Sesi perbincangan dibuka setelah Helga selesai menaruh sendoknya, dan hendak minum. Emma memulai obrolan dengan muka lebay andalannya. “Kalian berdua sudah dengar isu terbaru di kampus kita belum?” tanya Emma sesudah menelan ayam gorengnya.
Hujan yang turun kala beberapa mahasiswa berhamburan di kantin, membuat suasana makin teduh dan menyenangkan bagi Galenka Helga. Namun, tidak banyak mahasiswa yang berada di sana. Kondisi kantin tak seramai saat matahari sedang terik-teriknya. Karena lokasi kantin bersebrangan dengan gedung tempat Helga selesai belajar, sudah bisa dipastikan bahwa banyak mahasiswa yang lebih nyaman di kelas atau pun di tempat bersantai yang ada di belakang gedung kampus.
Dengan begitu, Helga dan dua temannya bisa makan tenang tanpa takut diganggu mahasiswa tengil yang belum dewasa. Ketiganya makan siang dengan duduk di satu meja yang sama. Helga dan Nafa satu bangku, sedangkan Emma duduk sendiri berhadap-hadapan dengan Helga.
Nafa yang selalu tertarik dengan berita gosip pun menggeleng. “Memangnya ada gosip apalagi?” balas perempuan itu yang tubuhnya sudah condong ke Emma.
“Pak Hadyan...! Pak Hadyan kepergok ciuman di depan ruangannya sama salah satu seniorku pas jalan di koridor.”
“Ciuman sama kating?!” pekik Nafa dengan mulut yang sudah menganga.
“Bukan, Fa! Ciuman sama perempuan, tapi bukan kating ... sepertinya, ya.”
Nafa lantas cemberut. Dia dengan muka tertekuk meraih jus mangga lalu meremas pegangan gelas. “Siapa yang gak tertarik? Dosen tampan, bentuk otot lengan yang menyegarkan, keturunan bule pula. Mana ada yang nolak?” terang Nafa sehabis minum.
Spontan Emma menunjuk Helga dengan tatapan matanya. Nafa pun menepuk jidat. “Helga tuh, mana mungkin tertarik sama pak Hadyan?” sahut Emma sebelum melanjutkan makannya.
Sementara Helga yang disinggung tetap saja makan tanpa beban. Ia memang tidak tertarik dengan isu-isu tentang dosen di universitas mereka. Terutama isu mengenai dosen mereka yang dicap paling tampan dan gagah, Hadyan. Karena menurut Helga, yang paling penting adalah belajar dan belajar. Gadis itu sama sekali tidak terpengaruh dengan gosip yang tersebar semenjak dirinya menjadi mahasiswa baru hingga kini ia sudah sampai di semester enam.
Nafa menoleh ke kiri, di mana Helga sudah berdiri. “Eh! Kamu mau ke mana, Hel?!”
“Ke kelas.”
“Bahas gosip dulu!”
“Hah! Isu itu tidak mutu!” balas Helga cuek sambil mengantongi dompetnya.
“Panjang umur!” semprot Emma mendelik. Dua temannya pun menoleh di mana mata Emma terarah. “Itu perempuan yang tadi dicium Pak Hadyan,” timpalnya berbisik saat sang dosen berjalan makin dekat ke arah mereka.
Nafa yang tampak terkejut pun kembali menatap Emma dan memuji, “Cantik. Pantas kalau Pak Hadyan suka! Belum lagi body seksinya.” Emma refleks mengangguk setuju.
Helga tanpa basa-basi langsung melanjutkan langkah kaki setelah sepasang matanya tak sengaja bertatapan dengan Hadyan. Kepala Helga menunduk sopan saat akan melewati pria berumur tiga puluh tahun itu.
*
Jarum jam yang rasa-rasanya seperti cepat berputar, sudah menunjukkan pukul delapan malam. Waktu makan malam sudah terlewat satu jam, karena Helga lebih mementingkan tugas kuliahnya ketimbang memasak di dapur. Sang kakek yang menonton televisi pun dipanggilnya agar makan bersama di ruang makan.
Meja dengan empat kursi itu hanya dipakai oleh dua orang saja. Karena tak ingin ada jarak, Helga dan sang kakek makan berhadap-hadapan. “Calon suamimu bernama Gavi,” celetuk sang kakek yang membuat Helga berhenti mengunyah seketika. Lagi-lagi soal pria yang akan dinikahkan dengannya. Helga tak menyukai pembicaraan ini. “Dia sudah setuju.”
Melanjutkan kunyahannya sebelum menelan, Helga menatap sang kakek yang tengah memandangnya. “Kita sedang makan malam, Kek,” balasnya malas. “Bukankah Kakek tidak suka kalau ada orang yang makan sembari bicara?”
“Kakek hanya memberitahumu.”
Makan malam itu pun dilanjutkan tanpa ada dialog. Helga yang merasa terganggu sejak Adi menyebut nama lelaki, buru-buru menyelesaikan makannya. Dia juga segera membawa piring miliknya ke bak pencucian, dan lekas membersihkan kotoran di piring tersebut.
Suara Adi kembali mengusiknya. “Kakek minta maaf karena harus memaksamu menikah di usia muda dengan pria yang juga belum kamu kenal, Helga.”
Gadis itu meletakkan piringnya yang sudah bersih ke rak, dan memutar badannya hingga menghadap Adi. “Kalau Helga tahu dari awal uang kuliah dibantu teman Kakek, Helga tidak mungkin mau kuliah, Kek. Yang Helga sayangkan adalah Kakek tidak bicara dari awal kalau biaya kuliahku ditanggung teman Kakek,” ujarnya kecewa.
“Teman Kakek ingin pernikahan kalian dipercepat.”
Pupil Helga membesar begitu mendengar suara serak sang kakek. “Itu berarti tidak akan dilaksanakan setelah Helga wisuda?” Dengan muka sedih Helga menatap Adi.
“Iya. Persiapan pernikahan sudah delapan puluh persen.”
Mendengar itu air mata Helga tiba-tiba menggenang. “Sekali lagi Kakek minta maaf karena tidak bisa mengulur rencana pernikahanmu,” ucap Adi dengan satu tangan yang terulur ke kepala sang cucu. Tumpah sudah tangis cucunya begitu kedua tangan Adi merangkul. “Percaya pada Kakek, suamimu adalah pria yang bertanggung jawab dan menyayangimu.”
“Bagaimana Kakek bisa tahu? Melihatku saja dia tidak pernah.”
“Kakek sudah pernah mengirim foto-fotomu pada teman Kakek, dan anaknya tidak mungkin setuju menikah denganmu tanpa tahu wajahmu lebih dulu.”
Helga mundur dan kembali menatap Adi sambil menyahut, “Itu tandanya dia hanya menyukai fisikku, Kek. Bagaimana kalau dia tidak sesuai dengan penilaian Kakek setelah kami menikah?”
“Itu tidak mungkin. Kakek sudah mengenalnya sejak dia masih kanak-kanak. Hingga dia dewasa pun Kakek tahu kepribadiannya, Helga.” Adi menghapus air mata yang turun di pipi sang cucu, lalu mengusap rambut hitam panjang itu. “Berjanjilah pada Kakek untuk menjadi istri yang penurut, layanilah suamimu kelak dengan sepenuh hati, dan pertahankan rumah tangga kalian walaupun pernikahan itu didasari dengan perjodohan.”
“Helga belum siap, Kek ...,” lirih Helga yang sudah menangis begitu membayangkan dunia pernikahan.
Ada rasa takut yang begitu besar setelah mengetahui bahwa pernikahannya dipercepat, teramat kilat. Karena baru tiga bulan lalu ia diberitahu sang kakek bahwa dirinya akan dijodohkan dengan anak dari teman sekaligus majikan Adi serta kebenaran bahwa hampir tujuh puluh persen biaya kuliah dibantu oleh Hans Anderson, teman sang kakek tersebut. Lalu sekarang dia harus mendengar lagi bahwa pernikahan mereka dipercepat, membuat Helga ingin kabur saja.
“Tentu saja cucuku mampu menjadi istri yang baik. Helga yang Kakek kenal adalah gadis yang dapat diandalkan.” Adi kembali membawa tubuh Helga ke dalam pelukannya. “Hanya itu tadi pesan Kakek sebelum meninggalkanmu. Kakek tidak ingin cucu Kakek satu-satunya kesepian jika Kakek lebih dulu tiada, dan menyusul kedua orang tuamu,” bisiknya yang membuat air mata Helga tidak bisa berhenti menetes.
*
Bila kemarin Helga mendengar isu bahwa Hadyan tengah berciuman dengan perempuan yang diduga sang kekasih, kini gadis itu harus melihat lengan Hadyan dirangkul oleh perempuan berbeda lagi. Ya, orang itu berbeda dengan perempuan yang diajak ke kantin kemarin saat makan siang. Beberapa mahasiswi yang berada di sekelilingnya pun turut terkejut melihat pemandangan tersebut.
“Ini Pak Hadyan yang terlalu tampan sampai cewek-cewek berdatangan, atau memang Pak Hadyan yang kurang tegas?” tanya Nafa, tentunya tak berani kencang-kencang, karena Hadyan dan perempuan itu makin berjalan ke arahnya dan Helga.
Helga yang sudah berpapasan cuma menunduk sampai pasangan itu melewatinya. Sembari membuang napas panjang, Helga menutup mata lantaran ucapan Nafa cukup membuatnya merasa bosan. Lagi-lagi tentang skandal dosen paling tampan dan gagah di universitas mereka.
“Daripada pusing mikir itu, lebih baik kita fokus sama tugas akhir, belum lagi skripsi. Bulan besok sudah semester tujuh,” cuma itu yang bisa Helga katakan sebelum buru-buru melanjutkan langkah kakinya.
Nafa yang tahu betul bagaimana Helga, membuntuti dari belakang. Namun, tetap saja mulutnya tak bisa berhenti bicara. Ia terus mengatakan bahwa Hadyan dosen yang sebenarnya layak dikagumi, walaupun banyak perempuan yang sudah dianggap sebagai ‘mainan’ pria itu.
“Kemarin aku dapat foto Pak Hadyan di mall, Hel.” Helga hanya bergumam sembari melirik sekilas saat Nafa mulai mengeluarkan ponselnya dari dalam saku kemeja. “Coba, lihatlah!” ujarnya seraya menunjukkan perempuan yang berbeda lagi. Kali ini perempuan yang lebih dewasa, dan sepertinya seumuran dengan Hadyan.
“Mungkin itu istrinya,” jawab Helga enteng.
“Pak Hadyan belum punya istri!” sembur Nafa kesal. “Pak Hadyan pernah bilang kalau target menikahnya masih lama, Hel.”
“Sejak kapan Pak Hadyan bicara masalah pribadi?” kali ini Helga bertanya dengan sedikit tertawa. “Setahuku Pak Hadyan tidak pernah bilang begitu.”
“Dulu, di saat awal-awal kita masuk kampus. Itu juga alasanku kenapa suka sama Pak Hadyan, siapa tahu aku bisa jadi kandidat.”
“Kandidat?”
“Ya, siapa tahu aku jadi salah satu calon istrinya ... mungkin aku masih bisa daftar!” Nafa memekik kegirangan dan diakhiri dengan senyum lebar.
Helga yang malas membahas dosen misterius itu geleng-geleng kepala seraya mengembalikan ponsel Nafa.
"Lihat baik-baik fotonya. Pak Hadyan pakai cincin yang sama persis sama perempuan itu,” ungkap Helga memberitahu. Seketika itu juga Nafa mengecek kembali, dan menahan napas dengan mata membulat.
“Ja-jadi ... jadi dia sudah menikah, Hel? Pak Hadyan su-sudah menikah?!”
“Mungkin saja,” sahut Helga makin mempercepat langkahnya.
Meninggalkan Nafa yang masih menatap foto Hadyan bersama seorang perempuan cantik dengan tampang kaget. Nafa bahkan diam mematung, merasa kaget sekaligus kecewa yang sangat besar setelah melihat cincin berwarna silver melingkar di jari manis sang idola.
“Pasti foto editan!” pekiknya sembari meremas gawai lalu berlari menyusul Helga. “Ini pasti tipuan, Hel!”
Helga yang sudah berjalan jauh di depan tak ingin menoleh lagi. Ia sudah tak sabar ingin ke perpustakaan untuk mengerjakan sebagian tugas akhir yang membuat otaknya harus kembali mengingat semester awal lagi. Namun, belum sampai di dalam perpustakaan, seorang mahasiswa menghalanginya masuk dengan menarik salah satu pergelangan tangannya.
“Kenapa?” tanya Helga heran.
“Kamu dipanggil pak Hadyan di ruangannya.”
“Ada urusan apa pak Hadyan sampai panggil aku ke ruangannya?”
Lelaki itu mengangkat bahu, lalu menepuk-nepuk pundak Helga sebelum berlari dan menjawab, “Jangan lupa aktifkan ponsel untuk jaga-jaga.” Sesudah itu dia menyingkir dari pandangan Helga.
Sedangkan Nafa yang baru sampai, merasa bingung karena Helga justru meninggalkannya lagi tanpa bersuara. Ingin menyusul dan bertanya, tapi dia sendiri kelelahan karena berlari. Alhasil ia memilih ke kantin untuk membeli minuman segar.
Helga yang sudah berdiri di depan pintu ruangan berwarna cokelat itu segera mengetuk. Sampai ketukan ketiga, barulah pintu dibuka dan menampilkan sosok pria berkemeja hitam lengan panjang yang digulung hingga melewati siku. “Silakan duduk,” ujar dosen berhidung mancung dan punya bibir merah pucat itu sembari menunjuk sebuah kursi merah di depan mejanya.
“Mohon maaf, Pak. Jika boleh tahu, ada apa Pak Hadyan memanggil saya?”
“Tugas laporan milikmu masih memiliki beberapa kesalahan.” Hadyan juga mengulurkan laporan yang cukup tebal itu pada Helga. “Harap periksa di bagian pertengahan sampai akhir. Perhatikan pula beberapa kata yang masih kurang atau salah ketikan. Saya tidak suka kesalahan kecil.”
Mendengar itu jelas saja Helga kaget. Ia baru ingat kalau sebelum mengumpulkan laporan itu, dia belum mengeceknya lagi. Jadilah kini harus direvisi, dan tentunya mengulang dari awal. Dengan senyum yang dipaksakan Helga menerima laporannya.
“Baik, Pak. Akan saya revisi secepatnya. Mohon maaf atas kesalahan saya, Pak.” Hadyan mengangguk lalu mempersilakannya keluar. “Terima kasih, Pak. Saya permisi,” pamit Helga seraya berdiri.
Begitu ingin berbalik, ia mendengar handle pintu toilet di ruangan itu seperti dibuka dari dalam. Tak lama, sosok perempuan keluar dengan ekspresi terkejut saat tatapannya tak sengaja bertemu dengan Helga. Helga pun sama, ia juga terkejut melihat perempuan dengan kuncir ekor kuda itu. Saking kagetnya, Helga cuma bisa menyebut namanya, “Emma ...."
“He-Helga?”
“Kalian berdua bisa keluar dari ruangan saya sekarang.”
Helga dan Emma pun sama-sama keluar dari ruangan Hadyan. Begitu sampai di luar, Helga yang penasaran dengan Emma ragu ingin bertanya. Sementara Emma juga tak ada tanda-tanda ingin menjelaskan sesuatu. Mereka berdua hanya diam dengan suasana canggung.
Hingga Helga yang memiliki kepentingan pun bersuara lebih dulu. “Aku harus revisi tugas laporan. Mungkin aku tidak akan ke kantin.” Emma mengangguk saja, dan Helga pun berbelok ke kiri dimana perpustakaannya berada. Akan tetapi, belum lama berjalan Emma memanggilnya. Membuat Helga berhenti dan seketika menoleh. “Ya?”
“Aku enggak ada sesuatu sama pak Hadyan.” Helga cuma tersenyum kecil. “A-aku serius, Hel.”
“Aku tidak peduli itu, Em. Privasi orang bukan ranahku.” Helga lantas melambai dan buru-buru. Ia sampai mempercepat larinya agar dapat cepat juga mengerjakan tugasnya.
Anehnya, ketika sampai di perpustakaan dan mengeluarkan laptop, Helga sulit untuk fokus. Ia justru kepikiran akan Emma yang keluar dari kamar kecil sang dosen dengan muka basah dan tampang terkejut. Dia jadi teringat pula akan tampilan Hadyan yang rambut cokelatnya seperti habis dikeringkan. Meski begitu, Helga dengan kuat menggelengkan kepalanya.
“Tidak! Aku tidak boleh berpikiran buruk! Lagi pula aku tidak berhak ikut campur dengan urusan orang lain,” pekik Helga tertahan sebelum menaruh kepalanya di atas meja dengan mata terpejam kuat.
Beberapa detik kemudian, ia merasa ponsel di saku celana jeans bergetar. Sang kakek mengirim pesan. Seketika itu juga Helga menegakkan kepala serta tubuhnya dengan mulut menganga lebar. Ternyata bukan cuma pesan yang dikirim padanya, tetapi nama lengkap beserta foto calon suaminya.
“Ini adalah Hadyan Gavi Anderson, calon suamimu,” tulis sang kakek tepat di atas foto sang dosen. Pria itu tengah memakai jas, dipotret dari samping. Sudah bisa dipastikan Helga syok bukan main. Tanpa berpikir panjang, Helga mengangkut barang-barangnya dan tujuannya cuma satu, pulang ke rumah.
Betapa terkejutnya Helga begitu turun dari motor ojek online, dilihatnya sosok berumur tengah berbincang dengan sang kakek. Helga bisa menebak bahwa yang berdialog dengan Adi tak lain dan tak bukan adalah calon mertuanya, Hans Anderson. Mengetahui dirinya datang, sang kakek lantas melambai dan menyebut namanya. “Helga! Kemarilah!” titah Adi dan Hans yang memerhatikan ikut melihat ke arah Helga berada. Gadis itu pun makin cepat berjalan menuju teras. “Tuan Hans akan membawamu ke butik, pergilah bersamanya.”Bagai disambar petir, tubuhnya tiba-tiba kaku. Helga bahkan hanya melotot menatap Adi, antara terkejut dan protes karena sungguh dadakan. Ia pikir sang kakek tengah memohon pada Hans untuk mengulur hari pernikahannya, tapi ternyata permintaan calon mertuanya yang tak ingin dia dengar. Hans mengajaknya dengan menunjuk mobil yang terparkir di halaman rumahnya. “Mari, masuk ke mobil, Nak,” ucap Hans. Gadis itu tak langsung setuju, tapi berlari ke arah Adi. “Bukankah ini terlalu cepa
Helga balik badan sambil mengutarakan, “Karena calon suamiku sudah bercerai, aku ingin mereka tidak menunjukkan kemesraan di depan publik.”“Bagaimana bisa?! Kau jangan meminta yang aneh-aneh!” pekik Adi tampak murka. “Ingat, Helga ... selama ini kau dibantu Tuan Hans!”“Aku cuma meminta hakku sebagai calon menantunya. Bukankah itu masih menjadi hakku? Aku tidak mau calon suamiku dicap sebagai pria hidung belang,” terang Helga sebelum dia melewati pintu. “Selagi aku memilih gaun pernikahan, tolong pikirkan syaratku, Tuan Hans.”“Aku tidak bisa menyetujui syaratmu itu. Syaratmu sangat berpengaruh untuk karier mantan menantuku, dan dia tidak akan terima jika skandal perselingkuhannya muncul lagi.”“Lalu untuk apa aku dinikahi?” tanya Helga yang benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran keluarga Anderson itu, tidak ayah, tidak anak, ternyata semuanya sama saja. Terlihat bodoh hanya karena wanita.“Seperti kataku sebelumnya, jika kau keberatan menikah dengan putraku, tolong pikirka
Acara pernikahan Helga dengan sang dosen masih berlanjut, namun kali ini lebih santai. Para kerabat Hans Anderson dan Hadyan Gavi Anderson dipersilakan menikmati hidangan yang ada. Beberapa dari mereka memilih untuk memberi selamat pada dua insan di atas panggung tersebut lebih dulu. Ditemani Ivander, pengantin baru itu menyalami kerabat mereka yang baris untuk memberi restu.Melihat Helga mengulurkan tangan, Ivander turut melakukan hal sama. Helga yang mengetahui itu tersenyum senang, otomatis merasa bahwa dirinya dijadikan panutan. Beberapa tamu yang bersalaman dengannya, membuat senyum tulus Helga terbingkai. Tiba di mana seorang wanita yang pakaiannya tak kalah seksi dengan gaun resepsi pernikahannya saat ini berdiri di depan sang suami.“Selamat untuk pernikahan kalian,” ucap wanita yang tersenyum lebar ke arah Hadyan, lalu memandang Helga. Tangannya terulur pada Hadyan dan menambahkan dengan suara berbisik, “Ingat, Honey ... pernikahan ini tidak boleh terekspos media, karena kit
Mau tidak mau, suka tidak suka, Hadyan menuruti perintah Helga. Perlahan-lahan tangan lelaki itu menjauh dari punggung Helga yang tak tertutupi oleh gaun mewah di tubuh ideal berkulit bersih nan mulus. Hadyan lantas mengalihkan fokusnya pada makanan yang tersedia di atas meja, dan memilih beef steak untuk mengisi perut kosongnya.Waktu yang berlalu di acara resepsi pernikahan Helga dan Hadyan terasa sangat lambat bagi mempelai wanita. Karena pernikahan dua manusia beda usia itu dilanjut dengan beberapa rangkaian acara seperti berdansa dan bernyanyi, warna langit di atas sana makin gelap. Pesta pun digelar hari itu juga, mengakibatkan pasangan yang baru sah itu merasa kelelahan, terutama si pengantin wanita.Rasa ingin cepat-cepat masuk ke kamar tidur tertunda saat rumah mewah terpampang di depan mata. Dari memasuki halaman saja Helga sudah dibuat tercengang dengan rumah Hadyan. Ternyata tempat tinggal Hadyan bersama keluarga kecilnya ini lebih besar dari rumah Hans yang sebelumnya dit
Keesokan pagi harinya, Helga tidak melihat sosok sang dosen yang sudah menjadi suaminya. Di atas kasur berukuran besar, hanya dirinya yang terbaring di sana. Sedikit mengerang kesakitan, Helga berusaha duduk sambil membungkus penuh tubuhnya dengan selimut putih tebal. Perempuan berumur dua puluh satu tahun itu mengingat-ingat kembali kejadian semalam saat punggung bersandar pada kepala ranjang.Beberapa detik kemudian memori akan percintaan yang membuatnya kesakitan itu terputar kembali, juga perdebatannya dengan Hadyan. “Sial! Aku tidak percaya kenapa aku bisa ditaklukkan!” Mengacak-acak rambutnya yang sudah tidak rapi, Helga kecewa pada diri sendiri karena sadar kalau semalam kurang mampu menolak sentuhan Hadyan dan sang dosen sukses unboxing dirinya. “Oke ... semalam aku memang berhasil disentuh, tapi tidak akan ada malam-malam berikutnya!” Ia sungguh-sungguh pada ucapannya.Meringis ngilu, Helga pelan-pelan turun dari tempat tidur. Ia tak menyangka kalau malam pertama yang konon
Helga yang sudah turun dari kursi, menoleh ke arah Ilana. Sambil tersenyum lebar, dia mengangguk. “Ya, aku wajib untuk merasa terbiasa, karena aku tahu kalau kalian berdua sebenarnya pasangan yang serasi. Sama-sama mura—ekhm, aku hampir kelepasan.”Ilana tampak marah, dengan tatapan tajam mengarah pada Helga. Sementara Hadyan masih sibuk sarapan, enggan meributkan hal yang baginya sepele. Helga yang melihat perubahan mimik wajah Ilana jelas merasa berhasil membuat Ilana geram padanya. Mengusap sekilas puncak kepala Ivander, Helga menambahkan, “Tidak jadi, ada anakku yang mendengar, dan aku tidak mau kepolosannya terkontaminasi.” Sesudah itu Helga benar-benar pergi ke dapur untuk membuat minuman dengan sepasang tangan di sisi tubuhnya terkepal kuat.Sesampainya di dapur, Sonya menatap Helga dengan perasaan tak enak hati. Helga melewatinya dan menuju lemari penyimpanan alat makan dan minum. Ia mengambil dua gelas, satu gelas besar untuk Ivander, dan yang sa
“Baguslah kalau diusir, berarti tahu etika kalau bertamu pagi-pagi sangat mengganggu,” lirih Helga sebelum menatap Ivander. Baru ingin menambah roti yang sudah teroles selai cokelat agar menjadi satu rangkap, Helga mendengar suara langkah kaki dari belakang.“Jangan salah sangka, aku tidak pernah mengusir tamuku,” ucap seseorang yang kembali bergabung. Lagi-lagi sanggup membuat kedua perempuan di sana tercengang. Meski begitu, Helga cepat-cepat menormalkan ekspresinya. Sementara Sonya segera meminta maaf karena asal bicara dan membereskan makanan sisa milik Ilana juga Hadyan, lalu pamit ke dapur. Helga yang memerhatikan Ivander, membantu mengelap mulut bocah tiga tahun itu karena kotor. Tanpa mengambil tisu, Helga menyeka cokelat di sudut bibir Ivander menggunakan punggung tangannya. Begitu telaten dan tak lupa untuk menyodorkan susu cokelat pada putra sambungnya.“Ilana terpaksa pergi karena mendadak ada pekerjaan. Jadi, satu minggu ini kau tid
“Entahlah,” jawab Helga seadanya. Masih melirik Nafa, dia bertanya, “Kamu tidak lihat aku sedang sibuk?”“Ya, aku lihat.” Nafa melirik sekilas ke layar laptop, lalu memandangi si pemilik laptop. “Omong-omong, Hel ... kenapa pak Hadyan hanya memberi tugas puisi untukmu? Lagi pula, dua bulan lalu kita sudah mendapat tugas itu.”“Hem. Aku tidak tahu.” “Segala tugas yang berkaitan tentang puisi sudah diselesaikan dari bulan lalu, 'kan? Pasti ada yang tidak beres dengan pak Hadyan.”Helga lagi-lagi membalas sesingkat mungkin. Ia sendiri menebak-nebak kalau apa yang dilakukan Hadyan itu hanya untuk mengerjainya saja. Bagaimana tidak? Dari sekian banyaknya mahasiswa di kelas, hanya dirinya yang diminta untuk membuat puisi. “Memang cari masalah,” batin Helga sambil membuka botol berisi air mineral. Sebelum merevisi laporannya yang kurang sempurna di mata sang dosen playboy, tubuhnya harus terhidrasi.“Tema puisinya romantis ...,” lirih Nafa. Tan
Hari berganti hari, tetap dilalui Hadyan dan Helga dengan waspada meskipun dua minggu ini Hans tinggal bersama mereka. Selama itu pula mereka tidak melihat adanya kejanggalan, bahkan Hans semakin dekat dengan Ivander.Hal itu juga yang membuat Helga berusaha menerima kebaikan Hans lagi, dan mengesampingkan pikiran negatif tentang sang ayah mertua. Seperti sore ini contohnya, saat ia tengah mengajari Ivander berhitung.Hans yang melihat Helga sibuk mengajar cucunya, tiba-tiba saja membawakan potongan buah apel dan mangga dari dapur.Setelah Sonya memotong kedua buah itu dan memasukkannya ke dalam mangkuk besar, Hans bersikeras membawakannya kepada menantu dan sang cucu.“Wah, apa itu?!” seru Ivander yang melihat langkah Hans mendekat ke posisinya dan Helga duduk.Keduanya tengah duduk di atas karpet bulu sambil bersandar pada sofa yang ada di belakang tubuh mereka. Sementara Hans yang berjalan mendekat itu tersenyum lebar melihat antusias Ivand
Seseorang yang diketahui Hadyan dan Helga sebagai sopir pribadi Hans tiba-tiba mengeluarkan koper dari bagasi mobil. Ia menyeret koper hitam tersebut dan berjalan menuju Hans.“Papa menyesal. Papa tidak ingin mengganggu kebahagiaan kalian, tapi Papa ingin tinggal serumah denganmu dan menantu Papa, Gavi.”“Semudah itu Papa menyesal?” Hadyan berdecih. “Aku tidak percaya.”Bagaimana bisa dia percaya akan perubahan sang papa yang tiba-tiba? Dia bukan anak kemarin sore yang mudah dibohongi. Terlebih-lebih Hans telah memintanya pergi dari rumah maupun berhenti bekerja di resto. Semua harta milik Hans wajib dikembalikan atas perintah pria itu sendiri, padahal dirinya adalah anak kandung Hans.“Papa sungguh meminta maaf pada kalian berdua, Helga,” balasnya yang membuat Helga berdeham singkat dan melirik Hadyan. “Papa sadar, kebahagiaan yang sebenarnya adalah melihat orang terdekat Papa bahagia dan menemani Papa sampai akhir hidup Papa,
Helga tidak berhenti menatap kagum pada rumah minimalis pemberian Hadyan. Rumah baru mereka tidak besar maupun megah, tetapi tampak asri di bagian depan. Halaman yang tidak terlalu luas itu bisa dipakai untuk memarkir mobil sekaligus motor besar sang suami. Sisi lain halaman rumahnya terdapat taman kecil yang ditumbuhi bunga melati juga kembang sepatu. Helga pun bisa bersantai di taman itu karena tersedia bangku yang terbuat dari kayu beserta meja bulatnya. Walau tidak besar, tapi entah mengapa Helga bisa bernapas lega dan sangat senang ketika memandang rumah itu.“Tidak ada yang bisa mengganggumu lagi,” lirih Hadyan. Sepasang tangannya melingkar di pinggang Helga. Dengan dagu yang diletakkan ke pundak kiri sang istri, ia lanjut berkata, “Maaf, karena aku terlambat mengajakmu pindah kemari, Baby.”“Kita pindah ke sini hari ini saja sudah membuatku senang,” sahut Helga yang membuat pelukan di pinggangnya mengencang.Ivander yang tengah berkeliling
Kini Helga sudah bisa bernapas lega, selain sidang akhir dan yudisium sudah dilaksanakan, waktu untuk wisuda telah ditentukan. Tahun depan istri muda Hadyan tersebut bisa lulus kuliah dengan gelar sarjana. Berkat hobi membaca ditambah dengan jurusan yang digelutinya, Helga bisa menjadi editor di salah satu perusahaan penerbit buku.Meski sibuk bekerja, Helga tidak pernah lupa menyempatkan waktu untuk Ivander. Ia tetap mengantar Ivander ke sekolah seperti biasa. Di hari libur pun Helga mengajak Ivander dan Hadyan berjalan-jalan.Seperti pagi ini contohnya. Tempat untuk menghabiskan waktu bersama yang dipilihkan Helga kali ini berbeda. Bagaimana tidak, Helga mengajak mereka berkemah selama dua hari satu malam.Di wisata perkemahan, ketiganya sampai dengan selamat dan segera memasuki tenda yang sudah disediakan. “Ivander jangan main dulu dong,” kata Helga saat bocah itu hendak bermain dengan mobil-mobilan. “Tolong bantu Mama menyiapkan sosis dan bakso dulu, y
“Mana mungkin!” balas Helga seraya tertawa pelan sebelum rasa mual itu kembali menyerang. Lalu mengelap mulutnya dengan punggung tangan. “Aku pasti cuma kelelahan.”“Kalau begitu kita ke rumah sakit.”“Gak perlu, Pak Hadyan.” Mendengar panggilan menyebalkan itu, Hadyan mencium kilat bibir Helga.Refleks, Helga memukul lengan Hadyan. “Astaga! Gimana kalau Ivander lihat?!” Sonya yang datang kembali bersama Ivander, memberikan minyak angin untuk Helga. Tidak hanya itu, Sonya juga membawakan sebotol air mineral, dan diterima oleh Hadyan. Pasangan itu pun mengucapkan terima kasih.“Mama oke?”“Ya, Mama Helga oke, Ivander. Kita bisa berangkat sekarang!”“Yes!” pekik bocah itu lalu menunjuk motor. “Boleh naik motor, Papa?”Hadyan tak langsung menjawab, tetapi melirik sang istri. Seolah-olah meminta pendapat Helga lebih dulu. Helga yang mengerti arti tatapannya lantas tersenyum.“Aku sama sekali tidak keberatan kalau ha
Beberapa saat kemudian Ilana pergi dari sana sesudah mendapat jawaban dari Helga. Dirinya menahan kesal, karena Helga sama sekali tidak takut dan cenderung menantang. Hal itu membuat Ilana geram, dan memilih pergi dari rumah Hadyan.Akan tetapi, sebelum itu ia telah menunjukkan foto Hadyan yang sudah bersujud di kaki sang ayah. Bukan hanya itu, Ilana juga memperlihatkan foto Hadyan lainnya yang sudah terluka. Ia sempat mengancam Helga. “Silakan saja laporkan ke pihak berwajib. Lakukan visum kalau memang mau, tapi aku juga tidak tinggal diam,” kata Ilana setelah Helga kaget melihat foto Hadyan yang ada di ponselnya. “Aku bisa melaporkan Gavi mengenai perjanjian yang sudah dia sepakati sebelumnya bersamaku. Ada hitam di atas putih sebelum dia menikahimu,” jelas Ilana yang membuat Helga bertanya-tanya setelah kepergian mantan istri Hadyan itu.Helga tentu saja terkejut mendengar penjelasan Ilana mengenai perjanjian antara ibu kandung Ivander tersebut dengan
“Oleh karena dia anakku, aku ingin dia pergi bersamaku. Papa tidak mungkin menyeretmu, Helga. Papa cuma ingin Hadyan yang pergi berlutut di kaki ayah Ilana. Hanya itu saja, agar bisnis kami diselamatkan, Helga.”“Aku tidak butuh bisnis kita, Pa. Aku sudah cukup dengan pendapatan resto dan gajiku sebagai dosen. Itu semua jauh dari kata cukup,” ujar Hadyan. Helga pun turut bersuara. “Iya, Pa. Papa, coba mengertilah. Harta memang tidak selamanya berada di kehidupan kita, kemewahan bisa hilang kapan saja. Aku dan Hadyan sudah cukup dengan semua yang kami miliki, Pa,” kata wanita muda itu yang memberanikan diri untuk menatap Hans lekat-lekat.“Sudah berapa kali aku tegaskan pada Papa, dan aku mohon ... berhenti meracuniku dengan harta ataupun kemewahan, karena aku tidak ingin kehilangan keluarga kecilku.” “Kenapa Papa jadi begini?” tanya Helga sangat pelan dan menatap Hans dengan tatapan tak percaya.Sungguh, tidak pernah ia kira kalau Hans
Seperti janjinya pada Ivander, Helga membantu putranya itu menggarap pekerjaan rumah. Tentunya bukan Helga yang mengerjakan, tapi cuma mengajari bagaimana caranya menulis angka, menuntun jari Ivander sebentar saja setelah itu membiarkan bocah itu yang menyelesaikan sampai tuntas. Bukan hanya itu, tapi Helga juga menemani Ivander mewarnai dua buah mobil di kertas gambar. Sesekali menyuapi Ivander dengan biskuit dan mendengarkan cerita di sekolah dari mulut mungilnya.“Mama Helga minta maaf, ya, karena sudah lama enggak pernah menemani Ivander.”“Iya, Mama.” Bocah itu mengangguk mantap begitu tatapannya dengan sang mama bertemu. Melihat mata ibu tirinya berkaca-kaca, tanpa ragu Ivander merentangkan tangan lalu memeluk leher Helga. “Terima kasih, Sayang.” Dikecupnya puncak kepala Ivander. Rasa rindu yang masih tersisa itu benar-benar menguap setelah beberapa jam dia menatap Ivander dan berinteraksi dengan putranya itu. Mendengar
Hadyan tertawa pelan. Ia mengelus-elus tangan Helga yang melingkar di perutnya kala lampu merah membuat motornya terhenti. Senang sekali rasanya ketika berhasil menggoda sang istri yang sudah beberapa hari ini tidak pernah dilakukan.“Kita tidak akan bercerai, ‘kan?” tanya Hadyan. Pria itu ingin memastikan bahwa Helga tidak punya niat lagi untuk berpisah darinya. “Aku sudah pernah gagal, jadi aku tidak ingin gagal membangun rumah tangga untuk kedua kalinya.”“Sebenarnya keputusan itu ada di tangan Bapak sendiri. Kalau Pak Hadyan tidak berulah dengan masa lalu atau perempuan di luaran sana, aku tidak akan kabur lagi.”“Aku bukan bapakmu atau dosenmu. Saat ini aku suamimu, Helga.”“Iya, Hadyan.”“Panggil aku dengan nama khusus. Beri aku panggilan sayang, Helga ... apa kamu tidak bisa memberikan panggilan sayang untuk suamimu sendiri?”“Hubungan kita belum sedekat itu.”“Aku sudah bilang kalau aku mencintaimu. Apa itu belum