Malam itu Bianca merasa sangat bahagia, karena untuk pertama kali setelah kecelakaan yang menimpanya Cloud mau menghadiri pesta yang digelar temannya. Anak gadisnya itu juga tak sungkan meminta bantuan merapikan tatanan rambut padanya.“Sudah selesai, sekarang coba berdiri di depan cermin!”Cloud menurut lantas mematut diri. Ia menggerakkan pelan kepalanya ke kiri dan kanan lalu memutar badan untuk memastikan bagian belakang rambut dan gaunnya sudah paripurna.“Aku akan pulang sebelum jam dua belas malam,” ucap Cloud seraya mengambil tas tangan yang ada di meja.“Terserah kamu saja! Hari ini pokoknya Mama dan papa bebaskan kamu. Mau kamu pesta sampai pagi pun tidak apa-apa, asal jaga diri baik-baik.”Cloud mengangguk mendengar ucapan Bianca. Di dalam kepalanya muncul sebuah tanda tanya besar. Cloud merasa sedikit aneh. Bukankah biasanya orangtua akan meminta anak perempuannya untuk tidak pulang terlalu malam.“Baiklah, lagipula aku juga punya kunci rumah,” jawab Cloud. “Mama tidak per
"Tidak! Aku tidak minum itu. Minuman keras hanya merusak otakku."Cloud menolak uluran gelas berleher tinggi dari temannya. Dia tertawa lantas berjalan menuju meja hidangan untuk mengambil jus dari sana. Cloud menyesap sedikit lalu memutar badan untuk kembali berbaur dengan teman-temannya. Namun, tak Cloud duga ada seseorang yang berdiri tepat di belakangnya, cairan di dalam gelas yang dia pegang pun mengenai bagian depan jas orang itu dan membuatnya panik. "Maaf!" Cloud meletakkan gelas ke meja lalu menyambar sekotak tisu yang memang ada di setiap meja, tapi bukan untuk membersihkan, tapi dia berikan ke orang itu agar melakukannya sendiri."Kenapa melihatku seperti itu?" Cloud mendongak, keningnya berkerut melihat Nic yang memasang muka dingin padanya."Bukankah seharusnya kamu yang membersihkannya? Kamu sudah menumpahkan jus itu ke jasku dan menyuruhku membersihkannya sendiri? Sopan sekali!" Nic berpura-pura tergelak ironi, padahal dia sengaja berdiri merapat ke Cloud agar gadis i
Setelah kejadian malam itu, Cloud merasa ada yang berubah. Tatapan orang-orang padanya sedikit berbeda. Bahkan meskipun sudah jujur ke orangtuanya, baik Bianca maupun Skala tak ada yang percaya. Mereka menganggap dia hanya beralasan agar tidak mendapat hukuman."Apa untungnya bagiku berbohong?"Kalimat itu selalu Cloud katakan, tapi nyatanya tak membuat hati mama dan papanya luluh.Hingga malam itu Cloud yang turun dari kamar untuk makan mendapatkan sebuah kejutan tak terduga. Nic datang ke rumah dan sudah duduk satu meja bersama orangtuanya."Kamu! Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu ingin membuat papa dan mamaku semakin membenciku?"Cloud tak bisa menyembunyikan rasa marah, sedangkan Nic bersikap tenang seperti tak ada masalah yang terjadi. Pria itu diam-diam mencuri start, tanpa Cloud tahu dia menemui Skala untuk menceritakan kejadian versinya sendiri. Bahkan Nic mengatakan ingin mengambil tanggungjawab menikahi Cloud. Dia juga mengaku bahwa dirinyalah yang menolong gadis itu s
Hari yang Nina nantikan tiba. Meskipun sudah mencubit lengannya berkali-kali, tapi dia tetap saja merasa semua ini tidaklah nyata. Nina duduk di tepi ranjang lalu mengedarkan pandangan ke kamar president suit yang ditempatinya. Mustahil, dia tak menyangka bisa menempati kamar seharga puluhan juta itu per malam untuk menunggu wakta dipanggil duduk bersanding bersama Rio.Kebaya warna putih yang melekat di tubuh Nina membuatnya merasa bak putri keraton. Kala bahkan beberapa kali menyebutnya princess Jawa Bocah itu baru saja ikut Cloud keluar tadi, dan kini duduk di deretan keluarga Nina bersama orangtuanya.“Kalau Rio salah mengucapkan kalimat kabul sebanyak tiga kali, maka dia batal menikah ‘kan?”Cloud menoleh Nic yang berucap sembarangan, dia membuka kipas lipat yang sejak tadi berada di genggaman untuk menutupi setengah wajahnya.“Bisa tidak berdoa yang baik-baik saja?”“Maaf, aku hanya iseng,” jawab Nic. Ia tersenyum manis kemudian hendak menyasar pipi Cloud untuk dicium.“Kondisik
Thea meletakkan bunga pengantin yang dia dapat dari pernikahan Nina seminggu yang lalu di meja rias. Senyumannya terus mengembang, dia bahkan tak sadar Tina masuk ke kamar dan mulai mendekat padanya. “Ciye, yang mau nyusul nikah juga.” Thea menoleh dengan pipi merona. Hari itu, Aditya mengajaknya pergi berkencan dan alasan Tina masuk ke kamar untuk memberitahu bahwa pria itu sudah berada di ruang tamu. “Apa’an sih.” Tina tertawa mendapati tingkah kakaknya yang tersipu seperti ini. Ia pun memberitahu kalau Aditya sudah menunggu. “Dia sudah datang?” Tanya Thea antusias. “Sudah, dia membawakanku dan nenek martabak manis.” Tina menggoyangkan pundak karena sangat senang. Ia bahkan meminta Thea buru-buru pergi agar dia bisa menikmati martabak itu tanpa rasa malu. “Kenapa malu? Mas Adit ‘kan memang membelikannya untuk dimakan,” tukas Thea. “Malu lah, nanti calon kakak iparku tahu kalau aku rakus.” Tina yang memang memiliki bantuk badan agak gemuk dengan selera makan tinggi pun tertawa
“Begini, Papa memintamu datang karena ingin bicara.”“Soal apa? Perusahaan paman? Kerjaan? Atau apa?” Arkan baru saja menutup ruang kerja Deri, tapi sudah bertanya banyak hal.“Soal kekasih.”Arkan tersenyum hambar, mengingat terakhir kali dirinya bersedia dikenalkan ke seorang gadis sekitar enam tahun yang lalu. Ya, Cloud. Istri sepupunya itu adalah perempuan terakhir yang mengisi hati Arkan hingga saat ini. Meskipun dia tahu tak mungkin bisa mendapatkan hati Cloud yang sudah tertambat sepenuhnya pada Nic.“Umurmu sudah kepala tiga, Ar. Apa kamu tidak kasihan ke mama dan Papa? Setidaknya sebelum mati kami ingin melihatmu menikah,” ucap Deri. Harapan umum seorang ayah pada anaknya.“Apa yang Papa bicarakan? Papa dan mama akan berumur panjang, jangan bicara begitu!” Arkan merasa tidak suka mendengar perkataan Deri, wajahnya berubah masam, tampak jelas malas membahas hal seperti ini.“Bayangkan jika kamu menjadi Nic!”Arkan menoleh Deri dengan kening berkerut tipis, kembali tertawa hamb
“Dia tidak akan datang, untuk apa terus menatap ke arah pintu.”Amara menyindir pria yang berdiri di sampingnya. Meskipun berada di atas pelaminan, tapi dia tak segan menunjukkan kebenciannya pada Morgan.Amara tidak peduli dengan pandangan orang. Toh, pernikahannya dan pria itu hanya sebuah mekanisme saling menguntungkan.“Aku penasaran saja, bagaimana bisa pria yang citranya sangat baik di depan publik berselingkuh.” Morgan mengedikkan alis, tersenyum ke arah temannya yang melambai lantas merapatkan tubuh ke Amara agar temannya itu bisa mengambil potret mereka dengan baik.Morgan menoleh Amara, memulas senyum mencibir lalu menyentuh pipi wanita yang sudah sah menjadi istrinya itu.“Meskipun mengakui berselingkuh, tapi kenapa orang-orang masih menerimanya dengan baik?” Morgan menelengkan kepala, seolah memikirkan sesuatu yang sangat berat. “Ah … aku tahu, itu karena istrinya yang berhati sangat mulia. Mantan selingkuhanmu itu jelas tidak akan bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan istr
“Menyebalkan, onty Nina saat ini sedang pergi jalan-jalan ke luar negeri bersama om Rio.” Seperti biasa Kala mencurahkan isi hatinya ke Nala. Mereka saat ini sedang istirahat dan memilih untuk duduk berdua di kantin, sementara Nala sibuk menyantap bubur kacang hijau yang dijual oleh ibu kantin. Kala hanya bisa melirik dan menelan ludahnya.Nala menyantap makanan itu dengan sangat nikmat. Sedangkan Kala mana berani memesan atau meminta sedikit. Dia tahu dan paham kalau segala jenis kacang-kacangan harus dihindari.“Namanya juga orang yang sudah menikah, mereka pergi untuk pacaran,” jawab Nala. Kala tak lagi merespon, wajahnya terlihat sangat murung. Sambil membuang napas lelah Kala pun menyandarkan kepala ke meja. “Ayolah! Kalau sudah selesai pikniknya, onty Nina juga pasti pulang.” Nala mencoba menghibur, tapi Kala bergeming dan lagi-lagi mengembuskan napas sampai pundaknya turun.Menyadari Kala benar-benar sedang bersusah hati, Nala pun mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk kepal