“Jadi, dokter Raga memang diselingkuhi?”
Begitulah situasi rumah sakit saat ini. Padahal udah 2 bulan sejak kejadian, tetap saja berita itu masih menjadi pembicaraan hots di rumah sakit. Berita itu menyebar kemana-mana, ada yang merasa kesal, namun ada juga yang merasa senang. Terlebih kaum para wanita baik dari dokter, perawat, bahkan dari beberapa pasien ada yang merasa senang karena dokter idaman mereka tidak jadi memiliki pemilik sah.
“Padahal, dokter Melisa biasa aja loh tampangnya. Tapi bisa-bisanya dia seperti itu. Dasar wanita tidak tahu diuntung memang, coba kalo aku jadi pacarnya dokter Raga, mana mau diri ini berselingkuh?”
“Diam aja deh, itu masalah mereka. Lo kepo banget sih jadi orang?”
“Gue bukannya kepo, cuman mengutarakan pemikiran gue aja!”
“Sama aja, lo bisa kena masalah kalo masih ngomongin masalah dokter Raga. Dia senior kita, dan sangat banyak fans. Jadi….”
“Jadi kenapa?”
Mendadak, sosok 2 perawat itu mengatupkan mulutnya. Angga yang baru saja selesai melakukan operasi memang mendengar percakapan itu dengan jelas. Bukannya merasa marah, Angga hanya ingin tahu pemikiran mereka. Tepatnya, dia ingin tahu kenapa kabar itu masih saja tetap hot di setiap penjuru rumah sakit.
“Lah, kok pada diam?”
“Ah…maaf dok, kami salah.”
Kening Angga mengerut, sejak kapan dia mengatakan mereka salah?
“Padahal gue niat mau nimbrung gibah. Gak asik lo berdua, udah ah, beliin gue kopi dong di supermarket depan. Caramel macciato, less ice, gula 80%.”
“Duitnya dok?”
“Ya pake duit lu dulu, ntar gue ganti!”
Angga pergi, tidak peduli dengan senyuman gadis yang tadi dia beri perintah. Wulan namanya, sosok perawat yang sejak dulu memang mengagumi sosok Angga. Baginya, dokter Ragata pun masih kalah jauh ketampanannya jika dibandingkan dengan sosok dokter itu.
“Ciee…muka lo merah Lan!” goda Aca, dia tahu bahwa teman sesama perawatnya itu memang mengidolakan dokter Angga.
“Ihhh…apaan sih!” Wulan menolak, “gue mau beliin kopi dulu ya!”
“Ya elah, mau aja lo di suruh-suruh. Lama-lama jadi babunya dia ntar lo!”
“Gue gak peduli, jadi babunya juga gue rela!” Wulan tersipu malu-malu saat mengatakan hal itu, “asal sama dokter Angga aja, gue mau!” lanjutnya sebelum meninggalkan meja kerjanya.
Aca menggelengkan kepala. Terkadang, jika sudah mencintai seseorang, kita bisa berubah menjadi bodoh dan tidak seperti diri kita sendiri. Untung kalo sama-sama mencintai, kalo cuman sebelah tangan saja? Ya sama aja kita yang goblok namanya.
Jadi sebagai wanita, perlu confess dulu. Jangan mau dijadiin bucin—budak cinta—yang gak jelas tujuan dan arahnya.
Di lain sisi, Angga yang sudah tiba di dalam ruangannya menghela nafas kesal begitu mendapati sang sahabat yang tengah bermesraan di ruangannya. Ruangan kerja mereka memang sama, hanya dipisahkan oleh sekat. Tapi tolonglah, desahan dari ruangan Andreas sungguh mengganggu pendengaran Angga.
Ahhh…faster Ndre.
I’m coming babe. Yes, lubangmu emang senikmat ini.
Ahh…ahhh
Tersenyum jahil, Angga punya ide bagus.
Dengan segera dia memasuki kamar mandi, lalu mengambil air di dalam gayung. Sebelum melakukannya, Angga tertawa jahat dulu. Dia memang senang mendapati masalah. Tidak lupa, dia juga berdoa dalam hati, karena setelah ini, dia pasti akan mendapatkan masalah serta hidupnya tidak akan tenang.
Byurrr
“ARGHHHH”
Teriakan dari dalam ruang kerja Andreas membuat Angga tertawa keras. Dia lekas mengambil kunci mobil dan juga dompetnya, lalu segera berlari sebelum dia menjadi sate.
“Sialan, Angga. Gue bakal bunuh lo hidup-hidup!” teriak Andreas kesal, tubuh tanpa busana mereka sudah basah.
Vira hendak turun dari sofa, namun Andreas menahan.
“Lanjut ya sayang, udah basah gini kan tambah nikmat!” godanya, menahan lengan Vira agar tidak pergi meninggalkannya.
“Ahhh, gak mau ah. Tadi kan aku juga udah bilang jangan di sini, tau sendiri Angga itu jahil!”
“Udah gapapa sayang, nanti kita kasih itu bocah pelajaran. Kasih satu ronde lagi ya, please, ya…ya, mau ya!”
Vira memutar bola matanya malas, namun karena wajah Andreas yang menggemaskan, akhirnya dia mengangguk lagi. Lagipula, basah-basah ada nikmatnya juga. Sentuhan di setiap sudut tubuhnya menambah kenikmatan bagi Vira.
“Ndre…ahhh…jangan kasar sayang!” gumannya, meningatkan Andreas agar bermain dengan pelan.
“Hehehe…maaf sayang, kamu sih, nikmat banget. Kan aku jadi gak tahan kalo lama-lama!”
Andreas membalikkan tubuh Vira, sekarang keindahan itu terpampang di depannya. Perlahan dia kembali menelusuri tubuh indah kekasihnya itu dan memberikan kenikmatan.
***
Situasi ruangan ujian terasa begitu mendebarkan. Setiap tulisan yang tertuang dalam secarik kertas diatas meja akan menentukan nilai apa yang akan mereka dapatkan. Dari semua mahasiswa yang sedang berjuang di atas ruangan itu, Rindu senja adalah salah satu dari mereka.
Jarum panjang jam di depan mereka terus bergerak, menunjukkan waktu yang tersisa hanya sedikit.
Rindu Senja bersama dengan kedua temannya—Pandu, dan Miquel—berada di barisan paling depan. Fokus pada soal-soal hafalan yang menguras otak. Pulpen Pandu lebih dulu diletakkan di atas meja, usai memeriksa semua jawaban, dan memastikan semuanya benar, barulah dia menjadi sosok pertama yang keluar dari ruangan penuh hawa panas itu.
Miquel juga menyusul setelahnya.
Sekarang tinggal Rindu Senja, gadis yang biasa dipanggil Rindu itu sedikit kesulitan untuk menjawab soal terakhir. Namun pada akhirnya, sesuatu terlintas di pikirannya, hingga tangannya yang tadi sempat berhenti menulis, kini menuangkan apa yang dia ingat mengenai pertanyaan susah itu.
Dia bangkit berdiri, dan lekas bergabung bersama dengan Pandu dan Miquel yang sejak tadi berdiri di ambang pintu untuk menunggunya.
Trio anak kedokteran yang dikenal di hampir semua jurusan. Ketiganya adalah kombinasi yang sempurna, dan benar-benar saling mendukung satu sama lain. Hanya Rindu seorang, yang menjadi perempuan di circle mereka.
“Tumben lo lama jawabnya” guman Pandu, di sela-sela perjalanan mereka menuju kantin.
“Gue lupa jawaban pertanyaan terakhir. Tapi ya udahlah, bodo amat, yang penting udah kelar!”
Miquel dan Pandu mengangguk, lalu mereka memasuki kantin yang masih sepi. Karena memang semuanya masih berakhir di ruangan ujian yang terasa seperti neraka. Hanya mereka bertiga yang bisa menyelesaikan soal itu dengan cepat.
Ujian akhir yang akan menentukan kelayakan mereka sebagai dokter.
“Lo udah dapat tempas Koas belum?” Pandu lagi-lagi bertanya.
“Belum, tapi kayaknya gue bakal coba rumah sakit yang dekat aja deh!”
“Lo yakin?”
“Ya!”
“Kalau gitu, kayaknya kita bakalan pisah KOAS deh, gue mau di luar jawa. Soalnya bokap gue nyuruh di Medan, jadi gue harus balik kampung dulu!” Miquel berseru sambil meneguk es teh yang baru saja diletakkan di atas mejanya.
“Lah, bukannya kalo KOAS di luar daerah itu lebih susah ya? Lo udah konsul sama dosen pembimbing lo ga?”
“Belom sih, mungkin ntar sore gue mau nemuin beliau!”
Pandu dan Rindu mengangguk. Mereka memang sudah berteman sejak semester 1, dan tidak pernah merasakan bahwa satu sama lain adalah rival. Ketiganya melakukan semampu yang mereka bisa, saling membantu, dan berusaha untuk menjaga perasaan mereka masing-masing.
“Ini…lo suka jamur krispi kan?” Pandu meletakkan jamur miliknya di piring Rindu. Miquel hanya memalingkan wajahnya.
“Thanks!”
“Nanti malam, lo berdua pada sibuk ga? Nongki yuk, di space coffee, gue udah jenuh banget 1 minggu ujian terus. Lagian, masih ada 3 hari buat ujian berikutnya.”
“Kosong sih, lo gimana Ri?”
“Gue juga free sih, ya udah, nongki di sana?” tanyanya, yang di angguki oleh Miquel dan Pandu bersamaan.
“Oke Deh!”
***
“Lo mau sampai kapan sih kayak gini, Ragata? Keluar kek, entah kemana kek, yang penting jangan di sini dong. Gerah tau gak sih?” Angga mengumpat setelah terkejut mendapati Ragata di dalam apartemennya begitu dia menyalakan lampu.
Semua manusia pasti akan melakukan hal yang sama. Bayangin, lo pergi tidak ada orang di rumah dan itu selalu sama. Tapi, pas balik dan baru aja nyalain lampu, lo nemuin manusia lain di dalam apartemen lo, duduk di atas sofa dengan mata melotot.
Hanya orang gila yang tidak akan berteriak marah. Untung Angga tidak pingsan saking terkejutnya.
“Lebay!” guman Ragata, “matiin lampunya, gue mau tidur!”
“What? Lo merintahin gue? Lo sadar gak sih ini apartemen siapa?”
“Apartemen lo!” jawan Ragata, sambil memejamkan matanya, dan sudah merebahkan badannya di atas sofa empuk yang baru Angga beli.
“Sialan lo, Ga.” Teriak Angga marah, “keluar ga, gue mau ME-TIME dulu, jangan jadi setan pengganggu bisa gak?”
“Lo…mau tanggung jawab?”
Mendadak bulu kuduk Angga berdiri saat Ragata menatapnya dengan tajam. Semenjak pernikahan Ragata gagal, lelaki itu benar-benar berubah 360 derajat. Wajahnya selalu menyeramkan, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Untungnya, Raga masih menjadi dokter di rumah sakit dan menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya.
Meski bukan jadwalnya untuk operasi, tapi Ragata mengambil semua jadwal operasi di hari yang berturut-turut. Gila memang, tapi rumah sakit jelas senang karena hal itu. Ragata adalah masalah depan rumah sakit, dia begitu pintar dan sangat lihai.
Tau bahwa Ragata tidak akan berpindah dari sofa barunya, Angga memutuskan untuk tidak peduli. Dia tidak bisa membiarkan lelaki itu sendirian, atau Raga akan melakukan hal bodoh lagi.
“Lo udah makan gak?”
“Masakin mie instan, telurnya setengah matang!”
“LO BENERAN TEMAN LAKNAT, DASAR SETAN!” guman Angga, kali ini dia menyesal sudah bertanya, niat awalnya memang ingin memasak mie instan, tapi ketika mendengar perintah Raga, membuat Angga mendadak kesal. Dia mau melakukannya, namun tidak dengan perintah seperti itu.
“Hmmm!” Ragata hanya mengguman, tanpa peduli seperti apa reaksi dari Angga yang terlihat ingin menguburnya hidup-hidup saat ini.
Aroma mie instan mulai memenuhi semua sudut apartemen. Ragata yang kelaparan sejak tadi segera bangkit dari sofa empuknya,maksudnya sofa empuk milik Angga. Berjalan ke dapur, dan menatap bagaimana Angga memasak mie instan itu dengan lihai.
“Lo…ngapain sih natap gue kayak gitu? Gue ngeri, tau gak sih?” teriak Angga terkejut, saat dia berbalik dan mendapati Ragata berdiri bak orang bodoh sambil menatapnya tanpa kedip.
Angga itu normal, please. Jika dia harus belok karena Ragata, mungkin itu bisa terjadi di kehidupan berikutnya. Sebentar lagi Angga akan menikahi kekasihnya—Elsa.
“Lo lebay banget, orang gue cuman lihat lo doang.”
“Ya, lihat-lihat jangan gitu juga dong. Lo gimana sih, gue sebagai lelaki tulen jelas keberatan lo natap gue gitu, bego!”
“Gue bego?” Ragata menatap Angga tajam, “kalo gue bego, gak mungkin gue bisa jadi dokter dengan prestasi terbaik di rumah sakit. Lo sadar gak itu?”
Mendadak wajah Angga berubah masam. Dia tahu jika Ragata Wijaya memang sangat berprestasi di rumah sakit. Semua memujinya, dan tidak ada celah di dalam diri lelaki itu. Hanya satu yang menjadi kekurangan Ragata.
Kisah percintaan yang tidak begitu beruntung.
Mungkin, jika kisah percintaan lelaki itu beruntung, Angga akan sangat mengiri. Pasalnya, sudah anak sultan, dokter jenius, tampan bak dewa Yunani abad sekarang, dan memiliki sejuta fans. Dia adalah julukan lelaki sempurna.
“Mana mie gue?”
“Ambil sendiri dong, lo gak cacat kan?”
Tidak ada penolakan. Ragata mengambil piringnya sendiri, mengambil mangkonya dan mengisinya dengan seporsi mie instant gede, ditambah dengan 3 telur setengah matang. Untung Angga tau jika lelaki itu belum makan dan kelaparan. Jadi dia memang memasak 5 telur setengah matang.
Keduanya duduk diam di meja makan. Hanya ada suara dentingan garpu yang saling beradu dengan piring.
“Lo kapan nikah?”
“Kalo gada kemunduran, mungkin 2 minggu lagi.”
Ragata mengangguk, “lo yakin mau nikah?”
“Ya iyalah, gue kan bukan kayak….”
Hampir saja Angga salah bicara, dia menelan mienya yang masih setengah kunyahan dengan kasar saat hawa di meja makan mendadak surat. Bibirnya memang selalu saja keceplosan ketika sudah membahas pernikahan. Meski Ragata tidak mengatakannya secara langsung, namun Angga tahu dari aura lelaki itu.
“Sorry, gue bukannya pengen ngungkit masa lalu lo!”
“Hmm!”
“Ya tapi, Elsa yang ngelamar gue duluan. Jadi gue bisa apa?”
“Hmmm!”
“Buset, irit banget jawabannya. Btw, nanti malam keluar yuk. Udah lama gak nongki, mau ngingat jaman dulu pas masih kuliah di Malang. Kayaknya space coffe enak deh, mumpung lagi free gak ada jadwal operasi. Jadi biasalah keluar bentar!”
“Malas, lo aja keluar sama Elsa. Ngapain lo ngajak gue, miring!”
“Najis anjer, gue ngajak lo karna kasihan. Lo 2 bulan di apartemen gue, sama rumah sakit mulu. Gak eneg apa kerja mulu?”
“Gak!”
“Ntar malam, jam 11. Kalo gak, lo gak usah nongol di apartemen gue.”
“Siapa lo ngatur-ngatur gue!”
“Sialan, gue santet juga lo ya. Lagian, gak selamanya wanita itu sama aja, siapa tau lo ketemu jodoh pas nongki gitu!”
“Bisa diam gak?”
“Jam 11, jangan molor lo!”
“Hmmm!”
“Gila, lo yakin mau ke sini?”Ragata masih ragu, dari luar saja sudah terdengar suara musik yang sangat-sangat keras. Bukannya tidak pernah mendatangi tempat seperti ini, namun Ragata sedang tidak mood untuk mengulang kembali kebiasaannya waktu masih kuliah dulu.Sebagai seorang lelaki, dia memang pernah mendatangi tempat-tempat seperti itu.“Musiknya doang yang kegedean, Ga. Dalamnya masih gada apa-apa, lo gak usah mikir yang lain-lain deh. Udah masuk aja, daripada lo balik lagi?”“Ya mending gue balik aja daripada harus di sini!”“Goblok!” Angga meletakkan tangannya di pundak Ragata, dan memaksa temannya itu agar memasuki café di depan mereka. Sudah terlanjur juga lagian, nanggung banget, kang parkir yang nanti tersenyum.“Udah, gak usah sok alim lo. Lagian gue heran deh sama lo, kenapa lo gak pernah nyentuh si mantan sih? Kan kalo dia hamil duluan, ya dia gak bakal selingkuh!”“Ck, bisa diam gak sih? Kenapa sih lo masih bawa-bawa nama dia? Udah gue bilang dari dulu, gue gak mau nye
“Yaelah…Rin…Rindu Senja!” teriakan itu memenuhi lorong kampus. Sedangkan yang dipanggil terus berjalan lurus tidak peduli. Gadis itu menjadi pusat perhatian dari beberapa orang yang juga lewat di koridor, atau hanya sekedar duduk di bangku yang memang disediakan di sana.Fakultas kedokteran selalu sunyi, bahkan di koridornya sekalipun. Sudah horor, makin horor ketika para mahasiswa itu duduk di koridor dengan buku yang tidak lepas dari pandangan mereka.“Rindu, lo kenapa sih? Pagi-pagi udah bete aja jadi orang, niat hidup gak sih lo? Udah fakultas kayak kuburan heningnya, lo malah…yaelah, gue ditinggal kan!” Pandu berdecak sebal saat sang sahabat sudah berpindah lebih dulu.Dia berusaha mengejar lagi, namun seseorang lebih dulu mendaratkan tangan di bahunya. Lekas Pandu menoleh dan mendapati si oleh yang sepertinya tidak tahu permasalahanya pagi ini.“Lo kenapa sih pagi-pagi udah berantem sama mahluk satu itu, Ndu?” Miquel menatap Pandu dengan sorot mata bertanya.“Ck. Lo tau gak sih
Ragata POVTidak ada yang menarik menjadi seorang dokter. Bagiku begitu. Namun, ketika aku mendengar profesi ini diagung-agungkan, apalah kata yang tepat untuk mengatakan pada mereka bahwa profesi mereka entah apapun itu adalah sama pentingnya?“Ga…gue mau serius nanya sama lo!”Itu suara Angga, sudah hafal betul aku dengan suara itu. Terkadang malas mendengarnya, demi apapun. Terlebih saat ini, pintu ruanganku jelas tertutup dan seharusnya dia sadar apa maksud dari hal itu. Aku sedang tidak ingin menerima tamu untuk hari. Rasanya sungguh malas, dan aku ingin menenangkan pikiran sejenak.Tapi sekeras apapun aku melarang, Angga tetaplah Angga. Dia sungguh batu, dan tidak mengerti kata-kata manusia. Tingkah absurd nya dan juga Andreas yang selalu menarik perhatianku untuk menciptakan pil baru, yang bisa melenyapkan kedua mahluk ini.Namun, aku juga sadar tingkah absurd keduanya lah yang bisa membuatku bertahan hingga saat ini. Jujur, sampai detik ini, aku masih trauma dengan yang namany
“Hari ini kita kedatangan dokter tamu lagi!”Salah seorang asisten praktikum mengumumkan hal itu tepat di depan kelas. Rindu, Miquel dan Pandu hanya mengangguk. Karena hal itu memang sudah biasa, tidak ada yang spesial dengan kedatangan dokter tamu, bahkan dari rumah sakit ternama pun.“Eh…gue kebelet lagi!” Rindu berbisik pelan.“Boker?”“Bukan, mau pipis gue!” Rindu menghela nafas, di luar sedang hujan, terlihat dari jendela kaca yang memisahkan luar dengan gedung LAB. Dengan segera Rindu angkat tangan untuk izin.“Kak, dokternya tampan gak?” salah satu mahasiswi bertanya, lalu di sambut dengan tawa oleh circlenya. Pandu hanya memutar bola matanya malas, entah kenapa dia tidak pernah suka jika pada wanita sudah mulai bertindak seperti itu. Apa-apa selalu pandang fisik.“Kenapa, lo sirik?” seru Miquel yang sudah paham betul dengan maksud dari tatapan Pandu yang mengenaskan itu.“Diam ae lo!”“Ada apa…ada apa?” seru Rindu yang baru saja masuk, “lo ngatain gue?”“Ya, katanya cariin Pan
“Prof, saya sudah bisa pulang?”Rindu menghela nafas untuk kesekian kalinya. Bibirnya tidak berhenti mengomel dalam hati, sejak dia mendadak mau menjadi volunteer untuk menggantikan Pandu yang seharusnya ada di posisinya ini. Berkali-kali Rindu menilik sosok yang ada di depannya dengan sabar.Sosok itu tengah sibuk dengan laptopnya dengan tangan yang sejak tadi mengetik. Entah apa yang lelaki itu kerjakan, Rindu Pun tidak tahu.“Siapa suruh kamu jadi pengganti?” Rangga jaketnya, dan beranjak dari tempat duduknya, merapikan laptopnya.“Prof…” Rindu panik saat sosok itu masih tidak memberikan jawaban yang pasti. Ini gimana nasibnya? Masa dia harus melototin kodok yang ada di depannya sih? Sudah 2 jam dia menjadi orang bodoh seperti ini. Mau gimana lagi? Dia sendiri yang sok-sokan menjadi pahlawan kesorean.Satu alis Ragata tertarik.“Ada apa?”“Nasib saya gimana prof, saya kan udah melototin ini kodok sejak 2 jam lalu. Mata saya mulai pegal nih prof!”“Siapa yang nyuruh kamu masih di si
Sudah 1 jam menunggu, namun dosen yang masuk mata kuliah pagi ini tidak kunjung datang. Rindu dan kedua temannya duduk sambil menatap ponselnya masing-masing. Tidak hanya mereka sebenarnya, tapi hampir semua orang tengah berfokus dengan kesibukannya sendiri-sendiri.“Rin, lo ga ke rumah sakit hari ini?”“Iya, tapi habis kelas!”Pandu mengangguk, lalu kembali merebahkan kepalanya. Pagi ini tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, dan dia butuh istirahat. Dan berselang 10 menit kemudian, Bram—sang ketua kelas, mengumumkan bahwa kelas hari ini di cancel.Jadilah Rindu, Miquel dan Pandu berjalan menuju parkiran. Ketiganya harus berpisah karena rumah sakit yang akan mereka datangi juga berbeda.“Lo gapapa naik ojol? Gue anterin aja!” Miquel masih menawarkan.“Kita bedah arah, Miq, mending gue naik ojol aja deh. Lagian udah gue pesen, tinggal bentar lagi kok!”“Apa lo bawa…”“Udah itu, gue duluan ya. Jangan lupa ntar malam kita ke tempat biasa!”“Okey, hati-hati!”Pandu dan Miquel juga lekas m
Miquel dan Pandu menatap Rindu yang terlihat tidak seperti biasanya dengan heran. Gadis yang biasanya selalu menghabiskan banyak waktu untuk membaca lembar demi lembar buku, kini tengah senyum-senyum tidak jelas sambil menatap ke luar jendela. Parahnya, gadis itu juga mengabaikan kedua temannya.Sekali lagi Pandu dan Miquel saling menatap, dan menggeleng karena tidak mendapatkan jawaban atas alasan gadis itu menjadi aneh.“Rindu, lo gak sakit kan?”“Apaan sih pegang-pegang?” Rindu menepis tangan Pandu yang berada di keningnya. Rindu selalu kesal jika disentuh, apalagi di kening.“Ya kan lo dari tadi kayak orang kehilangan tujuan hidup tau gak sih? Senyum-senyum aja dari tadi, kenapa, lo kesambet apaan di jalan tadi? Jangan-jangan arwah nenek moyang di gedung Fakultas teknik nyangkut lagi ke lo!”“Sialan, tuh bibir bisa gak sih di jaga cara ngomongnya?”“Ya kan lo gak jawab senyum-senyum karena apa.” Pandu masih ngotot, mereka berdua terdiam selama beberapa menit sambil menunggu dosen
Setelah menyelesaikan pekerjaannya di rumah sakit, Rindu bergegas untuk pulang. Namun baru saja beberapa langkah dari lobby, hujan deras sudah melingkupi malam hari. Padahal rencananya Rindu masih harus membeli beberapa kebutuhannya di supermarket dekat rumah sakit. Mana dia tidak bawa payung lagi.“Neng, mau pulang?” tegur pak satpam.“Ya pak, sekalian mau ke supermarket terdekat sih. Tapi hujan, gak bawa payung lagi!”“Mending pesen taxi aja neng, besok-besok aja ke sononya.”“Iya pak!”Rindu menghela nafas, dia merasa sedikit sakit di perutnya. Sepertinya dia akan datang bulan, dan dia kehabisan stok pembalut. Bukan kabar baik tentunya. Rindu berjalan mendekati hujan, menaikkan tangannya dan merasakan air hujan membasahinya.Rindu Senja dan hujan. Dia menyukai setiap kali hujan turun, rasanya damai ketika mendengar bunyi air mengalir. Banyak perasaan yang ingin dia tuangkan ketika hujan turun. Namun Rindu tidak suka petir. Tekad Rindu sudah bulat, sepertinya dia harus menerobos hu
Resort ramai. Mereka memutuskan menginap di resort karena semalaman penuh, Bali diterjang hujan. Bahkan pagi ini, gerimis masih terlihat menyelimuti tempat wisata. Namun tetap saja ada rombongan yang berkunjung, bahkan sang sopir terlihat baru keluar dari mobil usai memarkirkan bus besar di parking area hotel.Jarum jam sudah menunjuk ke arah pukul 09.00, dan Pandu yang baru saja memarkirkan mobil hanya bisa berceloteh ringan. Bahkan sosok yang membuatnya bangun pagi-pagi buta untuk menuju bandara I Gusti Ngurah Rai, tidak mengatakan apa-apa setelah mobil tiba di parkiran hotel.Langsung membuka pintu mobil, dan pergi begitu saja. Membuatnya kesal setengah mati. Pandu lekas mengikuti Ragata yang sudah menghilang di balik lift. Memang ya, kalau sudah mencintai seseorang, tidak ada kata bertahan berpisah. Kekesalan Pandu selain itu, karena baru tahu Rindu juga harus pulang malam ini. Itu artinya rencana mereka ke Lombok juga tertunda.Di tengah langkahnya yang hendak menuju kamar Rindu
Pandu POVMungkin, orang-orang tidak tahu seberapa besar arti dari sebuah persahabatan. Bagiku, bertemu dengan dua manusia yang meskipun sedang sibuk makan seperti pork dan tidak menyisakan bagianku, aku tetap menyayangi mereka tulus dari lubuk hatiku.Hari sedang cerah di luar, terlihat jelas dari gorden ruang tamu yang berterbangan dan cahaya yang menembus sehingga ruang tengah terang benderang.Kami sedang liburan di Bali, mumpung ada weekend, dan aku pun bisa mengambil jatah libur. Awalnya Rindu mengatakan tidak bisa ikut, tapi dengan segala akal yang aku punya, jadilah dia diberikan kesempatan.Sudah beberapa bulan berselang. Bayi imut yang dulu tidak bisa memanggilku kini sudah mulai mengenaliku. Walau tidak bisa mengeluarkan suara. William sedang berada di pangkuanku. Dan lihatlah, dia benar-benar menggemaskan.Setidaknya itu menghilangkan rasa kesalku pada induknya yang sibuk makan di hadapanku. Tidak ada bedanya dengan Miquel. Mereka berdua benar-benar menikmati hidangan itu t
Pandu sudah mulai membaik, itu sebuah kemajuan besar. Chika sedang duduk sambil mengamati wajah lelaki yang sedang tertidur itu. Sejak semalam, dia tidak pulang. Bersikeras untuk merawat Pandu. Bahkan rela melewatkan seminarnya, padahal itu adalah kesempatan besar untuk Chika. “Kau tidak kerja hari ini, Chika?”Xavier akhirnya bisa menghilangkan pikiran buruk sangkanya setelah melihat bagaimana Chika merawat sang adik. Sambil meletakkan secangkir teh di atas meja, Xavier mengambil duduk tidak jauh dari kedua orang itu. Udara di rumah sakit amat sangat dia benci. Tapi karena itu adalah Pandu, mau tidak mau Xavier harus mengesampingkan egonya.“Saya shift malam, kak.”“Panggil nama saja, tidak usah terlalu formal. Toh juga aku dengan Pandu hanya beda menit lahirnya.”Chika mengangguk, sambil meneguk isi gelas berisi teh Rosella itu. Sepertinya homemade. Dari rasanya Chika bisa tau. Jemari Pandu mulai bergerak, membuat Chika bersemangat. Tapi menunggu sepersekian menit, tidak ada tanda-
Suasana rumah sakit di pagi hari sedikit berbeda daripada sebelumnya. Perbedaan itu paling terasa pada Chika. Sejak tadi dia hanya memantau kehadiran sosok yang sudah menghantuinya belakangan ini. Bahkan nomornya saja tidak bisa di hubungi. Dan Pandu tidak masuk sudah beberapa hari. Gimana gak panik coba?Begitu melihat sosok Rindu yang berjalan dengan tenang, Chika berlari. Menarik tangan Rindu yang hampir saja menghindarinya lagi.“Rin, gue tau lo pasti tau kenapa Pandu gak ngangkat nomor gue kan? Please, I need a hand right know, dia gak balas pesan gue udah dua hari ini. Something happened?”Ekspresi datar Rindu membuat Chika menghela nafas. Dia sudah berusaha menjelaskan bahwa malam itu adalah sebuah kesalahpahaman. Tapi tak satupun yang percaya padanya. Miquel dan Rindu, hanya diam saja.“Rin, kalo emang Pandu gak seberarti itu buat gue, ngapain juga gue rela nungguin dan mau ngasih tahu kalo malam di club itu adalah kesalahan? Tapi karena gue suka sama dia, makanya gue mau nge
Suasana club mulai ramai. Chika duduk di salah satu sofa, tidak jauh darinya ada seorang lelaki yang tengah meneguk cocktailnya. Malam itu adalah ulang tahun dari salah satu teman Chika, dan seperti biasa bagi kaula muda. Mereka merayakannya di club.“Chika, lo yakin mau ngelanjutin hubungan lo sama dia? Atau lo emang cuman kasihan sama usaha bokap lo?”“Kevin, please deh gak usah bahas soal itu.”“Lo belom move on dari gue?” Kevin menyeringai. Dia tahu Chika belum menerima Pandu, karena itu hanyalah alibi semata.“Kev, lo itu cowok berengsek tau gak sih? Buat apa mertahanin manusia sampah kayak lo. Mending lo jauh dari sini.”“Aigoo…kalian berdua ini seperti kucing dan tikus saja. Setiap bertemu pasti akan berdebat, apa tidak ada kegiatan yang bisa kalian berdua lakukan selain ini?” Gangga menyela sambil menatap Kevin datar. Dia adalah salah satu teman kuliah Chika, dan juga kenal baik dengan Kevin.Chika hanya menghela nafas. Beberapa dari teman mereka sudah mulai mabuk, dan sudah b
“Mas, aku mau kerja lagi.”Ragata langsung berhenti mengetik di tuts keyboardnya. Diam beberapa menit, lalu berjalan mendekati sang istri yang sedang menatapnya sambil berdiri. Seolah Rindu sedang laporan padanya. Ragata tersenyum, mengambil tangan sang istri dan membawanya duduk di sofa.Bukannya ingin membatasi ruang gerak sang istri. Ragata justru senang jika sang istri tetap produktif. Sebab, Ragata tahu istrinya itu hanya merasa bosan. Jika masalah finansial, Ragata yakin mereka tidak kekurangan. Dia memberikan Rindu Black cardnya, dan bebas mau dibelanjakan untuk apa saja.“Kalo kita sama-sama kerja, nanti yang jaga William siapa sayang? Kalo dia udah umur 4 tahun, baru nanti bisa sekolah atau di jaga sama ibu. Dia baru jalan satu setengah tahun, kamu gak kasihan sama dia?”Wajah Rindu sedikit ditekuk. Tapi tidak mengurungkan niat wanita itu untuk membujuk sang suami. “Tapi kalo di rumah terus, aku bosan banget, Mas. Aku bisa ambil shift pagi, terus nanti William di jaga sama i
Rindu sudah mantap dengan pilihannya. Dia akan kembali bekerja seperti dulu. Bukan karena Ragata tidak mampu membiayai kehidupan mereka, tapi karena Rindu bosan setengah mati di rumah terus. Hanya menjaga putra mereka yang kini sudah berusia satu tahun.Malam ini Rindu harus bicara. Apalagi William sedang dijaga oleh mertuanya. Jadi Rindu sedikit leluasa hari ini.“Lo serius mau kerja lagi? Gue gak yakin sih Ragata ngizinin, dia takut kalo lo ntar kecapean. Lagian masih setahun Rin, apa yang lo kejar sih?” ujar Pandu. Sambil mengambil minuman Ocha yang ada di meja. Mereka bertiga—Rindu, Miquel, dan Pandu—sedang berada di mall di hari weekend ini. Mencoba banyak permainan dan juga games. Rencananya mereka akan menonton juga. Tapi karena filmnya baru mulai sekitar 2 jam lagi, jadilah mereka berakhir di salah satu gerai ramen.“Gue setuju sih, Ragata gak ngasih izin sih feeling gue,” Miquel ikut menimpali.“Tapi bosan banget tau kalo di rumah terus. Selain sama William, kayak gada akti
Sudah dua hari sejak percakapan dengan Miquel, Lia masih mengurungkan niatnya untuk memberitahu masalahnya kepada Ragata ataupun orang tuanya. Lia cukup kecewa pada Gary. Sebab mereka itu sudah kenal sejak semester awal. Dan hanya karena masalah peringkat, Gary ingin melakukan hal seperti itu padanya?Demi apapun Lia tidak terima.Hari ini kampus sepi. Wajar, karena jarang mahasiswa yang datang ke kampus di hari Sabtu. Hanya para mahasiswa semester akhir, atau anak organisasi yang sedang sibuk rapat. Lia baru saja keluar dari perpustakaan, untungnya kampus mereka membuka layanan perpustakaan di hari weekend. Tapi, di koridor, mata Lia menangkap manusia yang membuatnya hampir kehilangan kesuciannya. Disana, tepat di dekat parkiran paling pojok, lelaki itu sedang duduk sendirian. Mengenakan hoodie, dan menutupi wajahnya. Seolah keberadaannya tidak ingin diketahui oleh siapapun.Lia menghela nafas, dan berjalan ke arah parkiran. Dia tahu Gary ingin mengatakan sesuatu.“Lia…please, gue m
Hari ini jadwal Rindu periksa ke rumah sakit. Berhubung Ragata sedang tugas selama 2 hari di luar kota. Jadilah Lia yang ikut ke rumah sakit. 5 bulan tidak terasa sudah berlalu, dan Rindu sudah sangat sehat. Ragata juga sudah memberinya izin keluar rumah sendiri. Tapi tidak dengan bekerja. “Sini, biar Lia aja, mbak Rin.”Tangan Lia dengan sigap membawa tas bayi dari mobil. Rindu tersenyum. Dia menggendong William yang sedang tidur lelap. Bayinya itu sangat pengertian jika Ragata tidak di rumah. Beda cerita kalau sudah ada Ragata. Bawelnya bukan main. Bahkan waktu mereka berdua selalu terganggu. Seolah William tahu apa yang akan dilakukan oleh ayahnya itu jika berduaan dengan sang ibu.Beberapa orang menyapa Rindu. Baik para perawat, dan dokter lainnya.“Lo bisa gak sih, kalo makan gak usah kayak orang gak makan seratus tahun?” Angga menatap Andreas kesal. Mereka berdua sedang makan cake pemberian Chika di lobby.“Ya kan gue emang gak makan udah seratus tahun. Eh…ada Rindu, nih, lo ma