Teriakan Nana membatalkan niat Burhan memberi hadiah istimewa untuk Hamka. Kepalan tangannya melayang begitu saja.
“Abang sekarang lebih mirip berandalan. Abang lupa dengan ucapanku. Maafkan dia dan lupakan. Tidak ada gunanya main kekerasan. Toh, jika tidak ada dia, mungkin tidak ada yang menjaga Bella. Seharusnya kita berterima kasih padanya. Dipikir-pikir tidak ada untungnya dia melakukan semua ini, justru Bella telah banyak merepotkan dia. Dan Abang masih ingin menghajar dia. Tanyakan perasaan Abang itu masih waras atau tidak,” cerocos Nana menarik Burhan membuat jarak dengan Hamka.
Ck, Burhan berdecak dia belum puas jika niat tidak terlaksana.
“Jika Abang menyakiti pemuda ini, sama artinya Abang menyakiti Aku,” ancam Nana yang tau persis isi kepala suaminya saat ini.
Ada rasa tidak terima dalam diri Bella memacu untuk berkata jangan pergi. Tapi cepat ditepis, dia tidak berhak untuk itu.Kebersamaan mereka dua bulan belakangan telah menyuburkan kembali. Rasa yang hampir layu karena sengaja dibunuh paksa.“Saya akan melanjutkan mengurus pondok. Kondisi kesehatan Abah belakang sering menurun,” terang Hamka. “Saya minta maaf jika selama ini ada kata dan sikap saya menyinggung kamu, Ibuk, dan adik Amel. Saya yang tidak pernah luput salah dan khilaf ini.”“Sama, Aku juga minta maaf. Semoga Ustadz selalu bahagia,” jawab Bella.“Sama-sama Tadz.” angguk Marwa.“Yah, udah mau pergi aja. Semoga kita bisa berjumpa lagi mas.” Amel menge
“Akbar juga, Mi. Kita jalan-jalan yuk.” Rengek Akbar.“Iya, ya. Tapi tidak sekarang. Sekarang kenalin dulu sama Bunda Bella. Sana Salim dulu,” pinta Nana menyuruh kedua keponakannya mendekati Bella.Mereka memang belum pernah bertemu Bella secara langsung. Bella pun tahu tentang mereka dari cerita Nana. Ini adalah pertemuan mereka untuk pertama kalinya.“Hay, Bunda Bella. Aku hawa kesayangannya Mami Nana dan Papi Burhan. Jadi Bunda juga harus menjadikan Aku kesayangan Bunda juga,” cerocos Hawa polos.“Hu, cari perhatikan. Mami sama Papi dan Bunda sayang sama Aku,” protes Akbar menoyor jidat Hawa.Lalu, ruangan itu berubah menjadi arena bermain. Hawa terus mengejar Abangnya
“Aku hanya ingin sendiri, badan ini sedikit kurang sehat.” Nana membuang muka.“Berhenti membuat lelucon, Dik.”“Aku jujur, Abang. Aku harus bagaimana agar Abang percaya.”“Baiklah artinya kamu tidak mencintainya suami gantengmu ini lagi.”Nana memel*k Burhan dari belakang. Ketika Burhan hendak meninggalkannya. Bukan keluar kamar tapi dia hanya ingin merebah diri diatas ranjang.Tubuh dan pikirannya sangat lelah. Masalah hidup membuatnya kurang istirahat dan kurang dimanja Nana belakangan ini.“Jangan bergerak biarkan Aku menikmatinya,” bisik Nana.Helaan nafas Burhan terdenga
Masih nyata dalam ingatannya saat mendiang suaminya berpulang. Jasad masih tergeletak di tengah rumah ketiga iparnya menuntut harta peninggalan jasad itu.Karna tidak ada yang berpihak padanya kebun yang tidak terlalu luas. Harus direlakan demi sepetak tanah tempat berdiri gubuk mereka.Mendiang papanya Burhan empat bersaudara semuanya laki-laki. Seharusnya dia tidak perlu khawatir perihal biaya hidup ketiga anaknya. Ada kewajiban ipar-iparnya menyisihkan sedikit rezeki untuk mereka.Tetapi, pada nyatanya dia harus berjuang sendiri. Beruntung kala itu Burhan telah remaja. Pulang sekolah Burhan kerja serabutan untuk menambal kekurangan biaya hidup mereka.Sedang dia bekerja sebagai buruh cuci dan setrika pada rumah yang sudi memakai jasanya. Setiap hari berangkat se
“Aku hanya butuh waktu, maaf telah membuat Mama khawatir. Aku akan segera membaik percayalah. Jangan terlalu Mama pikirkan.” Nana berdiri menjauh dan membelakanginya ibu dari suaminya itu.Nana tidak menyangka jika sang mertua dapat membaca gelagatnya. Alasannya ada yang dikerjakannya dalam kamar kurang tepat.Dia lupa jika wanita usia senja itu tahu persis, jika dia tidak lagi mengurus soal pekerjaan. Apalagi itu menyangkut perkebunan, dia telah memberi hak penuh pada Burhan. Dirinya hanya terima hasil bersih saja.Harusnya dia menggunakan alasan panti. Mengapa dia baru teringat setelah ketahuan. Disana dia memiliki kamar khusus, bahkan dia bisa menginap disana.Sikap Nana yang terlihat dingin membuat Marwa keluar dari kamar dalam diam. Menutup pintu pelan,
Sama dengan burhan, tubuhnya penuh keringat. Dia harus mandi ulang supaya lebih segar.“Mengapa tidak katakan saja sejujurnya?”“Awalnya emang gitu, tapi Aku pikir nanti sajalah. Sudah kepalang basah, mending nyebur. Sekalian beri kejutan untuk Mama, ulang tahun Mama yang hampir kita lupa.”“Oh, iya. Ide bagus.”“Kita sibuk dirumah sakit, tidak punya waktu memberikan kejutan untuk Mama. Tapi sebelum itu kita harus bicara jujur pada Bella. Aku tidak ingin semakin lama merahasiakan ini. Semakin membuat Bella mengira kita sengaja untuk tidak memberitahukan.”“Tunggu kondisinya membaik, ya. Abang takut nanti berdampak pada kandungannya.”
“Tau gini gak akan repot selama ini,” kekeh Burhan kedua tangannya kini merangkul pundak istri-istrinya.“Kalian juga, setahun lebih kita kenal. Tidak paham juga watak dan sifat Aku,” omel Bella.“Bukan begitu, ini menyangkut tentang orang tuamu. Gimana kami bisa santai,” timpal Nana.“Lain kali jangan seperti ini lagi. Aku telah menjadi bagian dalam rumah tangga kalian. Jangan buat Aku seperti orang asing,” pinta Bella.Urusan Bella tuntas, saat mengatur jadwal untuk membuat kejutan untuk Marwa.Villa milik Nana telah dihias sedemikian rupa. Undangan pun telah disebarkan.Acaranya akan diadakan besok malam. Dan menjadi tugas Bella u
“Udah gadis dia sekarang. Cakep,” ujar Ferdi sepeninggalan Nana dan Amel.“Eh, iya kalian pernah ketemu. Waktu dia lulus SMP. Aku hampir lupa,” sahut Burhan masukan potongan cake dalam mulutnya. “ Pantas dia jutek.”“Lagian kalian ada-ada saja ngenalin dia. Sama Gue yang seumuran sama Abangnya,” papar Ferdi.“Gak masalah. Soal jodoh siapa yang tahu.”“Tapi Gue, ogah punya ipar Lo dan Nana. Baru teman aja udah pusing. Lagiankan gak lucu jika judulnya suamiku setua Abangku,” kekeh Ferdi.Amel si gadis manja dan sangat polos. Tidak bisa menyembunyikan sikap saat tidak menyukai seseorang.Raut muka dan nada bicara
Hati Maya kembali tersayat entah untuk keberapa kalinya.“Tunggu sebentar Nduk,” sahut Mbah Ipeh yang sedang melayani pasiennya dari dalam gubuknya.Tempat Nana terjatuh memang tidak begitu jauh dari tempat tinggal wanita tua itu.Itu sebabnya Maya membawanya kesana. Untuk mendapatkan pertolongan pertama. Sebelum nanti dibawa kerumah sakit yang berjarak cukup jauh dari desa.Maya sudah yang sudah beberapa kali kesana. Tentu sangat hapal jalannya yang masih dipenuhi semak belukar.Ya, wanita itu juga salah satu pasien dukun kampung itu. Yang terkenal mempunyai ilmu hitam yang tinggi.Dalam satu kedipan mata bisa membunuh korbannya. Mereka yang datang kesana pasti mempunyai dendam.“Ini siapa Maya,” tanya Mbah Ipeh keluar menemuinya yang duduk diamben menangku Nana.Sesaat pengguna jasanya pergi dari sana. Dari penampilan bisa ditebak wanita itu merupakan bukan wanita yang baik.“Ini anak tiri saya, Mbah. Itu tadi siapa?” tanya Maya penasaran.“Dia itu yang kerja diwarung dekat kebun it
“Sudah Tante, ayo kita pulang. Jangan buat keributan disini,” bisik Tary yang masih mencekal lengan Maya.“Iya bawa Tantemu, pergi dari sini,” celetuk Bella.“Tunggu dulu Tary, urusanku belum selesai. Burhan harus bertanggung jawab pada apa yang terjadi padamu,” tolak Maya.Burhan melirik kearah Tary, benar dipergelangan tangan kirinya ada luka yang masih diperban.Maya tidak bohong, tapi untuk apa gadis itu melukai diri sendiri. Sebesar apa harapan gadis itu yang dia patahkan.Bella mencubit perut Burhan, saat tahu mata Burhan tidak beralih dari gadis baru datang itu.“Sakit tau,” bisik Burhan menggosok bekas cubitan Bella.“Itu akibatnya tidak bisa menjaga mata,” tekan Bella nada sepelan mungkin.Tary menggunakan seluruh tenaganya untuk membawa Maya pergi dari sana. Maya pun yang hampir terpojok pasrah mengikutinya.Nana berbalik dan merangkul Bi Siti. Pertahanannya roboh seiring perginya Maya dan Tary.“Menangislah luapkan semua kesedihanmu saat ini. Esok kau harus berjanji tidak a
“Maya Cahayadiningrat , saya Nayla Rahmawati binti Abdul Razak. Putri tunggal dari ibu Rahayu. Apa anda mengenali saya. Mama Maya yanby terhormat,” sanggah Nana menggeram.Nana sudah tidak tahan lagi untuk tidak mengangkat suara. Wanita yang dia panggil Mama itu. Semakin mengelunjak tidak berpikir kalimatnya melukai banyak orang.“Nayla Rahmawati, Nanaku sayang Nanaku malang. Kamu mengenali Mama, Nak,” tanya Maya mata mengarah pada wanita yang berusaha tenang.“Apa kurang cukup yang Mama berbuat pada saya dulu, hingga sekarang Mama ingin merampas suami saya.” Nana berdiri mengikis jarak dengan wanita yang dikiranya malaikat.“Baguslah kau sudah tahu, jadi tolong minta suamimu menikahi Tary. Sama yang kau lakukan pada pelakor itu, Mama yakin kalian akan bisa hidup damai. Mama tidak merampas, kau cukup berbagi saja.” Maya menyentuh pipi mulus Nana.“Kembalikan rahim saya,” tekan Nana singkat menepis tangan Maya.“Na, kamu sayang Mama-kan. Bisa kamu mengabulkan permintaan Mama ini,” buju
Tary dari tadi bolak balik dibrankar. Dia SEO diri diruang itu sang Tante sedang mencari makan.“Kita sudah bisa pulangkan, Tante. Aku bosan berada disini,” rutuk Tary saat Maya baru masuk ditangan menenteng kantong plastik. Berisi makanan dan buah yang dibelinya. Pada pedagang yang menjajakan jualannya sekitar rumah sakit.“Harusnya sebelum kau mengiris nadimu. Siapkan mentalmu untuk betah berada disini,” ketus Maya. “Ini makanlah, agar kau punya banyak tenaga untuk menghadapi perceraian orang tuamu.”“Mereka akan berpisah, Tante. Mereka sungguh tidak menganggap keberadaanku,” lirih Tary meraih mangkuk berisi bubur ayam yang sodorkan Maya.“Kamu harus buktikan pada ayah dan ibumu. Kamu bisa sukses tanpa campur tangan mereka,” ungkap Maya membangun semangat dari putri semata wayang kakaknya.“Aku harus membujuk Burhan untuk menyemangati Tary. Tak masalah jika harus memohon asal dia bersedia membantu,” batin Maya.Maya mengatakan pada Tary akan pulang sebentar. Dia harus segera bicara
“Selamat pagi nenek,” sapa Bella mengendong bayinya melintasi dapur.Bayi mungil itu akan berjemur dibawah cahaya matahari pagi.“Eh, cucu nenek sudah wangi,” sahut Bi Siti mendekati Bella.“Yang lain belum bangun, Bi.” Tanya Bella.“Belum, hawa dingin enak buat tidur. Tapi Bibi gak bisa bangun ninggi hari.” Bi Siti mengambil alih baby Zizi.“Aku juga. Makanya kami sudah wangi, Nek.”“Biar Bibi yang jemur cucu sayang ini, Bundanya mamam dulu. Isi bensin yang banyak supaya mik Zizi banyak.” Bi Siti mengecup pipi gembul bayi mungil itu.Bi Siti berjalan kehalaman belakang. Tempat yang lantang terkena sinar matahari.Sedang Bella menikmatinya sarapannya. Yang hambar dilidahnya, seret ditelan.Pikiran tertuju pada Nana, wanita sebaik itu harus mengalami banyak cobaan. Semalam hanya beberapa jam saja dia dapat terlelap.Mandul, kata itu terus mengusiknya. Dia sangat prihatin, andai bisa. Ingin dia donorkan rahimnya untuk Nana.Kakak madunya itu telah memberikan banyak. Namun dia tidak mamp
Nana harus bisa punya anak walau hanya satu orang. Anak itu adalah ahli waris sah atas harta peninggalan mendiang orang tua Kakak madunya ini.Bella sangat paham anaknya tidak ada hak untuk mendapatkan semua ini. Baby Zizi tidak ada hubungan darah dengan sang pemilik harta.“Selain itu dia pesan apa lagi?” tanya Burhan menengahi.“Gak ada hanya itu, dia mengatakan kalau bisa secepatnya. Mengingat umur Nana yang tidak muda lagi. Usia produktifnya tinggal sedikit lagi,” jelas Ferdi.“Menurutmu bagaimana, Dik. Abang rasa sebaiknya kita periksa saja. Kamu mau ya,” ujar Burhan penuh harap.“Aku akan pikirkan lagi, Aku sudah tidak berharap lagi. Toh, sekarang sudah ada Zizi. Dan itu sudah cukup,” timpal Nana berusaha meredam perasaannya.‘MANDUL'Rangkaian lima huruf sangat horor bagi mereka yang dapatkan predikatnya.Tidak terkecuali Nana, nyalinya seketika menciut. Kehadiran anak bagi orang yang telah berumah tangga.Hal yang paling penting, saat bertemu dengan siapa pun yang pertama dita
Maya mulai mengukur dan menghitung. Banyaknya derita hidup yang harus ditanggung Nana. Karna dendam yang tak pernah mendatangkan kepuasan.Maya masih ingin lagi dan lagi menikmati kesengsaraan Nana. Untung untuknya nyatanya juga tidak ada.“Ta-tante.” suara Tary terdengar lemah membuyarkan lamunan Maya.“Kamu sudah sadar,” tanya Maya mengulas senyum.“Aku dimana? Mengapa Tante ada disini. Apa Aku sudah mati.” Tary memindai ruangan ini.“Kamu dirumah sakit. Tadi Tante mendapatkan kamu tergelak dilantai.”“Harusnya Tante biarkan saja Aku mati.” Sudut matanya mengalir cairan bening.“Kalau kau ingin mati jangan dirumahku. Aku tidak ingin disalahkan orang tuamu atas kematianmu,” cecar Maya.“Tidak akan. Mereka saja lupa punya anak. Orang tuaku tidak pernah peduli, Tante,” lirih Tary.“Mereka bukan lupa, hanya sibuk-““Sibuk dengan selingkuhannya masing-masingkan, Tante,” sanggah Tary menghentikan ucapan Maya.“Tary, jangan lakukan hal bodoh. Jangan lukai dirimu sendiri lagi. Tante mohon,”
“Dia diruang kerja. Mau guyur-guyur, nunggu cover boy selesai lama,” sindir Bella menyusui baby Zizi menghadap tembok.“Nak, Mami dan Bundamu jahat. Membiarkan Papi terjebak dengan manusia planet itu,” ucap Burhan yang ingin menyentuh pipi gembul putrinya. Tapi langsung ditepis Nana.“Jangan sentuh anak kita selama masih ada bekas gadis itu. Sana mandi dulu,” sembur Nana.“Iya, sana mandi dulu,” sambung Bella.“Nanti saja, Abang mau tahu ada angin apa gadis itu berani kesini.” Burhan mendaratkan tubuhnya dikarpet. Tulang punggungnya terasa pegal, terlalu lama berdiri.Bella menceritakan semuanya tapi dia tidak serta-merta mengatakan kekesalannya.“Tapi perlu Abang tahu Bundanya Zizi marah sekali, Bang. Dia tidak mau suaminya diambil orang,” ledek Nana.“Siapa yang tidak emosi. Dia dengan yakin mengatakan akan menjadi yang ketiga. Enak saja, gak sudi,” sembur Bella.“Lalu Kakak Nana tercinta apa yang dia lakukan. Oo, Abang tahu, pasti dia diam sambil menahan senyum,” sindir Burhan.“Ko
Botol bekas minumnya dibuangnya asal kelantai. Dia sengaja memancing amarah Nana. Sebatas mana kesabaran wanita yang sangat disanjung Burhan itu.“Lihat tampilanmu yang begitu, lalat saja akan berpikir untuk hinggap.” Bella semakin geram.Bella ingin tahu berasal dari planet mana gadis ini. Tidak ada malu-malunya padahal dia sudah menghinanya.Ini kali pertama seorang Bella yang santun dan lemah lembut bicara kasar. Orang tuanya tak bosan mengingatkannya untuk menjaga nada bicara saat marah sekalipun.“Dalam kamar juga kau melepaskan semua itukan. Kalau tidak, mana bisa bayi itu lahir.” Tary menunjuk pakaian yang dikenakan Bella dan melirik pada baby Zizi berada dalam gendongan Nana.“Kau, cepat pergi dari sini. Atau Aku akan memanggil security menyeretmu keluar,” usir Bella.“Apa hakmu mengusirku, sedang yang punya rumah ini saja tidak terganggu dengan kehadiranku. Dimana-mana memang pelakor itu selalu ingin menguasai,” papar Tary.“Aku nyonya dirumah ini. Dan Aku tidak suka kau mene