Tiga hari kemudian, Alex mengantarkan Reina untuk melakukan pemeriksaan di rumah sakit. Kondisi janinnya sehat, walaupun Reina tampak tersiksa dengan mual-mual yang dideranya. Mereka keluar dari ruang pemeriksaan. Setelah menunggu proses administrasi dan penebusan obat, keduanya memutuskan untuk makan siang di salah satu restoran milik Alex. "Mas Alex nggak kerja?" tanya Reina, menyejajari langkah sang suami menuju tempat parkir rumah sakit."Ke restoran juga termasuk kerja, Reina. Biasanya, Mas selalu di kantor dan menyuruh Yohan untuk memeriksa semua cabang yang ada." Alex mengulum bibirnya sendiri setelah menyebutkan nama tersebut. Reina terdiam. Pemakaman Yohan dilaksanakan malam saat kejadian itu pula. Dikarenakan kondisi Reina yang dihinggapi syok akibat penculikan dan meninggalnya Yohan, gadis itu mendapat keringanan untuk tak menghadirinya. Hanya Alex dan Tara yang mengamati prosesi pemakaman Yohan.Mengingat Tara, entah mengapa Reina tak mau bertemu secara langsung dengan s
Alex sedang memindai laporan dari pengganti Yohan. Napasnya berangsur tenang saat hasil yang didapat tidak buruk-buruk amat. Meninggalnya Yohan mengundang gumaman tiada henti dari orang-orang di kantor. Sebab alasan di balik meninggalnya laki-laki itu telah disebarkan oleh Susan secara licik melalui grup obrolan kantor yang diam-diam dikelolanya. Reina. Istrinya itu menjadi bahan pembicaraan baru-baru ini. Dalam konteks yang tak diharapkan Alex, namun dia tak bisa berhenti memikirkan mengapa Yohan memilih jalan menyedihkan itu sebagai pengorbanan terakhir terhadap Reina.Seperti yang Tara bicarakan saat berada di pemakaman; Yohan mati untuk Reina. Mulai dari tempat, serta memberi waktu bagi Alex untuk datang dan melihat pada malam kejadian, Yohan memang sudah pasti memilih jalan itu."Aku merasa bersalah udah bilang ini, Om Alex. Tapi dia memang sengaja mau mengguncang mentalnya Om Alex dan Reina, di tengah-tengah kebahagiaan yang akan kalian dapatkan mengenai berita kehamilan Reina.
Tepat tengah malam, Reina keluar dari kamar. Tungkainya bergerak menuju dapur, mencari kotak yang dikirim oleh Susan siang tadi. Diam-diam dia menyuruh Bi Ijah untuk menyembunyikan kotak tersebut lantaran isinya belum selesai dilihat. Yah, Reina mengakui dirinya cukup bodoh. Untuk apa pula melihat sesuatu yang akan menyakiti hatinya lagi.Menguatkan diri, Reina menarik napas rakus. Butuh dari sekadar keberanian untuk melihat isi kotak tersebut lebih lanjut. Kedua tangan Reina terulur untuk membuka penutupnya, namun suara pintu menutup serta derap langkah yang terdengar, membuatnya refleks mendorong kotak itu ke sudut lain di bawah pencucian."Reina? Mas cariin kamu, ternyata kamu ada di sini. Kenapa? Mau muntah lagi?" Alex menghampiri sang istri, memijit tengkuk Reina tanpa diminta. Mengingat wajah Reina masih pucat pasi, wajar jika Alex berpikir demikian."Lapar, Mas. Mau makan, tapi Mas yang masak. Mau?"Alex mengecup bibir Reina sebelum mengangguk. "Pastinya mau, Sayang. Mas nggak
Kini, tiap melihat Alex, ingatan mengenai selembar perjanjian yang dikirim Susan turut membayangi tanpa permisi. Seperti sekarang, Reina tak bisa tersenyum ringan. Hatinya terselip satu kejanggalan dalam detik perlakuan hangat yang Alex layangkan padanya.Rumah tangga mereka benar-benar baru berjalan selama tiga bulan. Alex menyodorkan selembar perjanjian itu pada Delia setelah tiga bulan pernikahan keduanya berlangsung. Reina memejamkan mata, kembali menimbang keputusannya untuk memercayai tipu muslihat yang Susan lontarkan atau tidak.Bukankah dia percaya pada Alex? Kenapa pula dia harus terusik dengan selembar perjanjian lama yang datang dari tangan Susan hanya untuk mengganggu rumah tangganya lagi?"Reina?"Si pemilik nama tersentak, ketahuan melamun di saat Alex sudah berada di sampingnya dengan sepiring buah-buahan. Reina mengulum senyum. Diambilkan seiris apel, mengunyahnya perlahan-lahan dengan kekalutan yang merajai pikiran tanpa ampun.Alex mengernyit, drama Korea yang diper
Malam berikutnya, Alex dan Reina berencana untuk bertemu dengan Susan dan meluruskan segalanya. Saat Alex menghubungi Susan, wanita itu senang sekali. Bahkan langsung melakukan perjalanan dari kota sebelah pada malam sebelumnya dan rela menginap di salah satu hotel.Berlokasikan di salah satu restoran milik Alex yang dekat dengan alun-alun kota, Alex menyadari kecemasan yang mendera Reina sejak pertama kali tiba. Sepertinya, istrinya itu takut apabila Susan melakukan hal-hal di luar nalar lagi. Maka dari itu, genggaman keduanya tak terlepas barang sedetik. Mereka berjanji untuk bertemu pukul tujuh malam. Tetapi kurang dari lima belas menit, Susan telah menampakkan dirinya. Saking semangat dan percaya dirinya, Susan menebar senyum manisnya dan hendak menghadiahi Alex kecupan, tapi keburu dicegah oleh Reina.Susan mencebikkan bibirnya. Ingin sekali melempar Reina ke mana saja, yang penting jangan mengganggu pertemuannya dengan Alex sekarang ini. Sebetulnya wanita itu kecewa lantaran Al
Sesaat, seluruhnya terpaku untuk membuka suara. Pertanyaan yang berhasil melarikan satu kenyataan mengejutkan itu membuat Susan menitihkan air mata yang tak dapat dibendung. Reina mengulum bibir bawahnya, merasakan kesedihan yang teramat sangat dari wanita yang kini tampak begitu rapuh itu.Genggaman Nora mengendur. Mencerna pertanyaan yang dilayangkan Susan dengan reaksi lain. Dilihatnya perut rata Susan, lantas memberanikan diri untuk mengelusnya penuh kelembutan."Kamu hamil, Susan?"Tangis Susan makin luruh. Wanita itu mengangguk, tak kuasa mengangkat kepalanya untuk melihat salah satu di antara tiga orang yang berada di depannya. Dia sangat malu. "Kenapa kamu harus mencari ayahnya, Susan? Memangnya, apa kalian tidak saling berkomunikasi?" tanya Nora penasaran. Sementara itu, Alex dan Reina melempar pandang. Sepertinya mereka mengetahui siapa ayah dari benih yang bersarang pada rahim Susan. Susan mengangguk pelan. "Aku tau, Tante. Tapi, ayahnya sudah meninggal sebelum aku menget
"Mas, pijitin dong!"Reina mengerucutkan bibirnya, membangunkan Alex tepat tengah malam. Seharian ini, Reina merasa lebih cepat lelah dan beberapa bagian tubuhnya terasa pegal. Alex terbangun, mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali sebelum menjalankan perintah dari istri manjanya itu. Walaupun mengantuk, Alex takkan mau menolak perintah dari Reina."Mas ngantuk ya?" Reina bertanya polos. "Mas capek ya? Ya udah tidur lagi aja nggak apa-apa.""Ha?" Alex memdelik bingung. Baru saja beberapa pijitan, tetapi istrinya itu meminta untuk disudahi. "Nggak pegal? Katanya minta dipijitin, ya sini, biar Mas pijitin.""Enggak ah, aku pengin yang lain." Reina menampakkan cengiran lebarnya. Mendadak, Alex mempunyai firasat jika istrinya itu akan meminta sesuatu yang cukup ajaib. "Ma-mau minta apa?"Reina melirik jam dinding terlebih dahulu, lantas berdiri dengan semangat tinggi. "Ayo jalan-jalan, Mas!""Malam-malam begini?""Iya! Mas nggak mau?" Mata Reina langsung berkaca-kaca. "Yang minta ana
Sejak menumpahkan semua kekhawatirannya pada Tara hari itu, Reina tidak mempunyai ketakutan lainnya. Memang bayangan mengenai Yohan yang mengakhiri hidup di depannya masih terekam jelas dalam ingatan, tetapi Reina memutuskan untuk menyudahi semua kepahitan itu dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat.Perutnya mulai membuncit, walau tidak banyak. Justru terlihat seperti orang yang baru saja makan banyak. Meski begitu, Reina bersikeras untuk mengukur lingkar perutnya setiap hari. Dia akan mengabadikan proses sekecil apa pun terjadi pada tubuhnya hingga sang buah hati lahir.Sebagai suami siaga, Alex tidak ragu untuk menuruti semua permintaan Reina. Mulai dari mengendarai mobil-mobilan yang biasa dipakai oleh anak kecil, sampai naik kuda tetapi kudanya jalan di tempat—untuk yang satu ini, Alex kepayahan untuk membujuk si pemilik istal supaya mau memegangi kudanya.Sementara itu, ada pasangan tikus-kucing berupa Noah dan Tara yang menaiki kuda seperti syuting video klip. Melihat hal ter
Empat tahun setelah kelahiran Nayra, Alex dan Reina mendapatkan kabar bahwa mereka sedang mengandung anak kedua. Alex yang sudah dilanda bahagia, kian senang saat mendapati istri manjanya itu akan memberikan anak lagi.Ah, tapi tidak juga. Sekarang Reina sudah tak semanja dulu. Sejak melahirkan Nayra, rasanya Reina menjadi sosok lain yang mampu menghangatkan hati orang hanya dengan melihatnya saja. Ibu. Ya—Reina telah berubah menjadi seorang ibu yang secara perlahan meningkatkan kepedulian serta tanggungjawabnya untuk merawat dan membesarkan bayi mungil mereka.Pada beberapa kesempatan, Alex terpana. Dia seperti menikahi sosok Reina yang berbeda dari yang sebelumnya. Sebab Reina yang dilihatnya setiap hari jelas berbeda dari Reina yang biasa bergelayut manja padanya. Sempat pada beberapa malam, Alex mendapati istrinya itu menangis usai menidurkan Nayra. Detik itu, Alex mencari apa saja yang dialami seorang ibu ketika baru melahirkan. Ternyata, ada yang dinamakan baby blues. Pada satu
Pagi hari yang damai, Reina sedang merajut di teras rumahnya. Alex telah pergi ke kantor setengah jam yang lalu, maka Reina memanfaatkan waktu tersebut untuk meningkatkan keahlian merajutnya sebelum berkontak dengan Felia dari rumah konveksi.Kehamilannya telah memasuki minggu ke-8. Belakangan Reina jadi susah bergerak, lebih mudah kelelahan. Maka dari itu, Reina memutuskan untuk duduk kalem sembari merajut sesuatu yang bisa mendistraksi pikirannya dari hal-hal buruk.Melupakan ponselnya yang tertinggal di kamar, Reina beranjak untuk meminta Alex memberikan benang rajut yang baru. Kalau tidak diingatkan sekarang, atau paling tidak menyisipkan pesan, suaminya itu akan lupa. Kesibukan yang melanda perusahaan turunan dari sang papa sedang kelewat sibuk. Bahkan sudah dua minggu ini, Alex pulang larut malam."Di mana ya?" Reina mengedar pandang sesampainya di kamar. Terakhir kali, dia menyembunyikan ponsel di salah satu laci nakas samping tempat tidur, sebab tak mau diganggu saat sedang be
Kejutan yang dipersiapkan Alex bukan hanya yang Reina alami seharian ini saja. Melainkan, suaminya itu tengah menyodorkan layar ponselnya yang memperlihatkan pembayaran dua buah tiket penerbangan ke Singapura. Reina menganga sehingga Alex harus menutup mulut istrinya itu secara perlahan. "Mas? Tadinya aku yang mau kasih kejutan, tapi malah Mas yang kasih kejutan dulu ke aku." Reina memindai tiap kata yang tertera pada layar ponsel sang suami. "Kok mendadak sih, Mas?"Alex mengendikkan bahu. Walaupun tidak bisa fokus lantaran penampilan Reina saat ini terlalu menggoda, dia berusaha untuk menjawab. "Benar kata Ibu, Reina. Ada benarnya kalau kita berbulan madu selagi perut kamu belum terlalu besar. Sebenarnya Mas nggak masalah, kalau kamu mau berbulan madu saat menginjak trimester ketiga. Cuma takutnya Mas yang merasa nyaman dengan bulan madu itu, tapi enggak buat kamu."Reina mengelus perutnya yang berada di balik balutan gaun malam tipis—omong-omong, dia baru membelinya sore ini denga
Reina tidak pernah ingat jika suaminya itu memiliki spasi tanpa atap pada ruangan khusus yang dimiliki di lantai dua. Ciuman keduanya yang berada di tangga harus terputus, sebab Tara melihat dari kejauhan dan berseru akan melemparkan piring kalau tidak mencari ruang terlebih dulu untuk melakukannya."Mas?" Reina berhenti melangkah. "Ini semua, Mas yang mempersiapkannya?"Alex mengendikkan bahu. "Enggak tau ya? Memangnya Mas bisa mempersiapkan semua ini di sela kesibukan yang menyerang Mas di kantor?"Reina mencebikkan bibirnya. Seingatnya, ruangan terbuka ini tak pernah ada. Ditilik dari cat kayu yang melapisi sebuah set meja bundar dan sepasang kursi pada tengah bagian, semuanya terlihat baru saja selesai dibangun. Begitu juga dengan sofa panjang berwarna cokelat yang terendus aroma barang baru saat Reina melewatinya."Ah satu lagi," Alex mendekat, lalu meletakkan kedua tangannya pada pinggang Reina. "Apa kamu tau seberapa cemasnya Mas selama beberapa hari ini, Sayang? Mas nggak bisa
"Maaf, Reina."Reina memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya. Terkesan tidak sopan bila dia mengalihkan pandang selagi Gilang mengatakan sesuatu dengan bersungguh-sungguh. Belum selesai, Gilang melanjutkan kalimat yang berasal dari hati paling dalam."Seperti yang kamu lihat, aku juga menjadi bagian dari rencana yang diperbuat oleh Pak Alex dan dua sahabatmu itu."Tadinya Reina mau mengumpat, bahwa dua sahabatnya itu turut menjadi tim perencanaan. Namun dia urung, sebab masih berada dalam atmosfer lain yang Gilang ciptakan. Dan entah mengapa, dia merasakan satu titik kelegaan yang mengisi selubung di antaranya dan Gilang. Reina tak merasa terancam seperti dulu lagi. Situasi sudah berbeda, sehingga Reina tak perlu tertekan."Maaf karena sudah membuat kamu kesal belakangan ini, Reina. Hanya itu satu-satunya cara, supaya aku juga bisa melihat betapa besar kesungguhan yang kamu punya atas cinta suami kamu." Ucap Gilang. "Yah, tapi asal kamu tau, sebagian besar yang aku ucapkan itu
Reina mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Barangkali saja salah mendengar, Reina menajamkan pendengaran, memastikan bahwa suara yang baru didengarnya merupakan khayalan belaka. Satu menit tak tersiar suara apa pun, Reina mengembuskan napas perlahan."Ternyata memang cuma khayalanku aja," wanita itu tersenyum kecut, seraya mengelus perutnya. "Pasti gara-gara semalam kurang tidur.""Apa? Kamu kurang tidur?"Reina terlonjak. Suara itu kembali menyapa telinga, namun kini dia berbalik, menghadap seseorang yang berdiri tepat di belakang sofa. Untuk beberapa saat, Reina tak bisa memercayai penglihatannya. Dunia seakan berhenti berputar, membuat Reina kepayahan untuk berkata-kata, sedangkan kedua matanya mulai memburam dengan sendirinya.Seseorang yang berdiri di belakang sofa lantas bergerak pelan, menghampiri Reina yang mematung dengan penuh kelegaan. Dalam satu tarikan napas, Alex memeluk Reina—sangat erat. Reina bergeming. Belum mampu mencerna segalanya dengan cepat, lantaran dia merasa ba
Serangkaian malam yang tak mudah untuk dilewati lagi. Gambaran mengenai Evelynn yang berusaha menggoda Alex dalam balutan lingerie merah menyala terus menghantui bagaikan kaset rusak. Reina melirik jam dinding. Terbangun pukul tiga dini hari, padahal dia baru memejamkan mata satu jam sebelumnya. Mungkin lingkar matanya sudah seperti panda. Reina tidak mau bercermin kalau begini caranya."Jam delapan ...."Reina bergumam pelan sembari mengingat jadwal penerbangan yang akan Alex dan Evelynn lakukan. Masih tersisa lima jam. Wanita itu terheran-heran, adakah cara agar dua manusia tersebut membatalkan perjalanan udara mereka nanti?Tangannya yang semula hendak meraih ponsel, berubah haluan jadi menutup mulutnya yang menguap lebar-lebar. Tidak ada pilihan. Dia harus tertidur lagi barang sebentar. Demi kebaikan pikiran serta bayinya yang kelelahan di dalam perut, Reina harus mengistirahatkan diri.Reina membaringkan tubuh, tetapi sudut matanya menangkap hasil rajutan yang berada di atas meja
Makan siang kali itu benar-benar menjatuhkan suasana hati Reina hingga ke dasar bumi sekaligus. Tetap saja, meski pada mulanya Alex sudah berbaik hati untuk mengajaknya makan bersama, pada akhirnya yang tampak menikmati sesi tersebut ialah Alex dan Evelynn. Keduanya berbicara seakan tidak ada hari esok. Bahkan yang membuat Reina ingin membanting piring, ketika suaminya menanyakan apa saja yang disukai oleh model cantik itu, begitu juga sebaliknya.Reina yang semula kelaparan, jadi tidak terlalu berminat untuk melahap bebek penyet yang menggugah selera itu. Terutama dengan sejumput pemandangan menyebalkan yang tersaji di hadapannya, Reina hanya mampu melahap sekadarnya demi sang anak yang berada di dalam perutnya.Saat Alex dan Evelynn telah menandaskan makanan masing-masing, keduanya langsung beranjak dan pamit begitu cepat. Reina menganga, tak membayangkan bahwa dia baru saja ditinggal—walaupun yang membayar tetap Alex. Rasanya luar biasa menjengkelkan. Bahkan Alex enggan menanyakan
"Egois?"Gilang memiringkan kepala, sedangkan wanita hamil di depannya itu mengangguk penuh kepastian. Selama beberapa detik, keduanya tak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Hanya deru napas masing-masing yang bersahutan seolah melempar amarah melalui udara di sekitar mereka.Reina hendak menyuruh laki-laki itu untuk menyingkir, lantaran tak perlu membicarakan hal lain lagi. Akan tetapi, Gilang malah mendecih disertai seutas senyum yang mengundang kernyitan pada dahi Reina. "Oke!"Lagi-lagi, Reina dibuat tak paham. Bertanya pun sudah terlalu malas, jadi dia membiarkan Gilang bertingkah semau laki-laki itu saja. Terlebih, dia ingin sekali keluar untuk mencari udara segar."Sepertinya semua sudah jelas." Gilang manggut-manggut tanpa diketahui apa penyebabnya. "Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Reina? Rasanya lega sekali setelah tau keadaan kamu baik-baik saja. Dan ... perasaanmu masih baik-baik saja."Reina memicingkan mata. "Perasaanku baik-baik saja? Apa maksudnya?"Gilang menggelen