Nesa sudah keluar kamar mandi 15 menit lalu. Kini gadis itu tengah berdiri di depan jendela, memandang gazebo dengan tangan terlipat di dada. Dress pendek berwarna biru muda membalut tubuh mungilnya, sangat pas di badannya. Seakan yang memilih gaun ini hafal detail ukuran lingkar pinggang, dada, dan lengannya. Andai saat ini situasinya berbeda, mungkin Nesa akan sangat menyukai penampilannya. Dress yang sangat indah membuat pesonanya yang biasanya mengintip malu-malu bahkan bersembunyi kini terpancar sempurna.Meskipun marah dan membenci Barata, tetapi dia tak punya pilihan lain selain menggunakan barang-barang di rumah ini yang disiapkan untuknya. Sebab, dia dibawa ke sini tanpa membawa apa-apa selain sepotong baju kurung lusuh yang dipakainya waktu pertama kali datang dan dia tak tahu ke mana pakaian itu sekarang. Kemeja yang dipakainya waktu kembali ke sini pun itu merupakan kemeja pembantu Tuan Wirang yang diikhlaskan kepadanya, maka tak mengherankan kalau kedodoran waktu dia paka
Begitu sampai kamar, Nesa langsung merangkak ke kasur. Tak sabar ingin membuka box yang tergenggam di tangannya. Ternyata box itu sudah dibuka dan ponselnya sudah terisi kartu SIM. Jadi, suaminya itu sungguh tak ingin dia kesulitan. Segala sesuatunya dipermudah. “Tetap saja, Mas Bara. Aku nggak akan tersentuh dengan segala effort yang kamu tunjukkan. Bagaimanapun, aku nggak akan pernah lupa gimana kejamnya kamu memisahkanku dengan Bagus,” ucapnya bermonolog. Lalu dia tak butuh waktu lama membuka aplikasi sosial media yang sudah terunduh. Beruntung, Nesa selalu mengingat alamat em*il dan kata sandi yang digunakannya mendaftar dulu. Nama yang pertama kali dia ketik di kolom pencarian tentu saja nama sang kekasih—Bagus Setya. Hanya lima menit, Nesa sudah menemukan akun yang dimaksud. Tertera di sana Bagus terakhir aktif 10 menit lalu. Jemarinya langsung menari lincah di atas layar, mengetikkan pesan pada akun yang dimaksud. “Hai, Gus. Aku di sini baik-baik saja. Kamu nggak perlu cem
“Mas, baksonya satu mangkok lagi, ya,” ucap seorang pelanggan pada pelayan warung bakso sambil mengacungkan telunjuknya disertai bibir semringah. Tampaknya, perempuan gendut itu ketagihan dengan cita rasa bakso yang barusan rampung disantapnya.Si pelayan mengangguk lalu bergegas ke bilik belakang, tempat si bos meracik pesanan. “Enam, Pak,” ucapnya pada si bos, menyebutkan angka pesanan. Malam ini warung lumayan ramai, mungkin didukung oleh cuaca yang dingin sebab sedari tadi sore hujan mulai turun, dan sekarang intensitas curahnya tampak lebat.Si bos mengangguk. “Oke,” jawabnya pada pegawainya yang baru beberapa hari ini dia pekerjakan. “Amri mana, Gus? Kok dari tadi kamu yang bolak-balik?”“Oh, dia sedang riweh di cucian, Pak,” jawab Bagus. “Malam ini sepertinya dewi keberuntungan sedang mampir ke sini. Dari tadi sore orang keluar masuk mau cobain bakso joss Bapak.”Iya, pekerja baru di warung bakso itu tak lain adalah Bagus Setya, kekasih Nesa. Semenjak Andre—orang suruhan Barata
Nesa berjalan mondar-mandir di dalam kamar, sambil matanya tak lepas dari layar ponsel. “Kenapa aku diblokir,” gerutunya dengan resah. “Apa Bagus mengira yang kirim pesan ke dia itu bukan aku? Jadi dia bersikap hati-hati.”Kepala Nesa disesaki beragam prasangka. Dia takut, khawatir, dan cemas. Jika memang Bagus memblokirnya karena dikira si pengirim pesan bukan dirinya lantas bagaimana caranya supaya dapat meyakinkan kekasihnya itu bahwa dialah yang mengirim pesan supaya tetap dapat berkomunikasi? Nesa rasanya ingin mengerang frustrasi. Semua terasa sulit. Sebelumnya dia berpikir, dengan dia menggenggam ponsel maka otomatis juga menggenggam kemudahan. Akan tetapi, nyatanya tak sesuai ekspektasi. “Terus gimana ini ... langkah apa yang harus ku tempuh. Rasa-rasanya aku ingin menyerah kalau sudah mendapati jalan buntu begini, tapi mengingat Bagus ... itu nggak mungkin. Pasti dia juga sedang berjuang keras di sana. Memperjuangkan hubungan kami.”Langkahnya terhenti dan kini menghadap ce
Keesokannya, Nesa benar-benar memasak menu sarapan untuk dirinya dan Barata. Karena pria itu bukan orang yang spesial baginya, jadi dia memasak asal-asalan dan sama sekali tak ingin membuat Barata terkesan. Menu yang dipilih pun sederhana dan pasaran, yaitu nasi goreng dengan toping telor ceplok. Bahkan, dia tak ingin repot-repot mencicipi rasanya—apakah kurang garam atau bahkan terlalu asin, gadis yang melapisi pakaiannya dengan apron biru muda itu hanya mengandalkan feeling-nya. Beberapa jarak di belakangnya, Barata memperhatikan tiap gerakannya dengan bibir tersungging. Pria itu tampak begitu menikmati pemandangan tak biasa yang terpampang di depannya. Gadis cantik sekaligus lugu menginvasi dapurnya, dan dia terpesona dengan cara si gadis memegang spatula, mengerahkan kekuatan mengaduk nasi yang sudah dibumbui, segala sesuatunya terlihat memesona. Barata dibuat takjub olehnya.Barata baru sadar, apa yang dikatakan Romi benar. Nesa lebih cantik dari—Barata menggeleng. “Ah, apa-apa
Barata masuk ke kamarnya 20 menit kemudian. Langsung berbaring di samping Nesa yang tampak sudah mengembara ke alam mimpi. Lalu dia menumpu pipinya dengan tangan, memandang wajah Nesa dengan ekspresi rumit. Entahlah, Barata sendiri tak tahu apa yang sedang menerpanya. Mungkin ucapan Romi beberapa saat lalu sedikit memengaruhinya. Apakah dia merasa iba pada sosok yang dipandanginya? Benarkah gadis ini begitu menyedihkan? Pertanyaan lain muncul di kepalanya. Apakah keegoisannya pada Nesa begitu keji dan kejam? Kemudian, apakah gadis lugu dan tampak murni ini tak layak mendapat kebahagiaan? Untuk pertanyaan terakhir ini, Barata memiliki jawaban. Nesa sangat teramat pantas mendapat kebahagiaan. Sambil merapikan anak rambut yang melintang di pipi Nesa, Barata berbisik, “Dan bukankah aku sudah berjanji akan menghujanimu dengan kebahagiaan, Nes? Dan itu ku ucapkan bukan sekedar omong kosong.”Barata melihat air mata meleleh dari sudut kelopak mata yang terkatup. Barata terkejut, apakah Nes
“Gus, perempuan nggak cuma satu,” komentar Pak Rohan setelah mendengar Bagus bercerita kisah asmaranya dengan Nesa yang berakhir tragis. “Boleh bersedih karena itu wajar mengingat dua tahun bersama bukanlah waktu yang singkat. Tapi jangan sampai berlarut-larut. Apalagi kalau dampaknya sampai membawa hidupmu ke arah negatif. Sangat disayangkan. Kamu masih sangat muda, Nak. Beneran.”Beberapa menit lalu, Pak Rohan berhasil membuat pemuda itu bersikap terbuka padanya. Kini mereka berdua duduk di depan warung dengan pemandangan langsung ke jalan raya. Sementara Amri, pemuda itu menjauh entah ke mana. Yang jelas, untuk saat ini dia akan menjaga jarak dengan Bagus daripada memicu keributan jika mereka dikumpulkan.Mendengar nasihat panjang Pak Rohan, Bagus hanya bergeming dan menunduk menatap tanah.“Nih, rokok.” Pria kisaran 40-an tahun itu menyodorkan sebungkus rokok di depan Bagus setelah tangannya mengambil satu lalu disulutnya ujung benda itu. “Rokok masih enak, Gus. Sayang banget kal
Tangan Barata terulur membelai rambut Nesa yang terkulai tak sadarkan diri di sampingnya. Kata dokter yang memeriksanya beberapa menit lalu, gadis itu terserang demam dan itu merupakan respons tubuhnya terhadap stress yang dialaminya. Pantas saja, semalam Barata merasakan suhu sedikit panas dari tubuh sang istri.Barata mengernyit, mengingat perkataan dokter tadi. Stress? Nesa mengalami stress? Rasa-rasanya mulutnya sendiri ingin mengutuknya. Dialah penyebab gadis itu mengalami banyak sakit—entah itu fisik maupun mental. “Haus ....” Suara lemah dan tak bertenaga merambati gendang telinganya saat dia tengah sibuk merutuki perbuatannya sendiri. “Nes,” bisiknya lalu segera meraih segelas air putih dari atas nakas. Barata kemudian membantu istrinya yang tampak pucat itu minum.Setelah itu dia letakkan gelas yang sudah berkurang isinya itu ke tempat semula. “Ayo bangkit sebentar, bersandar saja di sini,” ucapnya sambil menepuk kepala ranjang berbahan empuk. “Mbok Dami sudah membuatkan su
“Terus pantau dia.” Seorang pria berbicara melalui saluran telepon genggamnya. Sorot matanya terlihat berkilat-kilat licik, sementara satu sudut bibirnya terangkat. Saluran komunikasi dia matikan, pria itu lalu menelepon kontak lain, seseorang yang sudah dengan sangat siap menerima perintah. “Tau apa yang musti kamu lakukan?” tanyanya pada seseorang di seberang. “Tau, Juragan. Saya akan melakukan sesuai perintah Juragan.” Terdengar suara di seberang menjawab, mengundang senyum puas terbit di bibir si lelaki paruh baya yang terlihat masih bugar dan muda, seakan usia hanyalah angka baginya. “Bagus. Jangan kecewakan aku, Ramli,” tekan pria itu setengah mengancam, lalu mematikan sambungannya secara sepihak. Beberapa detik kemudian, pria itu tampak menyimpan kembali telepon pintar miliknya ke dalam saku. Lalu tangannya terangkat ke dagunya yang ditumbuhi bulu dengan lebat, mengusap-usapnya dengan lembut. “Barata, Barata. Beberapa tahun nggak nemu cara balas dendam ke kamu, sekarang akh
“Roman-roman mukamu kok kayak orang kurang asupan gizi, Bar,” ledek Naren yang melihat sahabatnya itu tidak bersemangat. Dua hari setelah kejadian di restoran malam itu, hari ini akhirnya Naren berkunjung ke kediaman sahabatnya. Selain berniat silaturrahmi, dia juga ingin memastikan keadaan Nesa, perempuan yang akhir-akhir ini terbayang di benaknya. Apakah dia baik-baik saja karena sikap dingin Barata hanya saat itu saja dan sesampainya di rumah hubungan mereka kembali hangat, atau sedih karena dampak kejadian itu menjadi berlarut-larut. Sungguh, Naren sudah berusaha menghapus wajah Nesa serta kekagumannya terhadap istri sahabatnya itu, tetapi wajah Nesa masih kerapkali muncul. Dan ... dia memiliki kerinduan terhadap sosok gadis itu.“Efek begadang, ngecek-ngecek kolam,” sahut Barata, sambil melarikan perhatiannya pada ikan-ikan di kolam. Sementara tangannya melempar pakan, terlihat gurame-gurame itu berebutan.“Lah, apa gunanya itu Romi? Terus itu orang-orangmu? Mereka makan gaji bu
“Oh, aku lupa kalau ini memang kamarmu,” kata Nesa, melihat Barata yang tampak keras kepala—enggan meninggalkannya. “Seharusnya aku sadar diri. Kalau begitu, biar aku yang keluar.”Nesa berusaha berdiri dengan kekuatannya yang lemah, menyeret kakinya ke pintu. Jiwa Barata kian diterjang rasa bersalah kala melihat kondisi kaki sang istri. Seharusnya dia lebih mampu mengolah emosi, tetapi yang terjadi justru kalap karena terlalu dikuasai api cemburu. “Biar saya saja yang keluar,” ujar Barata. “Tapi setelah saya obati kaki kamu.”“Aku nggak butuh diobati. Kakiku baik-baik aja.” ‘Karena yang beneran sakit adalah hatiku. Kejadian ini dan kamu yang tempramen membuatku menjadi ragu buat memulai hubungan kita. Padahal sebelumnya aku berniat menerima takdir ini, mulai membuka hati buatmu, tapi—’“Auww!” Nesa memekik terkejut merasakan tubuhnya melayang, tahu-tahu dia sudah berada di atas kedua lengan suaminya. Lengannya pun secara reflek mengalung di leher Barata. Barata mendudukkan Nesa
Semua kepala lantas menoleh pada sumber suara. Dalam sekejap, pria yang berjalan perlahan itu menjadi pusat atensi tiga sosok dengan sorot mata berbeda. Barata dengan pandangan menusuk, tatapan Narendra yang menelisik dan Nesa yang memandang dengan jijik. “Siapa yang kamu sebut kelinci kecil, Pecundang?” Tatapan Barata yang penuh permusuhan dia kirimkan pada Awan. Sementara sang istri meremas tangannya dengan gelisah. Barata merasakan telapak kecil itu basah oleh keringat. Dia tahu respons tubuh sang istri diakibatkan syok melihat keparat itu. Putra dungu Tuan Wirang itu pernah menyandera Nesa dan Barata yakin terjadi hal yang tidak menyenangkan selama Nesa dalam genggaman si pecundang itu. “Kalau yang kamu maksud itu istriku, maka tarik lagi ucapanmu itu kecuali dirimu ingin kubuat babak belur tidak berdaya di atas tanah, seperti waktu itu, heh!” Barata bukan hanya menggertak, sebab dia sudah mulai menyingsing lengan kemejanya hingga siku, bersiap bertarung. Melihat pertunjukan t
Narendra seperti dihantam palu tepat di jantungnya kala mendengar klaim Barata. Cintanya layu sebelum berkembang. “Istrimu?” Bahkan dia tak sadar bibirnya bergerak, menunjukkan kalimat yang baru saja menelusup ke telinga begitu mengejutkan. Matanya mengerjap lambat, masih mencoba mencerna. Bahkan, atensinya masih terpaku pada sosok yang dia asumsikan sebagai Anggun—adik Barata, beberapa saat lalu. “Kami menikah sekitaran sebulanan yang lalu,” jelas Barata dan dia kesal melihat Narendra. “Hei, tatap aku. Aku sedang berbicara.”Barata meraih tangan Nesa di bawah meja lalu mengangkatnya ke permukaan, menggenggamnya di atas meja. Dia sengaja melakukan itu untuk menegaskan bahwa Nesa miliknya. Narendra menelan kekecewaan dan berjuang menyembunyikannya dari dua sosok yang duduk bersebelahan itu. Dia mencoba mengulas senyum dan kini tatapannya jatuh pada Barata. “Aku nggak dengar kabar pernikahanmu. Anak-anak juga nggak ada yang ngabarin,” tutur Narendra. Anak-anak yang dikatakan itu meru
“Katakan kalau kamu bukan bidadari yang sedang tersesat di bumi.” Nesa tersenyum tersipu, balas memandang suaminya yang sedang mengagumi pantulan dirinya di cermin. “Kamu ... sangat cantik, Nes,” puji Barata dengan bangga, dagunya bertumpu pada pundak Nesa yang terbuka. Sementara tangannya melingkari perut sang istri yang malam ini tampak seperti peri—cantik, mungil, murni.Barata sangat bersyukur, sepulang dari desa Nesa, hubungan mereka berangsur menjadi hangat. Telinganya sudah tidak pernah lagi mendengar kalimat ketus dan sengit dari bibir Nesa. Pun perangai dan sikap istrinya itu kini menjadi manis dan penurut. Kalau malam waktu sebelum tidur, Nesa tidak pernah menolak atau memberontak saat tubuhnya dipeluk Barata. Sampai bangun di pagi hari, tubuh gadis berparas ayu itu menempel di dada bidangnya. “Ah, tidak jadi pergilah. Begini saja. Saya mau berlama-lama memandang dan mengikatmu seperti ini,” kata Barata lagi seraya mengeratkan pelukannya di tubuh mungil sang istri. Dia ju
“Mulai besok, datang rutin ke Restoran Milenial. Jadi satpam tidak memberatkanmu, kan, Pak? Saya sudah berbicara dengan Arga, kawan saya, owner itu restoran.”Tatapan Barata tampak serius. “Untuk lokasinya, saya kirim melalui pesan whats*pp nanti,” lanjutnya. Raharja melongo, tercengang. Setelah mengejutkannya dengan pernikahan dadakan tanpa kenal mempelai wanitanya, kini sang menantu yang dipujanya itu membuat surprise dengan menyuruhnya bekerja? Tanpa mendengar dulu pendapatnya—apakah dia bersedia atau tidak?Wah, menantuku ini semakin semena-mena, rontanya yang hanya berani dia suarakan dalam hati. Mendapati kejutan tidak menyenangkan itu, jelas saja dia merasa sangat keberatan. Dia sudah amat nyaman menjadi pengangguran, tetapi tiap bulannya mendapat transferan dari Barata sesuai kesepakatan dalam transaksi penyerahan anak gadisnya pada Barata. “Tenang saja, Bapak mertua. Bapak tetap akan menerima uang yang biasa saya kirim tiap bulannya walaupun sudah bekerja. Turuti saja ara
Barata langsung sigap mengambilkan segelas air putih untuk Nesa yang tersedak karena ucapannya. “Maaf, maaf,” katanya setelah meletakkan lagi gelas yang sudah berkurang isinya ke atas nakas. Nesa terlihat canggung, bahkan tatapannya tak beralih dari jemarinya yang tertaut resah. Perkataan Barata tadi jelas mengejutkannya. Apa suaminya itu mendengar pembicaraannya dengan sang ayah beberapa saat lalu? Jika prasangka itu benar lantas kenapa justru pria yang dilimpahi banyak harta itu bersikap manis, ketimbang berbuat kasar—mengingat Raharja telah menyarankan ide licik nan jahat yang dimaksudkan padanya. Barata meraih tangan Nesa yang lantas mengundang kepala istrinya itu terangkat untuk dapat bertemu pandang dengannya. “Maaf kalau perkataan saya membuatmu terkejut. Tapi yang perlu kamu tahu, sebagaimana janji saya yang tidak akan menyentuhmu jika kamu sendiri tidak menginginkannya, itu berlaku juga tentang keinginan saya memiliki anak darimu, Nes,” ucap Barata dengan mata teduhnya yang
“Mbak Nes, Mbak Nes,” teriak Dika kala memasuki kamar sang kakak. Di belakangnya, tampak Dewi dengan raut khawatirnya. “Ih Dika, nggak boleh teriak-teriak gitu. Suaramu itu ganggu Mbak Nesa,” peringatnya pada sang adik yang berjalan mendahuluinya. Dika yang terkesan polos itu lantas menggigit bibirnya, mereka kini sudah berada di tepi ranjang di mana Nesa tampak berbaring lemah. “Maaf, Mbak Nes, Dika nakal, ya,” gumamnya dengan rasa bersalah. Nesa menggeleng disertai senyum tipis di bibirnya. “Nggak, kok,” sahutnya sambil terbaring lemah. Lalu Dewi mengambil tempat lebih dekat dengan Nesa. Remaja manis itu bahkan sampai merangkak ke atas kasur. “Dewi kira kalau sudah nikah nyeri haid bakalan hilang, tapi nyatanya Mbak Nesa masih merasakannya,” ungkap Dewi, menyuarakan apa yang ada di pikirannya.“Kan tiap orang beda-beda, Wi,” sahut Nesa, memandang wajah adik perempuannya. “Masih sesakit itukah, Mbak Nes?” tanya Dewi dengan bibir meringis. Dalam hati dia bersyukur, dia salah sat