang terjadi padanya tetapi sekarang apa yang terjadi? "Ke desa, hmm tergantung Mbak, aku belum tahu kapan. Tapi kalau Mbak Nasya udah bisa ngurus rumah sendiri aku bakal balik ke desa, mungkin satu pekan ke depan," jawab Anara membuat Nasya mengangguk-angguk. "Kan tujuan kamu ke rumah Mbak bukan buat bantuin Mbak, tapi buat kamu nebeng untuk kuliah kan?" "Uhk uhk uhk." Anjas langsung saja tersedak dan menatap ke arah Nasya, apa memang Nasya sudah sembuh?"Hmm ...." Anara menjadi gugup, dan Nasya menatap ke arahnya dengan tatapan yang bertanya-tanya, alisnya terangkat dan semakin membuat Anara hilang kata-kata. "Anara, kok diam aja sih?" Anara menelan saliva dan berkata dengan ragu, "Hmm ... Maaf Mbak ta
"Maksud Mbak Nasya sampai kami bercerai, apa?" Anara bertanya dengan bibir yang menganga, "Kok Mbak Nasya sampai bilang kayak gitu?" Anara yang masih berdiri kaku di hadapan Nasya, sementara Nasya hanya tersenyum dan semakin maju, sedikit demi sedikit ke arah Anara, dia menatap adiknya dengan tatapan yang tidak begitu tajam. "Hmm ... nggak, Mbak Nasya nggak bilang gitu, maksud kamu, apa Anara?" Pertanyaan itu membuat Anara semakin terkejut dan terhentak, tak lama setelah itu suara rengekan Aysan terdengar di kamar Nasya yang membuat Anara ditinggalkan Nasya saat ini. "Apa Mbak Nasya salah ucap atau aku yang salah dengar?" Anara masih diam di tempatnya berdiri, dia tidak bisa memikirkan sesuatu yang lain selain ucapan Nasya saat ini. Kenapa Nasya berkata seperti itu. Sangat membingungkan. "Uch uch uch sayangku, jangan nangis ya, uh sayang aku lagi lapar ya," ucap Nasya dengan lembut lalu memberikan bayinya susu, dia duduk di atas ranjang dan meluruskan kakinya. "Ah hari ini rasany
"Aku pasti bisa buat mereka pisah," gumam Anara sendirian sedang memeluk lututnya di dalam kamar, dia gemetar setelah mengingat apa yang dikatakan Nasya sebelumnya. "Tidak ... tidak mungkin Mbak Nasya ingat semuanya, tidak mungkin ... atau ... dia sama sekali tidak pernah lupa ingatan!" Mata Anara membelalak sempurna setelah dia mengatakan apa yang baru saja dia ucapakan. "Ini hal yang paling mustahil, apa Mbak Nasya cuman mempermainkan aku, apa ini semua sudah diketahui sama Mbak Nasya, apa sebenarnya rencana Mbak Nasya?" Anara berada dalam masalah yang tidak bisa dia pecahkan, karena bukannya dia bisa memecahkan masalah malah yang pecah bakal kepalanya sendiri. "Aku harus melakukan sesuatu, Mas Anjas mungkin harus tahu semua ini, sia harus tahu kalau Mbak Nasya memiliki rencana yang ...." Tok Tok Tok Suar ketukan pintu yang membuat Anara langsung terhentak dari duduknya dia menelan saliva takut-takut seseorang mendengar pembicaraan yang dia lakukan pada dirinya sendir
"Apa maksud kamu kalau Nasya lagi keluar?" Anjas yang sekarang menatap Anara dengan tatapan yang tajam membuat Anara sedikit merasa gugup. "Aku nggak tahu Masa, Mbak Nasya aja yang aja yang bilang kalau sebaiknya aku jagain Aysan," kata Anara yang masih terlihat sedikit gugup. Tidak biasa anak-anak terlihat gugup di hadapan Anjas. tetapi kali ini dia merasa sedikit kegugupan. "dan kamu biarin aja kakak kamu yang baru aja melahirkan dan menderita penyakit pikun buat keluar dari rumah ini?" Anjas membesarkan suaranya, "Astaga Anara bagaimana bisa aku percaya sama kamu, ah lihat apa yang kamu lakuin sekarang!" "Mas ini bukan salah aku, bukannya Mbak Nasya udah baikan ya ingatannya, kenapa sekarang Mas malah cemas. Mas juga yang ngusir aku dari rumah ini. Seolah Mas nggak butuh sama aku lagi!" Anara yang melepaskan rasa gugupnya dan tidak ingin begitu saja terlihat lemah di hadapan Anjas dan saat ini Anjas yang mendengar apa yang dikatakan oleh anara membuat dirinya naik pitam. bisa-b
"Aku sudah tahu semuanya, semua yang dilakukan Mas Anjas, aku sudah ingat dengan apa yang dia lakukan bersama Anara." Penjelasan yang dikatakan oleh Nasya kepada Jaka yang hanya diam di hadapannya, tampak Jaka hanya menganga dan sedang mencari kata apa yang akan dia gunakan guna membalas keterkejutannya saat ini. "Jadi ....""Aku ingin kau membantu aku Mas Jaka, agar aku bisa bercerai dengan Anjas, dan mengakhiri semua ini, aku ingin membawa anakku dan hidup di desa, aku sedang tidak ingin memikirkan banyak hal lagi," jelas Nasya dengan nada suara yang begitu lemah. "Tapi bagaimana jika Anjas menolak dan ingin mendapatkan hak asuh Aysan?" tanya Jaka. "Aysan ... Dia bukan anak Mas Anjas." Mata Jaka membelalak sempurna dan dipenuhi dengan tanda tanya, sesekali Jaka menelan saliva dan masih heran dengan apa yang dikatakan oleh Anara, kenapa Anara mengatakan hal demikian, apa maksud Anara bahwa Aysan bukan anak Anjas? "Kamu pasti bercanda kan, kamu nggak mungkin selingkuh dari Anjas
"Aku akan membalaskan dendam mu, Nasya. Aku akan menghancurkan manusia yang sudah menodai mu. Aku berjanji padaku." Jaka sekarang sibuk mengendarai mobil dan tatapannya tajam ke depan, mengarah ke arah jalan raya, dia tahu dia akan ke mana, tentu saja ke arah tempat tinggal Roy. Jika saja dia tidak bisa membalaskan dendam Nasya maka dia tidak tahu bagaimana dia akan membuat Nasya bahagia. Walaupun Nasya tidak meminta untuk dibalas kan dendamnya, tetap saja Jaka tetap tidak terima perlakuan buruk itu. Dia akan menghancurkan Roy dan Anjas hingga berkeping-keping sampai mereka baikan berharap bahwa mereka tidak pernah dilahirkan sama sekali ke dunia. "Lihat saja, setelah Roy, aku akan menghabisi Anjas, aku akan menghabisi kalian semua, penjahat, bajingan! tidak tahu diri! Arh mereka hanya membuat aku marah saja!" Jaka sambil memukul-mukul setir mobil dan tatapannya penuh dengan kebencian, sebuah kebencian yang tidak bisa dijelaskan betapa marahnya dia terhadap Anjas dan Roy. Sekarang
"Anda mungkin salah orang, sebaiknya aku pergi dari sini," ucapnya dan hendak membuka pintu mobil tetapi Jaka menghentikannya dengan menahan tangan wanita itu, dia lalu mengulurkan niatnya untuk pergi, menatap Jaka dengan tatapan yang mengernyitkan kening seoalah ada yang salah dengan Jaka saat ini, dia berkata, "Apa sebenarnya yang salah dengan Anda. Kenapa Anda melakukan hal ini, dan kenapa Anda memfitnah tunangan saya, calon suami saya bahwa sia bajingan yang tidak pantas untuk saya nikahi, ha? Memangnya apa urusannya dengan Anda?" Tatapan itu tajam dan Jaka lalu melepaskan tangan itu, dia masih diam dan bersikap tenang di samping wanita ini. "Jadi kamu memilih untuk tak percaya sama aku? Tidak masalah jika kamu memang tidak percaya." Jaka yang masih menatap ke arah depan, mereka masih berada di dalam mobil yang sama. "Lagi pula aku tidak peduli jika memang kamu masih percaya pada sosok yang tidak berguna itu dibandingkan saya." Dia lalu menolehkan pandnagannya ke arah wanita yang
"Kok Mas Roy nggak datang-datang ya, kok dia nggak ngangkat telpon aku padahal kita udah janji buat ketemu di sini, ih ada apa sih sama dia?" Pertanyaan itu keluar dari bibir Ina yang merasa kesal karena Roy tidak mengangkat panggilannya. Dia bahkan mengepalkan tangan dan ingin membanting ponselnya hanya karena Roy tidak menjawab panggilan darinya. "Memang ada masalah apa sih sama dia." Kembali lagi Ina memanggil nomor tunangannya itu tapi sama sekali tidak ada balasan, tidak ada jawaban dan hanya rasa sakit di kepalanya dan kekesalan yang dia rasakan sekarang. "Pasti dia ngurus organisasi nih ya sampai-sampai dia lupa sama aku." Lalu dia kemudian duduk dan berdiri lagi, dia melakukan hal itu terus menerus tanpa lelah, mondar-mandir sampai make up nya akan segera luntur, dia juga memijat kening yang penat itu, dan kembali duduk lalu mencoba menghubungi Roy tetapi Roy sama sekali tidak memberikan balasan pada Ina, yang di mana saat itu, Ina bahkan mengirimkan pesan berkali-kali kepa