“Oh, Bapak baru ingat,” sahut Pak Agung. Lalu dia melihat Nesa dan bertanya, “Kamu disekap di tempat kayak apa, Non?”
“Di gubuk, dindingnya berupa bambu, Pak,” jawab Nesa berbohong. Dalam hati dia bergumam, semoga saja orang-orang yang mengelilinginya ini tak menaruh curiga padanya.“Padahal di hutan itu ada rumah Tuan Barata lho, Non. Banyak pegawainya juga di sana. Bapak heran kok yang nyulik kamu itu berani berbuat macam-macam di wilayah Tuan Barata. Kamu nggak lihat di sana ada rumah besar yang dikelilingi tembok tinggi?”Nesa menelan ludahnya dan mencoba menyembunyikan kegugupannya. Andai Pak Agung tahu bahwa nama orang yang disebutnya barusan merupakan tersangka dalam kasus ini.Kemudian Nesa menggeleng setelah kepalanya menemukan jawaban. “Saya dibius saat tidak jauh dari rumah. Setelahnya tahu-tahu sudah ada di gubuk itu dengan beberapa orang yang mengawasi saya. Jadi, saya nggak tahu tentang rumah tuan yang Bapak sebut itu tadi.”“Gimana cara kamu kabur dari sana?” Bu Agung bertanya penasaran. Kejadian fiktif yang dikarang Nesa memang pantas mencuri perhatian dan membuat orang yang mendengarnya ingin menggali lebih dalam. Andai saja mereka tahu kalau kejadian aslinya lebih dapat menarik atensi mereka. Mengingat itu, hati Nesa menjadi waswas dan tak ingin lebih lama berada di rumah Agung.“Bu, sudahlah, jangan gali lebih dalam. Kita harus ngertiin perasaan gadis ini, mungkin kejadian itu akan membuatnya trauma,” bisik Pak Agung di telinga istrinya. Dia melihat Nesa yang tampak seperti enggan menjawab.Bu Agung yang sepaham dengan sang suami pun mengangguk. Sepasang suami istri itu menempatkan diri andai putri mereka yang berada di posisi Nesa. Lalu dia berkata pada Nesa dengan lembut, “Non belum makan, kan? Ayo ikut ke dapur sama Ibu.”“Ayo makan bareng, Bapak juga belum makan.” Pak Agung ikut berdiri dan disusul Indah yang sedari tadi mengamati dalam diam gelagat tamu yang dibawa sang ayah.Nesa bernapas lega, dia mengangguk lalu mengikuti Bu Agung yang sudah memimpin jalan. Syukurlah, akhirnya terbebas dari cecaran yang membuat jantungnya berdentum ketakutan.Di ruang makan sederhana, tak ada meja makan dan kursi. Hanya beralaskan tikar yang dihamparkan di lantai, tetapi Nesa duduk di sana merasakan kehangatan.“Tambah nasinya lho, Ndah. Biar cepat besar kamu. Anak gadis kok badannya kayak anak SD.” Pak Agung menggoda sang putri sambil memasukkan nasi ke dalam mulutnya. Beberapa jam dalam perjalanan membuatnya kelaparan.“Ih, Bapak, ya nggak kayak anak SD juga kali,” sahut Indah sembari mengerucutkan bibirnya.“Lah, itu coba lihat pergelangan tangan kamu. kecil kayak tangan anak TK,” seloroh Pak Agung, melirik tangan putrinya.“Tadi anak SD sekarang TK. Bapak ih—”“Pak, sudah ah. Berhenti menggoda indah,” ucap Bu Agung menengahi. Lalu dia mengalihkan pandangan pada Nesa. “Maaf, ya, Non kalau berisik. Anak dan bapak ini memang begini kalau sudah kumpul.”Nesa hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Dalam hatinya terselip rasa iri, mengapa dia dan bapaknya tidak seperti mereka. Jangankan bercanda, duduk mengobrol dengan bapaknya pun tak pernah. Lelaki itu hanya berbicara dengannya seperlunya saja. Tiba-tiba dia mengingat dua adiknya. Itu membuat Nesa ingin malam ini cepat berganti hari, dia ingin segera diantar pulang, bertemu adik-adiknya dan ... Bagus sang kekasih hati. Ah, dia benar-benar tak sabar.•••Pukul dua dini hari Barata sampai di rumahnya. Guratan lelah terpampang di wajahnya. Romi, sang tangan kanan yang masih terjaga bergegas menghampiri tatkala dirinya keluar dari garasi.“Mas bos, saya sudah mengarahkan beberapa orang mencari Mbak Nesa,” ucapnya sambil mengeratkan balutan jaketnya. Malam ini cuaca begitu dingin, terlebih kawasan itu berada di tengah hutan. Dinginnya lebih menusuk hingga tulang.“Perkembangannya?” tanya Barata sambil terus melangkah.“Belum ada laporan dari mereka, Mas.”“Dilihat dari waktu dan keadaan Nesa, seharusnya dia masih berada tidak jauh dari wilayah ini. Aku menulusuri sepanjang jalan menuju desanya dengan cermat, tapi nihil. Itu artinya dia berjalan berlawanan arah dari jalan yang ku lalui.” Barata menghempaskan tubuh di atas sofa dengan lelah.“Terkecuali kalau dia ditemukan orang, Mas,” kata Romi yang serta merta membuat Barata semakin khawatir.“Tak apa kalau itu orang baik, tapi jika—brengsek!” Barata langsung bangkit kembali dengan resah. “Tambah orang-orangmu, Rom! Suruh mereka berpencar di seluruh penjuru mata angin.”Romi yang memahami kekhawatiran sang majikan segera merogoh ponselnya dari saku celana lalu menelepon.“Nes, semoga kamu baik-baik saja. Aku tidak akan memaafkan diriku kalau terjadi sesuatu padamu.” Barata bergerak mondar-mandir, wajahnya yang tampan diselimuti kekhawatiran yang teramat sangat terhadap sang istri.“Mas bos, silakan kopinya diminum mumpung masih panas.” Mbok Dami datang membawa dua cangkir kopi. Dia yang sebelumnya terlelap, langsung tersadar dari mimpinya tatkala mendengar deru kendaraan milik sang majikan. Lalu berinisiatif menyuguhkan kopi setelah itu.Barata berkutat dengan kekhawatirannya dan mengabaikan Mbok Dami.“Beres, Mas. Kita tinggal menunggu hasilnya.” Romi memasukkan lagi benda persegi itu ke dalam saku celana lalu duduk dan langsung menyambar kopi di depannya. “Minum kopi dulu, Mas.”Bukannya Romi tak berempati dan mengabaikan perasaan Bara saat ini, hanya saja dia ingin mencairkan ketegangan sang teman, berharap lelaki itu bisa rileks. Apalagi dia baru saja dari perjalanan yang lumayan jauh.Barata mendengkus. “Bagaimana bisa kamu terlihat santai, Rom, sementara istriku belum ditemukan.”“Itu kan istri Mas bos, memangnya rela orang lain mengkhawatirkan istri Mas?” Romi menyesap kopinya, menikmati sensasi kafein di lidahnya.“Brengsek!” Barata mengumpat. Bawahan sekaligus temannya ini lama kelamaan ngelunjak, tetapi ada benarnya perkataan Romi itu. Yang berhak mengkhawatirkan Nesa hanyalah dirinya, suaminya!Barata lalu duduk, tangannya menyambar cangkir yang dipenuhi kopi hitam. “Sudah kamu temukan tersangkanya?” Barata menggulir obrolan ke topik yang dapat mengalihkan kecemasan pada Nesa. Topik kejadian yang membuatnya kehilangan fokus dan memberi celah sang istri kabur.“Terduga yang paling potensial menjadi tersangka tiga, Mas. Saya menduga di antara mereka memanfaatkan hari sibuk di sini, saat orang-orang konsentrasi dengan acara pernikahan Mas bos.”“Terserah kamulah. Selesaikan masalah itu. Aku mau tahu beresnya saja.” Barata kemudian membaringkan tubuh lelahnya di atas sofa, memejamkan mata. Kepalanya terasa sangat penat. beberapa permasalahan menyerbunya di dalam satu waktu.Romi terkekeh melihat bosnya lalu menjawab, “Beres, Mas bos. Serahkan semuanya sama saya.”Barata bergeming, tak terdengar sahutan dari bibirnya. Yang terdengar justru dengkuran halus, dia teramat sangat lelah hingga tak terasa terbawa ke alam mimpi saat baru saja menyandarkan tubuhnya di sofa.“Non, hati-hati, ya. Kamu harus bisa jaga diri. Kalau bisa kejadian kemarin jangan sampai terulang lagi.” Bu Agung merangkul tubuh Nesa, mengantarnya sampai depan pickup yang akan mengantarnya pulang. Sementara Pak Agung sudah berada di balik kemudi kendaraan usang tersebut.Nesa tersenyum serta kepalanya mengangguk. Hampir dua hari berada di rumah ini, Nesa seperti mendapatkan keluarga baru. Mereka memperlakukan Nesa dengan baik dan hangat layaknya saudara jauh yang sudah lama hilang komunikasi lantas berkunjung secara tiba-tiba memberi kejutan. Hati Nesa benar-benar menghangat.Bu Agung melepas Nesa, kini giliran Indah yang merangkulnya dan gadis itu berbisik di telinganya, “Mbak, Indah tahu Mbak Nesa menyembunyikan sesuatu, tapi apa pun kebenarannya, Indah harap semuanya akan baik-baik saja.” Nesa mengerjapkan mata. Jadi, gadis yang tampak polos ini selama ini mengamatinya dan tahu kalau dia berbohong, tetapi tidak mencoba mendesaknya berkata jujur? Sontak, Nesa hilang kata-kata m
“Nes, ke mana aja kamu?” Suhana itu sepertinya orang yang suka penasaran dan takkan berhenti sampai keingintahuannya mendapat jawaban. Dia mengguncang lengan Nesa tatkala gadis itu terlihat melamun. Nesa mengangkat pandangannya dari lantai. Setelah mencocokkan informasi dari Suhana, dia menarik kesimpulan—Bagus belum sempat pulang semenjak kedatangannya ke rumah Barata waktu itu. Satu memori melintas di kepala, kalimat perintah Barata kepada Romi malam itu terngiang-ngiang di telinga. Air matanya merebak, kekasihnya mengalami kesulitan karena dirinya. Dan amarah serta kebenciannya pada Barata bertambah berkali-kali lipat. “Ke mana kamu buang pacarku, Mas Bara? Belum puaskah kamu merampas kebahagiannya dengan memisahkan kami? Dan kamu sepertinya nggak akan berhenti sampai membuatnya menderita dengan terluntang-lantung di jalanan.” Hati Nesa begitu pedih seiring bait demi bait kesedihan menggedor dari dalam sana. “Oh, Bagus, semoga kamu baik-baik aja.” Tak terasa bibirnya menggumam p
Bulu mata lentik itu berkedip beberapa kali, bergerak dengan lemah seirama gerakan kelopak mata yang dipayunginya. Rasa pening langsung menyergap gadis yang sedang telentang dengan keadaan tak berdaya, menuntun tangannya terangkat ke pelipis untuk memberi sentuhan meredakan di sana. Suara lenguhan keluar dari sela bibirnya yang mungil, dan kesadaran yang tiba-tiba membuatnya menyentakkan punggung ke kepala ranjang. Dia bangkit secara spontan, mengabaikan kondisi sekujur tubuhnya yang terasa seperti remuk oleh sebab diremas tangan-tangan besi.“Mereka berhasil menangkapku!” memori terakhir yang dapat direkam kepalanya sebelum dia menemukan kesadarannya adalah wajah lelaki yang berjarak tak kurang sejengkal dari wajahnya—menyeringai iblis kepadanya.“Sudah berapa lama aku nggak sadarkan diri?” tanyanya pada diri sendiri. Tangannya mengusap tengkuknya berulang kali.Meskipun rasa sakit begitu menggelayut, Nesa memaksa mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ini bukan kamar yang di
Tampang lelaki yang dipanggil Awan itu terlihat kesal saat menoleh pada suara yang menyerukan namanya, yang bergerak semakin dekat padanya dengan pelan, namun pasti. Bibirnya berdecak tak suka sebab kegiatan menyenangkannya diinterupsi. “Harusnya aku curiga waktu kamu mengajukan diri turun ke lapangan, alih-alih menyerahkan tugas sepele itu pada anak buahmu,” kata lelaki tua yang diikuti beberapa orang di belakangnya. Berdiri di depan sang putra dengan tongkat wallker di tangan kanannya, matanya memicing penuh selidik. “Kamu memang pemburu andal, Nak. Tapi kali ini kubur dulu bakatmu yang itu.”Si lelaki tua dengan gaya parlente itu melirik sekilas gadis yang raut mukanya dihiasi ketakutan yang dominan. “Memang kenapa, Ayah?” Awan mendengkus tak senang. “Aku yang menemukannya, maka terserahku mau ku apakan dia.”Bulu kuduk gadis yang menjadi topik pembicaraan bergidik mendengar itu. Kali ini Nesa melafalkan doa dalam hati, semoga Tuhan menolongnya lagi, lolos dari lingkaran setan le
“Mas bos.” Barata yang merebahkan tubuh di atas sofa dengan malas akibat kemelut pikirannya mencari keberadaan Nesa langsung memicingkan mata, melihat Romi menjulang di atasnya dengan benda kotak di tangan lelaki itu.“Paket,” kata Romi sembari menyodorkan benda kotak kecil yang misterius. “Kata satpam dari semalam.”Tanpa minat, Barata menyuruh Romi membukanya. Benda itu tak meyakinkan, dia pun tak merasa memesan sesuatu atau ada laporan pihak yang akan mengirimkan barang padanya. Romi mengambil posisi duduk dan langsung membuka paket di tangannya. Kernyitan dalam muncul di kening Romi saat melihat benda tersembunyi di dalamnya. “Mas ....” Romi menunjukkan benda mungil cantik berwarna silver. “Kurang ajar!” Barata langsung bangkit lantas merebut benda yang sangat dia kenali dari tangan Romi. Bagaimana tak mengenal? Dia sendiri yang memilih dengan teliti benda itu untuk dia pasangkan di jari Nesa pada hari pernikahan mereka. “Siapa yang mencoba memancingku! Sangat pengecut mengguna
Nesa merasakan tubuhnya ingin menciut kecil selaras dengan keberaniannya yang menyusut, ketakutannya meningkat pesat tatkala melihat pintu kamar dibuka dari luar, dan menampilkan tubuh tegap Awan berjalan masuk dengan bibir melengkung sempurna yang kini Nesa tahu apa maksud di balik senyum itu. Tiap derap yang kaki lelaki itu ciptakan saat melangkah pun terdengar seperti membawa bahaya pada tiap entakannya.‘Ya Tuhan, kapan aku akan terbebas dari situasi mengerikan ini. Berada di sini seperti merasakan hawa neraka. Begitu mencekam, begitu menakutkan.’“Selamat malam, Kelinci kecil.” Lelaki itu langsung melintasi kasur, menyisakan jarak hanya beberapa jengkal dari Nesa. Nesa langsung merapatkan punggungnya pada sandaran ranjang dengan degup jantung yang berantakan, seakan jantung itu sangat siap melompat keluar. Dia melihat lelaki di depannya ini laksana predator yang lebih dari siap untuk memangsanya. “Kamu takut padaku?” Sepasang mata predator Awan menelisik ekspresi wajah gadis di
Awan yang sudah berbalik dan siap memberi ganjaran si pengganggu kegiatan menyenangkannya sontak mundur beberapa langkah saat melihat seorang lelaki menyibak jalan di antara beberapa orang berpakaian hitam. Sementara di belakangnya, Nesa tak menyia-nyiakan kesempatan untuk membenahi diri lantas menyampirkan selimut untuk menutupi tubuhnya. Pakaiannya sudah tak berguna setelah dikoyak tangan kurang ajar Awan.“Siapa yang akan kamu buat mati, brengsek!” Orang itu maju dan langsung memukuli Awan dengan tongkat. “Sudah kubilang, aku yang akan menghajarmu lebih dulu sebelum Barata kalau kamu nekat mengganggu istrinya!”“Ayah, kenapa Ayah berada di sini.” Awan mencoba menghalau tiap serangan Wirang, meskipun upayanya tak berarti apa-apa. Tongkat itu tetap mampu mengenainya, menyakitinya. “Dan tolong hentikan ini!”“Berhenti katamu?” Wirang justru semakin menggencarkan pukulannya pada sekitaran betis putranya yang tak bosan membuatnya marah itu. “Kamu yang harus berhenti dengan otak sekalig
Barata tampak memimpin jalan, mengomandoi 20 orang di belakangnya dalam rangka melancarkan serangan kepada si brengsek penculik istrinya. Dia sungguh tak habis pikir, mengapa pria itu tak henti mengusiknya. Mulai dari menyusupkan anak buahnya memeriksa kolam-kolam miliknya lalu beberapa hari setelah itu meracuni ikan-ikannya hingga tak tersisa seekor pun yang hidup, dan sekarang Nesa yang tak tahu menahu menjadi sasaran keusilannya. Apa pria itu pikir, dia tak bisa berlaku kejam kepadanya? Pria bernama Awan itu benar-benar meremehkannya!Waktu sudah menunjukkan tengah malam saat dia dan timnya sampai di kawasan kediaman pribadi Awan. Dengan hati-hati, Barata dan timnya mulai memantau situasi di sekitar rumah yang dibentengi dengan gerbang. Mereka berada di posisi yang strategis, menyembunyikan diri di balik pepohonan. Bahkan, Barata sendiri rela memanjat pohon demi mengawasi keadaan. Ini semua dia lakukan demi istrinya.Sudut bibir Barata tertarik ke atas, meremehkan. Ternyata Awan t
“Terus pantau dia.” Seorang pria berbicara melalui saluran telepon genggamnya. Sorot matanya terlihat berkilat-kilat licik, sementara satu sudut bibirnya terangkat. Saluran komunikasi dia matikan, pria itu lalu menelepon kontak lain, seseorang yang sudah dengan sangat siap menerima perintah. “Tau apa yang musti kamu lakukan?” tanyanya pada seseorang di seberang. “Tau, Juragan. Saya akan melakukan sesuai perintah Juragan.” Terdengar suara di seberang menjawab, mengundang senyum puas terbit di bibir si lelaki paruh baya yang terlihat masih bugar dan muda, seakan usia hanyalah angka baginya. “Bagus. Jangan kecewakan aku, Ramli,” tekan pria itu setengah mengancam, lalu mematikan sambungannya secara sepihak. Beberapa detik kemudian, pria itu tampak menyimpan kembali telepon pintar miliknya ke dalam saku. Lalu tangannya terangkat ke dagunya yang ditumbuhi bulu dengan lebat, mengusap-usapnya dengan lembut. “Barata, Barata. Beberapa tahun nggak nemu cara balas dendam ke kamu, sekarang akh
“Roman-roman mukamu kok kayak orang kurang asupan gizi, Bar,” ledek Naren yang melihat sahabatnya itu tidak bersemangat. Dua hari setelah kejadian di restoran malam itu, hari ini akhirnya Naren berkunjung ke kediaman sahabatnya. Selain berniat silaturrahmi, dia juga ingin memastikan keadaan Nesa, perempuan yang akhir-akhir ini terbayang di benaknya. Apakah dia baik-baik saja karena sikap dingin Barata hanya saat itu saja dan sesampainya di rumah hubungan mereka kembali hangat, atau sedih karena dampak kejadian itu menjadi berlarut-larut. Sungguh, Naren sudah berusaha menghapus wajah Nesa serta kekagumannya terhadap istri sahabatnya itu, tetapi wajah Nesa masih kerapkali muncul. Dan ... dia memiliki kerinduan terhadap sosok gadis itu.“Efek begadang, ngecek-ngecek kolam,” sahut Barata, sambil melarikan perhatiannya pada ikan-ikan di kolam. Sementara tangannya melempar pakan, terlihat gurame-gurame itu berebutan.“Lah, apa gunanya itu Romi? Terus itu orang-orangmu? Mereka makan gaji bu
“Oh, aku lupa kalau ini memang kamarmu,” kata Nesa, melihat Barata yang tampak keras kepala—enggan meninggalkannya. “Seharusnya aku sadar diri. Kalau begitu, biar aku yang keluar.”Nesa berusaha berdiri dengan kekuatannya yang lemah, menyeret kakinya ke pintu. Jiwa Barata kian diterjang rasa bersalah kala melihat kondisi kaki sang istri. Seharusnya dia lebih mampu mengolah emosi, tetapi yang terjadi justru kalap karena terlalu dikuasai api cemburu. “Biar saya saja yang keluar,” ujar Barata. “Tapi setelah saya obati kaki kamu.”“Aku nggak butuh diobati. Kakiku baik-baik aja.” ‘Karena yang beneran sakit adalah hatiku. Kejadian ini dan kamu yang tempramen membuatku menjadi ragu buat memulai hubungan kita. Padahal sebelumnya aku berniat menerima takdir ini, mulai membuka hati buatmu, tapi—’“Auww!” Nesa memekik terkejut merasakan tubuhnya melayang, tahu-tahu dia sudah berada di atas kedua lengan suaminya. Lengannya pun secara reflek mengalung di leher Barata. Barata mendudukkan Nesa
Semua kepala lantas menoleh pada sumber suara. Dalam sekejap, pria yang berjalan perlahan itu menjadi pusat atensi tiga sosok dengan sorot mata berbeda. Barata dengan pandangan menusuk, tatapan Narendra yang menelisik dan Nesa yang memandang dengan jijik. “Siapa yang kamu sebut kelinci kecil, Pecundang?” Tatapan Barata yang penuh permusuhan dia kirimkan pada Awan. Sementara sang istri meremas tangannya dengan gelisah. Barata merasakan telapak kecil itu basah oleh keringat. Dia tahu respons tubuh sang istri diakibatkan syok melihat keparat itu. Putra dungu Tuan Wirang itu pernah menyandera Nesa dan Barata yakin terjadi hal yang tidak menyenangkan selama Nesa dalam genggaman si pecundang itu. “Kalau yang kamu maksud itu istriku, maka tarik lagi ucapanmu itu kecuali dirimu ingin kubuat babak belur tidak berdaya di atas tanah, seperti waktu itu, heh!” Barata bukan hanya menggertak, sebab dia sudah mulai menyingsing lengan kemejanya hingga siku, bersiap bertarung. Melihat pertunjukan t
Narendra seperti dihantam palu tepat di jantungnya kala mendengar klaim Barata. Cintanya layu sebelum berkembang. “Istrimu?” Bahkan dia tak sadar bibirnya bergerak, menunjukkan kalimat yang baru saja menelusup ke telinga begitu mengejutkan. Matanya mengerjap lambat, masih mencoba mencerna. Bahkan, atensinya masih terpaku pada sosok yang dia asumsikan sebagai Anggun—adik Barata, beberapa saat lalu. “Kami menikah sekitaran sebulanan yang lalu,” jelas Barata dan dia kesal melihat Narendra. “Hei, tatap aku. Aku sedang berbicara.”Barata meraih tangan Nesa di bawah meja lalu mengangkatnya ke permukaan, menggenggamnya di atas meja. Dia sengaja melakukan itu untuk menegaskan bahwa Nesa miliknya. Narendra menelan kekecewaan dan berjuang menyembunyikannya dari dua sosok yang duduk bersebelahan itu. Dia mencoba mengulas senyum dan kini tatapannya jatuh pada Barata. “Aku nggak dengar kabar pernikahanmu. Anak-anak juga nggak ada yang ngabarin,” tutur Narendra. Anak-anak yang dikatakan itu meru
“Katakan kalau kamu bukan bidadari yang sedang tersesat di bumi.” Nesa tersenyum tersipu, balas memandang suaminya yang sedang mengagumi pantulan dirinya di cermin. “Kamu ... sangat cantik, Nes,” puji Barata dengan bangga, dagunya bertumpu pada pundak Nesa yang terbuka. Sementara tangannya melingkari perut sang istri yang malam ini tampak seperti peri—cantik, mungil, murni.Barata sangat bersyukur, sepulang dari desa Nesa, hubungan mereka berangsur menjadi hangat. Telinganya sudah tidak pernah lagi mendengar kalimat ketus dan sengit dari bibir Nesa. Pun perangai dan sikap istrinya itu kini menjadi manis dan penurut. Kalau malam waktu sebelum tidur, Nesa tidak pernah menolak atau memberontak saat tubuhnya dipeluk Barata. Sampai bangun di pagi hari, tubuh gadis berparas ayu itu menempel di dada bidangnya. “Ah, tidak jadi pergilah. Begini saja. Saya mau berlama-lama memandang dan mengikatmu seperti ini,” kata Barata lagi seraya mengeratkan pelukannya di tubuh mungil sang istri. Dia ju
“Mulai besok, datang rutin ke Restoran Milenial. Jadi satpam tidak memberatkanmu, kan, Pak? Saya sudah berbicara dengan Arga, kawan saya, owner itu restoran.”Tatapan Barata tampak serius. “Untuk lokasinya, saya kirim melalui pesan whats*pp nanti,” lanjutnya. Raharja melongo, tercengang. Setelah mengejutkannya dengan pernikahan dadakan tanpa kenal mempelai wanitanya, kini sang menantu yang dipujanya itu membuat surprise dengan menyuruhnya bekerja? Tanpa mendengar dulu pendapatnya—apakah dia bersedia atau tidak?Wah, menantuku ini semakin semena-mena, rontanya yang hanya berani dia suarakan dalam hati. Mendapati kejutan tidak menyenangkan itu, jelas saja dia merasa sangat keberatan. Dia sudah amat nyaman menjadi pengangguran, tetapi tiap bulannya mendapat transferan dari Barata sesuai kesepakatan dalam transaksi penyerahan anak gadisnya pada Barata. “Tenang saja, Bapak mertua. Bapak tetap akan menerima uang yang biasa saya kirim tiap bulannya walaupun sudah bekerja. Turuti saja ara
Barata langsung sigap mengambilkan segelas air putih untuk Nesa yang tersedak karena ucapannya. “Maaf, maaf,” katanya setelah meletakkan lagi gelas yang sudah berkurang isinya ke atas nakas. Nesa terlihat canggung, bahkan tatapannya tak beralih dari jemarinya yang tertaut resah. Perkataan Barata tadi jelas mengejutkannya. Apa suaminya itu mendengar pembicaraannya dengan sang ayah beberapa saat lalu? Jika prasangka itu benar lantas kenapa justru pria yang dilimpahi banyak harta itu bersikap manis, ketimbang berbuat kasar—mengingat Raharja telah menyarankan ide licik nan jahat yang dimaksudkan padanya. Barata meraih tangan Nesa yang lantas mengundang kepala istrinya itu terangkat untuk dapat bertemu pandang dengannya. “Maaf kalau perkataan saya membuatmu terkejut. Tapi yang perlu kamu tahu, sebagaimana janji saya yang tidak akan menyentuhmu jika kamu sendiri tidak menginginkannya, itu berlaku juga tentang keinginan saya memiliki anak darimu, Nes,” ucap Barata dengan mata teduhnya yang
“Mbak Nes, Mbak Nes,” teriak Dika kala memasuki kamar sang kakak. Di belakangnya, tampak Dewi dengan raut khawatirnya. “Ih Dika, nggak boleh teriak-teriak gitu. Suaramu itu ganggu Mbak Nesa,” peringatnya pada sang adik yang berjalan mendahuluinya. Dika yang terkesan polos itu lantas menggigit bibirnya, mereka kini sudah berada di tepi ranjang di mana Nesa tampak berbaring lemah. “Maaf, Mbak Nes, Dika nakal, ya,” gumamnya dengan rasa bersalah. Nesa menggeleng disertai senyum tipis di bibirnya. “Nggak, kok,” sahutnya sambil terbaring lemah. Lalu Dewi mengambil tempat lebih dekat dengan Nesa. Remaja manis itu bahkan sampai merangkak ke atas kasur. “Dewi kira kalau sudah nikah nyeri haid bakalan hilang, tapi nyatanya Mbak Nesa masih merasakannya,” ungkap Dewi, menyuarakan apa yang ada di pikirannya.“Kan tiap orang beda-beda, Wi,” sahut Nesa, memandang wajah adik perempuannya. “Masih sesakit itukah, Mbak Nes?” tanya Dewi dengan bibir meringis. Dalam hati dia bersyukur, dia salah sat