“Hari ini kita kedatangan dokter tamu lagi!”
Salah seorang asisten praktikum mengumumkan hal itu tepat di depan kelas. Rindu, Miquel dan Pandu hanya mengangguk. Karena hal itu memang sudah biasa, tidak ada yang spesial dengan kedatangan dokter tamu, bahkan dari rumah sakit ternama pun.
“Eh…gue kebelet lagi!” Rindu berbisik pelan.
“Boker?”
“Bukan, mau pipis gue!” Rindu menghela nafas, di luar sedang hujan, terlihat dari jendela kaca yang memisahkan luar dengan gedung LAB. Dengan segera Rindu angkat tangan untuk izin.
“Kak, dokternya tampan gak?” salah satu mahasiswi bertanya, lalu di sambut dengan tawa oleh circlenya. Pandu hanya memutar bola matanya malas, entah kenapa dia tidak pernah suka jika pada wanita sudah mulai bertindak seperti itu. Apa-apa selalu pandang fisik.
“Kenapa, lo sirik?” seru Miquel yang sudah paham betul dengan maksud dari tatapan Pandu yang mengenaskan itu.
“Diam ae lo!”
“Ada apa…ada apa?” seru Rindu yang baru saja masuk, “lo ngatain gue?”
“Ya, katanya cariin Pandu jodoh. Kasihan banget gak dapat jodoh dari jaman purba!” kekeh Miquel, puas ketika wajah Pandu terlihat kesal sekali.
Praktikum sudah dimulai, dan kali ini mereka akan melakukan bedah tingkat 3. Dokter tamu yang katanya akan mengisi kuliah hari ini tak kunjung datang, jadilah asisten praktikum sudah memulai lebih dulu. Mengingat batas pemakaian lab yang juga terbatas.
Namun di sela-sela kesibukan mereka dengan dunia sendiri, seseorang mengetuk pintu, mengalihkan semua perhatian ke arah sana.
“Maaf saya telat, tadi prof Imam ada urusan dengan saya!”
“Dokter? Tidak apa-apa dok, silahkan di perhatikan saja dulu, setelah ini silahkan mengambil waktu dokter!” Brianita—asisten praktikum—itu mengajak sosok itu untuk berjalan-jalan.
Kegiatan mereka semua sedikit terganggu. Bahkan terdengar jelas bisik-bisik yang mengatakan sosok itu sungguh tampan. Termasuk Chika yang sudah mulai cari perhatian, tidak peduli jika dia baru saja melakukan kesalahan beberapa waktu lalu kepada sosok itu.
Semuanya memperhatikan gerak-gerik sang dokter, kecuali Rindu dan kedua temannya yang tengah fokus membedah bagian otak. Kali ini mereka akan melakukan operasi yang tidak biasa.
Ruangan itu semakin terdengar ribut, namun mereka bertiga sama-sekali tidak mau teralihkan. Hingga Pandu yang lebih dulu mengalihkan perhatian karena penasaran apa penyebab keributan itu langsung terkesiap. Di depannya, sosok dokter bak jelmaan malaikat itu tengah berdiri.
“Sepertinya menyenangkan?” seru Ragata, dia memperhatikan kedua sosok lainnya yang sama-sekali tidak teralihkan fokusnya karena kedatangannya. Padahal Ragata jelas tahu jika semua mahasiswa kedokteran di ruangan LAB itu tengah membisikkan dirinya.
Rindu dan Miquel masih sibuk sendiri, hingga senggolan dari Pandu membuat Miquel lebih dulu sadar.
“Miq, lo kok lepasin sih? Kan…” ucapan Rindu terpotong begitu matanya tidak sengaja menangkap siulet yang sejak semalam memenuhi isi pikirannya. Dan tindakan konyolnya tadi malam mulai terlintas jelas di pikirannya. Hampir saja gunting bedah itu jatuh dari tangan Rindu, jika Pandu tidak segera menyenggolnya.
“Ahh…dok…dokter Ragata?” guman Rindu pelan.
“Lanjutkan saja, hewan itu lebih menarik perhatianmu bukan?”
Ragata berbicara santai. Hal itu sontak mengundang banyak pertanyaan dari semua mahasiswa di sana.
“Bukan…bukan begitu dok, saya…”
“Tidak apa, lanjutkan saja!” seru Ragata dengan aura dingin, dan segera berlalu dari sana kembali memperhatikan semua kegiatan yang ada di lab. Namun tetap saja Ragata mencuri pandang ke arah meja gadis itu.
Menarik. Bahkan cara gadis itu memegang pisau bedah terlihat sudah ahli. Beberapa kali Ragata mendapati gadis itu juga curi pandang padanya.
“Dok…Anda sudah bisa mengambil waktunya, terima kasih sudah mengisi kuliah hari ini!”
“Tidak masalah!” guman Ragata dingin, lalu segera menuju ke depan.
Tidak ada yang berbicara selagi Ragata memperkenalkan dirinya.
“Dok, apa dokter masih lajang?”
Rindu, Angga dan Miquel mendadak panik saat salah satu mahasiswa melontarkan pertanyaan itu diselingi dengan siulan menggoda. Terakhir sang dokter di tanya seperti itu, auranya berubah gelap, dan pergi tanpa mengatakan apapun. Sebagai manusia yang normal, sudah diketahui bahwa sang dokter tidak ingin ditanyakan mengenai hal itu.
Itu sensitif.
Dan benar saja, aura Ragata berubah dalam sekejap. Wajahnya yang sejak tadi tidak menampilkan ekspresi apapun, kini semakin terlihat menyeramkan. Membuat mahasiswa yang tadi bertanya dalam sedetik itu juga gugup.
“Kita lanjut saja topiknya, benar begitu dok? Hahahaha, tadi hanya pertanyaan iseng saja. Maafkan praktikanku kali ini dokter Ragata!”
“Tidak masalah!” seru Ragata, tersenyum miring, “Saya memang masih lajang. Tidak ada yang salah dengan status itu bukan?”
Terdengar suara dari belakang. Rindu memperhatikan sang dokter dengan serius, dia merasa sedikit aneh ketika sosok itu tidak marah ketika ditanyakan hal itu. Mata mereka sempat bertemu untuk beberapa saat, sebelum Rindu memutus kontak mata itu.
Dia tidak kuat jika harus melakukan eye kontak. Rasanya tubuhnya terbakar jika terus-terusan seperti ini.
“Rindu, kenapa wajah lo memerah? Lo gak panas kan?”
Memerah? Rindu lekas memegangi wajahnya yang memang terasa panas. Dia jelas baik-baik saja, dan tidak ada apa-apa dengan tubuhnya. Tunggu dulu, kenapa wajahnya memerah? Apa karena tatapan tadi itu? Ayolah, padahal Rindu sudah beberapa kali menatap sang dokter, tapi tetap saja wajahnya tidak bisa terkendali.
Miquel hendak menyentuh keningnya, namun Rindu lekas menghindar.
“Gue baik-baik saja, gada apa-apa kok, tenang aja!”
“Lo…serius?” Miquel masih berusaha untuk menyentuh kening itu, namun selalu saja Rindu menghindar secepat kilat. Entah itu memundurkan tubuhnya, atau memiringkan kepalanya. Pada akhirnya, Miquel menarik kembali tangannya dan tersenyum kecut.
“Ya udah, ntar gue antar pulang ya!”
“Tapi kan arah rumah gue beda, Miq!”
“Gak papa, gue antar aja!”
“Tolong yang di pojok!”
Suara itu jelas ditujukan pada geng Rindu. Ketiganya langsung kembali pada posisi masing-masing.
“Perhatikan kuliah dari dokter Ragata, tolong jangan membuat keributan di kelas ini. Jika ingin melakukannya, kalian bisa keluar keluar jika tidak bisa menuruti peraturan!”
“Maaf kak!” guman Pandu yang posisinya memang lebih dekat, jika dibandingkan Rindu dan Miquel.
“Baik, jangan diulang lagi!”
“Ck, kalian sih, pada acara ngomong-ngomong segala!” kesal Pandu.
Ragata hanya diam ketika sosok di sebelahnya menginterupsi Rindu. Dia memang tidak terbiasa dengan orang lain yang tidak memperhatikan kuliah tamunya. Memang dia hanya menjadi dosen tamu, tapi untuk 2 bulan kedepannya, Ragata akan menjadi sosok yang penting di nilai mata pelajaran mereka.
1 hari yang lalu, Prof Imam menemuinya.
“Anda sudah sangat dewasa sekali, kapan ya saya melihatmu memecahkan gelas beaker?”
Tawa Angga meledak, dia, Ragata, dan Prof Imam sedang duduk bersama di ruang tamu milik Angga.
“Dia memang selalu gegabah seperti itu!” Sambung Angga, meledek Ragata yang hanya diam saja.
“Daripada lo? Bukannya lo mengulang beberapa mata kuliah ya?”
Skakmat.
Angga mendadak diam, tidak berkutik seperti orang bisu. Dia meringis mendengar ejekan yang memang benar adanya. Jujur, untuk mendapatkan gelarnya, Angga harus berusaha mati-matian. Dia mengulang beberapa matkul karena gagal. Tidak seperti Ragata, yang selalu lulus, dan juga wisuda mendahuluinya. 1,5 tahun lebih cepat dari mahasiswa lainnya.
Ragata si jenius.
“Sudah, tapi kan sekarang dia sudah bisa menjadi dokter hebat, Ragata. Itu saja sudah cukup!” seru Prof Imam yang berusaha memecahkan situasi.
“Nah, lo dengar gak tuh? Profesor aja belain gue!”
“Ngomong-ngomong prof, kenapa Anda tiba-tiba menemui saya?” tanya Ragata to the point.
“Selalu saja to the point!” kekeh Prof Imam, “tapi aku tidak akan membuang-buang waktumu, aku tahu kamu anak yang sibuk!”
“Lalu…?”
Angga di tempat duduknya hanya bisa menghela nafas malas. Baginya hidup Ragata terlalu serius hingga tidak bisa melihat mana yang benar. Sejujurnya, dia sedikit merasa kasihan dengan lelaki itu, terlebih dengan nasibnya.
“Aku ingin kamu mengajar di almamater kamu dulu nak!”
Begitulah kronologinya, hingga sekarang Ragata berdiri di sini, di depan mahasiswa kedokteran yang haus akan ilmu. Jujur, Ragata jadi teringat dengan dirinya yang dulu saat masih berada di posisi mereka.
Selama proses pemberian mata kuliah berjalan, Rindu tidak bisa berhenti terkagum-kagum dengan Ragata. Bahkan, dengan terang-terangan gadis itu menunjukkan ketertarikannya. Dan semua itu, tidak lepas dari pandangan Miquel.
Usai mata kuliah berakhir, semuanya berbisik-bisik mengenai sosok Ragata. Bahkan dalam sekejap, dokter sudah mendapatkan banyak panggilan. Si tampan, si jenius, si cool banget. Begitulah kira-kira, dan saking banyaknya Rindu jadinya kesal.
Mereka bertiga sudah berjalan di koridor menuju kantin.
“Rin, tumben lo senyum-senyum aja dari tadi. Apa jangan-jangan lo tertarik sama itu om-om?” Pandu yang juga mengamati Rindu sejak tadi tidak bisa menahan pertanyaannya.
“Om?” seru Rindu, langkahnya berhenti dan menatap Pandu kesal.
“Ya Om gak sih? Kan secara usia pak dokter itu pasti sudah berbeda jauh dari kita. Ya kali dipanggil tante, kan gak mungkin juga!”
“Gak mesti om kali, Ndu. Panggil pak professor aja emang kenapa?”
“Ya, siapa tahu Rindu emang sukanya sama modelan om-om kayak gitu!” Pandu masih saja melanjutkan ocehannya.
“Bisa diam…”
“Siapa yang om…om?”
Langkah ketiganya langsung berhenti. Pandu melototkan matanya, begitu juga dengan Rindu. Begitu berbalik, Pandu benar-benar ketar-ketir. Kakinya mendadak berubah menjadi jelly. Miquel masih kalem, karena dia memang tidak merasa bersalah.
“Siapa yang kamu bilang om-om?” Ragata mengulangi pertanyaannya, menatap Pandu dengan sorot mata tajam.
“P…prof, saya…saya!”
“Apa saya setua itu ya?”
“Prof, maafkan teman saya. Tidak ada maksud untuk mengejek kok prof, maaf ya prof!” Rindu lebih dulu mendahului Pandu.
“Kamu tidak ada urusannya dengan saya!”
“Prof…saya minta maaf atas nama teman saya. Tolong ya prof, kami berjanji tidak akan mengulanginya lagi.”
Ragata menyipitkan matanya sejenak, menatap satu-satunya gadis yang selalu bersama dengan kedua pemuda di depannya.
“Tidak semudah itu untuk mendapatkan maaf dari saya!”
Rindu mendadak ketar ketir.
“Saya rasa kesalahan tadi tidak terlalu fatal prof, lagipula itu kan menurut asumsi teman saya.” Miquel berbicara dengan nada tegas, dan tidak ada gemetar. Rindu mendadak semakin panik, dia menginjak sepatu lelaki itu dengan kesal.
“Ohhh….” Ragata tersenyum miring, “jika saya merasa itu mencemarkan nama baik, apa kamu…”
“Maaf prof, saya akan bertanggung jawab atas kesalahan teman saya. Apapun akan saya lakukan prof!”
Senyuman miring Ragata terbit, dia menatap Rindu dengan tampang menilai.
“Ikut dengan saya!”
“Prof, saya sudah bisa pulang?”Rindu menghela nafas untuk kesekian kalinya. Bibirnya tidak berhenti mengomel dalam hati, sejak dia mendadak mau menjadi volunteer untuk menggantikan Pandu yang seharusnya ada di posisinya ini. Berkali-kali Rindu menilik sosok yang ada di depannya dengan sabar.Sosok itu tengah sibuk dengan laptopnya dengan tangan yang sejak tadi mengetik. Entah apa yang lelaki itu kerjakan, Rindu Pun tidak tahu.“Siapa suruh kamu jadi pengganti?” Rangga jaketnya, dan beranjak dari tempat duduknya, merapikan laptopnya.“Prof…” Rindu panik saat sosok itu masih tidak memberikan jawaban yang pasti. Ini gimana nasibnya? Masa dia harus melototin kodok yang ada di depannya sih? Sudah 2 jam dia menjadi orang bodoh seperti ini. Mau gimana lagi? Dia sendiri yang sok-sokan menjadi pahlawan kesorean.Satu alis Ragata tertarik.“Ada apa?”“Nasib saya gimana prof, saya kan udah melototin ini kodok sejak 2 jam lalu. Mata saya mulai pegal nih prof!”“Siapa yang nyuruh kamu masih di si
Sudah 1 jam menunggu, namun dosen yang masuk mata kuliah pagi ini tidak kunjung datang. Rindu dan kedua temannya duduk sambil menatap ponselnya masing-masing. Tidak hanya mereka sebenarnya, tapi hampir semua orang tengah berfokus dengan kesibukannya sendiri-sendiri.“Rin, lo ga ke rumah sakit hari ini?”“Iya, tapi habis kelas!”Pandu mengangguk, lalu kembali merebahkan kepalanya. Pagi ini tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, dan dia butuh istirahat. Dan berselang 10 menit kemudian, Bram—sang ketua kelas, mengumumkan bahwa kelas hari ini di cancel.Jadilah Rindu, Miquel dan Pandu berjalan menuju parkiran. Ketiganya harus berpisah karena rumah sakit yang akan mereka datangi juga berbeda.“Lo gapapa naik ojol? Gue anterin aja!” Miquel masih menawarkan.“Kita bedah arah, Miq, mending gue naik ojol aja deh. Lagian udah gue pesen, tinggal bentar lagi kok!”“Apa lo bawa…”“Udah itu, gue duluan ya. Jangan lupa ntar malam kita ke tempat biasa!”“Okey, hati-hati!”Pandu dan Miquel juga lekas m
Miquel dan Pandu menatap Rindu yang terlihat tidak seperti biasanya dengan heran. Gadis yang biasanya selalu menghabiskan banyak waktu untuk membaca lembar demi lembar buku, kini tengah senyum-senyum tidak jelas sambil menatap ke luar jendela. Parahnya, gadis itu juga mengabaikan kedua temannya.Sekali lagi Pandu dan Miquel saling menatap, dan menggeleng karena tidak mendapatkan jawaban atas alasan gadis itu menjadi aneh.“Rindu, lo gak sakit kan?”“Apaan sih pegang-pegang?” Rindu menepis tangan Pandu yang berada di keningnya. Rindu selalu kesal jika disentuh, apalagi di kening.“Ya kan lo dari tadi kayak orang kehilangan tujuan hidup tau gak sih? Senyum-senyum aja dari tadi, kenapa, lo kesambet apaan di jalan tadi? Jangan-jangan arwah nenek moyang di gedung Fakultas teknik nyangkut lagi ke lo!”“Sialan, tuh bibir bisa gak sih di jaga cara ngomongnya?”“Ya kan lo gak jawab senyum-senyum karena apa.” Pandu masih ngotot, mereka berdua terdiam selama beberapa menit sambil menunggu dosen
Setelah menyelesaikan pekerjaannya di rumah sakit, Rindu bergegas untuk pulang. Namun baru saja beberapa langkah dari lobby, hujan deras sudah melingkupi malam hari. Padahal rencananya Rindu masih harus membeli beberapa kebutuhannya di supermarket dekat rumah sakit. Mana dia tidak bawa payung lagi.“Neng, mau pulang?” tegur pak satpam.“Ya pak, sekalian mau ke supermarket terdekat sih. Tapi hujan, gak bawa payung lagi!”“Mending pesen taxi aja neng, besok-besok aja ke sononya.”“Iya pak!”Rindu menghela nafas, dia merasa sedikit sakit di perutnya. Sepertinya dia akan datang bulan, dan dia kehabisan stok pembalut. Bukan kabar baik tentunya. Rindu berjalan mendekati hujan, menaikkan tangannya dan merasakan air hujan membasahinya.Rindu Senja dan hujan. Dia menyukai setiap kali hujan turun, rasanya damai ketika mendengar bunyi air mengalir. Banyak perasaan yang ingin dia tuangkan ketika hujan turun. Namun Rindu tidak suka petir. Tekad Rindu sudah bulat, sepertinya dia harus menerobos hu
Ragata memutuskan memutar haluan mobilnya menuju rumah orang tuanya. Dia memang sangat mengantuk dan sangat ingin merebahkan tubuhnya. Namun mendadak dia teringat jika dia harus memastikan bahwa Rindu baik-baik saja. Dia juga tidak enak hati meninggalkan gadis itu seorang diri. Takut jika Rindu tidak nyaman dengan keluarganya.Namun, baru saja Ragata turun dari mobil dan melangkah ke ruang tamu. Suara tawa adiknya—Lia—memenuhi seisi rumah. Dari penjelasan penjaga rumah, ibu dan ayahnya sudah pergi 1 jam lalu. Ragata melangkah menuju kamar adiknya saat tidak menemui Rindu di kamarnya. Pintu yang tidak terkunci rapat membuatnya bisa melihat jika adiknya tengah diajari oleh Rindu?Wait. Sejak kapan keduanya sangat dekat?Dia pikir keduanya bukan berada pada angkatan yang sama, selain itu, Lia cukup ekstrovert menjadi manusia. Sangat tidak jika Rindu bisa berteman dengan adiknya yang bar-bar. Apa jangan-jangan….“Bang?”Rindu yang tidak menyadari kehadiran sosok itu lekas mengalihkan pand
Sudah beberapa hari berlalu, tapi sosok Ragata tidak pernah muncul di depan Rindu. Senja berlalu dan tidak ada yang istimewa. Sepertinya Rindu sudah terbawa virus tercandu-candu oleh ketampanan Ragata, dan juga perangai baiknya. Habisnya, siapa anak gadis yang tidak akan baper jika diperlakukan seperti itu?“Lo…kenapa? Kelihatannya dari tadi gak serius, something wrong?” Pandu yang duduk di sebelah Rindu memang memperhatikan gerak-gerik Rindu yang terlihat bukan biasanya.“Gue emang kenapa?”“Ya lo kayak lagi gak pengen belajar gitu, kan biasanya lo yang semangat 45 buat nugas.”Miquel yang duduk di hadapan Rindu akhirnya ikut memperhatikan. Mereka sedang berada di discussion room perpustakaan. Ruangannya tertutup, dan bisa di isi sampai dengan 10 orang. Biasanya digunakan untuk diskusi atau kerja kelompok.Lalu tatapan Miquel jatuh pada lengan Rindu. “Tangan lo kenapa? Lo sakit?”Pandu baru me-notice. Tatapannya mengikuti arah Miquel, dan benar saja, lengan Rindu ada tusukan dan meli
Rindu POVSialan, aku benar-benar ingin meremas wajah lelaki itu. Jadi kejadian malam hari itu dia bilang tidak sengaja? Padahal kami hampir berciuman di acara prom, dan kini dia bisa tertawa lebar dengan beberapa dosen seolah tidak melakukan kesalahan. Jika dia adalah roti yang sedang aku makan ini, sudah aku lenyapkan dia dari seluruh penjuru dunia.Bohong kalau aku mengatakan tidak baper waktu itu. Aku tidak pernah mendapatkan perhatian seperti itu, apalagi dari seorang ayah. Jadi ketika pertama kali diperhatikan begitu, aku…hatiku terasa tidak baik-baik saja. Rasanya mendebarkan, setiap malam aku memimpikan wajahnya. Lalu di pagi harinya, aku bangun dengan perasaan kesal karena apa?Karena semuanya hanyalah mimpi.Dimana, itu tidak mungkin pernah terjadi?!“Rindu, lo kenapa sih dari tadi bete mulu? Mana waktu prom kemarin lo juga ngilang.”Pandu bergabung denganku di taman, lalu tidak lama Miquel dengan wajahnya yang selalu datar dan tanpa ekspresi ikut bergabung. Entah kenapa aku
“Lo lagi apa?”Hampir saja Rindu menumpahkan kopinya. Tatapan setajam elang itu tertuju pada Pandu yang tidak peduli sama-sekali. Bahkan dia langsung duduk di depan Rindu dan meletakkan ompreng berisi nasi sebakulnya itu. Tidak lama Miquel juga bergabung dengan ompreng yang sama.Tatapan Miquel jatuh pada makanan Rindu, belum disentuh sama-sekali. Padahal selang mereka di kantin sekitar 20 menit.“Lo gak makan gara-gara nunggu kita berdua?”Rindu menghela nafas, dan kini menatap kedua sosok di depannya dengan kesal. Jelas-jelas dia sedang menghindari seseorang, dan kini usahanya gagal. Ragata berhasil mengetahui keberadaannya, dan itu tidak baik untuknya. Masih teringat jelas kegilaan yang Rindu lakukan beberapa waktu lalu. That’s the point. Sayangnya, usahanya kali ini benar-benar gagal total.“Ya, emang lo berdua dari mana aja sih? Lama banget, kayak pengantin baru aja.”“Yeee…tumben banget lo kepo kami berdua darimana.” Pandu mengambil tangan Miquel, yang langsung ditepis oleh lela
Resort ramai. Mereka memutuskan menginap di resort karena semalaman penuh, Bali diterjang hujan. Bahkan pagi ini, gerimis masih terlihat menyelimuti tempat wisata. Namun tetap saja ada rombongan yang berkunjung, bahkan sang sopir terlihat baru keluar dari mobil usai memarkirkan bus besar di parking area hotel.Jarum jam sudah menunjuk ke arah pukul 09.00, dan Pandu yang baru saja memarkirkan mobil hanya bisa berceloteh ringan. Bahkan sosok yang membuatnya bangun pagi-pagi buta untuk menuju bandara I Gusti Ngurah Rai, tidak mengatakan apa-apa setelah mobil tiba di parkiran hotel.Langsung membuka pintu mobil, dan pergi begitu saja. Membuatnya kesal setengah mati. Pandu lekas mengikuti Ragata yang sudah menghilang di balik lift. Memang ya, kalau sudah mencintai seseorang, tidak ada kata bertahan berpisah. Kekesalan Pandu selain itu, karena baru tahu Rindu juga harus pulang malam ini. Itu artinya rencana mereka ke Lombok juga tertunda.Di tengah langkahnya yang hendak menuju kamar Rindu
Pandu POVMungkin, orang-orang tidak tahu seberapa besar arti dari sebuah persahabatan. Bagiku, bertemu dengan dua manusia yang meskipun sedang sibuk makan seperti pork dan tidak menyisakan bagianku, aku tetap menyayangi mereka tulus dari lubuk hatiku.Hari sedang cerah di luar, terlihat jelas dari gorden ruang tamu yang berterbangan dan cahaya yang menembus sehingga ruang tengah terang benderang.Kami sedang liburan di Bali, mumpung ada weekend, dan aku pun bisa mengambil jatah libur. Awalnya Rindu mengatakan tidak bisa ikut, tapi dengan segala akal yang aku punya, jadilah dia diberikan kesempatan.Sudah beberapa bulan berselang. Bayi imut yang dulu tidak bisa memanggilku kini sudah mulai mengenaliku. Walau tidak bisa mengeluarkan suara. William sedang berada di pangkuanku. Dan lihatlah, dia benar-benar menggemaskan.Setidaknya itu menghilangkan rasa kesalku pada induknya yang sibuk makan di hadapanku. Tidak ada bedanya dengan Miquel. Mereka berdua benar-benar menikmati hidangan itu t
Pandu sudah mulai membaik, itu sebuah kemajuan besar. Chika sedang duduk sambil mengamati wajah lelaki yang sedang tertidur itu. Sejak semalam, dia tidak pulang. Bersikeras untuk merawat Pandu. Bahkan rela melewatkan seminarnya, padahal itu adalah kesempatan besar untuk Chika. “Kau tidak kerja hari ini, Chika?”Xavier akhirnya bisa menghilangkan pikiran buruk sangkanya setelah melihat bagaimana Chika merawat sang adik. Sambil meletakkan secangkir teh di atas meja, Xavier mengambil duduk tidak jauh dari kedua orang itu. Udara di rumah sakit amat sangat dia benci. Tapi karena itu adalah Pandu, mau tidak mau Xavier harus mengesampingkan egonya.“Saya shift malam, kak.”“Panggil nama saja, tidak usah terlalu formal. Toh juga aku dengan Pandu hanya beda menit lahirnya.”Chika mengangguk, sambil meneguk isi gelas berisi teh Rosella itu. Sepertinya homemade. Dari rasanya Chika bisa tau. Jemari Pandu mulai bergerak, membuat Chika bersemangat. Tapi menunggu sepersekian menit, tidak ada tanda-
Suasana rumah sakit di pagi hari sedikit berbeda daripada sebelumnya. Perbedaan itu paling terasa pada Chika. Sejak tadi dia hanya memantau kehadiran sosok yang sudah menghantuinya belakangan ini. Bahkan nomornya saja tidak bisa di hubungi. Dan Pandu tidak masuk sudah beberapa hari. Gimana gak panik coba?Begitu melihat sosok Rindu yang berjalan dengan tenang, Chika berlari. Menarik tangan Rindu yang hampir saja menghindarinya lagi.“Rin, gue tau lo pasti tau kenapa Pandu gak ngangkat nomor gue kan? Please, I need a hand right know, dia gak balas pesan gue udah dua hari ini. Something happened?”Ekspresi datar Rindu membuat Chika menghela nafas. Dia sudah berusaha menjelaskan bahwa malam itu adalah sebuah kesalahpahaman. Tapi tak satupun yang percaya padanya. Miquel dan Rindu, hanya diam saja.“Rin, kalo emang Pandu gak seberarti itu buat gue, ngapain juga gue rela nungguin dan mau ngasih tahu kalo malam di club itu adalah kesalahan? Tapi karena gue suka sama dia, makanya gue mau nge
Suasana club mulai ramai. Chika duduk di salah satu sofa, tidak jauh darinya ada seorang lelaki yang tengah meneguk cocktailnya. Malam itu adalah ulang tahun dari salah satu teman Chika, dan seperti biasa bagi kaula muda. Mereka merayakannya di club.“Chika, lo yakin mau ngelanjutin hubungan lo sama dia? Atau lo emang cuman kasihan sama usaha bokap lo?”“Kevin, please deh gak usah bahas soal itu.”“Lo belom move on dari gue?” Kevin menyeringai. Dia tahu Chika belum menerima Pandu, karena itu hanyalah alibi semata.“Kev, lo itu cowok berengsek tau gak sih? Buat apa mertahanin manusia sampah kayak lo. Mending lo jauh dari sini.”“Aigoo…kalian berdua ini seperti kucing dan tikus saja. Setiap bertemu pasti akan berdebat, apa tidak ada kegiatan yang bisa kalian berdua lakukan selain ini?” Gangga menyela sambil menatap Kevin datar. Dia adalah salah satu teman kuliah Chika, dan juga kenal baik dengan Kevin.Chika hanya menghela nafas. Beberapa dari teman mereka sudah mulai mabuk, dan sudah b
“Mas, aku mau kerja lagi.”Ragata langsung berhenti mengetik di tuts keyboardnya. Diam beberapa menit, lalu berjalan mendekati sang istri yang sedang menatapnya sambil berdiri. Seolah Rindu sedang laporan padanya. Ragata tersenyum, mengambil tangan sang istri dan membawanya duduk di sofa.Bukannya ingin membatasi ruang gerak sang istri. Ragata justru senang jika sang istri tetap produktif. Sebab, Ragata tahu istrinya itu hanya merasa bosan. Jika masalah finansial, Ragata yakin mereka tidak kekurangan. Dia memberikan Rindu Black cardnya, dan bebas mau dibelanjakan untuk apa saja.“Kalo kita sama-sama kerja, nanti yang jaga William siapa sayang? Kalo dia udah umur 4 tahun, baru nanti bisa sekolah atau di jaga sama ibu. Dia baru jalan satu setengah tahun, kamu gak kasihan sama dia?”Wajah Rindu sedikit ditekuk. Tapi tidak mengurungkan niat wanita itu untuk membujuk sang suami. “Tapi kalo di rumah terus, aku bosan banget, Mas. Aku bisa ambil shift pagi, terus nanti William di jaga sama i
Rindu sudah mantap dengan pilihannya. Dia akan kembali bekerja seperti dulu. Bukan karena Ragata tidak mampu membiayai kehidupan mereka, tapi karena Rindu bosan setengah mati di rumah terus. Hanya menjaga putra mereka yang kini sudah berusia satu tahun.Malam ini Rindu harus bicara. Apalagi William sedang dijaga oleh mertuanya. Jadi Rindu sedikit leluasa hari ini.“Lo serius mau kerja lagi? Gue gak yakin sih Ragata ngizinin, dia takut kalo lo ntar kecapean. Lagian masih setahun Rin, apa yang lo kejar sih?” ujar Pandu. Sambil mengambil minuman Ocha yang ada di meja. Mereka bertiga—Rindu, Miquel, dan Pandu—sedang berada di mall di hari weekend ini. Mencoba banyak permainan dan juga games. Rencananya mereka akan menonton juga. Tapi karena filmnya baru mulai sekitar 2 jam lagi, jadilah mereka berakhir di salah satu gerai ramen.“Gue setuju sih, Ragata gak ngasih izin sih feeling gue,” Miquel ikut menimpali.“Tapi bosan banget tau kalo di rumah terus. Selain sama William, kayak gada akti
Sudah dua hari sejak percakapan dengan Miquel, Lia masih mengurungkan niatnya untuk memberitahu masalahnya kepada Ragata ataupun orang tuanya. Lia cukup kecewa pada Gary. Sebab mereka itu sudah kenal sejak semester awal. Dan hanya karena masalah peringkat, Gary ingin melakukan hal seperti itu padanya?Demi apapun Lia tidak terima.Hari ini kampus sepi. Wajar, karena jarang mahasiswa yang datang ke kampus di hari Sabtu. Hanya para mahasiswa semester akhir, atau anak organisasi yang sedang sibuk rapat. Lia baru saja keluar dari perpustakaan, untungnya kampus mereka membuka layanan perpustakaan di hari weekend. Tapi, di koridor, mata Lia menangkap manusia yang membuatnya hampir kehilangan kesuciannya. Disana, tepat di dekat parkiran paling pojok, lelaki itu sedang duduk sendirian. Mengenakan hoodie, dan menutupi wajahnya. Seolah keberadaannya tidak ingin diketahui oleh siapapun.Lia menghela nafas, dan berjalan ke arah parkiran. Dia tahu Gary ingin mengatakan sesuatu.“Lia…please, gue m
Hari ini jadwal Rindu periksa ke rumah sakit. Berhubung Ragata sedang tugas selama 2 hari di luar kota. Jadilah Lia yang ikut ke rumah sakit. 5 bulan tidak terasa sudah berlalu, dan Rindu sudah sangat sehat. Ragata juga sudah memberinya izin keluar rumah sendiri. Tapi tidak dengan bekerja. “Sini, biar Lia aja, mbak Rin.”Tangan Lia dengan sigap membawa tas bayi dari mobil. Rindu tersenyum. Dia menggendong William yang sedang tidur lelap. Bayinya itu sangat pengertian jika Ragata tidak di rumah. Beda cerita kalau sudah ada Ragata. Bawelnya bukan main. Bahkan waktu mereka berdua selalu terganggu. Seolah William tahu apa yang akan dilakukan oleh ayahnya itu jika berduaan dengan sang ibu.Beberapa orang menyapa Rindu. Baik para perawat, dan dokter lainnya.“Lo bisa gak sih, kalo makan gak usah kayak orang gak makan seratus tahun?” Angga menatap Andreas kesal. Mereka berdua sedang makan cake pemberian Chika di lobby.“Ya kan gue emang gak makan udah seratus tahun. Eh…ada Rindu, nih, lo ma