Regina Darmawan, teman sejurusan sekaligus teman masa kecil Vinko. Gadis yang cantik, pintar dan selalu menjadi nomor dua setelah Vinko sedari masa sekolah. Kini dia berhasil masuk di jurusan paling unggulan, yang mana dia mau tak mau harus kembali berteman dengan Vinko.
"Aku yakin kamu belum mengerjakan tugas," tebak Regina.Tatapan Vinko masih sedih setelah mendapatkan penolakan ketus dari Rania. Namun meski begitu, nyatanya dia terus berjalan beriringan dengan Regina menuju kelas mereka."Pinjam catatanmu, ya?"Regina memicingkan mata. "Dan harus rela jadi nomor dua lagi? Maaf, tidak bisa!" tolak Regina sigap."Kamu tidak lihat aku sedang patah hati?" Vinko memasang wajah melas ke arah Regina. "Apa kamu tidak kasihan padaku?"Regina mengerjapkan mata. Setelah mengenal Vinko hampir seumur hidupnya, baru kali ini Regina mendengar Vinko membicarakan soal percintaan. Bahkan Regina bisa menjamin, Vinko tidak pernah tampak menjalinRasanya Vinko dan Rania saling pandang hingga keduanya sama-sama tidak berkedip. Ucapan Vinko terasa amat meyakinkan, hingga untuk beberapa saat Rania lupa bahwa dia sedang berhadapan dengan mahasiswanya yang notabene lebih muda. Meskipun posisi Rania hanyalah asisten dosen yang dipilih karena kepintarannya, namun status Rania tetaplah seorang pengajar bagi Vinko."Sebaiknya kamu memikirkan masa depanmu," tandas Rania, memberi kesimpulan. "Aku yakin, kamu akan lupa tentang ini semua, tentangku, setelah kamu sukses nantinya," Ucapan Rania terdengar seperti seorang kakak yang menasehati adiknya.Ada setitik raut kecewa di wajah Vinko, namun dia memilih diam dan tak melakukan pembelaan. Dia cukup sadar, posisinya saat ini tidaklah menguntungkan. Hanya seorang mahasiswa, tanpa pekerjaan dan tanpa uang. Jelas saja Rania tidak bisa mempercayai segala ucapannya."Boleh aku bertanya lagi?" tanya Vinko–setelah lama diam. "Kenapa selalu ada mobil hitam yang mengikut
Karena kondisi sudah mulai tidak kondusif, Rania menyentuh pergelangan tangan Tama untuk diajak pergi dari butik Nita. Namun pria itu tidak peduli. Dia masih berdiri tegap di tempatnya, memandang Nita dengan tatapan menantang. Sementara Nita yang masih syok dengan hujanan perkataan sadis dari Tama, hanya bisa terdiam dengan bola mata bergetar menahan amarah."Mama!" Tiba-tiba suara keras Vinko membuyarkan ketegangan itu.Dia berdiri tepat di tengah pintu butik, dengan mata melotot tak senang saat melihat kehadiran Tama. Kemudian Vinko berjalan sangat cepat, menarik tubuh sang ibu untuk berdiri di belakangnya. "Apa yang kau lakukan disini?" tanya Vinko pada Tama cukup ketus.Tama berlagak tenang. "Aku hanya ingin mengunjungi butik murahan tempat istriku pernah berbelanja,""Sekarang sudah tahu, kan?" sahut Vinko. "Jadi, silahkan pergi dari sini," usirnya tanpa segan."Ayo, Sayang … " bisik Rania, berusaha keras membujuk suaminya
Selain melancarkan aksi licik dengan memasang CCTV di kamar mandi tamu, Rania juga menyiapkan makanan dan minuman khusus yang dapat merangsang keinginan untuk ke kamar kecil. Semuanya sudah berjalan dengan sempurna dan sesuai rencananya."Maafkan aku, Rif. Tapi aku harus melakukan ini agar kamu sadar siapa Tama," gumam Rania pada dirinya sendiri, sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Rania mematut diri agar bisa bersikap senormal mungkin sembari berjalan penuh percaya diri kembali ke ruang tamu rumah besar itu. Disana dia bisa melihat ketiganya sedang mengobrol, dan ketika dia mengamati Tama lebih dalam, tampak jika pria itu sangat tertarik dengan Lea.Rania tersenyum getir. Dia merasa sebagai orang tak normal, karena bisa bahagia melihat suaminya menunjukkan ketertarikan pada wanita lain. Namun demi bertahan hidup dan demi bisa meloloskan diri dari belenggu Tama, Rania akan melakukan apa saja."Maaf sudah lama menunggu," tukas Rania, tersenyum l
Rona muka Rania seketika cerah saat mendengar ucapan Arif. Sebentar lagi dia akan punya sekutu yang mau bekerjasama dengannya dalam menghancurkan Tama. Dan Arif adalah satu-satunya calon sekutu paling potensial menurut Rania, karena Arif adalah orang yang paling dekat dengan Tama. Pasti Arif tahu apapun kelemahan dari tuannya itu."Maaf menunggu lama," tukas Lea, buru-buru duduk di samping Arif. Dia melingkarkan tangannya di lengan pria itu. "Lama ya?" tanyanya penuh sesal.Arif hanya mengangkat bahu. "Pulang sekarang, yuk?""Ayo!" Lea bersemangat menyahut. Tersirat sikap gugup seakan sedang menutupi sesuatu. Dan sebagai sesama wanita, Rania bahkan tahu ada sedikit noda lipstik yang tak beraturan di sudut bibir Lea."Kalian mau pergi?" Tama tiba-tiba datang. Kini dia sudah berganti pakaian dengan yang lebih santai."Kamu kemana saja, Sayang?" tanya Rania berpura-pura sedikit kesal. "Kita semua menunggumu,""Aku ada urus
Tama melompat menjauhi tubuh Rania. Dengan nafas memburu karena dikuasai amarah, Tama menghampiri Arif. Keduanya melempar pandangan pada Rania yang masih duduk di atas ranjang dengan wajah kebingungan."Kemasi semua barangnya," pinta Tama. "Dia akan pergi dari sini mulai malam ini,"Arif sekali lagi menunduk. Kemudian beranjak pergi untuk melaksanakan tugas dari tuannya. Sementara Rania, seketika dia melompat turun dari ranjang sambil berteriak memanggil Arif. Dia ingin menuntut penjelasan, kenapa Arif masih saja berada di sisi Tama setelah segala pengkhianatan itu."Mau kemana?!" seru Tama, menghadang tubuh Rania yang hendak menyusul Arif."Lepaskan aku!" jerit Rania, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Tama yang kelewat kuat.Tama berdecak geram. Dia lalu memaksa Rania untuk saling berhadapan dengannya. Mata Tama melotot tajam, memberi penegasan pada Rania untuk tenang."Apa yang kamu inginkan dari Arif?" tanya Tama curig
"Apa Ayah bilang?" sahut Dewi, sangat terkejut dengan pernyataan Tuan Hadi. "Tapi Vinko bukan … ""Semua tergantung pada Tama," potong Tuan Hadi cepat. "Jika dia memang ingin menguasai seluruh bisnisku, maka dia dan Rania harus segera punya anak," Tuan Hadi menatap lurus ke arah Tama dengan tatapan mengintimidasi.Tama tidak tahu harus memberikan respon seperti apa, karena segalanya berjalan dengan sangat cepat. Apalagi kini dia baru saja mengusir istrinya sendiri, Rania, ke tempat yang sangat jauh dari jangkauan keluarga Hadi."Kemana sih, Rania?" tanya Laura tak sabar. "Biar aku masuk ya!""Berhenti disitu, atau kupatahkan kakimu," cetus Tama dengan suara berat yang berhasil membuat bulu kuduk Laura berdiri.Wanita itu perlahan mundur, lebih dekat di samping ibunya. Nyali Laura langsung menciut mendapat ancaman dari Tama. Meski begitu, baik Tuan Hadi maupun Dewi tidak ada yang menimpali dan menganggap ancaman Tama–pada Laura terdengar biasa saja."Ayah dan Ibu tidak peduli pada apap
"H-hamil?" Satu kata yang hanya muncul dari bibir Rania, sebelum Tama mulai menjalankan tugasnya sebagai suami yang perkasa.Keduanya pun memutuskan untuk tak lagi saling bicara dan mulai tenggelam dalam kenikmatan. Hingga tanpa sadar matahari makin meninggi dan mereka yang semalaman tidak tidur, seketika terkapar di atas ranjang dengan nafas tersengal."Kenapa tiba-tiba kamu ingin aku hamil?" tanya Rania, sembari berbaring di sebelah Tama."Apakah salah?"Rania menggeleng. "Tapi … itu jelas bukan dirimu. Sejak awal menikah, kamu selalu bilang bahwa tidak ingin memiliki anak,"Tama bergerak mendekati Rania. Dia menumpukan salah satu sikunya demi bisa berhadapan dekat dengan wajah Rania."Turuti saja perkataanku dan jangan membantah," tandas Tama dengan suara berat. "Jangan lagi bertanya soal ini,"Pria itu bangkit dari ranjang, berjalan pelan menuju kamar mandi. Sementara Rania masih berbaring dengan sejuta tanya. Meskip
Bola mata Vinko melebar sempurna setelah mendengar pertanyaan mengejutkan itu dari Rania. Dia tidak pernah membayangkan pertanyaan itu akan muncul saat ini. Setidaknya meski dia berharap Rania membalas perasaannya, Vinko tidak pernah ingin secepat ini."Aku hanya bercanda!" celetuk Rania tiba-tiba. Wanita itu tertawa keras, menertawai wajah Vinko yang terlanjur tegang.Vinko masih terbujur kaku dan tak mau ikut tertawa. Dia sudah terlanjur menganggap semuanya serius hingga rela memutar otak demi merencanakan langkah selanjutnya. Tapi diluar dugaan Rania justru sampai hati menertawainya.Vinko menelan ludah demi menahan emosinya. "Bu Rania menertawaiku?" tanyanya dengan suara parau.Rania masih tertawa. Namun saat melihat wajah Vinko yang berubah lebih serius dengan rahang mengeras, mau tak mau Rania harus menghentikan tawanya."Aku tidak mungkin menyuruhmu melakukannya," jawab Rania. "Masa depanmu masih jauh,""Aku tahu Ibu hanya