Ayuda dan Dira duduk di teras sambil berpegangan tangan. Mereka diam cukup lama karena bingung harus membicarakan apa, hingga Dira bertanya soal hal buruk yang menimpa Ayuda karena dirinya. "Pria itu dan istrinya, apa dia memperlakukanmu dengan buruk? Aku minta maaf, bukan maksudku membuatmu mengalami kesulitan, aku.... ""Jangan menyalahkan dirimu! Karena aku rasa ada hikmah dibalik kejadian yang menimpaku, seandainya hal itu tidak terjadi, mana mungkin aku tahu memiliki saudara kembar," ucap Ayuda. Meski belum tahu mana kakak dan mana adik di antaranya dan Dira, tapi Ayuda lebih terlihat dewasa dan ingin melindungi. Dira pun mengangguk, tak lama dia kaget karena baru sadar kalau sejak tadi tidak menawarkan minum untuk Ayuda dan Aldi. "Ya ampun bagaimana bisa aku lupa?" Dira berdiri tapi Ayuda lebih dulu menahan tangannya. "Tidak perlu, aku .... "Ayuda menutup mulutnya karena mual lagi, hingga Dira khawatir. Gadis itu cepat-cepat mengantar sang saudari ke kamar mandi. Selama A
"Pak, kita sudah sampai."Sopir mobil rental yang Jiwa sewa membangunkan pria itu dari tidurnya. Jiwa lelah, ini karena semalaman tidak bisa tidur nyenyak ditambah sebuah rencana menyusul lokasi Aldi pagi-pagi buta. Jiwa menegakkan punggung dan mengusap muka. Dia mencoba melihat ke sekeliling dan melihat sebuah van mewah terparkir tak jauh dari mobil yang dia sewa berhenti. Jiwa ragu, bingung harus kemana, sampai dia melihat sosok Aldi berjalan menuju van mewah itu dan membuka pintu tengah untuk mengambil sesuatu. Secepat kilat dia pun turun bahkan berlari mendekat ke arah sekretaris istri keduanya itu. "Al!" panggilnya. Aldi menoleh, tak ada gurat keterkejutan di wajah pria itu melihat suami atasannya sudah berada di depan mata. Dengan santai Aldi menurunkan tas milik Ayuda, setelah itu bertanya ke Jiwa. "Kapan Anda sampai?""Semalam, tapi aku menginap dulu di kota. Di mana Ayuda?" tanya Jiwa tak sabaran. "Mari saya antar," ucap Aldi yang berjalan mendahului. Jiwa bingung, dia
Ayuda tak pernah merasa serapuh ini dalam hidupnya. Dia tak menyangka berakhir jatuh cinta ke pria yang sangat dibenci. Mata wanita itu masih meneteskan buliran kristal bening dengan tangan menunjuk ke arah laut. "Atau aku saja yang mati?" tanyanya sambil melepas alas kaki dan hijab Dira yang terikat di lehernya. "Ayuda, apa kamu lupa pernah bilang akan menjadi istri ke dua yang baik?" Lirih Jiwa. Ayuda kehilangan kata-kata, dia pindai wajah suaminya lalu tergelak ironi. Saat itu jelas dia hanya setengah hati berjanji, tapi kali ini jelas berbeda. Ayuda pun menolehkan pandangan, dia benar-benar melangkah menuju air dan Jiwa pun membelalakkan mata tak percaya. Pria itu mengejar dan menarik tangannya. Jiwa menahan Ayuda dengan cara memeluk erat. Meski Ayuda memberontak minta dilepaskan, tapi dia tetap bergeming. "Ayuda jangan seperti ini!""Ceraikan aku! Aku tidak ingin terus menjadi istri keduamu," ucap Ayuda sambil terus berusaha melepaskan diri."Jangan berkata seperti itu, aku
Raga tak menyangka gadis semuda Sienna bisa melontarkan pertanyaan gila. Ia pun mengancam akan memberitahu orangtua gadis itu. "Aku tak menyangka seseorang yang terhormat seperti papamu memiliki anak model sepertimu."Sienna agak gentar, meski begitu dagunya malah naik ke atas seolah menantang Raga. "Kamu pikir bisa lolos dengan mudah? Saat aku datang dan bicara ke papamu kalau kamu sudah tidur denganku, dia mungkin akan langsung membunuhmu, apa lagi kalau aku bilang kamu sudah tidak perawan, cih!"Sienna geram, dia berpikir Raga hanya om-om gila, tapi ternyata salah. Raga sepertinya bukan pria sembarangan. "Kamu pikir aku bisa disuap dengan uang? Sekretaris papamu sekarang pasti sedang mengadu. Aku bukan orang yang bisa seenaknya kamu suap dengan uang," sinis Raga. Ia memulas smirk dan membuat gadis itu semakin ketakutan. "Apa yang kamu inginkan?" Bantak Sienna. Bahkan saat terpojok pun dia masih bisa galak dan bersikap tak sopan. "Mohon maaf padaku karena sudah bersikap kurang a
"Untuk sekarang, aku sama sekali tidak peduli, aku mau kembali ke tempat Dira," pinta Ayuda yang tak mau berdebat lagi dengan sang suami. Jiwa pun menurut, dia bahkan menawari Ayuda untuk sarapan karena mereka tadi pergi begitu saja dan belum memasukkan apapun ke dalam perut sampai sekarang. "Aku tidak lapar," ucap Ayuda dengan tatapan mata lurus ke depan. "Lalu bagaimana dengan calon anak kita? Dia butuh asupan gizi.""Tidak perlu memperdulikan dia, aku yang mengandungnya. Aku tahu apa yang dia butuhkan."Jiwa tak berani bicara lagi, sepanjang perjalanan kembali mereka hanya terdiam. Bahkan saat tiba, Ayuda lagsung mencari Dira lagi untuk pamit. Aldi yang baru keluar dari kamar mandi pun kaget, dia memandangi Jiwa yang terlihat sangat sedih. Aldi yakin hal yang buruk pasti baru saja terjadi di antara dua mahkluk itu. "Ra, pokoknya kita harus terus berkomunikasi. Aku berencana membeli rumah dalam waktu dekat, jadi aku harap setelah itu kita bisa tinggal bersama."Dira yang awalny
“Ga, bisa bantu aku masuk ke dalam, aku lemas.”Raga jelas tak bisa menolak permintaan Ayuda yang memang terlihat pucat. Penuh perhatian pria itu membaringkan tubuh Ayuda ke ranjang, lantas bertanya apa ada hal yang dibutuhkan wanita itu.“Apa kamu sudah tidak marah padaku?”Ayuda malah bertanya tentang hal lain. Pertanyaan yang membuat Raga bingung harus menjawabnya seperti apa.“Aku tidak marah padamu, siapa yang marah,” jawab Raga dengan bibir maju. Ia pun melirik Ayuda lalu bertanya tentang informasi yang didengarnya dari bik Nini. “Apa kamu sedang hamil? bik Nini bilang kamu minum asam solat.”Ayuda terkekeh, dia merasa Raga sangat lucu karena salah menyebut multivitamin itu. “Asam folat mungkin maksudmu,” ucapnya membetulkan omongan Raga.“Ya … itulah.” Raga membuang muka, berpikir bahwa ternyata selama ini Ayuda memang benar pernah melakukan hubungan suami istri dengan Jiwa.“Apa kamu senang mendengar aku hamil? aku akan memberimu keponakan yang rupawan seperti aku ini.”Ayuda
Linda yang mendengar kabar Ayuda hamil dari bik Nini pun tak sabar untuk segera memberitahu Ramahadi. Dia merasa malam itu suaminya lambat sekali menyantap makan malam. Ingin rasanya Linda menyuapi Ramahadi lalu menariknya ke dalam kamar dan membahas informasi yang baru diketahui. Linda memilih menyelesaikan makannya lebih dulu, dia pamit ke Ramahadi lalu mencari-cari keberadaan dua putranya.Secara kebetulan Linda berpapasan dengan pembantu yang baru saja membersihkan pecahan cangkir di depan kamar Ayuda. "Di mana Jiwa dan Raga?""Tuan muda Raga saya lihat tadi baru saja keluar dari kamar Nona Ayuda, sedangan tuan muda Jiwa dia masuk ke kamar, tapi nyonya... Itu."Linda berdecak sebal, dia tidak suka dengan pembantunya yang bersikap seolah menyembunyikan sesuatu darinya. Wanita itu membentak, "ita itu ita itu, apa? Ngomong kamu yang jelas!""Tuan muda Jiwa kakinya terluka, dia sepertinya menginjak pecahan cangkir, saya tadi membersihkan noda darah di lantai sampai depan kamarnya."
Karena merasa berbicara dengan Jiwa hanya akan menaikkan tekanan darahnya, Linda pun memilih keluar. Ia kembali turun ke bawah untuk mencari suaminya. Linda merasa heran untuk menyantap makan malam saja Ramahadi butuh waktu lama. “Coba kalau lebih lamanya di atas ranjang.” Wanita itu merasa senang saat Ramahadi berjalan ke arahnya. Ia cepat-cepat meraih tangan sang suami lalu mengajaknya ke arah kolam renang. Linda bahkan menutup pintu kaca yang menghubungkan area itu dan rumah. “Ada apa? kenapa kamu bersikap kurang sopan?” tanya Ramahadi mendapati Linda yang sudah berubah seperti emak-emak julid di sinetron yang dibintangi Wangi. “Pa, ada masalah besar!” ucap Linda tanpa basa-basi, dia menangkup pipi lalu menyugar rambut bak benar-benar frustrasi. “Masalah apa?” “Ayuda, dia hamil. Putri Affandi itu hamil, Pa! apa Papa pikir ini bukan masalah besar? dia pasti akan memanfaatkan bayi di perutnya itu untuk membalas kita,” ucap Linda dengan gestute berapi-api. “Belum lagi kalau terny