"Daddy!" seru Ar ketika melihat kedatangan Zayyan. "Son." Zayyan menyambut pelukan hangat putranya itu. Sementara langsung berdiri. Wanita berusaha untuk mengontrol emosi ketika mendengar ucapan putranya. "Mommy mana, Dad?" tanya Ar. Lagi-lagi hati Zevanya teriris sakit mendengar pertanyaan Ar. Putranya itu lebih mencari Zea dibanding dirinya yang sudah sah-sah ada di sini. "Mommy sudah istirahat, Son," jawab Zayyan asal. "Ar kembali ke kamar dulu ya. Ada yang ingin Daddy selesaikan!" ucapnya lembut sembari mengusap kepala putranya itu. "Tapi Ar mau tidul sama Mommy!" renggek Ar. Zayyan menghela napas panjang. Ternyata bukan hanya dirinya yang ketergantungan pada Zea, tetapi juga anak lelakinya ini. Namun, bagaimana lagi? Memang ini cara terbaik untuk mereka. "Iya, nanti Mommy akan menyusul," sahut Zayyan asal. Sebab, jika tidak dirayu putranya itu pasti akan terus merenggek sampai bertemu dengan Zea. Ar mengangguk, lalu turun dari gendongan sang ayah. Lelaki kecil itu menggan
"Kau mau ke mana?" tanya Zavier. "Menemui Zea," sahut Sean melepaskan jas dokternya. "Bukankah dijaga dengan ketat oleh Kak Zayyan? Kita pasti tidak bisa ke sana," ujar Zavier. "Zayyan tidak bisa melarang aku bertemu Zea. Aku lebih dulu mengenal Zea. Sementara dia orang baru dan masih berstatus suami orang!" sahut Sean ketus. "Aku ikut!" Zavier bangkit dengan semangat. "Mau apa?" Kening Sean mengerut heran. "Mau bertemu calon istriku," sahut Zavier tertawa lebar. "Dih, mimpi!" Kedua pria itu keluar dari ruangan Sean dan berjalan menuju lobby rumah sakit. Para dokter dan perawat yang mereka lewati, tersenyum kesem sambil berbisik membicarakan ketampanan mereka. Dalam hati berharap salah satu dari keduanya ada yang jatuh cinta pada mereka. Zavier dan Sean masuk ke dalam mobil. Mereka berdua memang berteman sejak kecil, hingga dewasa. Hanya saja saat kuliah Zavier dan Sean mengambil jurusan yang berbeda walau di kampus yang sama. "Apa menurutmu Zevanya masih berani menyakiti Zea
Zevanya keluar dari mobil. Wanita itu melepaskan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Sejenak dia menatap sekitar kantor ayahnya. Entah kenapa pria tua itu memanggilnya ke sini? Pasti tidak lain, akan membahas tentang Zea. Wanita itu berjalan dengan angkuh masuk ke dalam perusahaan sang ayah. Dia menjadi pusat perhatian, banyak yang menganggumi sosok wanita cantik berkulit putih itu. Namun, tidak sedikit juga yang menghujat dirinya karena berita yang sedang viral di media sosial. "Selamat siang, Nona!" "Di mana ayahku?" "Tuan ada di dalam, Nona." Pria itu membuka pintu ruangan Miko dan mempersilakan Zevanya masuk. Zevanya masuk ke dalam ruangan sang ayah. Senyum sinis terbit dari sudut bibirnya. "Ada apa Ayah memintaku ke sini?" tanya Zevanya. Tanpa basa-basi wanita cantik itu langsung duduk di sofa ruangan sang ayah. "Apa Ayah akan memindahkan harta kekayaan Ayah padaku?" godanya menelisik ruangan mewah Miko. Miko menatap marah pada Zevanya. Jika tidak memikirk
"Ayo, Zea. Pelan-pelan!" Mereka bertiga masuk ke dalam bandara. Sebelumnya Zavier sudah memerintahkan asistennya untuk menyiapkan tiket keberangkatan. Zavier sengaja tidak menggunakan jet pribadi karena itu mempermudah Zayyan melacak keberadaan Zea. Setelah check-in, mereka masuk ke dalam pesawat. Sesuai urutan kursi, Zavier dan Sean sengaja memilih kelas ekonomi yang hanya diduduki oleh mereka bertiga. Sebab, sekarang Zea butuh ketenangan. "Apakah perutmu sakit?" tanya Zavier sedikit panik. "Tidak, Kak. Aku hanya sedikit capek," jawab Zea membalas dengan senyuman. "Istirahatlah! Jika butuh sesuatu katakan saja pada Kakak," sambung Sean. Zea membalas dengan anggukan kepala. Ada rasa syukur di hatinya memiliki kakak sebaik Sean dan Zavier. Kedua lelaki yang sama sekali tak memiliki hubungan darah itu, memperlakukan dirinya dengan baik. "Terima kasih, Kak. Sudah menolongku," ucap Zea sopan sambil menangkup kedua tangannya dengan hormat. "Ini sudah tugas Kakak, Zea. Kakak tidak ma
"Ayo, Zea. Pelan-pelan!" Mereka bertiga masuk ke dalam bandara. Sebelumnya Zavier sudah memerintahkan asistennya untuk menyiapkan tiket keberangkatan. Zavier sengaja tidak menggunakan jet pribadi karena itu mempermudah Zayyan melacak keberadaan Zea. Setelah check-in, mereka masuk ke dalam pesawat. Sesuai urutan kursi, Zavier dan Sean sengaja memilih kelas ekonomi yang hanya diduduki oleh mereka bertiga. Sebab, sekarang Zea butuh ketenangan. "Apakah perutmu sakit?" tanya Zavier sedikit panik. "Tidak, Kak. Aku hanya sedikit capek," jawab Zea membalas dengan senyuman. "Istirahatlah! Jika butuh sesuatu katakan saja pada Kakak," sambung Sean. Zea membalas dengan anggukan kepala. Ada rasa syukur di hatinya memiliki kakak sebaik Sean dan Zavier. Kedua lelaki yang sama sekali tak memiliki hubungan darah itu, memperlakukan dirinya dengan baik. "Terima kasih, Kak. Sudah menolongku," ucap Zea sopan sambil menangkup kedua tangannya dengan hormat. "Ini sudah tugas Kakak, Zea. Kakak tidak ma
Zea menatap bangunan mewah yang ada di depannya. Sudut bibir wanita itu tertarik, dia tersenyum miris. Tak dia sangka, takdir akan membawanya bersembunyi di sini. "Mulai sekarang, kita akan tinggal di sini," ucap Sean. "Apa kau suka tempatnya?" Lelaki itu melirik ke arah Zea. "Suka, Kak!" balas Zea dengan senyuman antuasias. "Iya, sudah. Ayo kita masuk!" ajak Zavier. Kedatangan mereka disambut oleh para pelayan yang bekerja di sana. Zea menganggumi vila mewah yang akan dia tempati ini. "Kak, tempatnya bagus sekali!" seru Zea. "Aku seperti merasa ada di dunia dongeng," celetuk wanita itu. Sean dan Zavier terkekeh. Mereka memang sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk Zea, jauh-jauh hari. Setidaknya, wanita hamil ini akan merasa aman dan tentram selama tinggal di sini. "Ini milikmu, Zea. Kau boleh nikmati semuanya," ujar Zavier. "Terima kasih, Kak." Zea tersenyum tulus. Zavier membalas dengan anggukan kepala. Dia senang bisa membantu Zea. Walaupun tak bisa memiliki hati wanita
Zayyan keluar dari mobil dengan langkah tergesa-gesa. Lelaki itu tampak marah. "Tuan." Wajah Samuel sudah pucat melihat kedatangan Zayyan. Zayyan menatap Samuel dengan marah. Brugh!Satu pukulan mendarat di pipi lelaki itu, hingga membuat Samuel terjerembab ke lantai dengan darah yang mengalir dari sudut bibirnya. "Apa saja kerjamu, Sam? Sudah aku perintahkan, jangan pernah tinggalkan Zea barang sedetikpun tanpa perintah dariku!" hardik Zayyan. Lelaki itu terus memukuli Samuel dengan membabi buta, sembari meluapkan semua emosi yang terasa membuncah di dalam dada. Jika Josua dan Niko tidak melerai atau menahan Zayyan, mungkin saja Samuel tinggal nama. Samuel hanya bisa meringgis kesakitan. Lelaki itu tak melawan sama sekali karena memang dirinya salah sudah meninggalkan Zea. "Argh!" Zayyan menepis tangan Josua dan Niko. Mendengar keributan di depan pekarangan rumahnya, Miko keluar untuk mencari tahu. "Ada apa ini?" tanya Miko. Tatapan Zayyan nyalang. Tak hanya itu, tanpa ada y
"Jadi, pelakor itu sudah pergi jauh?" Zevanya menatap intens kedua anak buahnya. "Benar, Nyonya," jawab salah satunya. "Siapa yang membawanya pergi? Apa Zea pergi sendiri atau dibawa orang lain?" tanya Zevanya yang cukup penasaran. Luar biasa juga orang yang membawa Zea pergi, tanpa perih repot-repot Zevanya turun tangan untuk menyingkirkan adiknya itu. "Kami belum mendapatkan informasi yang pasti, Nyonya. Tapi, sepertinya ada dua orang laki-laki yang membawa nona Zea," jawab salah satunya. "Dua laki-laki?" Kening Zevanya mengerut heran dan tampak penasaran, siapa dua laki-laki yang membawa adiknya itu pergi? "Baik, kalian selidik siapa kedua laki-laki itu dan pastikan Zea tidak akan kembali pada Zayyan!" perintah Zevanya penuh penekanan. "Baik, Nyonya," sahut keduanya membungkuk hormat, lalu melenggang pergi dari hadapannya. Zevanya duduk dengan tenang di sofa. Tangannya memegang ujung gelas dan sesekali menyesap isinya. "Siapa yang membawa Zea pergi?" gumamnya penasaran. "Aku