Barata sampai di desa Nesa setelah empat jam perjalanan. Dia langsung disambut sang mertua dengan informasi yang sangat tidak dia harapkan.
“Nesa tidak ada di sini, Tuan.” Raharja berbicara dengan takut. Khawatir menantu kayanya itu akan murka padanya.“Panggil saja Bara, saya menantu Bapak sekarang.” Di luar perkiraan, justru menantunya itu bersikap jauh dari kata murka. Barata tampak mampu mengendalikan emosi.Bara lantas memeriksa rumah yang hanya sepetak itu untuk memastikan. Dia mengetatkan rahang, istrinya memang tak ada di sana. Ke mana gadis itu pergi? Selama perjalanan pun netranya menyisiri jalan kalau-kalau melihat istrinya. Tetapi, sekadar bayangannya pun tak dia dapati. Barata menjadi semakin khawatir.“Pemuda itu ... pacar Nesa, di mana rumahnya?” Barata bertanya dengan nada tak sabar. Melihat ikatan emosi Nesa dan Bagus malam itu, instingnya berkata kalau sewaktu-waktu Nesa pergi ke rumah pemuda itu untuk menemuinya atau mungkin saat ini Nesa memang sudah berada di sana mencari keberadaan Bagus.Raharja sempat terkejut beberapa saat. Bagaimana Tuan Barata tahu tentang pemuda tak berguna pacar putrinya itu. Ralat, mantan pacar sebab sekarang anak gadisnya itu sudah menjadi Nyonya Barata. Itu membuat wajahnya menjadi semringah. “Mari saya antar, Nak Bara,” ucapnya.Hanya perlu waktu 13 menit untuk sampai di rumah Bagus yang keadaannya tak jauh berbeda dengan rumah Nesa. Sebab itulah Raharja menentang hubungan mereka. Baginya, menikahkan sang putri dengan Bagus takkan dapat memperbaiki skala kehidupan mereka dan dia teramat bosan hidup dalam kemiskinan.Seorang perempuan kisaran seusia Mbok Dami membuka pintu setelah rumahnya mendapati ketukan.“Di mana anakmu menyembunyikan Nesa?” Raharja langsung melayangkan tuduhan. Sepasang matanya bertemu dengan sepasang netra yang menyorot sama sinisnya dengannya. Dia dan orang tua Bagus memang tak pernah akur.“Nesa? Bocah tak tahu malu itu?” Ibu Bagus menunjukkan kesinisan. Barata mencoba bersabar mendengar kalimat buruk yang ditujukan untuk istrinya. “Memangnya dia hilang? Cih! Gadis macam apa yang kamu besarkan, Raharja?” cemoohnya.Barata langsung maju, tak menginginkan drama itu berkelanjutan. “Bu, saya Bara suami Nesa. Kedatangan saya ke sini ingin meminta pertolongan Ibu kalau-kalau istri saya ke sini,” kata Barata dengan sopan lalu menyodorkan beberapa lembar uang. “Tolong diterima.”Ibu Bagus itu sontak membelalak dan tangannya tanpa menunggu lama menerima lembaran merah itu. “Apa yang harus saya lakukan?” tanyanya dengan mata berbinar. Sesungguhnya, dia dan Raharja tipe orang yang sama—matanya langsung hijau jika dihadapkan uang.Raharja yang melihat itu memasang wajah pongah, tak menyembunyikan rasa bangganya sebab telah mendapatkan menantu kaya. Pasti sebentar lagi keberuntungannya itu tersiar di seantero desa.“Ibu punya hape? Kalau punya tolong hubungi saya jika Nesa berkunjung ke rumah Ibu dan tahan dulu dia di sini selama saya belum datang.” Barata, meskipun dia tuan tanah dan bergelimang harta, jika berhadapan dengan orang tua—tak melupakan sopan santunnya. Terkecuali dalam kondisi tertentu, jika orang itu kurang ajar dan menginjak harga dirinya, dia pun tak segan melunturkan kesopanannya.“Saya nggak punya hp, tapi saya akan meminjam milik tetangga kalau-kalau Non Nesa ke sini,” tutur Ibu Bagus dengan kalimatnya yang berangsur manis. Karena uang, kesinisanya pada Nesa beberapa saat lalu menguap seketika.“Cih! Dasar penjilat!” Raharja membatin mendapati momen itu.Barata mengangguk pada perempuan di depannya lalu meminta kertas dan meminjam pulpen untuk meninggalkan nomor HP-nya di sana. “Di mana anak Ibu? Apakah dia ada di rumah?” Barata hanya berpura-pura, sejatinya dia tahu pemuda yang membuatnya berang itu tak berada di rumah. Romi melaporkan padanya kalau Bagus dibuang jauh dari letak desanya berada.Ibu Bagus menggeleng. “Dari dua hari yang lalu Bagus nggak pulang. Mungkin dia diperlukan bosnya di rumahnya. Bagus itu, selain kerja konter dia juga dipekerjakan juragan kelapa, Tuan. Anak saya itu memang bisa melakukan pekerjaan apa saja. Jika Tuan membutuhkan pekerja, sangat bisa Bagus mengisi lowongan itu.” Mata Ibu Bagus berbinar-binar dengan harapan.“Cih! Sepertinya telingaku akan dipenuhi jilatan menjijikkan perempuan ini.” Raharja mendengkus muak.Sementara Barata, tentu saja dia takkan mengabulkan harapan perempuan yang melahirkan mantan kekasih istrinya itu. Begitu bodohnya dia jika menempatkan Bagus dan Nesa dalam satu wilayah. Jika itu terjadi yang ada hanyalah bencana. Jadi, dia tak menanggapi perkataan Ibu Bagus. Dia justru berpesan, “Tolong kalau Nesa ke sini, Ibu bisa menahan lidah Ibu untuk berkata sinis padanya. Saya sangat tidak suka istri saya diperlakukan buruk.”Meski berat hati, perempuan itu berusaha menyembunyikan keberatannya. Dia mengangguk dengan senyuman manis. “Bagaimanapun, Nesa itu sudah saya anggap putri saya sendiri, Tuan. Saya sering bercengkrama akrab dengannya saat dia ke sini.” Sepertinya, perempuan itu mendadak amnesia dengan sikapnya tatkala mendengar nama Nesa beberapa menit lalu. Dampak kertas bergambar nyatanya sangat telak.“Sudahlah. Tidak perlu banyak menjilat, Suhana! Aku muak mendengarnya!” Raharja yang tadi hanya mencibir dalam hati, kini memuntahkan cibiran itu. Suhana ini begitu tak tahu malu!“Kalau begitu, saya permisi.” Barata mengakhiri pertemuan itu dan langsung menuju mobilnya. Raharja menyusul setelahnya.“Saya langsung pulang. Hubungi saya segera kalau Nesa pulang.” Barata berpesan setelah mengantarkan mertuanya itu sampai depan rumahnya. Dia kemudian segera berkendara pulang. Dalam perjalanan, pikiran Barata dipenuhi dengan kekhawatirannya terhadap Nesa. Dia pun tak menyangka, di malam pengantinnya yang seharusnya merupakan momen bahagia, tetapi yang dia dapatkan justru kehilangan seorang istri.•••“Ndah, Indah,” teriak seorang bapak yang baru saja memasuki rumahnya yang sederhana. “Sini Bapak kenalin kamu teman baru, Ndah.”Gadis yang dipanggil namanya itu segera muncul di ruang tamu, lalu tersenyum pada Nesa yang duduk di salah satu kursi tamu. “Bapak, dia siapa?” bisiknya setelah mencium punggung tangan sang ayah.“Dia Nesa,” jawab lelaki bernama Agung itu. “Temani Non Nesa selama di sini, Ndah.”Indah yang notabene jarang memiliki teman itu mengangguk antusias. “Oke, Pak. Jadi Mbak Nesa akan tinggal di sini?”“Dua hari, Ndah,” jawab Agung. “Setelah itu Non Nesa akan Bapak antar pulang. Bapak juga nggak sengaja bertemu Non Nesa.” Dia melirik Nesa seolah meminta izin untuk bercerita pada putrinya dan Nesa mengangguk samar sebagai jawaban.“Loh, memangnya Bapak bertemu Mbak Nesa di mana?”“Di tepi jalan dekat hutan. Ceritanya rumit, Ndah. Ini juga bisa jadi pelajaran buatmu. Jangan percaya sama orang asing ntar diculik kayak Non Nesa ini.”“Diculik? Siapa, Pak?” Dari dalam ruang TV tiba-tiba muncul seorang wanita yang merupakan istri Pak Agung.“Ini, Bu. Bapak menemukan gadis yang berhasil lolos dari penyekapan penculik. Jaman sekarang ternyata masih marak soal begituan,” jawab Pak Agung.Bu Agung yang semakin penasaran sontak saja langsung mencecar suaminya setelah menelisik penampilan Nesa. Jika diperhatikan, Nesa yang cantik dan lugu memang cocok menjadi target penculikan. “Di mana lokasinya, Pak? Kok Ibu jadi ngeri. Takut kalau terjadi juga dengan Indah.”“Di tengah hutan yang sebelum Desa Pandanan itu lho, Bu.”“Loh hutan itu. Bukannya di sana itu rumahnya tuan tanah yang tersohor itu?”Nesa yang sedari tadi diam, jantungnya langsung berdetak kencang dan tampak gelisah saat mendengar itu. Hal tersebut tak luput dari perhatian Indah.“Tuan tanah siapa, Bu?”“Itu loh, Pak, Tuan Barata.”Jantung Nesa semakin berdetak tak keruan. Bagaimana jika orang-orang ini tahu cerita sebenarnya? Apakah akan tetap menolongnya atau justru mengembalikannya pada sang tuan tanah yang telah menjadi suaminya?“Oh, Bapak baru ingat,” sahut Pak Agung. Lalu dia melihat Nesa dan bertanya, “Kamu disekap di tempat kayak apa, Non?”“Di gubuk, dindingnya berupa bambu, Pak,” jawab Nesa berbohong. Dalam hati dia bergumam, semoga saja orang-orang yang mengelilinginya ini tak menaruh curiga padanya.“Padahal di hutan itu ada rumah Tuan Barata lho, Non. Banyak pegawainya juga di sana. Bapak heran kok yang nyulik kamu itu berani berbuat macam-macam di wilayah Tuan Barata. Kamu nggak lihat di sana ada rumah besar yang dikelilingi tembok tinggi?”Nesa menelan ludahnya dan mencoba menyembunyikan kegugupannya. Andai Pak Agung tahu bahwa nama orang yang disebutnya barusan merupakan tersangka dalam kasus ini. Kemudian Nesa menggeleng setelah kepalanya menemukan jawaban. “Saya dibius saat tidak jauh dari rumah. Setelahnya tahu-tahu sudah ada di gubuk itu dengan beberapa orang yang mengawasi saya. Jadi, saya nggak tahu tentang rumah tuan yang Bapak sebut itu tadi.” “Gimana cara kamu kabur dari sana?” Bu Agung
“Non, hati-hati, ya. Kamu harus bisa jaga diri. Kalau bisa kejadian kemarin jangan sampai terulang lagi.” Bu Agung merangkul tubuh Nesa, mengantarnya sampai depan pickup yang akan mengantarnya pulang. Sementara Pak Agung sudah berada di balik kemudi kendaraan usang tersebut.Nesa tersenyum serta kepalanya mengangguk. Hampir dua hari berada di rumah ini, Nesa seperti mendapatkan keluarga baru. Mereka memperlakukan Nesa dengan baik dan hangat layaknya saudara jauh yang sudah lama hilang komunikasi lantas berkunjung secara tiba-tiba memberi kejutan. Hati Nesa benar-benar menghangat.Bu Agung melepas Nesa, kini giliran Indah yang merangkulnya dan gadis itu berbisik di telinganya, “Mbak, Indah tahu Mbak Nesa menyembunyikan sesuatu, tapi apa pun kebenarannya, Indah harap semuanya akan baik-baik saja.” Nesa mengerjapkan mata. Jadi, gadis yang tampak polos ini selama ini mengamatinya dan tahu kalau dia berbohong, tetapi tidak mencoba mendesaknya berkata jujur? Sontak, Nesa hilang kata-kata m
“Nes, ke mana aja kamu?” Suhana itu sepertinya orang yang suka penasaran dan takkan berhenti sampai keingintahuannya mendapat jawaban. Dia mengguncang lengan Nesa tatkala gadis itu terlihat melamun. Nesa mengangkat pandangannya dari lantai. Setelah mencocokkan informasi dari Suhana, dia menarik kesimpulan—Bagus belum sempat pulang semenjak kedatangannya ke rumah Barata waktu itu. Satu memori melintas di kepala, kalimat perintah Barata kepada Romi malam itu terngiang-ngiang di telinga. Air matanya merebak, kekasihnya mengalami kesulitan karena dirinya. Dan amarah serta kebenciannya pada Barata bertambah berkali-kali lipat. “Ke mana kamu buang pacarku, Mas Bara? Belum puaskah kamu merampas kebahagiannya dengan memisahkan kami? Dan kamu sepertinya nggak akan berhenti sampai membuatnya menderita dengan terluntang-lantung di jalanan.” Hati Nesa begitu pedih seiring bait demi bait kesedihan menggedor dari dalam sana. “Oh, Bagus, semoga kamu baik-baik aja.” Tak terasa bibirnya menggumam p
Bulu mata lentik itu berkedip beberapa kali, bergerak dengan lemah seirama gerakan kelopak mata yang dipayunginya. Rasa pening langsung menyergap gadis yang sedang telentang dengan keadaan tak berdaya, menuntun tangannya terangkat ke pelipis untuk memberi sentuhan meredakan di sana. Suara lenguhan keluar dari sela bibirnya yang mungil, dan kesadaran yang tiba-tiba membuatnya menyentakkan punggung ke kepala ranjang. Dia bangkit secara spontan, mengabaikan kondisi sekujur tubuhnya yang terasa seperti remuk oleh sebab diremas tangan-tangan besi.“Mereka berhasil menangkapku!” memori terakhir yang dapat direkam kepalanya sebelum dia menemukan kesadarannya adalah wajah lelaki yang berjarak tak kurang sejengkal dari wajahnya—menyeringai iblis kepadanya.“Sudah berapa lama aku nggak sadarkan diri?” tanyanya pada diri sendiri. Tangannya mengusap tengkuknya berulang kali.Meskipun rasa sakit begitu menggelayut, Nesa memaksa mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ini bukan kamar yang di
Tampang lelaki yang dipanggil Awan itu terlihat kesal saat menoleh pada suara yang menyerukan namanya, yang bergerak semakin dekat padanya dengan pelan, namun pasti. Bibirnya berdecak tak suka sebab kegiatan menyenangkannya diinterupsi. “Harusnya aku curiga waktu kamu mengajukan diri turun ke lapangan, alih-alih menyerahkan tugas sepele itu pada anak buahmu,” kata lelaki tua yang diikuti beberapa orang di belakangnya. Berdiri di depan sang putra dengan tongkat wallker di tangan kanannya, matanya memicing penuh selidik. “Kamu memang pemburu andal, Nak. Tapi kali ini kubur dulu bakatmu yang itu.”Si lelaki tua dengan gaya parlente itu melirik sekilas gadis yang raut mukanya dihiasi ketakutan yang dominan. “Memang kenapa, Ayah?” Awan mendengkus tak senang. “Aku yang menemukannya, maka terserahku mau ku apakan dia.”Bulu kuduk gadis yang menjadi topik pembicaraan bergidik mendengar itu. Kali ini Nesa melafalkan doa dalam hati, semoga Tuhan menolongnya lagi, lolos dari lingkaran setan le
“Mas bos.” Barata yang merebahkan tubuh di atas sofa dengan malas akibat kemelut pikirannya mencari keberadaan Nesa langsung memicingkan mata, melihat Romi menjulang di atasnya dengan benda kotak di tangan lelaki itu.“Paket,” kata Romi sembari menyodorkan benda kotak kecil yang misterius. “Kata satpam dari semalam.”Tanpa minat, Barata menyuruh Romi membukanya. Benda itu tak meyakinkan, dia pun tak merasa memesan sesuatu atau ada laporan pihak yang akan mengirimkan barang padanya. Romi mengambil posisi duduk dan langsung membuka paket di tangannya. Kernyitan dalam muncul di kening Romi saat melihat benda tersembunyi di dalamnya. “Mas ....” Romi menunjukkan benda mungil cantik berwarna silver. “Kurang ajar!” Barata langsung bangkit lantas merebut benda yang sangat dia kenali dari tangan Romi. Bagaimana tak mengenal? Dia sendiri yang memilih dengan teliti benda itu untuk dia pasangkan di jari Nesa pada hari pernikahan mereka. “Siapa yang mencoba memancingku! Sangat pengecut mengguna
Nesa merasakan tubuhnya ingin menciut kecil selaras dengan keberaniannya yang menyusut, ketakutannya meningkat pesat tatkala melihat pintu kamar dibuka dari luar, dan menampilkan tubuh tegap Awan berjalan masuk dengan bibir melengkung sempurna yang kini Nesa tahu apa maksud di balik senyum itu. Tiap derap yang kaki lelaki itu ciptakan saat melangkah pun terdengar seperti membawa bahaya pada tiap entakannya.‘Ya Tuhan, kapan aku akan terbebas dari situasi mengerikan ini. Berada di sini seperti merasakan hawa neraka. Begitu mencekam, begitu menakutkan.’“Selamat malam, Kelinci kecil.” Lelaki itu langsung melintasi kasur, menyisakan jarak hanya beberapa jengkal dari Nesa. Nesa langsung merapatkan punggungnya pada sandaran ranjang dengan degup jantung yang berantakan, seakan jantung itu sangat siap melompat keluar. Dia melihat lelaki di depannya ini laksana predator yang lebih dari siap untuk memangsanya. “Kamu takut padaku?” Sepasang mata predator Awan menelisik ekspresi wajah gadis di
Awan yang sudah berbalik dan siap memberi ganjaran si pengganggu kegiatan menyenangkannya sontak mundur beberapa langkah saat melihat seorang lelaki menyibak jalan di antara beberapa orang berpakaian hitam. Sementara di belakangnya, Nesa tak menyia-nyiakan kesempatan untuk membenahi diri lantas menyampirkan selimut untuk menutupi tubuhnya. Pakaiannya sudah tak berguna setelah dikoyak tangan kurang ajar Awan.“Siapa yang akan kamu buat mati, brengsek!” Orang itu maju dan langsung memukuli Awan dengan tongkat. “Sudah kubilang, aku yang akan menghajarmu lebih dulu sebelum Barata kalau kamu nekat mengganggu istrinya!”“Ayah, kenapa Ayah berada di sini.” Awan mencoba menghalau tiap serangan Wirang, meskipun upayanya tak berarti apa-apa. Tongkat itu tetap mampu mengenainya, menyakitinya. “Dan tolong hentikan ini!”“Berhenti katamu?” Wirang justru semakin menggencarkan pukulannya pada sekitaran betis putranya yang tak bosan membuatnya marah itu. “Kamu yang harus berhenti dengan otak sekalig
“Terus pantau dia.” Seorang pria berbicara melalui saluran telepon genggamnya. Sorot matanya terlihat berkilat-kilat licik, sementara satu sudut bibirnya terangkat. Saluran komunikasi dia matikan, pria itu lalu menelepon kontak lain, seseorang yang sudah dengan sangat siap menerima perintah. “Tau apa yang musti kamu lakukan?” tanyanya pada seseorang di seberang. “Tau, Juragan. Saya akan melakukan sesuai perintah Juragan.” Terdengar suara di seberang menjawab, mengundang senyum puas terbit di bibir si lelaki paruh baya yang terlihat masih bugar dan muda, seakan usia hanyalah angka baginya. “Bagus. Jangan kecewakan aku, Ramli,” tekan pria itu setengah mengancam, lalu mematikan sambungannya secara sepihak. Beberapa detik kemudian, pria itu tampak menyimpan kembali telepon pintar miliknya ke dalam saku. Lalu tangannya terangkat ke dagunya yang ditumbuhi bulu dengan lebat, mengusap-usapnya dengan lembut. “Barata, Barata. Beberapa tahun nggak nemu cara balas dendam ke kamu, sekarang akh
“Roman-roman mukamu kok kayak orang kurang asupan gizi, Bar,” ledek Naren yang melihat sahabatnya itu tidak bersemangat. Dua hari setelah kejadian di restoran malam itu, hari ini akhirnya Naren berkunjung ke kediaman sahabatnya. Selain berniat silaturrahmi, dia juga ingin memastikan keadaan Nesa, perempuan yang akhir-akhir ini terbayang di benaknya. Apakah dia baik-baik saja karena sikap dingin Barata hanya saat itu saja dan sesampainya di rumah hubungan mereka kembali hangat, atau sedih karena dampak kejadian itu menjadi berlarut-larut. Sungguh, Naren sudah berusaha menghapus wajah Nesa serta kekagumannya terhadap istri sahabatnya itu, tetapi wajah Nesa masih kerapkali muncul. Dan ... dia memiliki kerinduan terhadap sosok gadis itu.“Efek begadang, ngecek-ngecek kolam,” sahut Barata, sambil melarikan perhatiannya pada ikan-ikan di kolam. Sementara tangannya melempar pakan, terlihat gurame-gurame itu berebutan.“Lah, apa gunanya itu Romi? Terus itu orang-orangmu? Mereka makan gaji bu
“Oh, aku lupa kalau ini memang kamarmu,” kata Nesa, melihat Barata yang tampak keras kepala—enggan meninggalkannya. “Seharusnya aku sadar diri. Kalau begitu, biar aku yang keluar.”Nesa berusaha berdiri dengan kekuatannya yang lemah, menyeret kakinya ke pintu. Jiwa Barata kian diterjang rasa bersalah kala melihat kondisi kaki sang istri. Seharusnya dia lebih mampu mengolah emosi, tetapi yang terjadi justru kalap karena terlalu dikuasai api cemburu. “Biar saya saja yang keluar,” ujar Barata. “Tapi setelah saya obati kaki kamu.”“Aku nggak butuh diobati. Kakiku baik-baik aja.” ‘Karena yang beneran sakit adalah hatiku. Kejadian ini dan kamu yang tempramen membuatku menjadi ragu buat memulai hubungan kita. Padahal sebelumnya aku berniat menerima takdir ini, mulai membuka hati buatmu, tapi—’“Auww!” Nesa memekik terkejut merasakan tubuhnya melayang, tahu-tahu dia sudah berada di atas kedua lengan suaminya. Lengannya pun secara reflek mengalung di leher Barata. Barata mendudukkan Nesa
Semua kepala lantas menoleh pada sumber suara. Dalam sekejap, pria yang berjalan perlahan itu menjadi pusat atensi tiga sosok dengan sorot mata berbeda. Barata dengan pandangan menusuk, tatapan Narendra yang menelisik dan Nesa yang memandang dengan jijik. “Siapa yang kamu sebut kelinci kecil, Pecundang?” Tatapan Barata yang penuh permusuhan dia kirimkan pada Awan. Sementara sang istri meremas tangannya dengan gelisah. Barata merasakan telapak kecil itu basah oleh keringat. Dia tahu respons tubuh sang istri diakibatkan syok melihat keparat itu. Putra dungu Tuan Wirang itu pernah menyandera Nesa dan Barata yakin terjadi hal yang tidak menyenangkan selama Nesa dalam genggaman si pecundang itu. “Kalau yang kamu maksud itu istriku, maka tarik lagi ucapanmu itu kecuali dirimu ingin kubuat babak belur tidak berdaya di atas tanah, seperti waktu itu, heh!” Barata bukan hanya menggertak, sebab dia sudah mulai menyingsing lengan kemejanya hingga siku, bersiap bertarung. Melihat pertunjukan t
Narendra seperti dihantam palu tepat di jantungnya kala mendengar klaim Barata. Cintanya layu sebelum berkembang. “Istrimu?” Bahkan dia tak sadar bibirnya bergerak, menunjukkan kalimat yang baru saja menelusup ke telinga begitu mengejutkan. Matanya mengerjap lambat, masih mencoba mencerna. Bahkan, atensinya masih terpaku pada sosok yang dia asumsikan sebagai Anggun—adik Barata, beberapa saat lalu. “Kami menikah sekitaran sebulanan yang lalu,” jelas Barata dan dia kesal melihat Narendra. “Hei, tatap aku. Aku sedang berbicara.”Barata meraih tangan Nesa di bawah meja lalu mengangkatnya ke permukaan, menggenggamnya di atas meja. Dia sengaja melakukan itu untuk menegaskan bahwa Nesa miliknya. Narendra menelan kekecewaan dan berjuang menyembunyikannya dari dua sosok yang duduk bersebelahan itu. Dia mencoba mengulas senyum dan kini tatapannya jatuh pada Barata. “Aku nggak dengar kabar pernikahanmu. Anak-anak juga nggak ada yang ngabarin,” tutur Narendra. Anak-anak yang dikatakan itu meru
“Katakan kalau kamu bukan bidadari yang sedang tersesat di bumi.” Nesa tersenyum tersipu, balas memandang suaminya yang sedang mengagumi pantulan dirinya di cermin. “Kamu ... sangat cantik, Nes,” puji Barata dengan bangga, dagunya bertumpu pada pundak Nesa yang terbuka. Sementara tangannya melingkari perut sang istri yang malam ini tampak seperti peri—cantik, mungil, murni.Barata sangat bersyukur, sepulang dari desa Nesa, hubungan mereka berangsur menjadi hangat. Telinganya sudah tidak pernah lagi mendengar kalimat ketus dan sengit dari bibir Nesa. Pun perangai dan sikap istrinya itu kini menjadi manis dan penurut. Kalau malam waktu sebelum tidur, Nesa tidak pernah menolak atau memberontak saat tubuhnya dipeluk Barata. Sampai bangun di pagi hari, tubuh gadis berparas ayu itu menempel di dada bidangnya. “Ah, tidak jadi pergilah. Begini saja. Saya mau berlama-lama memandang dan mengikatmu seperti ini,” kata Barata lagi seraya mengeratkan pelukannya di tubuh mungil sang istri. Dia ju
“Mulai besok, datang rutin ke Restoran Milenial. Jadi satpam tidak memberatkanmu, kan, Pak? Saya sudah berbicara dengan Arga, kawan saya, owner itu restoran.”Tatapan Barata tampak serius. “Untuk lokasinya, saya kirim melalui pesan whats*pp nanti,” lanjutnya. Raharja melongo, tercengang. Setelah mengejutkannya dengan pernikahan dadakan tanpa kenal mempelai wanitanya, kini sang menantu yang dipujanya itu membuat surprise dengan menyuruhnya bekerja? Tanpa mendengar dulu pendapatnya—apakah dia bersedia atau tidak?Wah, menantuku ini semakin semena-mena, rontanya yang hanya berani dia suarakan dalam hati. Mendapati kejutan tidak menyenangkan itu, jelas saja dia merasa sangat keberatan. Dia sudah amat nyaman menjadi pengangguran, tetapi tiap bulannya mendapat transferan dari Barata sesuai kesepakatan dalam transaksi penyerahan anak gadisnya pada Barata. “Tenang saja, Bapak mertua. Bapak tetap akan menerima uang yang biasa saya kirim tiap bulannya walaupun sudah bekerja. Turuti saja ara
Barata langsung sigap mengambilkan segelas air putih untuk Nesa yang tersedak karena ucapannya. “Maaf, maaf,” katanya setelah meletakkan lagi gelas yang sudah berkurang isinya ke atas nakas. Nesa terlihat canggung, bahkan tatapannya tak beralih dari jemarinya yang tertaut resah. Perkataan Barata tadi jelas mengejutkannya. Apa suaminya itu mendengar pembicaraannya dengan sang ayah beberapa saat lalu? Jika prasangka itu benar lantas kenapa justru pria yang dilimpahi banyak harta itu bersikap manis, ketimbang berbuat kasar—mengingat Raharja telah menyarankan ide licik nan jahat yang dimaksudkan padanya. Barata meraih tangan Nesa yang lantas mengundang kepala istrinya itu terangkat untuk dapat bertemu pandang dengannya. “Maaf kalau perkataan saya membuatmu terkejut. Tapi yang perlu kamu tahu, sebagaimana janji saya yang tidak akan menyentuhmu jika kamu sendiri tidak menginginkannya, itu berlaku juga tentang keinginan saya memiliki anak darimu, Nes,” ucap Barata dengan mata teduhnya yang
“Mbak Nes, Mbak Nes,” teriak Dika kala memasuki kamar sang kakak. Di belakangnya, tampak Dewi dengan raut khawatirnya. “Ih Dika, nggak boleh teriak-teriak gitu. Suaramu itu ganggu Mbak Nesa,” peringatnya pada sang adik yang berjalan mendahuluinya. Dika yang terkesan polos itu lantas menggigit bibirnya, mereka kini sudah berada di tepi ranjang di mana Nesa tampak berbaring lemah. “Maaf, Mbak Nes, Dika nakal, ya,” gumamnya dengan rasa bersalah. Nesa menggeleng disertai senyum tipis di bibirnya. “Nggak, kok,” sahutnya sambil terbaring lemah. Lalu Dewi mengambil tempat lebih dekat dengan Nesa. Remaja manis itu bahkan sampai merangkak ke atas kasur. “Dewi kira kalau sudah nikah nyeri haid bakalan hilang, tapi nyatanya Mbak Nesa masih merasakannya,” ungkap Dewi, menyuarakan apa yang ada di pikirannya.“Kan tiap orang beda-beda, Wi,” sahut Nesa, memandang wajah adik perempuannya. “Masih sesakit itukah, Mbak Nes?” tanya Dewi dengan bibir meringis. Dalam hati dia bersyukur, dia salah sat