Romi yang ditanya seperti itu langsung menjawab, “Kalau boleh jujur sih, Mas, Nesa lebih cantik. Dan ada perbedaan jelas karakter mereka. Nesa tampak polos dan murni, tidak memiliki muslihat—”
Mendengar kata muslihat membuat hati Barata seketika dingin. “Yang kutanyakan bukan tentang karakter, tapi fisik. Ah, lama kelamaan kamu jadi seperti Tuan Kusuma yang terhormat.”Barata berlalu setelah melontarkan kalimat sarkasme yang membuat temannya itu menggigit lidahnya sendiri sebab sudah berani berkata jujur. Seharusnya dia tak lupa kalau majikannya sangat sensitif terkait sifat dan sikap gadis masa lalunya. Bosnya itu seolah selalu menulikan telinga jika kejelekan gadis itu diungkit.“Mas, Mas, padahal jelas-jelas perempuan itu mengkhianati kamu.” Romi menggeleng sambil memandang punggung majikannya semakin menjauh.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Nesa dibangunkan Mbok Dami untuk bergegas ke kamar mandi. Nesa membuka kelopak matanya dan langsung meraih tangan perempuan itu. “Mbok, tolong bantu saya kabur dari sini. Saya mohon,” rengeknya sambil mengguncang lengan perempuan yang kepalanya terdapat beberapa helai uban.Mbok Dami melihat iba wajah sembap Nesa. Andai saja dia bisa mengabulkan permohonan gadis itu. Tetapi dia sadar dia tak berdaya. Dia tak ingin kehilangan pekerjaannya. Apalagi di jaman sekarang pekerjaan sulit didapatkan sementara beban kehidupan menumpuk. Jadi, alangkah baiknya dia tak turut campur masalah ini. Yang perlu dilakukannya adalah menutup mata dan menulikan telinga dengan apa yang terjadi.“Mbak Nesa, ada baiknya Mbak legowo dan menerima saja. Lagi pula, Mas bos itu nggak jelek, kan? Dia tampan dan punya harta yang bisa memanjakan Mbak.”Gadis yang memiliki nama lengkap Annisa Raharja itu menggeleng. “Saya punya pacar, Mbok. Gimana mungkin saya ninggalin pacar saya dan nikah sama orang yang nggak saya cintai. Dan saya nggak gila harta.”“Kalau boleh saya memberi nasihat, cinta nggak melulu membawa kebahagiaan. Contohnya saya, Mbak Nesa.”Mbok Dami menghela napas berat karena menggali kisahnya. “Dulu waktu muda, saya dijodohkan orang tua dengan lelaki yang usianya terpaut 17 tahun di atas saya. Tapi dia mapan dan punya ladang luas, dia mempekerjakan orang-orang kampung di ladangnya termasuk orang tua saya. Tapi saya ngotot memilih pemuda—apa bahasa anak sekarang? Labil, ya?”Nesa hanya mengangguk.“Nah itu. Saya justru kabur dan kawin lari dengan pemuda labil yang cuma modal kata rayuan dan gombalan. Singkat cerita saya menyesal, Mbak. Ternyata hidup dengan yang katanya “cinta” nggak semanis yang saya bayangkan. Saya sengsara, suami KDRT karena saya menuntutnya untuk mencari kerja waktu melihat gentong kosong nggak ada beras sama sekali.”Nesa tahu apa yang dirasakan Mbok Dami karena terhimpit kekurangan ekonomi memang membawa penderitaan bagi korbannya. Akan tetapi, Bagus orang yang berbeda. Kekasihnya itu bukan pemuda yang malas-malasan, tetapi pekerja keras. Selain menjaga konter, terkadang dia juga menerima pekerjaan memanjat pohon kelapa untuk mengambil buahnya. Jadi, Nesa tak meragukan tanggung jawab sang kekasih jika mereka menikah nanti.Tapi itu hanya tinggal angan. Sebentar lagi Tuan Barata itu akan menikahinya. Tertutup sudah peluang pernikahan impiannya dengan Bagus terjadi.Tak ada gunanya berlama-lama mendengar cerita Mbok Dami. Perempuan itu takkan mengerti apa yang dirasakannya. Lebih baik Nesa bergegas ke kamar mandi. Jadi, dia berkata pada Mbok Dami, “Badan saya terasa lengket, Mbok. Lebih baik saya cepat-cepat mandi.”Mbok Dami mengangguk dan meninggalkan Nesa saat gadis itu mulai beranjak dari ranjang ke kamar mandi.Beberapa saat kemudian, ruang yang menjadi tempat sakral pengucapan ijab kabul tampak diisi beberapa orang. Tak banyak, hanya kurang lebih 20-an orang. Pun tempat itu tak didekorasi dengan megah, hanya hiasan sederhana.Sang mempelai pria duduk di depan penghulu mengucapkan kalimat ijab kabul dengan mantap. Duduk juga lelaki yang tak hentinya menampakkan senyum semringah sebab mendapatkan menantu kaya raya. Sementara mempelai wanitanya berada di kamar, menitikkan air mata. Pupus sudah impiannya merajut kebahagiaan bersama Bagus. Dia sudah sah menjadi istri lelaki lain, lelaki yang sama sekali tak dia cintai.Melihat itu, Mbok Dami yang menemaninya sedari dia dirias sampai sekarang itu mengusap lengannya seraya berucap, “Saya percaya Mbak Nesa kuat dan tabah menghadapi ini.”Lalu tangan perempuan itu menghilangkan jejak air mata di pipinya dengan tisu. Gerakannya sangat hati-hati supaya tak merusak riasan. Setelah itu dia berkata sambil meraih siku Nesa, “Mari Mbak, orang-orang sudah menunggu.”Dengan setengah hati Nesa menggerakkan kakinya, mengikuti ke mana saja perempuan itu membawa raganya. Dia sudah pasrah.Sepasang bola mata Bara tak berkedip saat melihat gadis yang sah menjadi istrinya menuruni tangga. Istri mungilnya itu berkali lipat lebih cantik dengan balutan kebaya putih dengan payet rumit yang memperindah bentuk tubuhnya, dan sarung songket warna cokelat keemasan yang melilit bagian tubuh bawahnya.“Kamu sangat teramat cantik, Nes,” ucap Bara, menyambut kedatangan Nesa. Gadis itu hanya diam tanpa emosi di wajahnya. Air mukanya tampak datar. Bahkan, dia tak melirik bapaknya yang entah sejak kapan datang, tahu-tahu sudah menjadi walinya di sana.Lalu penghulu menginstruksikan pengantin wanita untuk mencium punggung tangan suaminya dan sang suami mencium keningnya. Saat Nesa merasakan sentuhan bibir di keningnya, hatinya terasa perih seperti diiris-iris. “Jadi ini sungguh terjadi? Aku sudah bukan milik Bagus?” Hatinya bertanya pedih.•••Hari sudah beranjak sore saat Bara memasuki kamar pengantinnya. Beberapa jam ke belakang dia sangat sibuk menghadapi orang-orang yang tadi menyaksikan dia akhirnya melepas lajang. Sebagian besar dari mereka adalah rekan bisnis berbagai lini. Dia cukup kewalahan menjawab pertanyaan mereka ini itu terkait pengantin wanitanya.“Nes, maaf ya menunggu lama.” Barata yang melihat istrinya memandang taman dari depan jendela kaca, langsung memeluk istrinya dari belakang. Gadis yang mengenakan baju rumahan warna kuning itu tak bereaksi sama sekali dengan tindakannya. Dia merasa seperti memeluk sebuah patung.Bara sontak mengingat perkataan Nesa kemarin. Dia hanya akan mendapatkan raga tanpa jiwa. Gadis itu menggunakan istilah robot untuk menggambarkannya. Akhirnya Bara berkata sambil menumpukan dagunya di pundak Nesa, “Maaf juga karena saya memaksamu dalam pernikahan ini. Tapi saya berjanji tidak akan memaksa dalam satu hal.”Bara menunggu Nesa merespons ucapannya, tetapi sampai dia menunggu beberapa saat gadis itu tetap bungkam. Akhirnya dia melanjutkan, “Satu hal itu adalah saya tidak akan memaksamu melayani saya. Nesa, saya akan bersabar menunggu kamu menerima saya. Selama itu belum terjadi, cukup kamu berada di sisi dan saya terus melihat wajahmu.”Setelah bergeming beberapa waktu, akhirnya Nesa menggerakkan bibirnya untuk berkata, “Bahkan jika akhirnya kamu mendapatkan tubuhku, tapi kamu bukan yang pertama, Mas Bara. Karena aku sudah menyerahkan kesucianku pada Bagus.”Memang berat mendengar itu, tetapi Bara tak memiliki alasan marah pada Nesa. Itu wajar sebab mereka—Nesa dan Bagus—saling mencintai. “Saya menerima kamu sepenuhnya, Nes. Masa lalumu, tak masalah buat saya. Yang penting adalah masa depan. Dan saya adalah masa depanmu, begitupun sebaliknya.”Suasana kembali hening, Nesa tak bersuara untuk membalas ucapan Bara dan suaminya itu tak beranjak dari tubuhnya, justru semakin mengeratkan pelukannya. Pandangan mereka sama-sama menjurus ke gazebo dengan pemikiran masing-masing. Nesa yang mengenang pertemuan terakhir kali dengan Bagus malam itu, sementara Bara memahami apa yang gadis itu pikirkan tentang gazebo itu. Bara mempertimbangkan, apakah dia perlu merombak atau sekalian meniadakan bangunan itu supaya istrinya tak mengingat pemuda itu?Ya, sepertinya Bara perlu melakukan itu.Suara ketukan pintu memecah keheningan mereka yang bergolak dengan pikiran masing-masing. Bara langsung menghambur ke pintu. Dari pola ketukannya Bara menangkap ada hal yang urgent.“Mas bos, gawat, Mas!”Wajah panik Romi langsung terlihat setelah Bara membuka pintu. “Katakan dengan jelas, Rom,” tuntutnya tak sabar. Pasti ada yang salah.“Lele, gurame dan lobster di semua kolam mati, Mas bos. Sepertinya ada pihak yang menyabotase.”“Kurang ajar!” Bara langsung mengambil langkah lebar. Tujuannya tentu saja ke tempat budidaya ikan-ikan yang menjadi salah satu ladang bisnis pencetak uangnya yang saat ini telah diobrak-abrik orang tak bertanggung jawab, dengki dan tak senang dengan kesuksesannya.Romi menyusul dengan berlari. Tempat itu berada kira-kira 20 meter dari gerbang belakang rumah. Nesa mengernyit melihat keributan itu. Dia sempat melihat Bara yang murka dari jendela kaca. Tiba-tiba berkelebat dalam benaknya, bukankah ini adalah peluang? Mungkin Tuhan merasa iba padanya dan memberinya kesempatan untuk kabur.Tanpa pertimbangan lagi, Nesa cepat-cepat berlari menuruni tangga. Ketika berpapasan dengan Mbok Dami, perempuan itu menyapanya dan dia mengatakan ingin melihat-lihat sekitar
Barata sampai di desa Nesa setelah empat jam perjalanan. Dia langsung disambut sang mertua dengan informasi yang sangat tidak dia harapkan. “Nesa tidak ada di sini, Tuan.” Raharja berbicara dengan takut. Khawatir menantu kayanya itu akan murka padanya. “Panggil saja Bara, saya menantu Bapak sekarang.” Di luar perkiraan, justru menantunya itu bersikap jauh dari kata murka. Barata tampak mampu mengendalikan emosi.Bara lantas memeriksa rumah yang hanya sepetak itu untuk memastikan. Dia mengetatkan rahang, istrinya memang tak ada di sana. Ke mana gadis itu pergi? Selama perjalanan pun netranya menyisiri jalan kalau-kalau melihat istrinya. Tetapi, sekadar bayangannya pun tak dia dapati. Barata menjadi semakin khawatir.“Pemuda itu ... pacar Nesa, di mana rumahnya?” Barata bertanya dengan nada tak sabar. Melihat ikatan emosi Nesa dan Bagus malam itu, instingnya berkata kalau sewaktu-waktu Nesa pergi ke rumah pemuda itu untuk menemuinya atau mungkin saat ini Nesa memang sudah berada di sa
“Oh, Bapak baru ingat,” sahut Pak Agung. Lalu dia melihat Nesa dan bertanya, “Kamu disekap di tempat kayak apa, Non?”“Di gubuk, dindingnya berupa bambu, Pak,” jawab Nesa berbohong. Dalam hati dia bergumam, semoga saja orang-orang yang mengelilinginya ini tak menaruh curiga padanya.“Padahal di hutan itu ada rumah Tuan Barata lho, Non. Banyak pegawainya juga di sana. Bapak heran kok yang nyulik kamu itu berani berbuat macam-macam di wilayah Tuan Barata. Kamu nggak lihat di sana ada rumah besar yang dikelilingi tembok tinggi?”Nesa menelan ludahnya dan mencoba menyembunyikan kegugupannya. Andai Pak Agung tahu bahwa nama orang yang disebutnya barusan merupakan tersangka dalam kasus ini. Kemudian Nesa menggeleng setelah kepalanya menemukan jawaban. “Saya dibius saat tidak jauh dari rumah. Setelahnya tahu-tahu sudah ada di gubuk itu dengan beberapa orang yang mengawasi saya. Jadi, saya nggak tahu tentang rumah tuan yang Bapak sebut itu tadi.” “Gimana cara kamu kabur dari sana?” Bu Agung
“Non, hati-hati, ya. Kamu harus bisa jaga diri. Kalau bisa kejadian kemarin jangan sampai terulang lagi.” Bu Agung merangkul tubuh Nesa, mengantarnya sampai depan pickup yang akan mengantarnya pulang. Sementara Pak Agung sudah berada di balik kemudi kendaraan usang tersebut.Nesa tersenyum serta kepalanya mengangguk. Hampir dua hari berada di rumah ini, Nesa seperti mendapatkan keluarga baru. Mereka memperlakukan Nesa dengan baik dan hangat layaknya saudara jauh yang sudah lama hilang komunikasi lantas berkunjung secara tiba-tiba memberi kejutan. Hati Nesa benar-benar menghangat.Bu Agung melepas Nesa, kini giliran Indah yang merangkulnya dan gadis itu berbisik di telinganya, “Mbak, Indah tahu Mbak Nesa menyembunyikan sesuatu, tapi apa pun kebenarannya, Indah harap semuanya akan baik-baik saja.” Nesa mengerjapkan mata. Jadi, gadis yang tampak polos ini selama ini mengamatinya dan tahu kalau dia berbohong, tetapi tidak mencoba mendesaknya berkata jujur? Sontak, Nesa hilang kata-kata m
“Nes, ke mana aja kamu?” Suhana itu sepertinya orang yang suka penasaran dan takkan berhenti sampai keingintahuannya mendapat jawaban. Dia mengguncang lengan Nesa tatkala gadis itu terlihat melamun. Nesa mengangkat pandangannya dari lantai. Setelah mencocokkan informasi dari Suhana, dia menarik kesimpulan—Bagus belum sempat pulang semenjak kedatangannya ke rumah Barata waktu itu. Satu memori melintas di kepala, kalimat perintah Barata kepada Romi malam itu terngiang-ngiang di telinga. Air matanya merebak, kekasihnya mengalami kesulitan karena dirinya. Dan amarah serta kebenciannya pada Barata bertambah berkali-kali lipat. “Ke mana kamu buang pacarku, Mas Bara? Belum puaskah kamu merampas kebahagiannya dengan memisahkan kami? Dan kamu sepertinya nggak akan berhenti sampai membuatnya menderita dengan terluntang-lantung di jalanan.” Hati Nesa begitu pedih seiring bait demi bait kesedihan menggedor dari dalam sana. “Oh, Bagus, semoga kamu baik-baik aja.” Tak terasa bibirnya menggumam p
Bulu mata lentik itu berkedip beberapa kali, bergerak dengan lemah seirama gerakan kelopak mata yang dipayunginya. Rasa pening langsung menyergap gadis yang sedang telentang dengan keadaan tak berdaya, menuntun tangannya terangkat ke pelipis untuk memberi sentuhan meredakan di sana. Suara lenguhan keluar dari sela bibirnya yang mungil, dan kesadaran yang tiba-tiba membuatnya menyentakkan punggung ke kepala ranjang. Dia bangkit secara spontan, mengabaikan kondisi sekujur tubuhnya yang terasa seperti remuk oleh sebab diremas tangan-tangan besi.“Mereka berhasil menangkapku!” memori terakhir yang dapat direkam kepalanya sebelum dia menemukan kesadarannya adalah wajah lelaki yang berjarak tak kurang sejengkal dari wajahnya—menyeringai iblis kepadanya.“Sudah berapa lama aku nggak sadarkan diri?” tanyanya pada diri sendiri. Tangannya mengusap tengkuknya berulang kali.Meskipun rasa sakit begitu menggelayut, Nesa memaksa mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ini bukan kamar yang di
Tampang lelaki yang dipanggil Awan itu terlihat kesal saat menoleh pada suara yang menyerukan namanya, yang bergerak semakin dekat padanya dengan pelan, namun pasti. Bibirnya berdecak tak suka sebab kegiatan menyenangkannya diinterupsi. “Harusnya aku curiga waktu kamu mengajukan diri turun ke lapangan, alih-alih menyerahkan tugas sepele itu pada anak buahmu,” kata lelaki tua yang diikuti beberapa orang di belakangnya. Berdiri di depan sang putra dengan tongkat wallker di tangan kanannya, matanya memicing penuh selidik. “Kamu memang pemburu andal, Nak. Tapi kali ini kubur dulu bakatmu yang itu.”Si lelaki tua dengan gaya parlente itu melirik sekilas gadis yang raut mukanya dihiasi ketakutan yang dominan. “Memang kenapa, Ayah?” Awan mendengkus tak senang. “Aku yang menemukannya, maka terserahku mau ku apakan dia.”Bulu kuduk gadis yang menjadi topik pembicaraan bergidik mendengar itu. Kali ini Nesa melafalkan doa dalam hati, semoga Tuhan menolongnya lagi, lolos dari lingkaran setan le
“Mas bos.” Barata yang merebahkan tubuh di atas sofa dengan malas akibat kemelut pikirannya mencari keberadaan Nesa langsung memicingkan mata, melihat Romi menjulang di atasnya dengan benda kotak di tangan lelaki itu.“Paket,” kata Romi sembari menyodorkan benda kotak kecil yang misterius. “Kata satpam dari semalam.”Tanpa minat, Barata menyuruh Romi membukanya. Benda itu tak meyakinkan, dia pun tak merasa memesan sesuatu atau ada laporan pihak yang akan mengirimkan barang padanya. Romi mengambil posisi duduk dan langsung membuka paket di tangannya. Kernyitan dalam muncul di kening Romi saat melihat benda tersembunyi di dalamnya. “Mas ....” Romi menunjukkan benda mungil cantik berwarna silver. “Kurang ajar!” Barata langsung bangkit lantas merebut benda yang sangat dia kenali dari tangan Romi. Bagaimana tak mengenal? Dia sendiri yang memilih dengan teliti benda itu untuk dia pasangkan di jari Nesa pada hari pernikahan mereka. “Siapa yang mencoba memancingku! Sangat pengecut mengguna
“Terus pantau dia.” Seorang pria berbicara melalui saluran telepon genggamnya. Sorot matanya terlihat berkilat-kilat licik, sementara satu sudut bibirnya terangkat. Saluran komunikasi dia matikan, pria itu lalu menelepon kontak lain, seseorang yang sudah dengan sangat siap menerima perintah. “Tau apa yang musti kamu lakukan?” tanyanya pada seseorang di seberang. “Tau, Juragan. Saya akan melakukan sesuai perintah Juragan.” Terdengar suara di seberang menjawab, mengundang senyum puas terbit di bibir si lelaki paruh baya yang terlihat masih bugar dan muda, seakan usia hanyalah angka baginya. “Bagus. Jangan kecewakan aku, Ramli,” tekan pria itu setengah mengancam, lalu mematikan sambungannya secara sepihak. Beberapa detik kemudian, pria itu tampak menyimpan kembali telepon pintar miliknya ke dalam saku. Lalu tangannya terangkat ke dagunya yang ditumbuhi bulu dengan lebat, mengusap-usapnya dengan lembut. “Barata, Barata. Beberapa tahun nggak nemu cara balas dendam ke kamu, sekarang akh
“Roman-roman mukamu kok kayak orang kurang asupan gizi, Bar,” ledek Naren yang melihat sahabatnya itu tidak bersemangat. Dua hari setelah kejadian di restoran malam itu, hari ini akhirnya Naren berkunjung ke kediaman sahabatnya. Selain berniat silaturrahmi, dia juga ingin memastikan keadaan Nesa, perempuan yang akhir-akhir ini terbayang di benaknya. Apakah dia baik-baik saja karena sikap dingin Barata hanya saat itu saja dan sesampainya di rumah hubungan mereka kembali hangat, atau sedih karena dampak kejadian itu menjadi berlarut-larut. Sungguh, Naren sudah berusaha menghapus wajah Nesa serta kekagumannya terhadap istri sahabatnya itu, tetapi wajah Nesa masih kerapkali muncul. Dan ... dia memiliki kerinduan terhadap sosok gadis itu.“Efek begadang, ngecek-ngecek kolam,” sahut Barata, sambil melarikan perhatiannya pada ikan-ikan di kolam. Sementara tangannya melempar pakan, terlihat gurame-gurame itu berebutan.“Lah, apa gunanya itu Romi? Terus itu orang-orangmu? Mereka makan gaji bu
“Oh, aku lupa kalau ini memang kamarmu,” kata Nesa, melihat Barata yang tampak keras kepala—enggan meninggalkannya. “Seharusnya aku sadar diri. Kalau begitu, biar aku yang keluar.”Nesa berusaha berdiri dengan kekuatannya yang lemah, menyeret kakinya ke pintu. Jiwa Barata kian diterjang rasa bersalah kala melihat kondisi kaki sang istri. Seharusnya dia lebih mampu mengolah emosi, tetapi yang terjadi justru kalap karena terlalu dikuasai api cemburu. “Biar saya saja yang keluar,” ujar Barata. “Tapi setelah saya obati kaki kamu.”“Aku nggak butuh diobati. Kakiku baik-baik aja.” ‘Karena yang beneran sakit adalah hatiku. Kejadian ini dan kamu yang tempramen membuatku menjadi ragu buat memulai hubungan kita. Padahal sebelumnya aku berniat menerima takdir ini, mulai membuka hati buatmu, tapi—’“Auww!” Nesa memekik terkejut merasakan tubuhnya melayang, tahu-tahu dia sudah berada di atas kedua lengan suaminya. Lengannya pun secara reflek mengalung di leher Barata. Barata mendudukkan Nesa
Semua kepala lantas menoleh pada sumber suara. Dalam sekejap, pria yang berjalan perlahan itu menjadi pusat atensi tiga sosok dengan sorot mata berbeda. Barata dengan pandangan menusuk, tatapan Narendra yang menelisik dan Nesa yang memandang dengan jijik. “Siapa yang kamu sebut kelinci kecil, Pecundang?” Tatapan Barata yang penuh permusuhan dia kirimkan pada Awan. Sementara sang istri meremas tangannya dengan gelisah. Barata merasakan telapak kecil itu basah oleh keringat. Dia tahu respons tubuh sang istri diakibatkan syok melihat keparat itu. Putra dungu Tuan Wirang itu pernah menyandera Nesa dan Barata yakin terjadi hal yang tidak menyenangkan selama Nesa dalam genggaman si pecundang itu. “Kalau yang kamu maksud itu istriku, maka tarik lagi ucapanmu itu kecuali dirimu ingin kubuat babak belur tidak berdaya di atas tanah, seperti waktu itu, heh!” Barata bukan hanya menggertak, sebab dia sudah mulai menyingsing lengan kemejanya hingga siku, bersiap bertarung. Melihat pertunjukan t
Narendra seperti dihantam palu tepat di jantungnya kala mendengar klaim Barata. Cintanya layu sebelum berkembang. “Istrimu?” Bahkan dia tak sadar bibirnya bergerak, menunjukkan kalimat yang baru saja menelusup ke telinga begitu mengejutkan. Matanya mengerjap lambat, masih mencoba mencerna. Bahkan, atensinya masih terpaku pada sosok yang dia asumsikan sebagai Anggun—adik Barata, beberapa saat lalu. “Kami menikah sekitaran sebulanan yang lalu,” jelas Barata dan dia kesal melihat Narendra. “Hei, tatap aku. Aku sedang berbicara.”Barata meraih tangan Nesa di bawah meja lalu mengangkatnya ke permukaan, menggenggamnya di atas meja. Dia sengaja melakukan itu untuk menegaskan bahwa Nesa miliknya. Narendra menelan kekecewaan dan berjuang menyembunyikannya dari dua sosok yang duduk bersebelahan itu. Dia mencoba mengulas senyum dan kini tatapannya jatuh pada Barata. “Aku nggak dengar kabar pernikahanmu. Anak-anak juga nggak ada yang ngabarin,” tutur Narendra. Anak-anak yang dikatakan itu meru
“Katakan kalau kamu bukan bidadari yang sedang tersesat di bumi.” Nesa tersenyum tersipu, balas memandang suaminya yang sedang mengagumi pantulan dirinya di cermin. “Kamu ... sangat cantik, Nes,” puji Barata dengan bangga, dagunya bertumpu pada pundak Nesa yang terbuka. Sementara tangannya melingkari perut sang istri yang malam ini tampak seperti peri—cantik, mungil, murni.Barata sangat bersyukur, sepulang dari desa Nesa, hubungan mereka berangsur menjadi hangat. Telinganya sudah tidak pernah lagi mendengar kalimat ketus dan sengit dari bibir Nesa. Pun perangai dan sikap istrinya itu kini menjadi manis dan penurut. Kalau malam waktu sebelum tidur, Nesa tidak pernah menolak atau memberontak saat tubuhnya dipeluk Barata. Sampai bangun di pagi hari, tubuh gadis berparas ayu itu menempel di dada bidangnya. “Ah, tidak jadi pergilah. Begini saja. Saya mau berlama-lama memandang dan mengikatmu seperti ini,” kata Barata lagi seraya mengeratkan pelukannya di tubuh mungil sang istri. Dia ju
“Mulai besok, datang rutin ke Restoran Milenial. Jadi satpam tidak memberatkanmu, kan, Pak? Saya sudah berbicara dengan Arga, kawan saya, owner itu restoran.”Tatapan Barata tampak serius. “Untuk lokasinya, saya kirim melalui pesan whats*pp nanti,” lanjutnya. Raharja melongo, tercengang. Setelah mengejutkannya dengan pernikahan dadakan tanpa kenal mempelai wanitanya, kini sang menantu yang dipujanya itu membuat surprise dengan menyuruhnya bekerja? Tanpa mendengar dulu pendapatnya—apakah dia bersedia atau tidak?Wah, menantuku ini semakin semena-mena, rontanya yang hanya berani dia suarakan dalam hati. Mendapati kejutan tidak menyenangkan itu, jelas saja dia merasa sangat keberatan. Dia sudah amat nyaman menjadi pengangguran, tetapi tiap bulannya mendapat transferan dari Barata sesuai kesepakatan dalam transaksi penyerahan anak gadisnya pada Barata. “Tenang saja, Bapak mertua. Bapak tetap akan menerima uang yang biasa saya kirim tiap bulannya walaupun sudah bekerja. Turuti saja ara
Barata langsung sigap mengambilkan segelas air putih untuk Nesa yang tersedak karena ucapannya. “Maaf, maaf,” katanya setelah meletakkan lagi gelas yang sudah berkurang isinya ke atas nakas. Nesa terlihat canggung, bahkan tatapannya tak beralih dari jemarinya yang tertaut resah. Perkataan Barata tadi jelas mengejutkannya. Apa suaminya itu mendengar pembicaraannya dengan sang ayah beberapa saat lalu? Jika prasangka itu benar lantas kenapa justru pria yang dilimpahi banyak harta itu bersikap manis, ketimbang berbuat kasar—mengingat Raharja telah menyarankan ide licik nan jahat yang dimaksudkan padanya. Barata meraih tangan Nesa yang lantas mengundang kepala istrinya itu terangkat untuk dapat bertemu pandang dengannya. “Maaf kalau perkataan saya membuatmu terkejut. Tapi yang perlu kamu tahu, sebagaimana janji saya yang tidak akan menyentuhmu jika kamu sendiri tidak menginginkannya, itu berlaku juga tentang keinginan saya memiliki anak darimu, Nes,” ucap Barata dengan mata teduhnya yang
“Mbak Nes, Mbak Nes,” teriak Dika kala memasuki kamar sang kakak. Di belakangnya, tampak Dewi dengan raut khawatirnya. “Ih Dika, nggak boleh teriak-teriak gitu. Suaramu itu ganggu Mbak Nesa,” peringatnya pada sang adik yang berjalan mendahuluinya. Dika yang terkesan polos itu lantas menggigit bibirnya, mereka kini sudah berada di tepi ranjang di mana Nesa tampak berbaring lemah. “Maaf, Mbak Nes, Dika nakal, ya,” gumamnya dengan rasa bersalah. Nesa menggeleng disertai senyum tipis di bibirnya. “Nggak, kok,” sahutnya sambil terbaring lemah. Lalu Dewi mengambil tempat lebih dekat dengan Nesa. Remaja manis itu bahkan sampai merangkak ke atas kasur. “Dewi kira kalau sudah nikah nyeri haid bakalan hilang, tapi nyatanya Mbak Nesa masih merasakannya,” ungkap Dewi, menyuarakan apa yang ada di pikirannya.“Kan tiap orang beda-beda, Wi,” sahut Nesa, memandang wajah adik perempuannya. “Masih sesakit itukah, Mbak Nes?” tanya Dewi dengan bibir meringis. Dalam hati dia bersyukur, dia salah sat