Barata tampak memimpin jalan, mengomandoi 20 orang di belakangnya dalam rangka melancarkan serangan kepada si brengsek penculik istrinya. Dia sungguh tak habis pikir, mengapa pria itu tak henti mengusiknya. Mulai dari menyusupkan anak buahnya memeriksa kolam-kolam miliknya lalu beberapa hari setelah itu meracuni ikan-ikannya hingga tak tersisa seekor pun yang hidup, dan sekarang Nesa yang tak tahu menahu menjadi sasaran keusilannya. Apa pria itu pikir, dia tak bisa berlaku kejam kepadanya? Pria bernama Awan itu benar-benar meremehkannya!Waktu sudah menunjukkan tengah malam saat dia dan timnya sampai di kawasan kediaman pribadi Awan. Dengan hati-hati, Barata dan timnya mulai memantau situasi di sekitar rumah yang dibentengi dengan gerbang. Mereka berada di posisi yang strategis, menyembunyikan diri di balik pepohonan. Bahkan, Barata sendiri rela memanjat pohon demi mengawasi keadaan. Ini semua dia lakukan demi istrinya.Sudut bibir Barata tertarik ke atas, meremehkan. Ternyata Awan t
Setelah beberapa menit yang panjang nan sengit, Barata dengan kecerdasan dan keterampilan bertarungnya, akhirnya melihat celah dalam pertahanan Awan. Dengan gerakan cepat dan kuat, dia membuat tubuh Awan terpelanting hingga terjatuh ke tanah.Bug! “Sialan!” Awan meringis saat punggungnya menghantam tanah. Kemudian, langkah Barata yang mengandung aura kemenangan, mendekat pada Awan, menjulang kokoh di atas tatapan sengit pria yang sudah kalah itu.Bibir Barata menyunggingkan senyum kemenangan, menunduk menatap Awan dengan pongah. “Bukankah aku telah membuatmu menyesali keputusanmu menerima tantanganku?” kata Barata dengan puas, pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban.“Brengsek!” Awan mengumpat, masih tak percaya dia menjadi pihak yang terkalahkan. Padahal, dia berpikir, bentuk tubuhnya dan Barata nyaris serupa, sama-sama memiliki tubuh liat, kokoh dan atletis. Dan semestinya kekuatan mereka seimbang. Kemungkinan dia menang bukanlah hal mustahil. Akan tetapi, mengapa ternyata hasilny
Sepasang bola mata hitam dan dalam milik Barata yang laksana jurang tanpa dasar, mencurahkan tatapannya pada paras gadis yang berbaring di ranjangnya. Waktu sudah mendekati fajar, tetapi pandangan Barata terus melekat pada rupa cantik yang tampak damai dalam lelap tersebut. Sesekali tangan Barata mengusap puncak kepalanya dan menyingkirkan anak rambut yang melintang di wajahnya. Sambil mengamati, dalam hati pria itu berjanji bahwa hilangnya sang istri kali ini menjadi pertama dan terakhir kali. Dia takkan melepaskan Nesa sampai kapan pun, sekuat apa pun gadis itu berhasrat lepas darinya sebab sesuatu yang sudah menjadi miliknya, maka selamanya itu takkan berubah. Sekalipun semesta menentangnya, dia takkan goyah. Bila perlu, dia akan menantangnya dengan gagah. Barata memang seobsesi itu pada gadis bernama Annisa Raharja itu. “Saya akan bersabar, Nes, sampai kamu menerima saya,” ucapnya. Ingin sekali dia mencuri ciuman lagi, tetapi dirinya terlalu khawatir tak dapat mengendalikan diri
Romi yang hendak ke dapur untuk membuat kopi mengangkat kepalanya dan menemukan sosok Barata yang menuruni tangga dengan langkah kasar. Saat sudah mencapai anak tangga paling bawah, Romi memberanikan diri bertanya, “Ada hal urgent, Mas?” Dilihat dari air mukanya, Romi menangkap kemarahan di sana. Barata hanya berlalu, tanpa menanggapinya. Pria itu menuju dapur sambil memanggil Mbok Dami. Romi yang melihat itu hanya dapat mengelus dada. Mas bosnya itu masih marah dan bersikap dingin padanya imbas dari kecerobohannya. Dia yang sebelumnya ingin ke dapur pun, akhirnya mengurungkan niat tersebut. Lebih baik menunggu singa yang sedang marah itu keluar dari sana daripada memaksa ke dapur hanya untuk menerima amukannya. Romi masih sayang nyawanya.“Iya, Mas bos.” Mbok Dami yang sedang berdiskusi dengan koki perihal menu hari ini pun tampak berlari tergopoh-gopoh setelah mendengar suara sang majikan memanggilnya. Bisa dibilang, peran perempuan itu di rumah itu ialah kepala atau pemimpin para
Nesa sudah keluar kamar mandi 15 menit lalu. Kini gadis itu tengah berdiri di depan jendela, memandang gazebo dengan tangan terlipat di dada. Dress pendek berwarna biru muda membalut tubuh mungilnya, sangat pas di badannya. Seakan yang memilih gaun ini hafal detail ukuran lingkar pinggang, dada, dan lengannya. Andai saat ini situasinya berbeda, mungkin Nesa akan sangat menyukai penampilannya. Dress yang sangat indah membuat pesonanya yang biasanya mengintip malu-malu bahkan bersembunyi kini terpancar sempurna.Meskipun marah dan membenci Barata, tetapi dia tak punya pilihan lain selain menggunakan barang-barang di rumah ini yang disiapkan untuknya. Sebab, dia dibawa ke sini tanpa membawa apa-apa selain sepotong baju kurung lusuh yang dipakainya waktu pertama kali datang dan dia tak tahu ke mana pakaian itu sekarang. Kemeja yang dipakainya waktu kembali ke sini pun itu merupakan kemeja pembantu Tuan Wirang yang diikhlaskan kepadanya, maka tak mengherankan kalau kedodoran waktu dia paka
Begitu sampai kamar, Nesa langsung merangkak ke kasur. Tak sabar ingin membuka box yang tergenggam di tangannya. Ternyata box itu sudah dibuka dan ponselnya sudah terisi kartu SIM. Jadi, suaminya itu sungguh tak ingin dia kesulitan. Segala sesuatunya dipermudah. “Tetap saja, Mas Bara. Aku nggak akan tersentuh dengan segala effort yang kamu tunjukkan. Bagaimanapun, aku nggak akan pernah lupa gimana kejamnya kamu memisahkanku dengan Bagus,” ucapnya bermonolog. Lalu dia tak butuh waktu lama membuka aplikasi sosial media yang sudah terunduh. Beruntung, Nesa selalu mengingat alamat em*il dan kata sandi yang digunakannya mendaftar dulu. Nama yang pertama kali dia ketik di kolom pencarian tentu saja nama sang kekasih—Bagus Setya. Hanya lima menit, Nesa sudah menemukan akun yang dimaksud. Tertera di sana Bagus terakhir aktif 10 menit lalu. Jemarinya langsung menari lincah di atas layar, mengetikkan pesan pada akun yang dimaksud. “Hai, Gus. Aku di sini baik-baik saja. Kamu nggak perlu cem
“Mas, baksonya satu mangkok lagi, ya,” ucap seorang pelanggan pada pelayan warung bakso sambil mengacungkan telunjuknya disertai bibir semringah. Tampaknya, perempuan gendut itu ketagihan dengan cita rasa bakso yang barusan rampung disantapnya.Si pelayan mengangguk lalu bergegas ke bilik belakang, tempat si bos meracik pesanan. “Enam, Pak,” ucapnya pada si bos, menyebutkan angka pesanan. Malam ini warung lumayan ramai, mungkin didukung oleh cuaca yang dingin sebab sedari tadi sore hujan mulai turun, dan sekarang intensitas curahnya tampak lebat.Si bos mengangguk. “Oke,” jawabnya pada pegawainya yang baru beberapa hari ini dia pekerjakan. “Amri mana, Gus? Kok dari tadi kamu yang bolak-balik?”“Oh, dia sedang riweh di cucian, Pak,” jawab Bagus. “Malam ini sepertinya dewi keberuntungan sedang mampir ke sini. Dari tadi sore orang keluar masuk mau cobain bakso joss Bapak.”Iya, pekerja baru di warung bakso itu tak lain adalah Bagus Setya, kekasih Nesa. Semenjak Andre—orang suruhan Barata
Nesa berjalan mondar-mandir di dalam kamar, sambil matanya tak lepas dari layar ponsel. “Kenapa aku diblokir,” gerutunya dengan resah. “Apa Bagus mengira yang kirim pesan ke dia itu bukan aku? Jadi dia bersikap hati-hati.”Kepala Nesa disesaki beragam prasangka. Dia takut, khawatir, dan cemas. Jika memang Bagus memblokirnya karena dikira si pengirim pesan bukan dirinya lantas bagaimana caranya supaya dapat meyakinkan kekasihnya itu bahwa dialah yang mengirim pesan supaya tetap dapat berkomunikasi? Nesa rasanya ingin mengerang frustrasi. Semua terasa sulit. Sebelumnya dia berpikir, dengan dia menggenggam ponsel maka otomatis juga menggenggam kemudahan. Akan tetapi, nyatanya tak sesuai ekspektasi. “Terus gimana ini ... langkah apa yang harus ku tempuh. Rasa-rasanya aku ingin menyerah kalau sudah mendapati jalan buntu begini, tapi mengingat Bagus ... itu nggak mungkin. Pasti dia juga sedang berjuang keras di sana. Memperjuangkan hubungan kami.”Langkahnya terhenti dan kini menghadap ce
“Terus pantau dia.” Seorang pria berbicara melalui saluran telepon genggamnya. Sorot matanya terlihat berkilat-kilat licik, sementara satu sudut bibirnya terangkat. Saluran komunikasi dia matikan, pria itu lalu menelepon kontak lain, seseorang yang sudah dengan sangat siap menerima perintah. “Tau apa yang musti kamu lakukan?” tanyanya pada seseorang di seberang. “Tau, Juragan. Saya akan melakukan sesuai perintah Juragan.” Terdengar suara di seberang menjawab, mengundang senyum puas terbit di bibir si lelaki paruh baya yang terlihat masih bugar dan muda, seakan usia hanyalah angka baginya. “Bagus. Jangan kecewakan aku, Ramli,” tekan pria itu setengah mengancam, lalu mematikan sambungannya secara sepihak. Beberapa detik kemudian, pria itu tampak menyimpan kembali telepon pintar miliknya ke dalam saku. Lalu tangannya terangkat ke dagunya yang ditumbuhi bulu dengan lebat, mengusap-usapnya dengan lembut. “Barata, Barata. Beberapa tahun nggak nemu cara balas dendam ke kamu, sekarang akh
“Roman-roman mukamu kok kayak orang kurang asupan gizi, Bar,” ledek Naren yang melihat sahabatnya itu tidak bersemangat. Dua hari setelah kejadian di restoran malam itu, hari ini akhirnya Naren berkunjung ke kediaman sahabatnya. Selain berniat silaturrahmi, dia juga ingin memastikan keadaan Nesa, perempuan yang akhir-akhir ini terbayang di benaknya. Apakah dia baik-baik saja karena sikap dingin Barata hanya saat itu saja dan sesampainya di rumah hubungan mereka kembali hangat, atau sedih karena dampak kejadian itu menjadi berlarut-larut. Sungguh, Naren sudah berusaha menghapus wajah Nesa serta kekagumannya terhadap istri sahabatnya itu, tetapi wajah Nesa masih kerapkali muncul. Dan ... dia memiliki kerinduan terhadap sosok gadis itu.“Efek begadang, ngecek-ngecek kolam,” sahut Barata, sambil melarikan perhatiannya pada ikan-ikan di kolam. Sementara tangannya melempar pakan, terlihat gurame-gurame itu berebutan.“Lah, apa gunanya itu Romi? Terus itu orang-orangmu? Mereka makan gaji bu
“Oh, aku lupa kalau ini memang kamarmu,” kata Nesa, melihat Barata yang tampak keras kepala—enggan meninggalkannya. “Seharusnya aku sadar diri. Kalau begitu, biar aku yang keluar.”Nesa berusaha berdiri dengan kekuatannya yang lemah, menyeret kakinya ke pintu. Jiwa Barata kian diterjang rasa bersalah kala melihat kondisi kaki sang istri. Seharusnya dia lebih mampu mengolah emosi, tetapi yang terjadi justru kalap karena terlalu dikuasai api cemburu. “Biar saya saja yang keluar,” ujar Barata. “Tapi setelah saya obati kaki kamu.”“Aku nggak butuh diobati. Kakiku baik-baik aja.” ‘Karena yang beneran sakit adalah hatiku. Kejadian ini dan kamu yang tempramen membuatku menjadi ragu buat memulai hubungan kita. Padahal sebelumnya aku berniat menerima takdir ini, mulai membuka hati buatmu, tapi—’“Auww!” Nesa memekik terkejut merasakan tubuhnya melayang, tahu-tahu dia sudah berada di atas kedua lengan suaminya. Lengannya pun secara reflek mengalung di leher Barata. Barata mendudukkan Nesa
Semua kepala lantas menoleh pada sumber suara. Dalam sekejap, pria yang berjalan perlahan itu menjadi pusat atensi tiga sosok dengan sorot mata berbeda. Barata dengan pandangan menusuk, tatapan Narendra yang menelisik dan Nesa yang memandang dengan jijik. “Siapa yang kamu sebut kelinci kecil, Pecundang?” Tatapan Barata yang penuh permusuhan dia kirimkan pada Awan. Sementara sang istri meremas tangannya dengan gelisah. Barata merasakan telapak kecil itu basah oleh keringat. Dia tahu respons tubuh sang istri diakibatkan syok melihat keparat itu. Putra dungu Tuan Wirang itu pernah menyandera Nesa dan Barata yakin terjadi hal yang tidak menyenangkan selama Nesa dalam genggaman si pecundang itu. “Kalau yang kamu maksud itu istriku, maka tarik lagi ucapanmu itu kecuali dirimu ingin kubuat babak belur tidak berdaya di atas tanah, seperti waktu itu, heh!” Barata bukan hanya menggertak, sebab dia sudah mulai menyingsing lengan kemejanya hingga siku, bersiap bertarung. Melihat pertunjukan t
Narendra seperti dihantam palu tepat di jantungnya kala mendengar klaim Barata. Cintanya layu sebelum berkembang. “Istrimu?” Bahkan dia tak sadar bibirnya bergerak, menunjukkan kalimat yang baru saja menelusup ke telinga begitu mengejutkan. Matanya mengerjap lambat, masih mencoba mencerna. Bahkan, atensinya masih terpaku pada sosok yang dia asumsikan sebagai Anggun—adik Barata, beberapa saat lalu. “Kami menikah sekitaran sebulanan yang lalu,” jelas Barata dan dia kesal melihat Narendra. “Hei, tatap aku. Aku sedang berbicara.”Barata meraih tangan Nesa di bawah meja lalu mengangkatnya ke permukaan, menggenggamnya di atas meja. Dia sengaja melakukan itu untuk menegaskan bahwa Nesa miliknya. Narendra menelan kekecewaan dan berjuang menyembunyikannya dari dua sosok yang duduk bersebelahan itu. Dia mencoba mengulas senyum dan kini tatapannya jatuh pada Barata. “Aku nggak dengar kabar pernikahanmu. Anak-anak juga nggak ada yang ngabarin,” tutur Narendra. Anak-anak yang dikatakan itu meru
“Katakan kalau kamu bukan bidadari yang sedang tersesat di bumi.” Nesa tersenyum tersipu, balas memandang suaminya yang sedang mengagumi pantulan dirinya di cermin. “Kamu ... sangat cantik, Nes,” puji Barata dengan bangga, dagunya bertumpu pada pundak Nesa yang terbuka. Sementara tangannya melingkari perut sang istri yang malam ini tampak seperti peri—cantik, mungil, murni.Barata sangat bersyukur, sepulang dari desa Nesa, hubungan mereka berangsur menjadi hangat. Telinganya sudah tidak pernah lagi mendengar kalimat ketus dan sengit dari bibir Nesa. Pun perangai dan sikap istrinya itu kini menjadi manis dan penurut. Kalau malam waktu sebelum tidur, Nesa tidak pernah menolak atau memberontak saat tubuhnya dipeluk Barata. Sampai bangun di pagi hari, tubuh gadis berparas ayu itu menempel di dada bidangnya. “Ah, tidak jadi pergilah. Begini saja. Saya mau berlama-lama memandang dan mengikatmu seperti ini,” kata Barata lagi seraya mengeratkan pelukannya di tubuh mungil sang istri. Dia ju
“Mulai besok, datang rutin ke Restoran Milenial. Jadi satpam tidak memberatkanmu, kan, Pak? Saya sudah berbicara dengan Arga, kawan saya, owner itu restoran.”Tatapan Barata tampak serius. “Untuk lokasinya, saya kirim melalui pesan whats*pp nanti,” lanjutnya. Raharja melongo, tercengang. Setelah mengejutkannya dengan pernikahan dadakan tanpa kenal mempelai wanitanya, kini sang menantu yang dipujanya itu membuat surprise dengan menyuruhnya bekerja? Tanpa mendengar dulu pendapatnya—apakah dia bersedia atau tidak?Wah, menantuku ini semakin semena-mena, rontanya yang hanya berani dia suarakan dalam hati. Mendapati kejutan tidak menyenangkan itu, jelas saja dia merasa sangat keberatan. Dia sudah amat nyaman menjadi pengangguran, tetapi tiap bulannya mendapat transferan dari Barata sesuai kesepakatan dalam transaksi penyerahan anak gadisnya pada Barata. “Tenang saja, Bapak mertua. Bapak tetap akan menerima uang yang biasa saya kirim tiap bulannya walaupun sudah bekerja. Turuti saja ara
Barata langsung sigap mengambilkan segelas air putih untuk Nesa yang tersedak karena ucapannya. “Maaf, maaf,” katanya setelah meletakkan lagi gelas yang sudah berkurang isinya ke atas nakas. Nesa terlihat canggung, bahkan tatapannya tak beralih dari jemarinya yang tertaut resah. Perkataan Barata tadi jelas mengejutkannya. Apa suaminya itu mendengar pembicaraannya dengan sang ayah beberapa saat lalu? Jika prasangka itu benar lantas kenapa justru pria yang dilimpahi banyak harta itu bersikap manis, ketimbang berbuat kasar—mengingat Raharja telah menyarankan ide licik nan jahat yang dimaksudkan padanya. Barata meraih tangan Nesa yang lantas mengundang kepala istrinya itu terangkat untuk dapat bertemu pandang dengannya. “Maaf kalau perkataan saya membuatmu terkejut. Tapi yang perlu kamu tahu, sebagaimana janji saya yang tidak akan menyentuhmu jika kamu sendiri tidak menginginkannya, itu berlaku juga tentang keinginan saya memiliki anak darimu, Nes,” ucap Barata dengan mata teduhnya yang
“Mbak Nes, Mbak Nes,” teriak Dika kala memasuki kamar sang kakak. Di belakangnya, tampak Dewi dengan raut khawatirnya. “Ih Dika, nggak boleh teriak-teriak gitu. Suaramu itu ganggu Mbak Nesa,” peringatnya pada sang adik yang berjalan mendahuluinya. Dika yang terkesan polos itu lantas menggigit bibirnya, mereka kini sudah berada di tepi ranjang di mana Nesa tampak berbaring lemah. “Maaf, Mbak Nes, Dika nakal, ya,” gumamnya dengan rasa bersalah. Nesa menggeleng disertai senyum tipis di bibirnya. “Nggak, kok,” sahutnya sambil terbaring lemah. Lalu Dewi mengambil tempat lebih dekat dengan Nesa. Remaja manis itu bahkan sampai merangkak ke atas kasur. “Dewi kira kalau sudah nikah nyeri haid bakalan hilang, tapi nyatanya Mbak Nesa masih merasakannya,” ungkap Dewi, menyuarakan apa yang ada di pikirannya.“Kan tiap orang beda-beda, Wi,” sahut Nesa, memandang wajah adik perempuannya. “Masih sesakit itukah, Mbak Nes?” tanya Dewi dengan bibir meringis. Dalam hati dia bersyukur, dia salah sat