Helga yang sudah turun dari kursi, menoleh ke arah Ilana. Sambil tersenyum lebar, dia mengangguk. “Ya, aku wajib untuk merasa terbiasa, karena aku tahu kalau kalian berdua sebenarnya pasangan yang serasi. Sama-sama mura—ekhm, aku hampir kelepasan.”
Ilana tampak marah, dengan tatapan tajam mengarah pada Helga. Sementara Hadyan masih sibuk sarapan, enggan meributkan hal yang baginya sepele. Helga yang melihat perubahan mimik wajah Ilana jelas merasa berhasil membuat Ilana geram padanya.Mengusap sekilas puncak kepala Ivander, Helga menambahkan, “Tidak jadi, ada anakku yang mendengar, dan aku tidak mau kepolosannya terkontaminasi.” Sesudah itu Helga benar-benar pergi ke dapur untuk membuat minuman dengan sepasang tangan di sisi tubuhnya terkepal kuat.Sesampainya di dapur, Sonya menatap Helga dengan perasaan tak enak hati. Helga melewatinya dan menuju lemari penyimpanan alat makan dan minum. Ia mengambil dua gelas, satu gelas besar untuk Ivander, dan yang sa“Baguslah kalau diusir, berarti tahu etika kalau bertamu pagi-pagi sangat mengganggu,” lirih Helga sebelum menatap Ivander. Baru ingin menambah roti yang sudah teroles selai cokelat agar menjadi satu rangkap, Helga mendengar suara langkah kaki dari belakang.“Jangan salah sangka, aku tidak pernah mengusir tamuku,” ucap seseorang yang kembali bergabung. Lagi-lagi sanggup membuat kedua perempuan di sana tercengang. Meski begitu, Helga cepat-cepat menormalkan ekspresinya. Sementara Sonya segera meminta maaf karena asal bicara dan membereskan makanan sisa milik Ilana juga Hadyan, lalu pamit ke dapur. Helga yang memerhatikan Ivander, membantu mengelap mulut bocah tiga tahun itu karena kotor. Tanpa mengambil tisu, Helga menyeka cokelat di sudut bibir Ivander menggunakan punggung tangannya. Begitu telaten dan tak lupa untuk menyodorkan susu cokelat pada putra sambungnya.“Ilana terpaksa pergi karena mendadak ada pekerjaan. Jadi, satu minggu ini kau tid
“Entahlah,” jawab Helga seadanya. Masih melirik Nafa, dia bertanya, “Kamu tidak lihat aku sedang sibuk?”“Ya, aku lihat.” Nafa melirik sekilas ke layar laptop, lalu memandangi si pemilik laptop. “Omong-omong, Hel ... kenapa pak Hadyan hanya memberi tugas puisi untukmu? Lagi pula, dua bulan lalu kita sudah mendapat tugas itu.”“Hem. Aku tidak tahu.” “Segala tugas yang berkaitan tentang puisi sudah diselesaikan dari bulan lalu, 'kan? Pasti ada yang tidak beres dengan pak Hadyan.”Helga lagi-lagi membalas sesingkat mungkin. Ia sendiri menebak-nebak kalau apa yang dilakukan Hadyan itu hanya untuk mengerjainya saja. Bagaimana tidak? Dari sekian banyaknya mahasiswa di kelas, hanya dirinya yang diminta untuk membuat puisi. “Memang cari masalah,” batin Helga sambil membuka botol berisi air mineral. Sebelum merevisi laporannya yang kurang sempurna di mata sang dosen playboy, tubuhnya harus terhidrasi.“Tema puisinya romantis ...,” lirih Nafa. Tan
Sore harinya di saat jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih, Helga yang berjalan di tengah-tengah kedua temannya merasa cukup resah. Bukan tanpa alasan, itu terjadi karena pesan dari Hadyan yang meminta dirinya untuk datang ke ruangan sang suami. Ditambah resah lagi saat Nafa mengatakan, “Aku pulang, Hel. Bersiaplah untuk pasang telinga.”“Semoga tugasmu sudah benar di mata kesayanganku,” sahut Emma menambahkan. Kali ini ucapan Emma membuat hatinya merasa sedikit aneh. Ada ketidaksukaan kala mendengar kata ‘kesayangan’ meluncur dari bibir sahabatnya. “Apakah perlu aku temani?”“Kau mau menemaniku menemui Pak Hadyan?”“Mau,” jawab perempuan berkemeja merah itu cepat. “Sangat mau!” Nafa yang mendengar balasan Emma itu menggeleng dan tertawa. “Kamu selalu suka kalau bertemu pak Hadyan.” Nafa melipat tangannya dan menambahkan, “Kalau aku sudah tidak terlalu mengidolakan begitu tahu dia ternyata milik orang.”“Boleh kalau ditawari jadi yang k
Mengarahkan pandangan mata pada istrinya sejenak, lalu menatap tajam Sonya. Hadyan menghembuskan napas sebelum kembali membuka mulut. “Siapkan makan malam,” titahnya. Asisten rumah tangga sekaligus suster Ivander yang sudah keluar dari air dan berdiri di pinggir kolam itu tak menolak. “Pergilah sekarang!”“Baik, Tuan. Maafkan saya karena lancang, Tuan. Saya permisi,” jawab Sonya sebelum hilang dari pandangan Hadyan dan Helga.Helga yang memerhatikan Hadyan sampai mengabaikan Ivander yang sudah menepuk-nepuk kakinya di dalam air. “Ah ... Mama sampai lupa, ini susunya.” Tangan kanan menyodorkan gelas, sedangkan tangan lainnya memegangi tangan Ivander karena bocah itu berpegangan padanya.Hadyan yang sedari tadi mengamati pasangannya, menarik sudut bibir ke atas. Membebaskan kancing satu-persatu, melepas kemeja abu-abu itu dari tubuh gagahnya yang cukup memanggil mata Helga. Terbukti, Helga hampir membuka mulut saat melihat perut berpetak
Tanpa bersuara, Helga meninggalkan sang suami yang pikirannya sering tidak jernih. Daripada meladeni dan ikut tercemar, Helga memilih cepat-cepat menjauh. Terlebih-lebih dia juga harus membersihkan badan, takut jika Hadyan memiliki rencana gila saat mereka masuk kamar bersamaan.Ternyata tebakan Helga sungguh tepat tak meleset, suaminya berlari menyusul dari belakang. Demi tidak satu kamar mandi bersama Hadyan, Helga mengabaikan rasa sakit di bagian bawah perutnya. Ia melewati tangga dengan lari lebih kencang. Sampai lebih dulu di kamar, Helga langsung masuk kamar mandi dan menguncinya cepat-cepat. "Kau tahu jika aku ingin mandi bersamamu?!" teriak Hadyan dari luar yang tak disahuti. "Aku tunggu nanti malam," lanjutnya yang berada di walk in closet, berdiri di balik pintu penengah kamar mandi dan ruangan itu."Kau, Hadyan! Benar-benar!" Helga menggeram karena kesal, sekaligus dibuat merinding setelah mendengar kalimat terakhir sang suami playboy
“Aku tidak tahu.”Baik Helga maupun Hans terbengong mendengar jawaban Hadyan. Tak disangka oleh keduanya bahwa seorang Hadyan memberi jawaban yang tidak pasti atau ragu-ragu. Baru kali ini Hans mendengar pengakuan bodoh putranya, dan Helga sama terkejutnya karena menerima jawaban aneh dari sang dosen.Tangan Helga terulur ke arah gelas berisi air mineral. “Aku pikir kau dosen terbaik di kampus, ternya kebalikannya ...,” lirih perempuan itu yang sama sekali enggan melirik. Helga memilih untuk menarik singkat sudut bibir, hingga membentuk sebuah senyum ejekan.“Kau? Tidak tahu?” Kepala Hadyan terangguk-angguk. “Aku tidak pernah percaya ilmu hitam, tapi mendengar jawabanmu ... sepertinya kau sedang diguna-guna,” sambung Hans yang sontak membuat Helga tersedak oleh camilan.Helga sampai terbatuk-batuk dan membungkuk. Sampai dibantu oleh sang suami yang memukul pelan punggungnya. Hadyan juga meminta, “Bangun!” Tangan lelaki itu juga menarik Helga agar
"Tidak!" sembur Helga mengelak. Hadyan memainkan jari-jari di perut istri mudanya. Dua jarinya berjalan naik-turun di sekitar perut sambil menyunggingkan senyum. "Jika tidak takut, maka seharusnya ... kau siap menyerahkan hakku saat ini juga." Helga menelan ludahnya saat jemari Hadyan yang semula berada di luar gaun tidur abu-abunya, kini merangkak masuk. Menyentuh kulit perut rata Helga, lelaki itu berbisik, "Buktikan bahwa kau tidak akan mencintaiku lebih dulu, walaupun kita melakukan hubungan suami-istri ...." Membuat kuping wanita muda itu kegelian sekaligus merasa panas."Kenapa kau terus yang memberi tantangan? Enak sekali!" Helga dengan berani menahan jari suaminya yang sudah merayap semakin jauh ke perut bagian teratas. "Sudah dipaksa jadi istri yang disembunyikan, sekarang aku harus berbakti sebagai istri penurut untuk dijadikan tempat pelampiasan nafsumu?!" Disingkirkannya tangan Hadyan dari dalam baju tidurnya. "Tahan saja!"
“Jadi aku mengganggumu, ya?”Helga sengaja tak kabur, ia memilih untuk tetap tenang. Dirinya tahu kalau semisal melarikan diri sekarang, Hadyan pasti senang dan mengira bahwa dia cemburu. Untuk itu Helga memilih bertahan di samping Hadyan sembari mendengarkan perbincangan mereka.“Tidak terlalu mengganggu, hanya saja aku belum sarapan.”“Ya sudah, beberapa jam lagi hubungi aku, Honey! Aku ingin menunjukkan gaun tidur terbaru dan lebih seksi dari yang aku tunjukkan kemarin,” jelas Ilana yang kali ini mampu membuat telinga dan hati Helga merasa panas. Detik itu juga Hadyan menatap istrinya yang tampak menahan marah.“Ya.”“Atau kamu mau aku menunjukkannya sekarang, Honey?” Hadyan belum menjawab, ia ingin melihat reaksi Helga lebih dulu, karena istrinya itu masih tak bersuara walaupun mukanya lebih terkejut dari sebelumnya. “Kita ubah jadi panggilan video saja, Hadyan?”Pertanyaan kedua Ilana itulah yang membuat Helga tak tahan untu
Hari berganti hari, tetap dilalui Hadyan dan Helga dengan waspada meskipun dua minggu ini Hans tinggal bersama mereka. Selama itu pula mereka tidak melihat adanya kejanggalan, bahkan Hans semakin dekat dengan Ivander.Hal itu juga yang membuat Helga berusaha menerima kebaikan Hans lagi, dan mengesampingkan pikiran negatif tentang sang ayah mertua. Seperti sore ini contohnya, saat ia tengah mengajari Ivander berhitung.Hans yang melihat Helga sibuk mengajar cucunya, tiba-tiba saja membawakan potongan buah apel dan mangga dari dapur.Setelah Sonya memotong kedua buah itu dan memasukkannya ke dalam mangkuk besar, Hans bersikeras membawakannya kepada menantu dan sang cucu.“Wah, apa itu?!” seru Ivander yang melihat langkah Hans mendekat ke posisinya dan Helga duduk.Keduanya tengah duduk di atas karpet bulu sambil bersandar pada sofa yang ada di belakang tubuh mereka. Sementara Hans yang berjalan mendekat itu tersenyum lebar melihat antusias Ivand
Seseorang yang diketahui Hadyan dan Helga sebagai sopir pribadi Hans tiba-tiba mengeluarkan koper dari bagasi mobil. Ia menyeret koper hitam tersebut dan berjalan menuju Hans.“Papa menyesal. Papa tidak ingin mengganggu kebahagiaan kalian, tapi Papa ingin tinggal serumah denganmu dan menantu Papa, Gavi.”“Semudah itu Papa menyesal?” Hadyan berdecih. “Aku tidak percaya.”Bagaimana bisa dia percaya akan perubahan sang papa yang tiba-tiba? Dia bukan anak kemarin sore yang mudah dibohongi. Terlebih-lebih Hans telah memintanya pergi dari rumah maupun berhenti bekerja di resto. Semua harta milik Hans wajib dikembalikan atas perintah pria itu sendiri, padahal dirinya adalah anak kandung Hans.“Papa sungguh meminta maaf pada kalian berdua, Helga,” balasnya yang membuat Helga berdeham singkat dan melirik Hadyan. “Papa sadar, kebahagiaan yang sebenarnya adalah melihat orang terdekat Papa bahagia dan menemani Papa sampai akhir hidup Papa,
Helga tidak berhenti menatap kagum pada rumah minimalis pemberian Hadyan. Rumah baru mereka tidak besar maupun megah, tetapi tampak asri di bagian depan. Halaman yang tidak terlalu luas itu bisa dipakai untuk memarkir mobil sekaligus motor besar sang suami. Sisi lain halaman rumahnya terdapat taman kecil yang ditumbuhi bunga melati juga kembang sepatu. Helga pun bisa bersantai di taman itu karena tersedia bangku yang terbuat dari kayu beserta meja bulatnya. Walau tidak besar, tapi entah mengapa Helga bisa bernapas lega dan sangat senang ketika memandang rumah itu.“Tidak ada yang bisa mengganggumu lagi,” lirih Hadyan. Sepasang tangannya melingkar di pinggang Helga. Dengan dagu yang diletakkan ke pundak kiri sang istri, ia lanjut berkata, “Maaf, karena aku terlambat mengajakmu pindah kemari, Baby.”“Kita pindah ke sini hari ini saja sudah membuatku senang,” sahut Helga yang membuat pelukan di pinggangnya mengencang.Ivander yang tengah berkeliling
Kini Helga sudah bisa bernapas lega, selain sidang akhir dan yudisium sudah dilaksanakan, waktu untuk wisuda telah ditentukan. Tahun depan istri muda Hadyan tersebut bisa lulus kuliah dengan gelar sarjana. Berkat hobi membaca ditambah dengan jurusan yang digelutinya, Helga bisa menjadi editor di salah satu perusahaan penerbit buku.Meski sibuk bekerja, Helga tidak pernah lupa menyempatkan waktu untuk Ivander. Ia tetap mengantar Ivander ke sekolah seperti biasa. Di hari libur pun Helga mengajak Ivander dan Hadyan berjalan-jalan.Seperti pagi ini contohnya. Tempat untuk menghabiskan waktu bersama yang dipilihkan Helga kali ini berbeda. Bagaimana tidak, Helga mengajak mereka berkemah selama dua hari satu malam.Di wisata perkemahan, ketiganya sampai dengan selamat dan segera memasuki tenda yang sudah disediakan. “Ivander jangan main dulu dong,” kata Helga saat bocah itu hendak bermain dengan mobil-mobilan. “Tolong bantu Mama menyiapkan sosis dan bakso dulu, y
“Mana mungkin!” balas Helga seraya tertawa pelan sebelum rasa mual itu kembali menyerang. Lalu mengelap mulutnya dengan punggung tangan. “Aku pasti cuma kelelahan.”“Kalau begitu kita ke rumah sakit.”“Gak perlu, Pak Hadyan.” Mendengar panggilan menyebalkan itu, Hadyan mencium kilat bibir Helga.Refleks, Helga memukul lengan Hadyan. “Astaga! Gimana kalau Ivander lihat?!” Sonya yang datang kembali bersama Ivander, memberikan minyak angin untuk Helga. Tidak hanya itu, Sonya juga membawakan sebotol air mineral, dan diterima oleh Hadyan. Pasangan itu pun mengucapkan terima kasih.“Mama oke?”“Ya, Mama Helga oke, Ivander. Kita bisa berangkat sekarang!”“Yes!” pekik bocah itu lalu menunjuk motor. “Boleh naik motor, Papa?”Hadyan tak langsung menjawab, tetapi melirik sang istri. Seolah-olah meminta pendapat Helga lebih dulu. Helga yang mengerti arti tatapannya lantas tersenyum.“Aku sama sekali tidak keberatan kalau ha
Beberapa saat kemudian Ilana pergi dari sana sesudah mendapat jawaban dari Helga. Dirinya menahan kesal, karena Helga sama sekali tidak takut dan cenderung menantang. Hal itu membuat Ilana geram, dan memilih pergi dari rumah Hadyan.Akan tetapi, sebelum itu ia telah menunjukkan foto Hadyan yang sudah bersujud di kaki sang ayah. Bukan hanya itu, Ilana juga memperlihatkan foto Hadyan lainnya yang sudah terluka. Ia sempat mengancam Helga. “Silakan saja laporkan ke pihak berwajib. Lakukan visum kalau memang mau, tapi aku juga tidak tinggal diam,” kata Ilana setelah Helga kaget melihat foto Hadyan yang ada di ponselnya. “Aku bisa melaporkan Gavi mengenai perjanjian yang sudah dia sepakati sebelumnya bersamaku. Ada hitam di atas putih sebelum dia menikahimu,” jelas Ilana yang membuat Helga bertanya-tanya setelah kepergian mantan istri Hadyan itu.Helga tentu saja terkejut mendengar penjelasan Ilana mengenai perjanjian antara ibu kandung Ivander tersebut dengan
“Oleh karena dia anakku, aku ingin dia pergi bersamaku. Papa tidak mungkin menyeretmu, Helga. Papa cuma ingin Hadyan yang pergi berlutut di kaki ayah Ilana. Hanya itu saja, agar bisnis kami diselamatkan, Helga.”“Aku tidak butuh bisnis kita, Pa. Aku sudah cukup dengan pendapatan resto dan gajiku sebagai dosen. Itu semua jauh dari kata cukup,” ujar Hadyan. Helga pun turut bersuara. “Iya, Pa. Papa, coba mengertilah. Harta memang tidak selamanya berada di kehidupan kita, kemewahan bisa hilang kapan saja. Aku dan Hadyan sudah cukup dengan semua yang kami miliki, Pa,” kata wanita muda itu yang memberanikan diri untuk menatap Hans lekat-lekat.“Sudah berapa kali aku tegaskan pada Papa, dan aku mohon ... berhenti meracuniku dengan harta ataupun kemewahan, karena aku tidak ingin kehilangan keluarga kecilku.” “Kenapa Papa jadi begini?” tanya Helga sangat pelan dan menatap Hans dengan tatapan tak percaya.Sungguh, tidak pernah ia kira kalau Hans
Seperti janjinya pada Ivander, Helga membantu putranya itu menggarap pekerjaan rumah. Tentunya bukan Helga yang mengerjakan, tapi cuma mengajari bagaimana caranya menulis angka, menuntun jari Ivander sebentar saja setelah itu membiarkan bocah itu yang menyelesaikan sampai tuntas. Bukan hanya itu, tapi Helga juga menemani Ivander mewarnai dua buah mobil di kertas gambar. Sesekali menyuapi Ivander dengan biskuit dan mendengarkan cerita di sekolah dari mulut mungilnya.“Mama Helga minta maaf, ya, karena sudah lama enggak pernah menemani Ivander.”“Iya, Mama.” Bocah itu mengangguk mantap begitu tatapannya dengan sang mama bertemu. Melihat mata ibu tirinya berkaca-kaca, tanpa ragu Ivander merentangkan tangan lalu memeluk leher Helga. “Terima kasih, Sayang.” Dikecupnya puncak kepala Ivander. Rasa rindu yang masih tersisa itu benar-benar menguap setelah beberapa jam dia menatap Ivander dan berinteraksi dengan putranya itu. Mendengar
Hadyan tertawa pelan. Ia mengelus-elus tangan Helga yang melingkar di perutnya kala lampu merah membuat motornya terhenti. Senang sekali rasanya ketika berhasil menggoda sang istri yang sudah beberapa hari ini tidak pernah dilakukan.“Kita tidak akan bercerai, ‘kan?” tanya Hadyan. Pria itu ingin memastikan bahwa Helga tidak punya niat lagi untuk berpisah darinya. “Aku sudah pernah gagal, jadi aku tidak ingin gagal membangun rumah tangga untuk kedua kalinya.”“Sebenarnya keputusan itu ada di tangan Bapak sendiri. Kalau Pak Hadyan tidak berulah dengan masa lalu atau perempuan di luaran sana, aku tidak akan kabur lagi.”“Aku bukan bapakmu atau dosenmu. Saat ini aku suamimu, Helga.”“Iya, Hadyan.”“Panggil aku dengan nama khusus. Beri aku panggilan sayang, Helga ... apa kamu tidak bisa memberikan panggilan sayang untuk suamimu sendiri?”“Hubungan kita belum sedekat itu.”“Aku sudah bilang kalau aku mencintaimu. Apa itu belum