Emrys berjalan tertatih sementara di sampingnya Ky terus mendampinginya. Tampaknya luka Ky tidak terlalu parah karena dia mendarat ke atas tumpukan daun-daun yang mengering. Emrys berhenti. Dia melihat darah terus mengalir dari paha kirinya dan juga lengannya. Sambil menahan rasa sakitnya, dia duduk menyandarkan tubuhnya di sebuah pohon.“Tuan, kita harus ke rumah sakit.”Emrys menggeleng. Dia menelan ludahnya, menatap Ky dengan nafas terengah.“Bagaimana dengan orang-orang kita?”“Ada sekitar sepuluh orang yang mengalami luka serius dan sisanya hanya mengalami luka ringan. Tidak ada korban jiwa dari pihak kita, Tuan.”“Baguslah.” Emrys menelan ludahnya dengan susah payah. “Bawa aku ke rumah Dokter Frans saja. Aku tidak akan ke rumah sakit.”*“Grandpa.”Isabelle terkejut saat menyadari Grandpa sudah ada di dalam kamar tamu tempat Valerie dirawat. Dia ketiduran di samping Valerie karena dia berniat menjaga selang infus yang menetes ke tubuh Valerie. Namun siapa yang menyangka, bahkan
“Grandpa, bagaimana bisa Grandpa punya rencana seperti itu?”Setelah mendengar kabar dari Ky, Emrys langsung menyusul ke rumah. Namun dia tidak tahu jika Grandpa dan Isabelle sudah membawa Valerie ke rumah sakit. Akibatnya dia memutar haluan menuju rumah sakit untuk segera menanyakan kabar yang disampaikan Ky padanya.Emrys berdiri di hadapan Grandpa yang duduk menggenggam tongkatnya saat melayangkan protesnya. Isabelle juga turut di ruangan itu. Dia hanya diam di sisi ranjang tempat Valerie dirawat sembari diam-diam mendengarkan percakapan Grandpa dan Emrys.Kakaknya itu terlihat frustasi, bingung dan marah. Tapi Isabelle tahu persis Emrys tidak akan pernah menang melawan Grandpa. Walaupun dia tidak mau, jelas pernikahan ini akan berlangsung. Karena apa yang sudah direncanakan Grandpa tidak boleh digagalkan oleh siapa pun.“Jangan berisik. Valerie baru saja menjalani operasi dan dia butuh suasana yang tenang.” sahut Grandpa, sama sekali tidak menggubris protes Emrys.“Apa Grandpa tah
[Jauh di dalam hatiku, ada sebuah luka yang tidak bisa ku gambarkan. Luka itu ku bawa sepanjang usiaku dan tak kunjung sembuh, tidak peduli apa yang kulakukan. Dia seperti hantu yang merasukiku setiap detik.Aku berjuang setiap hari, mencoba mencari hidupku di dalam gelapnya malam. Masa laluku menagih janji kebahagiaan yang tak kunjung bisa ku berikan padanya dan diriku sendiri. Setiap detik terasa sangat menyakitkan, dan setiap langkah terasa tidak berarti.Haruskah harapanku ku kubur dalam-dalam? Seperti masa lalu yang meninggalkan jejaknya dalam memoriku, haruskah aku berhenti?Apakah masa depan itu sungguh tidak nyata?]Valerie memejamkan matanya seiring dengan air mata yang jatuh menyusuri wajahnya. Setelah sadar, dia terus menerus menangis tanpa henti. Tidak peduli siapa yang membujuknya, Valerie tidak ingin berhenti. Dia hanya ingin terus menangis bahkan hingga air matanya tak lagi mengalir.Dia meremas kertas di tangannya yang sudah dia tulis. Terbiasa melampiaskan semua emosi
[Aku menghabiskan waktuku untuk memikirkan tentang kematian. Tentang siapa yang akan menangisiku, tentang musik apa yang akan ku pilih untuk dilagukan, tentang berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh orang-orang di sekitarku untuk melangkah dan melupakanku.Aku bukan siapa-siapa, hanya setangkai bunga liar yang hampir mati. aku bukan siapa-siapa, hanya seekor burung kecil yang patah sayapnya.Seharusnya tidak ada orang yang kehilanganku dan menangis untukku karena sesungguhnya aku tidak pernah hidup dalam hati dan pikiran mereka.]Selama tiga hari dirawat di rumah sakit, Valerie masih menolak siapa pun yang berniat mengunjunginya. Bahkan kemarin Isabelle menangis di balik pintu, mengetuk pintu ruangannya sembari memanggil namanya. Namun mulut Valerie serasa dikunci dan dia tidak berniat sama sekali untuk menyahut.Perban di wajahnya sudah dibuka, hanya menyisakan sedikit di area rahangnya. Valerie melirik jam di dinding. Jarum jam sudah menunjukkan angka empat sore dan seharusnya seben
Menikah itu seharusnya dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai. Mereka mengikat janji untuk sehidup semati, dan tidak akan berpisah kecuali kematian datang menagih kewajibannya. Namun apa rasanya jika menikah terjadi pada dua orang yang sama sekali tidak saling mengenal, tidak saling memahami apalagi saling mencintai?Valerie menggeleng. Dia tidak akan melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan dan diinginkan oleh orang lain. Dia tahu, Emrys punya alasannya sendiri kenapa dia menawarkan diri untuk menikahinya. Seharusnya itu menyangkut apa yang terjadi pada diri Valerie beberapa hari yang lalu.“Kamu tidak mau?” Emrys menatapnya.“Apa alasanmu menikahiku tiba-tiba?”Hening.“Jika kamu ingin membalas budi lalu memilih menikah denganku, maaf. Aku tidak bisa menerimanya.”“Hanya ini satu-satunya cara.” Emrys mendekatkan dirinya pada Valerie. “Cassiel menghilang entah kemana. Seharusnya saat ini dia sedang menyusun taktik lain untuk menyakitimu, terlebih saat dia tahu aku peduli pad
“Champagne?”Zach membawakan dua gelas berisi champagne dan menawarkannya pada Valerie. Gadis itu tersenyum, lalu meraih gelas dari Zach. “Thanks.” sahut Valerie pendek.Malam terlihat sangat indah dipenuhi oleh ribuan bintang. Bulan sabit juga terlihat sangat menawan, begitu pula dengan pemandangan yang ada disekitar Valerie saat ini.“Kamu terlihat cantik.”Valerie menatap dirinya sendiri, lalu mengangguk membenarkan. Gaun putih selutut yang melekat ditubuhnya memang membuat penampilannya sangat menawan dan Valerie pun setuju jika dia tampil cantik malam ini. Setelah menerima pemberkatan janji nikah tadi siang, keluarga Lysander menggelar resepsi kecil-kecilan yang hanya dihadiri oleh beberapa tamu penting mereka.Valerie hanya diwakili oleh Lissa karena dia pun tidak tahu keluarganya yang lain selain Ibunya itu. Dari kejauhan dia melihat Lissa tengah bicara dengan Emrys berdua, entah membicarakan apa.“Kamu baik-baik saja?”Valeri terpaksa mengalihkan tatapannya dari Lissa dan Emry
Jemari Valerie gemetar saat membaca judul yang tertuang di kertas. Kalimat itu menggunakan huruf kapital dan dicetak tebal sehingga matanya langsung tertuju ke sana. Dia menelan ludahnya, nyaris meremas kertas itu hingga tak berbentuk.“Kamu boleh menandatanganinya kalau kamu sudah yakin dan setuju.” Emrys memberikan sebuah pulpen. “Dan untuk tempat tidurnya, kamu boleh pilih mau menempati yang mana.”Dalam ruangan itu memang terdapat dua buah tempat tidur. Satu tempat tidur utama berukuran king size, satu lagi berada di ruang walk-in closet dengan ukuran yang lebih kecil, single bed yang hanya muat oleh satu orang saja. Valerie tersenyum mengejek dirinya sendiri.Tentu saja mereka tidak akan tidur bersama. Bukankah Emrys sudah mengatakan jika dia hanya adiknya dan pernikahan ini hanya sebuah tameng? Apa yang diharapkannya untuk dilakukan Emrys?“Aku di sini saja.” Valerie menunjuk tempat tidur yang lebih kecil.“Kenapa tidak menggunakan tempat tidur utama? Aku sudah mengganti spreiny
“Ini gila.” Valerie menyesap kopi di tangannya. Dia mengangguk membenarkan. Memang gila. Pernikahan ini gila dan tak seharusnya dilaksanakan. Awalnya Valerie tidak bisa menolak karena dia juga khawatir dengan keselamatannya. Namun setelah mengetahui jika ternyata Emrys memiliki motif lain, hatinya sangat sakit.“Seharusnya kamu menolak, Vale.” Zach menyentuh lengannya. “Aku pikir pernikahan ini sungguhan. Maksudku, kalian berdua menutupinya dengan sangat baik.” Zach sampai kehabisan kata-katanya.Tidak tahu harus bercerita pada siapa, Valerie memutuskan menghubungi Zach dan meminta bertemu di sebuah cafe tak jauh dari kediaman Emrys. Dia mengatakan semuanya pada Zach secara terang-terangan dan tanpa menutupi satu hal pun.“Dia tidak hanya menipumu, tapi juga memanfaatkanmu.”Dia memang bodoh. Percaya begitu saja jika Emrys sedang berusaha menyelamatkannya dari Cassiel sementara dia juga melakukan rencana lain. Semua kekhawatirannya, semua kata-kata manisnya, ajakan menikahnya. Valerie
Hal pertama yang dilakukan Isabelle adalah memeluk erat Valerie ketika dia turun dari sedan yang membawanya kembali ke rumah. Dalam diam, dia menangis sesenggukan, menumpahkan semua rasa sakit hati dan penyesalan yang tak terukur dalam dirinya. Isabelle tidak bisa menggambarkan betapa terlukanya perasaannya dan sedalam apa rasa sakitnya.Rasa sakit itu bukan hanya karena dia berpikir jika dia kehilangan Valerie, namun juga karena rasa cinta yang sudah menggebu-gebu dalam dirinya untuk Rick. Tapi keadaan ini membuat dirinya sendiri tidak mengizinkan cinta itu berbalas. Dia sangat sakit hati hingga dia membatasi dirinya untuk tidak mencintai.“Heh, berikan Grandpa kesempatan.” Isabelle melepas pelukannya. Dia berdiri di sisi Valerie, menyeka air matanya dan membiarkan Grandpa memeluk sosok yang sangat dirindukannya itu.Tangisan Grandpa pecah saat memeluk Valerie. Dia terus mengelus punggung Valerie dan mengatakan maaf, bukan hanya sekali dua kali, namun berkali-kali hingga Valerie pun
“Emrys bunuh diri.” Lucy tergesa-gesa masuk ke dalam rumah Karlis ketika Valerie sedang menonton televisi.Valerie berdiri, kedua bola matanya membulat tak percaya, namun dia kembali duduk dengan santai. "Jangan membohongiku. Aku tidak akan percaya.""Valerie...""Aku tahu kamu selalu memaksaku pulang. Tapi jangan menggunakan cara seperti ini." ujar Valerie."Aku tidak berbohong. Emrys benar-benar bunuh diri." Lucy membuka ponselnya, menunjukkan pesan yang dikirim oleh Ky padanya. “Apa katamu?” desis Valerie.“Setelah mengirim pesan padaku, dia menghubungiku juga. Dia bertanya dimana aku sekarang dan aku berbohong jika aku sedang diluar kota untuk urusan pekerjaan. Dia memintaku untuk menenangkan Isabelle dan memberitahu jika Emrys bunuh diri.”“Ke-kenapa bisa...”“Dia melompat dari tebing yang sama dengan tebing tempatmu nyaris dibunuh. Dalam suratnya yang dia letakkan di meja kamar, dia mengatakan jika dia ingin mengalami sendiri apa yang kamu alami.”“Tapi ini sudah satu setengah
Lucy berguling menghadapkan tubuhnya pada Valerie yang masih terlentang menatap kosong langit-langit kamar. Setiap akhir pekan, Lucy selalu menyempatkan diri untuk melihat Valerie dan bermalam di sana. Valerie selalu mengalami mimpi buruk, berteriak dalam tidurnya untuk diselamatkan. Lucy tahu sahabatnya itu terluka sangat dalam hingga dalam mimpi pun dia masih bergulat. Namun, Lucy juga tidak bisa melakukan apa-apa.“Belum mengantuk?” bisik Lucy.Valerie menggeleng, menarik selimut menutupi dadanya. Dia mendesah panjang. “Bagaimana kondisi perusahaan Emrys?”“Sudah lebih baik.” Lucy memilih duduk. “Sejak aku memutuskan untuk menarik semua produk yang kami luncurkan dan mengembalikan apa yang seharusnya milik Lysander Kingdom berikut hak ciptanya, perusahaan mereka semakin membaik.”“Bagaimana dengan Isabelle?”“Isabelle?” Lucy mengingat-ingat. “Aku tidak terlalu sering bertemu dengannya karena aku sibuk di perusahaan. Tapi Rick mengatakan jika Isabelle masih marah dan menolak dirinya
Sebulan kemudian.Sepasang bola mata yang indah dan teduh itu menatap layar televisi yang ukurannya nyaris seukuran dengan kardus pembungkus mie instan yang biasa dimakannya. Kedua bola mata itu bergerak mengikuti arah gambar yang menayangkan acara komedi. Dia tidak tertawa saat tokoh dalam acara itu menjatuhkan dirinya ke dalam kubangan lumpur. Apapun adegannya, dia tidak tersenyum.Seorang wanita paruh baya masuk ke ruanganya. Dia membawakan semangkuk bubur yang masih mengepul panas dan meletakkannya di atas meja. Dengan lembut wanita itu menarik remote dari tangannya dan mematikan saluran televisi. “Sudah malam, Nak. Makanlah dulu. Kamu perlu tetap hidup demi janin dalam perutmu.”Pemilik mata teduh itu adalah Valerie. Ketika wanita yang menemukannya dan menyelamatkannya itu menyebut janinnya, dia secara naluri memegang perutnya. Di keningnya ada beberapa bekas luka goresan yang belum hilang, begitu pula di tangannya.Dia ingat. Ketika tubuhnya dihempas oleh arus, seseorang tiba-t
“Bagaimana Grandpa, Belle?” Rick dan Zach menghampirinya bersamaan.Isabelle tidak menyahut, pun tidak melirik mereka. Dia melengos begitu saja lalu pergi mengambil beberapa kaleng alkohol dari dalam kulkas dan membawanya ke taman belakang rumahnya. Hati Isabelle benar-benar kacau dan dia masih sakit hati. Semua kebohongan yang mereka lakukan di depannya membuat dia tidak bisa memaksakan diri untuk berbicara pada keduanya.Dia membuka kaleng alkoholnya dan langsung menenggaknya. Dalam sekali tegukan panjang, dia menghabiskan seisi kaleng itu hingga tumpah ke pakaiannya. Isabelle menghela nafas, menyeka sisa alkohol yang membanjiri dagunya. Isabelle mengingat Valerie. Dia menunduk, air matanya jatuh dan dia menangis sesenggukan hingga dadanya terasa sangat sesak. Dia memukul-mukul dadanya yang seolah terhimpit oleh beban berat, berusaha mencari oksigen agar bisa bernafas lebih leluasa. Namun sesak itu bukan karena jantungnya kekurangan oksigen, melainkan karena semua kekacauan dalam h
Angin malam yang kencang membuat tubuh Victoria yang terayun-ayun merasakan kengerian yang teramat besar. Dia berteriak meminta agar Emrys menurunkannya. Rasanya dia nyaris pingsan melihat betapa tingginya posisinya berada hingga benda-benda di bawahnya terasa sangat kecil. Victoria menangis, kembali memohon agar Emrys bermurah hati padanya.Hati Emrys tidak tergugah. Dia sama sekali tidak tergerak. Tekadnya sudah bulat sekalipun dia akan membayar apa yang dilakukannya dengan nyawanya sendiri.Dia akan melakukan apa pun, dia sanggup menukar apa pun, hanya jika Valerie bisa kembali.Ketika Emrys hendak melempar tubuh Victoria dari lantai enam belas bangunan itu, tiba-tiba beberapa anggota kepolisian menghampirinya dan berusaha menahannya.“Emrys, jangan.” Sosok kapten yang ditemuinya di villa tadi malam berdiri di sana. “Jangan kotori tanganmu, ini bukan gayamu.”Air mata Emrys mengalir terus dan dia benar-benar tidak berdaya. Bayang-bayang bagaimana Valerie jatuh menari-nari di kepala
“Siapa yang mengganggu malam-malam begini?” Victoria menggerutu kesal saat mendengar bunyi bel pintu terus berdering. Dengan malas dan setengah pusing dia melangkah dan membuka pintu. Namun begitu melihat Emrys berdiri dengan murka di sana, dia membelalak dan buru-buru menutup kembali pintu kamarnya. Dengan kasar Emrys menendang pintu hingga membuat Victoria terpelanting. Wanita itu beringsut mundur dengan gugup dan gemetar.“Di mana Valerie?” Emrys menunduk, meraih kerah baju Victoria dengan kasar dan tatapan dingin mematikan. Rick dan Ky ada di belakangnya. Ketika Emrys mengabari Ky, Ky juga langsung memberitahu Rick. Ky hanya berpikir mungkin Rick melihat keberadaan Valerie, namun karena Rick juga tidak tahu dimana Valerie, dia memutuskan ikut.“Ada apa, Vic?” Cassiel berseru dari dalam kamar mandi ketika dia mendengar saura ribut-ribut.Victoria hendak berteriak, namun dengan cepat Emrys meninju mulutnya hingga berdarah. Victoria tergeletak di lantai, kesakitan dan berlumuran dar
Lembaran hitam putih itu membuat jantung Emrys memacu. Tangannya gemetar, wajahnya memutih, dan sekujur tubuhnya gemetar luar biasa. Dia melihat nama Valerie tertera di foto USG itu dan hal itu membuktikan jika kertas foto itu adalah benar milik Valerie. Buru-buru Emrys membuka buku harian Valerie dilembaran dimana kertas foto itu jatuh.Air matanya langsung mengalir begitu membacanya, merasakan kepedihan yang teramat besar dan juga rasa penyesalan. Emrys menggeleng, menolak jika Valerie menyiratkan jika dia sudah menyerah dalam tulisan itu. Dan ketika dia membaca tulisan Valerie yang mengatakan dia hamil, buku harian di tangannya langsung jatuh.“Ha-hamil?” Gumam Emrys kaget. “Anakku? Dia hamil anakku?”Emrys berdiri, memegang kepalanya yang berdenyut karena bingung. Foto USG dan tulisan di buku Valerie sangat mempengaruhinya. Dia tidak menyangka bahwa dalam tubuh Valerie ada janin dimana darahnya mengalir. Janin itu adalah bukti pencapaian tertinggi rasa cinta diantara mereka. Tang
“Dia akan mencariku segera ketika mengetahui aku tidak ada di rumah. Apa kamu tidak takut?”Cassiel tertawa. “Takut? apa yang harus ditakuti?”“Jika kamu tidak takut, kenapa kamu bersembunyi selama ini?”Valerie terus bicara, berharap Cassiel kehilangan hasrat untuk membunuhnya. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini. Dia harus memancing Cassiel terus bicara dan sebisa mungkin tidak menyinggungnya. Jika tidak, meski dengan kekuatan kecil, tubuhnya akan langsung meluncur ke bawah jika Cassiel mendorongnya.“Itu karena perintah pria itu, tahu?” jawab Cassiel santai.“Maksudmu, Dex?” tebak Valerie.Cassiel mengangguk. “Aku harus menuruti ayahku, bukan?”Angin menerbangkan rambut Valerie. Kuncirannya berantakan diterpa angin dan dia kedinginan. Kakinya kaku saat dia menginjak sebuah batu dan batu itu langsung longsor jatuh ke bawah. Valerie memberanikan diri menengok ke bawah. Buih-buih putih terlihat memecah dinding jurang hingga membuat Valerie menelan ludahnya.“Aku tidak ingin mengh