Ayuda memakai lingerie berwarna hitam di dalam dengan outer berbahan sutra di luar. Ia menyemprotkan parfum ke leher lantas menyibakkan rambut. Ayuda mematut diri di depan cermin, dia terlihat sangat seksi, menggairahkan dan cantik. Dia yakin Jiwa tidak akan mungkin bisa menolak pesonanya.Dengan langkah ringan, Ayuda keluar dari kamar. Ia mencoba mencari tahu apakah Jiwa sudah pulang. Melihat ruang kerja suaminya itu tidak tertutup dengan sempurna, dia pun memilih melangkahkan kaki ke sana.Benar saja, di sana Ayuda melihat Jiwa yang sudah memakai baju rumah sedang berdiri di depan rak buku. Pria itu seperti mencari sesuatu.“Apa kamu tidak lelah bekerja setiap waktu?”Suara Ayuda membuat Jiwa menoleh dan menyembunyikan kegugupan. Mata pria itu seketika mengerjap mendapati sang istri ke dua yang berpenampilan sangat seksi.“Tidurlah! jangan mengganggu orang!” hardik Jiwa.“Bagaimana bisa aku tidak mengganggumu? kamu saja terus menggangguku. Kamu sudah mengacaukan makan siangku dan Ra
Ayuda terbuai, dia menikmati sentuhan Jiwa tapi juga berusaha mempertahankan akal sehat. Ia ingin membuat pria itu kesal, melambungkan birahi Jiwa sampai ke ubun lalu menghempaskannya. Namun, mereka sudah sama-sama terbuai, ciuman Jiwa di pundak dan leher Ayuda dibalas wanita itu dengan desahan halus. Ayuda bahkan merapatkan tubuh dan mengusapkan pipinya ke pipi Jiwa.Sementara Jiwa, entah sejak kapan dia mulai menyukai Ayuda. Tubuh istri ke duanya itu seperti memiliki mantra, bahkan untuk sejenak Jiwa melupakan permusuhan yang selama ini menjadi akar masalahnya dan Ayuda. Pria itu meremas dada Ayuda, menggigit kecil puncaknya dari balik bra.Ayuda pun melenguh, kepalanya mendongak dengan tangan mencengkeram bagian belakang kepala Jiwa. Ia membiarkan saja pria itu membuka pengait branya dan melemparkan kain itu sembarangan. Jiwa membuang penutup dada Ayuda terlalu jauh hingga berakhir teronggok di dekat kaki meja pajangan. Pria itu lepas kendali, tangan kirinya meremas lembut dada k
“Sudah pulang, aku pikir besok pagi.” Jiwa menjawab dengan santai, setelahnya kembali ke ruang kerjanya.Wangi yang merasa diabaikan menyusul ke dalam. Setelah semua skandal dan berita miring yang membuatnya kehilangan beberapa kontrak pekerjaan, kini dia harus dihadapkan dengan sikap Jiwa yang mulai berubah.“Mas, apa yang baru saja Mas lakukan dengan wanita itu?” tanya Wangi dengan muka masam. Nahas, dia yang sudah lelah harus melihat hal yang sangat tidak ingin dia lihat.Jiwa tak menjawab pertanyaan Wangi, pria itu kembali menuju depan rak buku persis seperti apa yang dia lakukan saat Ayuda masuk ke dalam ruang kerjanya. Jiwa memang berniat membaca ulang satu buku tentang bisnis sebelum istri ke duanya datang dan membuatnya horni tadi. Pria itu tak peduli dengan ucapan Wangi, matanya menyisir rak untuk menemukan buku yang dia cari.Wangi pun mendekat, wanita itu melotot kaget melihat bra berwarna hitam teronggok di dekat kaki meja pajangan. Ia sudah bisa menebak dan lantas bertany
Ayuda nampak pergi tanpa sarapan hari itu, dia ingin bergegas menemui seseorang karena memiliki tujuan terselubung. Ia melangkahkan kaki cepat dan hanya menyapa Raga yang begitu gagah mengenakan setelan kerjanya. “Mau ke mana?” “Ada urusan penting,” jawab Ayuda tanpa menoleh. Raga memulas senyum, tapi tak lama dihardik oleh Jiwa yang baru saja turun. “Berhenti perhatian pada istriku!” titah Jiwa, ucapannya itu terdengar oleh Wangi yang berjalan tepat di belakangnya. Layaknya orang yang tengah bermusuhan, semalam Jiwa dan Wangi tidur saling beradu punggung. Wangi tak percaya Jiwa tak mau membujuk atau sekadar meminta maaf padanya. Namun, sebelum turun untuk sarapan, Jiwa berkata Wangi bisa melakukan keinginannya membuat Ayuda mengandung anak mereka. Wangi pun memberikan pelukan mesra dan bahkan mengecup bibir Jiwa, tapi tak dia sangka sang suami akan membuatnya kesal lagi dengan menyebut Ayuda ‘istriku’. Di sisi lain, Ayuda sudah berada di dalam mobil yang dikemudikan Aldi. Ia har
“Pa-papa!”Randy berteriak memanggil nama Bowo yang baru saja membuat kopi di dapur. Remaja itu kaget mendapati Ayuda sudah berdiri di depan teras rumahnya. Baik Randy dan Bowo sudah tahu bahwa Ayuda bukanlah Arra. Mereka adalah dua orang yang sangat jauh berbeda.“Apa sih, teriak-teriak Pa – “Bowo gemetaran, bahkan isi kopi di cangkir yang dipegang hampir tumpah karena melihat Ayuda sudah berdiri dengan senyuman tipis, wanita itu bahkan mengangkat tangan kanannya lalu menyapa.“Pagi, Papa!”Bowo susah payah mendekat ke arah meja pajangan dan meletakkan kopinya. Ia benar-benar takut ke Ayuda. Pria itu berjalan mendekat sambil menunduk.“Ke-ke-kenapa datang ke sini?” Bowo tak mau menatap wajah Ayuda. Hingga Aldi menghardik dan memintanya untuk menegakkan kepala.“Apa aku tidak dipersilahkan untuk duduk?” tanya Ayuda sambil membuat gerakan dengan ekor mata menujuk kursi di ruang tamu.Bowo pun mundur dan mempersilahkan, sedangkan Randy memilih untuk buru-buru pergi karena takut ke soso
Hari itu, Ayuda datang ke rumah Bowo lagi. Bak private khusus yang dia ambil seperti bimbingan belajar, di sana Ayuda diajari bagaimana cara bermain judi kartu oleh Bowo. Apa yang harus dilakukan, berapa yang harus dia pertaruhkan jika kartu di tangannya seperti ini dan itu.“Bukankah seharusnya kamu kaya raya jika selalu menang berjudi? Tapi kenapa kamu melarat dan bahkan rela menjual anak tirimu?”Mulut Ayuda mungkin memang sudah diatur sedemikian rupa jika harus dihadapkan dengan orang yang dibenci. Ketus, galak, merendahkan. Padahal semua itu dia ucapkan dengan intonasi biasa saja.“Tidak tahu, kalau menang rasanya candu ingin menang dan menang lagi, alhasil malah kalah, ya begitulah namanya juga judi, apa kamu pernah lihat penjudi kaya?” sewot Bowo.“Mertuaku, Linda.”“Brrttt …. “ Aldi tak bisa menyembunyikan gelak tawa.“Itu beda,” ucap Bowo menyembunyikan rasa malu karena kalah mendebat Ayuda.Mereka masih terus bermain hingga tiba-tiba Ayuda tersenyum miring, bak pemain judi p
“Anda harus berpihak pada saya, karena jika tidak saya akan melaporkan Anda ke pihak yang berwajib.” Ayuda langsung mengancam. Ia membuat si dokter tak berkutik bahkan untuk sekadar menjawab ucapannya. Wanita itu menoleh Aldi yang langsung meletakkan selembar cek ke meja. “Tulis nominal yang Anda inginkan sebagai bayaran, saya bisa memberi tiga kali lipat dari uang yang dijanjikan Wangi dan suaminya,”tukas Ayuda. “Ganti sel telur Wangi dengan sel telur saya!” “Ma-ma-maksud Anda?” dokter itu gemetaran, apa lagi saat Aldi mengeluarkan sepucuk senjata api dari kantung celana. “Berada di pihak saya, Anda akan mendapat banyak keuntungan. Uang dari Wangi, uang dari saya, dan …. “Ayuda sengaja menjeda lisan, dia minta pistol yang ada di tangan Aldi, lalu memainkannya tepat di depan muka sang dokter. “Nyawa!” Dokter itu membeku, karena terlalu syok dengan apa yang baru dia dengar. Namun, setelah dia pikir apa yang disebutkan oleh Ayuda barusan merupakam pilihan yang baik. “Ja-jadi Anda a
Diam-diam Arra mengirimkan sepatu dan tas sekolah untuk Randy. Gadis itu sengaja membelinya di sebuah market place agar bisa dikirim secara dropship dengan nama palsu. Meski dia sangat membenci Bowo, tapi Randy tetap lah adiknya. Sebisa mungkin Arra ingin membahagiakan meski mereka belum bisa bertatap muka.Arra tersenyum malam itu melihat status produk yang dibelinya sudah diterima sang adik. Ia masih sibuk dengan ponsel saat Yati tiba-tiba mengatakan hal yang membuatnya kurang nyaman.“Dir, kamu tahu istri ke dua suaminya artis itu? si Wangi? Wajahnya sangat mirip denganmu, coba saja kalau kamu melepas jilbab dan kacamata.”Arra tersenyum, dia bukannya tidak tahu tentang gosip yang beredar belakangan ini, tentang suami seorang artis ternama melakukan poligami. Arra jelas menyadari bahwa wajah wanita yang menjadi istri ke dua Jiwa itu sangat mirip dengannya, tapi dia tak memiliki prasangka, masih berpikir bahwa dia dan Ayuda hanya mirip belaka.“Iya mirip, coba nasib kami juga mirip.
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw
Dira masih berada di pelukan Ayuda, meski tak mau membalas pelukan saudaranya, tapi Dira menyandarkan kepala ke pundak ibunda Nala itu. Ia masih tergugu, tak menyangka satu orang datang lagi ke rumahnya dan masuk dengan wajah kebingungan. Aldi menjadi pusat perhatian semua orang, sampai Ayuda melonggarkan pelukan dan Dira memanggil dengan manja nama pria itu.“Mas Al!”“Ra, kenapa kamu menangis?” tanya Aldi bingung, dia hanya diberitahu Affandi akan datang, tapi jika tahu akan membuat calon istrinya menangis, tentu saja Aldi akan melarang. Alih-alih berada di sana tepat waktu, Aldi terjebak lampu merah beberapa kali.“Pak, ini bukan seperti yang Anda janjikan, bukankah ….”Aldi menjeda kata, Dira yang masih sesenggukan mendekat dan memberitahu Aldi kalau Affandi baru saja berkata akan menikahkannya.“Benarkah?” Aldi nampak bahagia. Ia raih tangan Affandi dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali.Meski awalnya kesal, tapi Dira tertawa melihat kelakuan Aldi. Ayuda lega karena yakin Dir
Setelah Jiwa berangkat ke kantor, Ayuda tak langsung pergi ke rumah Dira. Ia malah berdiri di depan lemari baju, bingung memilih pakaian mana yang cocok dia kenakan untuk malam spesial yang Jiwa katakan tadi. Ayuda menekuk bibir ke dalam lalu memajukannya lagi, bunyi decapan lidahnya membuat bik Nini yang baru saja masuk untuk menata baju Nala keheranan.“Non, cari apa?”Ayuda menggeleng, wanita itu sedang berpikir mana mungkin memakai gaun yang sama di depan Jiwa. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki satu pun baju tempur selain piyama satin yang sering dia pakai karena praktis saat menyusui Nala.“Seharusnya aku pergi shopping kemarin,”ucap Ayuda.Bik Nini tentu saja semakin heran, dia sejajari Nonanya itu dan kembali bertanya,”Non cari apa?”“Linger … “ Ayuda keceplosan, matanya melotot menoleh bik Nini dan melempar senyuman canggung.Pembantunya itu pun menarik sudut bibir, tersenyum aneh sambil menaikturunkan alis mata. Bik Nini berhasil membuat Ayuda merasa malu, dia pasti tahu
Sejak pagi, Jiwa terus saja menampakkan wajah riang. Ia memandangi sang istri yang sibuk melakukan tugas merawat putrinya seperti biasa. Jiwa membuat Ayuda salah tingkah setelah semalam wanita itu menjawab pertanyaannya dengan kata ‘ya’.“Apa sudah?”“Berhenti bertanya apa sudah – apa sudah,”amuk Ayuda. Pipinya merona merah karena Jiwa bersikap sangat agresif. “Aku mau bertemu papa dan Dira dulu, kamu cepat bersiap sana untuk pergi bekerja!”Jiwa tak menggubris ucapan Ayuda, dia malah melingkarkan tangan di pinggang wanita itu yang sedang menggendong putrinya.“Jiwa!” bentak Ayuda.“Malam ini aku akan memberi bonus ke Bik Nini untuk menjaga Nala, kita bisa pakai apartemenku untuk melakukan itu.”“Melakukan apa?” Ayuda dengan sengaja menggoyangkan pinggang untuk membuat Jiwa melepaskan tangan. Namun, pria itu terlalu kuat dan membuatnya berakhir pasrah karena Nala ada di pelukannya.“Jangan berpura-pura! aku tahu kamu tidak sepolos itu, bahkan saat tidur kamu sesekali nakal dengan meng