“Aku merasa, ibu Sabsab dan papa sedang menyimpan rahasia.” Maha tiba-tiba bicara seperti itu ke Olla. Mereka baru saja selesai belajar bersama dan Olla terlihat mengemasi barang-barangnya. “Rahasia apa? Kita masih kecil, tidak boleh memikirkan urusan orang dewasa.” Olla menjawab ketus lantas berdiri untuk menggendong tasnya. Namun, saat sudah berada di ambang pintu Olla menghentikan langkah. Dia menoleh Maha dan merasa tidak tega melihat sepupunya itu bersedih. “Apa kamu mau makan es krim? Aku akan mentraktirmu.” Maha memulas senyum dan bergegas berdiri untuk menyusul Olla. Sore itu, mereka belajar bersama karena memang duduk di tingkat yang sama. Maha berpamitan ke pembantu rumah lebih dulu, setelah itu mengekor Olla pergi ke minimarket yang ada tepat di depan gerbang komplek perumahan. “Apa kamu sudah memberitahu mamamu untuk menjemput di sini?” Tanya Maha. Dia khawatir Embun datang dan mereka belum kembali ke rumah. Tadi Olla ikut Sabrina karena Embun tidak bisa menjemput
"Nic, apa kamu benar akan menemui pamanmu? Aku mohon tenangkan diri dulu!"Cloud berjalan cepat mengejar Nic karena harus bicara dan menenangkan Sabrina yang terlihat sangat terpukul. Cloud pada akhirnya sampai tak berpamitan menyadari Nic sangat emosional. "Sayang! Nic! Aku mohon!" Bentak Cloud pada akhirnya dan baru membuat Nic menghentikan langkah.Nic mengepalkan tangan di sisi badan. Mengatur napas mencoba untuk tenang. Cloud sendiri berjalan lalu memegang lengan Nic dan menggoyangkannya pelan."Aku mohon, tenang dulu! Kalau kamu menemui pamanmu dengan kondisi begini, aku yakin dia malah akan senang dan merasa puas mengerjaimu." Nic masih diam, sampai Gama menyusul untuk menegaskan apa yang Cloud katakan memang benar."Aku akan bicara dengan kakek kandung Maha tentang hasil tes DNA ini. Lebih baik kamu pulang, aku akan mengabari nanti." Gama merasa sungkan ke Nic, bagaimanapun juga fitnah Doni tentang siapa ayah kandung Maha pasti membuat Nic kepikiran.Penuh harap Cloud memand
"Maha, apa kamu ingat kakek Bagaskara?"Pelan Gama bicara ke putranya, meski tahu Maha tidak mungkin akan melupakan pria yang pernah mencoba merebut anak itu dari pengasuhannya enam tahun yang lalu."Papanya mama Naura."Meski seharusnya tidak terkejut, tapi bahasa tubuh Gama berbeda, alisnya mengedik, setelah itu menganggukkan kepala untuk mengiyakan apa yang baru saja putranya ucapkan."Hm... benar, saat ini dia berada di Indonesia dan ingin bertemu denganmu, malam ini papa akan mengantarmu bertemu dengannya," ucap Gama.Tak ada kalimat penolakan atau persetujuan yang terucap dari lisan Maha, ini karena dia paham bahwa pendapatnya tidak akan berguna di situasi seperti ini. Mau menolak ataupun mengiyakan, dirinya pasti akan tetap bertemu dengan kakeknya.Gama sendiri menyadari kegelisahan putranya. Namun, dia sendiri yakin Bagaskara tidak akan mungkin mengatakan hal-hal menyakitkan ke Maha. Pria itu malah berjanji padanya ini adalah kali terakhir dia akan bertemu dengan Maha. Bahkan b
“Jangan tinggalkan aku di sini sendiri, Kak!” Nina menahan lengan Cloud sekuat tenaga agar tidak keluar dari ruangan itu. Thea sendiri dibuat bingung kenapa Nina sampai seperti ketakutan melihat Rio datang. “Selesaikan masalah kalian dulu! Menghindar bukan pilihan yang tepat Nina,” ucap Cloud sambil berusaha kabur dari sana. “Aku mohon! Aku mohon!” Nina akhirnya tak kuasa melepas Cloud yang tanpa dia tahu sengaja mengabari Rio kalau dirinya sedang berada di sana. Rio pun mendekat setelah Thea menutup pintu, sedangkan Nina berusaha menghindari kontak mata. Dia menunduk lalu bergegas menyambar tasnya seolah ingin melarikan diri dari tempat itu. “Apa kamu ingin hubungan kita berakhir seperti ini?” Pertanyaan Rio berhasil menghentikan langkah kaki Nina. Gadis itu tak menjawab dan hanya berusaha sekuat tenaga menahan air mata agar tidak jatuh menetes. “Kita sudah hampir menikah, aku serius ingin menjadikanmu pendamping hidupku, tapi kenapa kamu malah begini?” Rio bertanya lagi karen
“Apa ini yang kamu maksud hadiah untuk Maha?” Gama memandang sebuah berkas di tangannya sambil menghubungi Bagaskara. Namun, sebenarnya bukan berkas itu yang dimaksud olehnya. Gama pun yakin Bagaskara pasti paham dengan apa yang diucapkan. “Jaga Maha baik-baik! Aku tidak tahu kapan Tuhan akan memanggilku karena selain sudah tua, juga banyak penyakit yang menyukaiku,” jawab Bagaskara. Dia terkekeh kecil, setelah itu kembali berkata,” Anak itu harus bahagia, pastikan dia bisa meraih cita-citanya. Maha boleh tidak mengingatku sebagai keluarga, tapi aku mohon jangan pernah hapus nama Naura dari hidup anak itu.” Gama hanya diam mendengar permintaan Bagaskara, hingga pria di seberang panggilan itu pamit dan menutup sambungan teleponnya. Beberapa jam kemudian “Sebagai orang yang sejak bayi merawat Maha. Aku minta sampai kapanpun jangan pernah lagi membahas siapa ayah kandung Maha. Anak itu tidak boleh tahu tentang fakta kelahirannya.” Nic mengingat permintaan Gama kepadanya sambil mena
“Apa kamu sedih?” Aditya kaget mendengar pertanyaan itu dari Thea. Meskipun bibirnya membentuk lengkungan manis, tapi dia tetap merasakan sedikit sesak di dalam dada. “Sedikit,” tukas Aditya. “Bagaimana bisa kamu merasa sedih karena kematian orang yang sangat jahat?” Thea mengalihkan pandangan dari wajah Aditya ke pantai. Dia sendiri tidak tahu alasan sesungguhnya dari Aditya—yang tiba-tiba membawanya pergi ke sana. Jika alasan pria itu untuk dikenalkan ke sang saudara, tapi sejak tadi Aditya seolah tak ingin mengajaknya beranjak. Thea pun berpikir mungkin saja Aditya ingin merasakan ketenangan. “Karena aku pernah merasakan seperti menjadi anaknya. Dia juga yang memberiku banyak uang untuk operasi ibuku, dia juga membantuku mencarikan donor ginjal untuk ibu.” Aditya mengenang perbuatan baik Doni sambil tersenyum kecut. Thea sendiri dibuat iba karena suara Aditya terdengar parau, seperti sedang berusaha menahan tangisan yang mungkin saja sudah hampir tak terbendung. “Tapi, semaki
Nic memeluk tubuh Cloud yang tampak sangat emosi, wanita itu memukuli dadanya bertubi-tubi meminta untuk dilepaskan.“Lepaskan aku! Aku tidak mau dekat-dekat kamu,” ucap Cloud.“Kenapa kamu bilang begitu? Hai … aku hanya bercanda, Cloud. Kenapa kamu berpikir itu betulan?” Nic membujuk, masih enggan melepas Cloud yang terus saja meronta.“Bercandamu tidak lucu, aku benci!”Air mata Cloud sudah menggenang di pelupuk. Dia membuang pandangan, menarik paksa tangannya yang Nic cekal lalu menghapus air mata yang mengalir di pipinya.“Kamu menangis? Ya ampun, Cloud! Aku hanya bercanda.” Nic merasa sangat bersalah. Ia merengkuh tubuh sang istri ke dalam pelukan lantas membisikkan kata maaf berulang.“Maaf aku tidak sampai berpikir candaanku akan membuatmu baper seperti ini,” bisik Nic.“Baper? Kamu bilang aku baper?” Cloud kembali marah, tapi kali ini tak bisa berkutik karena Nic mengunci tubuhnya.“Ssst … sstt! Sudah Cloud, sudah! Aku minta maaf. Maaf karena menggodamu dengan hal seperti itu,
“Apa kamu belum memiliki kekasih?” Arkan heran bahkan sampai menurunkan berkas yang sedang dia baca. Keningnya terlipat halus mendapati sang sepupu yang selama ini membencinya berubah perhatian. “Aku merasa kamu sangat aneh. Kamu tidak salah makan ‘kan, Nic?” Arkan memandang heran. Sedangkan Nic sendiri memilih diam. “Kamu datang menemuiku saja aku pikir akan terjadi badai hari ini. Apalagi kamu perhatian seperti ini.” Sindirian Arkan cukup tajam, tapi tak membuat Nic kesal. Tujuan Nic datang adalah untuk membicarakan masalah perusahaan Doni, dan juga mencari tahu apakah Arkan masih memiliki perasaan ke Cloud. “Aku hanya ingin tahu apa kamu masih mencintai istriku, aku tidak ingin kamu menjadi seperti paman Doni di kemudian hari,” balas Nic. “Jika kamu bisa menghapus perasaanmu ke Cloud, maka mungkin saja kita bisa kembali dekat seperti dulu.” Arkan memulas senyum. Jika dipikir lagi mereka memang sangat dekat, selayaknya saudara sepupu yang saling menyayangi. Namun, karena kesala