“Papa lihat ini! Mau sampai kapan si brengsek ini diberi hati?” Rain masuk ke ruangan Skala. Ia meletakkan beberapa lembar foto saat Nic datang ke apartemen menemui Amara. Skala tampak sangat kecewa, dia menyingkirkan foto itu dan berkata- “Kalau begitu dia harus menceraikan Cloud.” Rain bisa sedikit bernapas lega mendengar jawaban itu. Namun, tetap saja menyalahkan Skala. “Seharusnya Papa tegas sejak kemarin,”ucapnya. “Bukan Papa yang menjalani pernikahan itu. Jika adikmu masih sangat mencintainya lantas Papa harus bagaimana?” Skala menatap Rain lalu melirik foto yang tadi dia singkirkan. “Kalau seperti ini lebih mudah menekan Cloud.” “Aku akan memastikan Cloud bercerai dari Nic, sebagai kakak aku tidak akan membiarkan adikku menghabiskan sisa hidupnya dengan pengkhianat.” Rain yang masih emosi memutar tumit, lantas pergi dari ruangan papanya tanpa pamit, sedangkan Skala tampak membuka laci meja, mengambil beberapa kertas yang dia masukkan ke dalam sana dengan terburu-buru tadi.
"Kala, di mana Kala?"Cloud baru saja sadar dan orang pertama yang dia cari adalah sang putra. Lelehan kristal bening Cloud menetes dari sudut mata, dan Bianca pun mengusapnya penuh kasih sayang."Kala baik-baik saja, Rain nanti akan membawanya ke sini," ucap Bianca sambil menarik napas dan menghapus air mata. "Apa ada yang sakit?" Tanyanya dengan bibir bergetar. Cloud sadar tidak semua hal bisa ditanggung sendiri, dia mengangguk dan berkata sambil menunjuk dada dengan tangan kanan yang terpasang selang infus."Hatiku, sakit Ma! Bayiku, dia pergi 'kan?"Bianca semakin tak bisa membendung kepedihan. Ia dekap kepala Cloud dan menumpahkan tangisnya juga. Bianca tak menyangka sang putri tetap bisa merasakan kehilangan janinnya meski belum diberitahu."Sabar ya! Sedihmu jangan sampai berlarut supaya kondisimu cepat pulih," bisik Bianca."Aku ceroboh, kenapa begitu bodoh sampai tidak bisa menjaganya?" Cloud meratap. Jika memang titik terendah dalam hidup manusia itu ada, maka saat ini Clou
Amara ketakutan, dia bahkan melempar ponselnya setelah Nic menutup telepon. Kemarin, dia seolah terkena bisikan setan, merasa bersalah dan ketakutan setelah sadar dirinya baru saja menabrak Cloud dengan sengaja.Wanita itu mondar-mandir di ruang kerja. Apa jadinya jika sampai keluarga Cloud mencari tahu dan menjebloskannya ke penjara.“Dia tidak mati ‘kan? Ya, Nic marah karena anaknya, bukan karena wanita itu.”Amara berbicara sendiri untuk menenangkan kegelisahan hati. Ia menggigiti kuku ibu jari, setelah itu mengambil tas dan kunci mobil. Amara sengaja tidak membawa mobil yang dia gunakan untuk menabrak Cloud kemarin karena ketakutan. Wanita itu meninggalkan ruangannya tanpa pamit ke staffnya yang heran dengan tingkahnya sejak pagi. Amara bergegas menuju apartemen Nic, dia bertekad harus mendapatkan maaf dari pria itu, meski harus berlutut di kakinya.Beberapa menit kemudian, Amara sampai ke apartemen dan langsung masuk ke dalam. Ia tidak melihat sepatu Nic di dalam, tapi ada sepasa
“Mabibi, Mama mana? Kenapa Mama nggak datang buat jaga aku? Kenapa cuma onty Nina dan Papa?” Dengan polosnya Kala bertanya. Ia memandang tiga orang dewasa yang berada di kamarnya. Nic tetap bungkam, dia sama sekali tak mencoba bertemu dengan Cloud lagi setelah diusir Bianca kemarin. “Mama mati ya?” Tanya Kala kemudian menangis terisak. Bianca terkejut dan memeluk tubuh sang cucu. Ia menolak ucapan Kala dan menjawab Cloud baik-baik saja. “Mama hanya terluka Kala, dia juga ada di sini,” jawab Bianca. Tak tega dengan kondisi cucu kesayangannya, Bianca pun melunak dan mengajak Kala ke kamar perawatan Cloud. Ia berniat membawa Kala sendiri, tapi anak itu merengek tidak mau pergi hanya bertiga dengannya dan Nina, Kala ingin digendong Nic. Akhirnya meski terpaksa Bianca pun membiarkan Nic pergi mengantar ke kamar dan sudah pasti pria itu akan bertemu dengan putrinya. Saat masuk ke kamar, Cloud sedang bersama Embun. Ia terkejut melihat kedatangan Nic dan Kala. Cloud mengerutkan kening, d
Nic tak terpengaruh dengan ucapan Skala padanya. Ia menarik sudut bibir dengan tatapan yang masih tertuju pada Cloud. Nic sedikit tak percaya kalau wanita itu ternyata juga bisa mengacuhkannya seperti ini."Kala sepertinya sudah nyaman di sini, aku percaya banyak orang yang bisa menjaga," ucap Nic. "Aku permisi pergi," imbuhnya.Cloud baru menegakkan kepala lagi setelah mendengar bunyi pintu tertutup. Ia menarik napas berat dan isak tangisnya terdengar jelas di telinga semua orang. Cloud menghapus air mata lalu mencium kening Kala. Mengabaikan perasaan cinta yang dimiliki ternyata cukup menyakitkan bagi dirinya.Di luar kamar tanpa Cloud dan semua orang tahu, Nic ternyata berpapasan dengan Rain. Mereka sama-sama menghentikan langkah dan Rain tersenyum mencibir pria yang masih berstatus adik iparnya ini. "Masih berani menampakkan diri rupanya. Apa kamu perlu aku buat sampai gegar otak agar jera?" sinis Rain."Aku mengantar Kala, dia ingin bertemu dengan mamanya."Rain tersenyum miring
Nic merasa hidupnya baik-baik saja meski sudah beberapa hari tak melihat Cloud. Ini karena dia disibukkan dengan pekerjaannya di perusahaan. Setiap pulang dia sudah lelah dan memilih tidur. Paginya dia sudah harus bekerja lagi, dan rutinitas ini berulang sampai lebih dari satu minggu. “Terima kasih Pak Nic, saya harap sepuluh tahun ke depan kita bisa menjalin kerjasama dengan baik.” Nic menerima uluran tangan pria paruh baya yang memiliki jabatan yang sama dengannya. Ia memulas senyum, karena kesepakatan bernilai puluhan miliar berhasil dia dapatkan lagi. Namun, tercapainya kesepakatan ini membuatnya kembali memikirkan tentang Cloud dan Kala. Nic yang baru saja meninggalkan sebuah hotel bintang lima, tampak berjalan diikuti Rio di belakang. “Aku sudah tidak ada pertemuan lagi ‘kan?” Tanya Nic tanpa memalingkan badan. “Tidak Pak, satu minggu ini Anda sudah sangat bekerja keras,” jawab Rio. “Kamu juga.” Nic menatap ke depan dan merasa sudah saatnya mengabari Skala, bahwa dirinya su
“Cloud, sadar! Kamu itu mencintai pria yang salah.” Bianca yang biasanya meledak-ledak seketika sangat sabar menghadapi putrinya yang masih saja melindungi Nic. “Cloud, seorang anak akan bahagia jika ibunya juga bahagia. Jika kamu memang mencemaskan Kala, berhenti memikirkan Nic.” Cloud diam tak menjawab. Ia membuang napas kasar merasa memang tidak perlu lagi memikirkan Nic. Lagipula pria itu masih memiliki Amara. Meskipun, pada kenyataannya Nic tak sudi lagi bertemu dengan wanita itu, setelah membantu menghilangkan barang bukti yang membuat Cloud terluka. Rain dan Skala pun pergi ke firma hukum Hita untuk bertemu dengan Nic. Mereka langsung meminta Hita membacakan tuntutan atas hak asuh Kala, juga surat pernyataan yang sudah Nic tandatangani saat pria itu baru saja mendaratkan pantat ke kursi. Nic mendengarkan apa yang Hita bacakan, sampai dua menit kemudian dia menyela. “Sebelum lebih jauh membaca dan hanya membuat Anda lelah, saya punya sesuatu untuk Anda lihat,”ucap Nic ke Hi
“Mama, apa papa masih sibuk sampai tidak pernah datang menjemputku?” Kala yang sore itu pulang bersama Cloud mengungkapkan apa yang dirasakannya seminggu ini. Anak itu menunggu jawaban sang mama dengan wajah polos tanpa dosa, hingga Cloud tak kuasa dan mencubit kecil pipi Kala. Cloud sebenarnya sudah membaca pesan yang dikirimkan Nic kepadanya, tapi dia sengaja mengabaikan karena rasa kesal yang bersarang di hati. “Sepertinya masih, coba nanti Mama tanya ya.” Cloud memulas senyum seolah tak terjadi apa-apa. Ia pun mengajak Kala masuk ke mobil. Mereka duduk di kursi penumpang, sedangkan Pak Hayu —sopir pribadi Bianca, kini menjadi sopirnya karena Skala belum menemukan sopir yang cocok. Pria paruh baya itu dipercaya, karena sudah lebih dari lima belas tahun bekerja untuknya. “Mama, itu mobil Om Arkan.” Belum juga pagar rumah dibuka lebar oleh satpam saat pak Hayu sampai, tapi Kala sudah menunjuk ke halaman tepat di depan teras. Cloud pun melihat ke arah yang putranya maksud, lalu me