Setelah selesai mengerjakan seluruh pekerjaan rumahnya dan juga membersihkan dirinya sendiri, jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat Valerie merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia menatap langit-langit kamarnya, merenung dengan kehidupan yang seolah tidak berpihak padanya.
Saat masuk ke dalam keluarga Riven, usianya hanya enam tahun. Dan sekarang dia sudah berusia sembilan belas tahun. Itu artinya dia sudah kurang lebih tiga belas tahun menjalani hidup yang tak manusiawi seperti ini.Valerie memejamkan matanya saat tiba-tiba wajah Emrys membayang di otaknya. Valerie segera membuka mata, duduk sembari menggelengkan kepalanya.Astaga, kenapa aku bisa membayangkan wajahnya begitu aku memejamkan mata? Aku hanya sekilas menatapnya, bagaimana bisa dia langsung diam dalam memoriku?Saat ponsel yang diletakkannya di atas nakas berbunyi, Valerie hampir saja melompat karena kaget. Dia sedang terhanyut dalam angannya sendiri tentang Emrys saat benda pintar itu berdengung. Sebuah nomor tidak dikenal melakukan panggilan padanya, dan untuk sesaat Valerie tampak menimbang-nimbang apakah dia harus menerimanya atau tidak. Hingga..“Halo.”“Kenapa kalian langsung pergi meninggalkanku tadi di stasiun, hah?”Valerie bahkan harus menjauhkan ponsel dari telingannya karena suara Isabelle terdengar sangat nyaring.“Sudah ku bilang tunggu. Aku belum mengucapkan terimakasih pada kalian, aku belum mengenalkan kalian pada Emrys. Apa kalian tahu kalau aku sangat sedih begitu mengetahui kalian sudah pergi? .... "Valerie tersenyum saat mendengar Isabelle masih menggerutu tentang hal yang lainnya. Bukannya dia dan Zach tidak mau menunggu. Mereka berdua juga masih punya kesibukan lain, dan Zach juga harus segera kembali. Mengetahui jika Isabelle aman bersama keluarganya, maka mereka tidak lagi memiliki hal penting untuk dilakukan di sana.“Maaf.” ujar Valerie pada akhirnya. “Aku dan Zach harus pergi karena kami juga masih memiliki hal-hal yang harus dilakukan.”“Tapi kalian bisa menunggu setelah aku dan Emrys selesai bicara.”“Terlalu lama.” Valerie turun dari tempat tidurnya dan melangkah menuju jendela. “Lagipula tidak enak, seolah-olah kami menunggu imbalan dari keluargamu.”Saat Valerie melihat ke luar dari jendela kamarnya, tiba-tiba dia melihat seseorang berdiri tak jauh dari rumahnya. Dia hilir mudik di luar sana, sembari mengarahkan pandangannya ke rumah Valerie. Perasaan Valerie mulai tidak nyaman. Dia mengintip dengan menyibak tirai jendela perlahan, dan menemukan jika laki-laki itu masih di sana.Jantung Valerie langsung berdegup cepat dan dia ketakutan setengah mati, terlebih karena keadaan rumahnya kosong. Ibunya sudah pergi ke cafe dan bakal pulang besok subuh dan hanya ada dia, seorang gadis biasa di rumahnya. Valerie menempelkan dirinya ke tembok sementara dia masih tetap terhubung dengan Isabelle, namun dia tidak begitu mendengar apa yang diucapkan Isabelle lagi.Setelah beberapa saat, dan jantungnya sudah cukup tenang, dia kembali menyibak tirainya sedikit. Dan laki-laki itu masih di sana, sengaja membuka masker di wajahnya dan menyeringai pada Valerie. Mata Valerie membelalak dan tungkai kakinya segera layu. Valerie duduk meringkuk gemetaran di bawah jendela kamarnya.“Hei, Valerie ... Apa kamu mendengarku? Valerie ... "Suara Isabelle yang masih terhubung dengannya terdengar sangat kesal karena mengira Valerie mengabaikan panggilannya. Dia sudah mengatakan banyak hal namun tak satu pun diantaranya yang direspon oleh Valerie. Isabelle tidak tahu, Valerie sedang ketakutan saat ini.“Isabelle.” Suara Valerie yang gemetaran bahkan nyaris tak terdengar.“Ada apa? Kenapa kamu terdengar ... "“Mereka tahu rumahku.” Air mata Valerie mulai menggenang."Hah?""Yang menculikmu tadi sore. Mereka ada di sini."Dia mencoba menenangkan dirinya dengan menarik nafas beberapa kali. Namun saat dia kembali membayangkan senjata api yang menggantung di pinggang pelaku penculikan Isabelle, jantungnya justru memacu lebih cepat. Valerie menutup mulutnya sendiri dan menangis ketakutan.“Valerie, kamu baik-baik saja?”Walau ponselnya tidak diletak di telinganya, Valerie bisa mendengar suara panik Isabelle.“Aku takut. Bagaimana ... bagaimana kalau dia ... ” Suara Valerie terdengar putus-putus. "Isabelle, bagaimana ini?”“Tenanglah. Aku akan ke sana.”“Tolong segera datang.”Valerie menutup mulutnya saat mendengar sebuah benda terjatuh di ruang tamu. Dia segera berlari menuju pintu dan menguncinya. Gusar, panik dan ketakutan, Valerie berusaha mengumpulkan tenaganya untuk mendorong meja belajar yang cukup berat untuk menutup pintu kamarnya.Perlahan-lahan, Valerie mendorongnya hingga benda itu bisa berpindah tempat untuk menghalangi pintu kamarnya. Tiba-tiba dia mendengar pintu kamarnya diketuk.Dia berteriak, lalu dengan segera menunduk di samping meja belajar. Jantungnya memacu dengan lebih intens, terlebih saat dia melihat bayangan lewat celah sempit di bawah pintu kamarnya. Bayangan itu tampak hilir mudik, terkesan seperti ingin menakut-nakuti Valerie. Namun Valerie tentu saja tidak percaya jika laki-laki itu datang mengawasi rumahnya hanya untuk menakut-nakuti Valerie.Sial, kenapa aku malah terseret seperti ini? Seharusnya aku lebih hati-hati saat pulang tadi. Seharusnya aku memastikan jika aku tidak diikuti oleh siapa pun. Valerie, bodoh sekali kamu.“Kamu masih di sana, Valerie?”Valerie nyaris melempar ponselnya karena terkejut mendengar suara berat laki-laki yang masih terhubung dengannya lewat nomor pribadi Isabelle. Valerie bahkan tidak ingat jika dia masih melakukan panggilan. Karena panik, dia tidak terlalu memperhatikan keberadaan ponselnya lagi.“Ka-kamu siapa?” ujar Valerie panik.“Emrys. Emrys Lysander, kakak Isabelle, gadis yang kalian selamatkan tadi sore di kereta api.”Suara bariton itu terdengar sangat berat dan dingin namun terkesan menenangkan, bukan jenis suara berat yang menakutkan. Bahkan lewat suaranya, Valerie bisa mengukur seberapa dingin sikap Emrys sehari-harinya.“To-tolong aku. Dia masih di sini.”“Tenanglah. Anak buahku mungkin sudah tiba di sana.”Valerie tiba-tiba menyadari jika sudah tak ada bayangan seseorang yang berjalan hilir mudik. Dia naik ke atas meja, mencoba menempel telinganya ke pintu kamar. Ruang tengah rumahnya terdengar sepi dan sunyi, seolah-olah tak ada siapa pun di sana. Tapi bukankah baru saja dia masih melihat bayangan seseorang itu?“Nona Valerie.”Valerie terperanjat dan jatuh ke bawah saat mendengar suara pintu kamarnya di ketuk dan seseorang memanggil namanya. Dia mengumpat sambil mengelus pinggangnya yang terasa sakit. Kenapa bisa keadaan yang tadinya sangat tenang mendadak ada suara? Kenapa mereka bisa bergerak tanpa menimbulkan suara apa pun?“Nona Valerie, Anda baik-baik saja? Anda boleh keluar. Semuanya sudah aman.”Kembali Valerie mendengar suara dari laki-laki yang sama. “Thanks.” sahutnya sembari berdiri dan mengelus pinggangnya yang masih terasa berdenyut.Dia mendorong kembali meja belajar yang menghalangi jalannya ke luar kamar. Setelah berhasil mengembalikan meja belajar ke tempatnya, dia membuka pintu kamar, menyembulkan kepalanya untuk memastikan keadaan di luar.Ada tiga orang laki-laki berdiri di ambang pintu kamarnya, dan dua orang lagi hilir mudik di ruang tengah. Semua laki-laki yang ada di rumahnya mengenakan bross sulur seperti yang dilihatnya di stasiun tadi. Jadi ini tanda pembeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lain? Karena mereka semua memakai pakaian serba hitam yang nyaris sama, tentu saja mereka memerlukan sesuatu yang bisa menjadi pembeda, bukan?“Terimakasih banyak.” gumam Valerie.“Sama-sama Nona. Tuan Emrys memerintahkan kami untuk berjaga di area rumah anda, jika anda tidak keberatan.”Tentu saja Valerie tidak keberatan. Dia tidak punya alasan untuk menolak bantuan Emrys. Dia perlu merasa aman di rumahnya sendiri, dan satu-satunya cara mendapatkannya saat ini adalah dengan bantuan anak buah Emrys. Bagaimana mungkin Valerie bisa menolaknya?Valerie menganggukkan kepalanya. “Kalian bisa melakukan apa pun. Anggap saja ini rumah kalian.” Serunya ramah.“Terimakasih Nona Valerie, tapi kami akan berjaga di luar.”“Oh.” sahut Valerie pendek.Kelima laki-laki tadi menunduk padanya, seolah-olah Valerie kini adalah orang penting. Setelah menundukkan kepala pada Valerie, kelimanya langsung melesat meninggalkan ruang tengah. Valerie tersenyum, lega dan tenang. Dia menutup pintu kamarnya dan mencoba mengintip dari jendela kamar. Kelima orang laki-laki itu terlihat hilir mudik di halaman rumah Valerie dan akhirnya Valerie bisa bernafas dengan sangat lega.Sambungan teleponnya dengan Isabelle sudah terputus. Valerie naik ke tepat tidur dan mengetik sesuatu di layar ponselnya."Terimakasih banyak Isabelle, terimakasih banyak Tuan Emrys!" gumamnya tanpa sadar."Aku juga merasa ada yang mengikutiku sore itu saat aku kembali naik ke kereta api.”Lewat sambungan telepon, Valerie dan Zach bertukar kabar dan Valerie segera memberitahu Zach soal apa yang dialaminya tadi malam. Valerie menuang susu segar yang diambilnya dari dalam kulkas ke dalam sebuah gelas. Dia kembali mengintip dari celah jendela ruang tengah dan orang-orang suruhan Emrys masih di sana. Sambil menumpukan pinggulnya ke sisi meja, dia meminum susu di gelasnya beberapa teguk.“Lalu, bagaimana caramu menghindar?” tanya Valerie penasaran.“Apa lagi? Aku berhenti di pemberhentian yang bukan tujuanku. Aku buru-buru keluar secepat mungkin, berusaha berbaur dengan kepadatan penumpang lalu kembali naik ke kereta api di arah yang berlawanan.”“Berarti kamu harus naik turun sebanyak empat kali?”“Benar sekali.”Valerie tersenyum. Ide yang sangat bagus. Dibandingkan dirinya yang langsung melengos pulang, Zach jauh lebih mempersiapkan semuanya. Selama hidup Valerie memang tidak pernah berhu
“Aku sudah meminta seseorang menjemputmu.” ucap Isabelle lewat sambungan telepon pada Valerie. “Zach juga sudah ku hubungi. Karena dia sekalian ada urusan di luar, dia menolak untuk dijemput. Dia akan datang sendiri dan aku sudah memberi alamatku.”Valerie tidak menyahut saat mendengar suara Isabelle lewat speaker yang dinyalakannya. Dia menatap isi lemarinya, memilah-milah mana pakaian yang tepat yang bisa digunakannya ke jamuan khusus keluarga Lysander. Namun kapan dia membeli gaun terakhir kalinya? Mungkin sekitar tiga atau empat tahun yang lalu, dan semua isi lemarinya hanyalah pakaian kasual yang jelas tidak pantas digunakannya.Kehabisan ide, Valerie membawa ponselnya ke kamar Lissa. Senja seperti ini, Lissa sudah keluar menuju cafe. Itu sebabnya Valerie bisa masuk ke kamarnya dan mengecek isi lemari Lissa, siapa tahu dia menemukan pakaian yang bisa digunakannya.“Hei, apa kamu mendengarku?” Valerie mendengar suara teriakan Isabelle. Dia tersenyum, lalu menggumam pelan.“Aku se
“Aku tidak bisa menghubunginya.” Isabelle menaiki anak tangga dan nyaris menangis di hadapan Emrys. Dia, Emrys dan Ky berdiri di teras kediaman Lysander saat supir yang diperintahkan oleh Ky memberitahunya jika rumah Valerie kosong. Isabelle menunjukkan isi pesan yang dikirim Valerie padanya yang memberitahu dia jika Valerie sudah di jalan.“Ke mana dia sekarang? Siapa yang membawanya?” Isabelle terlihat sangat panik. “Emrys ...” Dia memegang lengan Emrys yang berdiri diam layaknya patung.“Belle, tenanglah,” ujar Emrys pendek. “Kita akan menemukannya.”“Belle.”Zach yang baru saja tiba berlari menaiki anak tangga dan bergabung dengan Isabelle, Emrys dan Ky di teras. Dia menundukkan kepalanya menyapa Emrys dengan nafas tersengal. Saat Isabelle mengabarinya jika Valerie dijemput oleh orang yang bukan suruhan keluarganya, perasaan Zach langsung tidak enak. “Bagaimana? Apa sudah ada kabar dari Valerie?” ujarnya lagi.Isabelle menggeleng. “Tidak ada. Tapi orang-orang Emrys sudah bergerak
Valerie menatap tajam mata Cassiel dengan berani saat laki-laki itu duduk di depannya. Seolah ingin memberitahu Valerie jika hidupnya berada di tangannya, Cassiel terlihat menyibak jasnya, menampakkan senjata api di pinggangnya dengan sengaja. “Untuk ukuran seseorang yang baru mengenal Isabelle, kamu cukup ikut campur terlalu banyak.” serunya lagi.“Aku hanya berniat menolongnya.” sahut Valerie.Cassiel tersenyum mengejek. “Memangnya kamu siapa? Kenapa kamu menolongnya?” Dia berbisik tepat di wajah Valerie.“Walau dia bukan Isabelle, jika seseorang meminta tolong padaku, aku akan menolongnya.” balas Valerie lagi.Cassiel tertawa terbahak-bahak, menoleh ke belakang hingga dua orang dibelakangnya juga ikut tertawa “Benarkah?” serunya. Saat tawanya selesai, maka tawa dua orang di belakangnya juga selesai. “Kamu merusak semua hal yang sudah ku susun dengan rapi.”“Berapa usiamu?” tanya Valerie kemudian. “Isabelle hanya gadis berusia sembilan belas tahun. Tidakkah kamu merasa kamu terlalu
Seperti binatang, Valerie dijorokkan begitu saja ke atas tumpukan daun-daun kering. Valerie berusaha bangkit, namun rambutnya ditarik dan dijambak dengan kuat hingga dia merasa jika kulitnya akan terkelupas. Setelah itu dia kembali dilempar dan wajahnya mengenai batang kayu kering yang melintang tepat di dekatnya.Tetesan darah mulai mengalir dari luka goresan akibat wajahnya terkena batang kayu. Valerie nyaris tidak bisa merasakan apa pun di area wajahnya. Semua rasa sakit itu seperti menyatu dengan harapan Valerie yang mulai pupus dan membuatnya mati rasa.Valerie kembali berusaha bangkit ditengah-tengah tawa menghina yang berkumandang. Air mata Valerie tumpah, seluruh tubuhnya bergetar hebat. Dia merangkak menjauhi mereka namun rambutnya kembali ditarik kencang.“Ikat dia!” Perintah Cassiel.Dua orang yang selalu berada di dekat Cassiel menyeret Valerie dengan menjambak rambutnya menuju sebuah batang pohon yang terletak di tengah lokasi tersebut. Valerie hanya bisa memegangi rambut
Mata Valerie menatap nyalang langit malam di atasnya. Sepi, gelap. Tidak ada bulan, tidak ada bintang di atas sana. Malam benar-benar menunjukkan identitas aslinya saat ini sebagai penguasa kegelapan.Gerimis mulai turun, semakin lama semakin deras. Saat tetesan demi tetesan air hujan itu mengenai kulit tubuh Valerie, dia tidak merasakan apa pun. Seharusnya dia mengigil kedinginan, namun sepertinya tubuhnya sudah tidak bisa merasakan apa pun.Dia sudah mati rasa.Air mata mengalir dari sudut mata Valerie, mengalir terus menyusuri wajahnya hingga ke lehernya. Dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi saat dua orang brengsek itu mencium dan menjilati tubuh Valerie dengan liar.Tubuh John menjulang di atas Valerie bagaikan raksasa jahat yang liar dan penuh hasrat. Tangan Valerie mengepal kuat. Matanya terus menatap lurus ke atas langit malam tanpa mengatakan apa pun. Hingga...Dor...Tiba-tiba Valerie mendengar dua buah bunyi tembakan yang memekakkan telinganya. Untuk beberapa detik Valerie
“Dokter Frans.” Emrys mendekati Dokter Frans. “Tolong lakukan yang terbaik. Aku akan pergi sebentar. Ingat, tidak ada satu orang pun yang boleh masuk ke ruangan ini sebelum gadis ini dibersihkan luka-lukanya dan berpakaian dengan layak. Akan ku minta seseorang mengantarkan pakaian bersih ke sini. Ingat. Siapa pun tidak boleh masuk, sekalipun dia Isabelle.” Tegas Emrys.“Baik Tuan Emrys.”Ketika Emrys membuka pintu, Isabelle langsung berusaha merangsek masuk namun dengan lembut Emrys menahannya. Dia menutup pintu dan segera terdengar bunyi klik dari dalam pertanda pintunya kembali dikunci.“Apakah sangat parah?” Isabelle menatap Emrys dengan air mata yang menggenang.Emrys mendesah lalu perlahan mengangguk. Isabelle menangis tersedu-sedu, tubuhnya semakin lama semakin menunduk hingga dia terkulai di lantai. Tangisannya terdengar hingga ke kamar pribadi grandpa yang menyebabkannya keluar dari kamar.“Ada apa, Emrys?”Grandpa berseru dari lantai bawah. Emrys segera membantu Isabelle berd
Setelah berdebat dengan Dokter Frans, akhirnya Isabelle memilih mengalah. Dia tidak diperbolehkan masuk bahkan untuk menyerahkan pakaian pada Valerie. Dokter Frans hanya menjulurkan tangannya lewat celah pintu yang dibukanya sedikit.Bersama Zach, dia terus menunggu di depan kamar tamu. Sesekali Isabelle kembali mengetuk pintu namun tidak ada sahutan dari dalam sana. Isabelle sudah meminta Grandpa kembali tidur dan berjanji akan menjaga Valerie hingga dia sadar.Keduanya duduk jongkok di depan pintu kamar tamu. Sambil sesekali menengok jam tangannya, Isabelle terus mengucapkan harapan untuk Valerie agar sgera bangun. Hingga Dokter Frans akhirnya membuka pintu, keduanya langsung merangsek masuk.Langkah Isabelle langsung tertahan bahkan sebelum dia tiba di dekat tempat tidur Valerie. Dia menutup mulutnya melihat dari kejauhan kondisi wajahnya yang hampir semua ditutupi oleh perban. Di bagian tangannya juga terdapat beberapa balutan sementara tubuh dan kakinya sudah ditutupi selimut hin
Hal pertama yang dilakukan Isabelle adalah memeluk erat Valerie ketika dia turun dari sedan yang membawanya kembali ke rumah. Dalam diam, dia menangis sesenggukan, menumpahkan semua rasa sakit hati dan penyesalan yang tak terukur dalam dirinya. Isabelle tidak bisa menggambarkan betapa terlukanya perasaannya dan sedalam apa rasa sakitnya.Rasa sakit itu bukan hanya karena dia berpikir jika dia kehilangan Valerie, namun juga karena rasa cinta yang sudah menggebu-gebu dalam dirinya untuk Rick. Tapi keadaan ini membuat dirinya sendiri tidak mengizinkan cinta itu berbalas. Dia sangat sakit hati hingga dia membatasi dirinya untuk tidak mencintai.“Heh, berikan Grandpa kesempatan.” Isabelle melepas pelukannya. Dia berdiri di sisi Valerie, menyeka air matanya dan membiarkan Grandpa memeluk sosok yang sangat dirindukannya itu.Tangisan Grandpa pecah saat memeluk Valerie. Dia terus mengelus punggung Valerie dan mengatakan maaf, bukan hanya sekali dua kali, namun berkali-kali hingga Valerie pun
“Emrys bunuh diri.” Lucy tergesa-gesa masuk ke dalam rumah Karlis ketika Valerie sedang menonton televisi.Valerie berdiri, kedua bola matanya membulat tak percaya, namun dia kembali duduk dengan santai. "Jangan membohongiku. Aku tidak akan percaya.""Valerie...""Aku tahu kamu selalu memaksaku pulang. Tapi jangan menggunakan cara seperti ini." ujar Valerie."Aku tidak berbohong. Emrys benar-benar bunuh diri." Lucy membuka ponselnya, menunjukkan pesan yang dikirim oleh Ky padanya. “Apa katamu?” desis Valerie.“Setelah mengirim pesan padaku, dia menghubungiku juga. Dia bertanya dimana aku sekarang dan aku berbohong jika aku sedang diluar kota untuk urusan pekerjaan. Dia memintaku untuk menenangkan Isabelle dan memberitahu jika Emrys bunuh diri.”“Ke-kenapa bisa...”“Dia melompat dari tebing yang sama dengan tebing tempatmu nyaris dibunuh. Dalam suratnya yang dia letakkan di meja kamar, dia mengatakan jika dia ingin mengalami sendiri apa yang kamu alami.”“Tapi ini sudah satu setengah
Lucy berguling menghadapkan tubuhnya pada Valerie yang masih terlentang menatap kosong langit-langit kamar. Setiap akhir pekan, Lucy selalu menyempatkan diri untuk melihat Valerie dan bermalam di sana. Valerie selalu mengalami mimpi buruk, berteriak dalam tidurnya untuk diselamatkan. Lucy tahu sahabatnya itu terluka sangat dalam hingga dalam mimpi pun dia masih bergulat. Namun, Lucy juga tidak bisa melakukan apa-apa.“Belum mengantuk?” bisik Lucy.Valerie menggeleng, menarik selimut menutupi dadanya. Dia mendesah panjang. “Bagaimana kondisi perusahaan Emrys?”“Sudah lebih baik.” Lucy memilih duduk. “Sejak aku memutuskan untuk menarik semua produk yang kami luncurkan dan mengembalikan apa yang seharusnya milik Lysander Kingdom berikut hak ciptanya, perusahaan mereka semakin membaik.”“Bagaimana dengan Isabelle?”“Isabelle?” Lucy mengingat-ingat. “Aku tidak terlalu sering bertemu dengannya karena aku sibuk di perusahaan. Tapi Rick mengatakan jika Isabelle masih marah dan menolak dirinya
Sebulan kemudian.Sepasang bola mata yang indah dan teduh itu menatap layar televisi yang ukurannya nyaris seukuran dengan kardus pembungkus mie instan yang biasa dimakannya. Kedua bola mata itu bergerak mengikuti arah gambar yang menayangkan acara komedi. Dia tidak tertawa saat tokoh dalam acara itu menjatuhkan dirinya ke dalam kubangan lumpur. Apapun adegannya, dia tidak tersenyum.Seorang wanita paruh baya masuk ke ruanganya. Dia membawakan semangkuk bubur yang masih mengepul panas dan meletakkannya di atas meja. Dengan lembut wanita itu menarik remote dari tangannya dan mematikan saluran televisi. “Sudah malam, Nak. Makanlah dulu. Kamu perlu tetap hidup demi janin dalam perutmu.”Pemilik mata teduh itu adalah Valerie. Ketika wanita yang menemukannya dan menyelamatkannya itu menyebut janinnya, dia secara naluri memegang perutnya. Di keningnya ada beberapa bekas luka goresan yang belum hilang, begitu pula di tangannya.Dia ingat. Ketika tubuhnya dihempas oleh arus, seseorang tiba-t
“Bagaimana Grandpa, Belle?” Rick dan Zach menghampirinya bersamaan.Isabelle tidak menyahut, pun tidak melirik mereka. Dia melengos begitu saja lalu pergi mengambil beberapa kaleng alkohol dari dalam kulkas dan membawanya ke taman belakang rumahnya. Hati Isabelle benar-benar kacau dan dia masih sakit hati. Semua kebohongan yang mereka lakukan di depannya membuat dia tidak bisa memaksakan diri untuk berbicara pada keduanya.Dia membuka kaleng alkoholnya dan langsung menenggaknya. Dalam sekali tegukan panjang, dia menghabiskan seisi kaleng itu hingga tumpah ke pakaiannya. Isabelle menghela nafas, menyeka sisa alkohol yang membanjiri dagunya. Isabelle mengingat Valerie. Dia menunduk, air matanya jatuh dan dia menangis sesenggukan hingga dadanya terasa sangat sesak. Dia memukul-mukul dadanya yang seolah terhimpit oleh beban berat, berusaha mencari oksigen agar bisa bernafas lebih leluasa. Namun sesak itu bukan karena jantungnya kekurangan oksigen, melainkan karena semua kekacauan dalam h
Angin malam yang kencang membuat tubuh Victoria yang terayun-ayun merasakan kengerian yang teramat besar. Dia berteriak meminta agar Emrys menurunkannya. Rasanya dia nyaris pingsan melihat betapa tingginya posisinya berada hingga benda-benda di bawahnya terasa sangat kecil. Victoria menangis, kembali memohon agar Emrys bermurah hati padanya.Hati Emrys tidak tergugah. Dia sama sekali tidak tergerak. Tekadnya sudah bulat sekalipun dia akan membayar apa yang dilakukannya dengan nyawanya sendiri.Dia akan melakukan apa pun, dia sanggup menukar apa pun, hanya jika Valerie bisa kembali.Ketika Emrys hendak melempar tubuh Victoria dari lantai enam belas bangunan itu, tiba-tiba beberapa anggota kepolisian menghampirinya dan berusaha menahannya.“Emrys, jangan.” Sosok kapten yang ditemuinya di villa tadi malam berdiri di sana. “Jangan kotori tanganmu, ini bukan gayamu.”Air mata Emrys mengalir terus dan dia benar-benar tidak berdaya. Bayang-bayang bagaimana Valerie jatuh menari-nari di kepala
“Siapa yang mengganggu malam-malam begini?” Victoria menggerutu kesal saat mendengar bunyi bel pintu terus berdering. Dengan malas dan setengah pusing dia melangkah dan membuka pintu. Namun begitu melihat Emrys berdiri dengan murka di sana, dia membelalak dan buru-buru menutup kembali pintu kamarnya. Dengan kasar Emrys menendang pintu hingga membuat Victoria terpelanting. Wanita itu beringsut mundur dengan gugup dan gemetar.“Di mana Valerie?” Emrys menunduk, meraih kerah baju Victoria dengan kasar dan tatapan dingin mematikan. Rick dan Ky ada di belakangnya. Ketika Emrys mengabari Ky, Ky juga langsung memberitahu Rick. Ky hanya berpikir mungkin Rick melihat keberadaan Valerie, namun karena Rick juga tidak tahu dimana Valerie, dia memutuskan ikut.“Ada apa, Vic?” Cassiel berseru dari dalam kamar mandi ketika dia mendengar saura ribut-ribut.Victoria hendak berteriak, namun dengan cepat Emrys meninju mulutnya hingga berdarah. Victoria tergeletak di lantai, kesakitan dan berlumuran dar
Lembaran hitam putih itu membuat jantung Emrys memacu. Tangannya gemetar, wajahnya memutih, dan sekujur tubuhnya gemetar luar biasa. Dia melihat nama Valerie tertera di foto USG itu dan hal itu membuktikan jika kertas foto itu adalah benar milik Valerie. Buru-buru Emrys membuka buku harian Valerie dilembaran dimana kertas foto itu jatuh.Air matanya langsung mengalir begitu membacanya, merasakan kepedihan yang teramat besar dan juga rasa penyesalan. Emrys menggeleng, menolak jika Valerie menyiratkan jika dia sudah menyerah dalam tulisan itu. Dan ketika dia membaca tulisan Valerie yang mengatakan dia hamil, buku harian di tangannya langsung jatuh.“Ha-hamil?” Gumam Emrys kaget. “Anakku? Dia hamil anakku?”Emrys berdiri, memegang kepalanya yang berdenyut karena bingung. Foto USG dan tulisan di buku Valerie sangat mempengaruhinya. Dia tidak menyangka bahwa dalam tubuh Valerie ada janin dimana darahnya mengalir. Janin itu adalah bukti pencapaian tertinggi rasa cinta diantara mereka. Tang
“Dia akan mencariku segera ketika mengetahui aku tidak ada di rumah. Apa kamu tidak takut?”Cassiel tertawa. “Takut? apa yang harus ditakuti?”“Jika kamu tidak takut, kenapa kamu bersembunyi selama ini?”Valerie terus bicara, berharap Cassiel kehilangan hasrat untuk membunuhnya. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini. Dia harus memancing Cassiel terus bicara dan sebisa mungkin tidak menyinggungnya. Jika tidak, meski dengan kekuatan kecil, tubuhnya akan langsung meluncur ke bawah jika Cassiel mendorongnya.“Itu karena perintah pria itu, tahu?” jawab Cassiel santai.“Maksudmu, Dex?” tebak Valerie.Cassiel mengangguk. “Aku harus menuruti ayahku, bukan?”Angin menerbangkan rambut Valerie. Kuncirannya berantakan diterpa angin dan dia kedinginan. Kakinya kaku saat dia menginjak sebuah batu dan batu itu langsung longsor jatuh ke bawah. Valerie memberanikan diri menengok ke bawah. Buih-buih putih terlihat memecah dinding jurang hingga membuat Valerie menelan ludahnya.“Aku tidak ingin mengh