Reina kesulitan fokus barang sedetik. Saat Pak Pram menghubunginya terkait urusan di rumah konveksi, Reina hanya mampu terbengong dan tak sanggup menyamai penjelasan pria itu.Pak Pram memutuskan untuk menyudahi sambungan telepon di antara mereka begitu menyadari Reina berada dalam kondisi yang tidak cukup baik. Reina menurunkan ponselnya, sempat meminta maaf lantaran tak bisa berlaku profesional. Menyandarkan punggung pada sandaran sofa, diliriknya sang suami yang sibuk bercengkerama dengan Yohan di meja kerja.Reina menggigit bibir bawahnya, kembali merutuki diri sendiri yang bisanya hanya ketakutan dan berlindung di balik Alex. Lagi-lagi, dunia sedang memperlihatkan betapa lemah dirinya. Baru saja mengalami malam yang hebat bersama sang suami, kini dia harus mengusut kotak misterius yang berhasil mengganggu pikirannya seharian ini.Yohan telah mendatangi bekas kantor yang dulunya dipimpin oleh Gustav. Gedung bertingkat lima yang senantiasa menjadi kebanggaan Andre malah didiami ole
Berita meninggalnya Andre yang disebabkan oleh suatu kecelakaan pun tersiar ke telinga Alex. Laki-laki itu mendesah pelan, menaruh iba atas apa yang terjadi terhadap keluarga Andre, sekaligus diri pemuda itu sendiri. Memang mereka yang memulai semuanya, menewaskan Hindrawan beserta sang istri dari kejauhan demi mendapatkan warisan besar yang akan jatuh ke tangan Reina. Akan tetapi, mereka masih bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik.Alex berbalik, memutus sambungan telepon dari ajudan yang mengabarinya. Dia kembali memasuki restoran yang menjadi destinasi makan siang bersama sang istri. Tidak hanya berdua, Rendi dan Tara datang selepas mendapat pesan dari Reina mengenai kotak misterius yang datang lagi. Sebagai sahabat, dua manusia itu patut diapresiasi.Kedatangan Alex mengundang tanda tanya dari sang istri. "Kenapa, Mas? Udah dapat info, siapa yang ngirim kotak itu?"Alex menggeleng pelan. "Belum, tapi Mas punya berita buruk." Ditatapnya ketiga manusia yang mengitarinya denga
Alex menikmati sarapan dengan sekelumit pikiran. Dia baru saja merasakan perubahan aneh pada istri manjanya yang jadi lebih berani, tidak seperti kemarin. Yah, sejujurnya dia menyukai betapa agresifnya Reina sekarang, berbeda dari sebelumnya yang masih malu-malu kucing saat akan bercinta. Hanya saja, terdapat arti lain dari tatapan yang sering gadis itu layangkan.Dipandanginya Reina yang melahap sarapan sambil melamun ria. Bukan yang pertama kalinya Alex memergoki sang istri berlaku demikian, justru sudah berkali-kali. Alex tak pernah menegur Reina, sebab bisa saja lamunan tersebut hanyalah lamunan tak berarti yang kerap menyambangi seseorang.Akan tetapi, lamunan tersebut bukan sekadar diiringi dengan tatapan kosong. Terdapat maksud di baliknya, dalam artian tengah memikirkan sesuatu yang mampu menyita seluruh fokus Reina pada detik itu juga. "Reina?""Eh?" Reina tergagap. Menarik napas sebentar, lantas kembali menyuguhkan senyum manis yang tampak palsu di mata Alex. "Kamu kenapa?
Hidup tidak berjalan seperti yang telah direncanakan. Alex pikir, setelah Reina selesai dengan urusan hatinya terhadap Andre, rumah tangganya akan adem ayem. Sayangnya, dia melupakan satu hal bahwa Reina merupakan putri satu-satunya dari keluarga Hindrawan. Keluarga yang sukses merintis usahanya hingga benar-benar berjaya. Kemungkinan mendapatkan musuh pun tidak bisa ditepis, begitu juga dengan seseorang yang menaruh hati pada sosok Reina—entah itu demi warisan atau memang terobsesi.Menurut pandangannya, siapapun yang telah membayar si pengendara motor misterius untuk mrncelakai Andre, tampaknya orang itu mempunyai andil dalam kegelisahan yang menyerang Reina belakangan ini. Parahnya lagi, bagaimana bisa orang itu memasuki kantornya dan mendapatkam fotonya dengan Susan?"Lho, bagaimana bisa jadi seperti itu, Pak?" tanya Yohan cemas. "Bukankah tidak ada yang bisa melewati absensi sebelum menuju lift ya?""Saya curiga, mungkin saja orang itu lewat pintu belakang yang biasa digunakan ol
Reina menggigit bibir bawahnya seraya mencengkeram selimut yang menyelubungi sang suami. Bukan malam seperti ini yang dinantikannya. Dia berharap suaminya itu akan tersenyum senang setelah melihat kejutan yang dibuatnya. Tetapi dirinya malah mendapati sang suami pulang diantar wanita lain, dalam keadaan setengah sadar.Seseorang mengetuk pintu kamar, menyadarkan Reina untuk membukanya. Berdirilah Nora dengan tatapan cemas yang tiada berakhir. "Alex belum sadar, Nak?"Reina menggeleng pelan. "Belum, Bu. Ibu mau masuk?""Tidak usah, Ibu cuma bertanya karena khawatir lihat dia pulang sama Susan. Duh! Apa pula yang dilakukan wanita itu sama Alex? Nak! Apa pun yang terjadi, jangan marah dulu ya? Tanya dulu yang sebenarnya sama Alex, mungkin Susan sedang melancarkan tipu muslihatnya. Kamu pasti tau kalau Susan itu masih ngejar-ngejar Alex. Jadi tolong sabar dulu ya, Reina Sayang? Apalagi dalam keadaan seperti ini."Reina meraih tangan Nora yang menyentuh perut ratanya. "Terima kasih, Bu. Te
Reina sedang meninjau model pakaian baru yang akan diluncurkan dalam kurun waktu dua pekan lagi. Selagi meminta bantuan Nora, diperlihatkan beberapa perpaduan warna yang cocok.Saat itu, Nora membuatkan segelas jus jambu untuknya. "Astaga, Ibu! Nggak perlu repot-repot begini, kan bisa minta tolong sama Bi Ijah.""Tidak apa-apa, Nak. Kalau di rumah, jarang-jarang Ibu bisa bergerak kayak sekarang. Ibu terlalu banyak nonton TV. Apalagi, sekarang Ibu lagi senang-senangnya karena tau menantu kesayangan Ibu ini hamil."Reina mengulum senyum. Sejujurnya, dia sendiri pun senang akan kenyataan yang satu itu. Sebentar lagi, dirinya akan menjadi seorang ibu. Tetapi mengingat betapa kekanakan sifatnya, Reina kerap mempertanyakan diri sendiri.Semua perempuan bisa mengandung dan melahirkan, tetapi tidak semua perempuan bisa menjadi seorang ibu yang sebenarnya. Kalimat itu terus bergaung, menghantui pikirannya yang tak kunjung usai perihal kemampuannya dalam berumahtangga.Mungkin, jika Susan yang
"Video itu tidak benar, Reina."Keheningan menyelimuti disertai kecamuk perasaan yang merajalela. Reina berusaha untuk tetap tenang, mengamati iris hitam milik Alex yang selama ini merupakan titik fokus kesukaannya. Kemantapan nada bicara suaminya tak perlu diragukan. Tetapi—"Reina, apakah kamu tidak memercayai Mas?"Yah, bagaimana bisa Reina masih terpaku pada kebohongan yang bisa saja diperbuat oleh Susan hanya demi menghancurkan rumah tangganya? Katanya mau menjadi istri yang baik, tetapi untuk memercayai suaminya saja masih harus berpikir dua kali.Reina mengulum bibirnya yang tertekuk ke bawah. Alex menatapnya penuh arti, seakan meminta kepercayaan yang dengan bodohnya masih Reina kekang terhadap suami sempurnanya itu."Maaf, Mas. Maaf karena aku meragukan Mas Alex. Tapi jujur, aku kaget banget, Mas. Pas lihat video itu, aku jadi nggak bisa berpikir jernih. Mobil, baju, Mbak Susan, semua yang ada di dalam video itu bikin pikiranku kacau." Reina menutup wajahnya menggunakan kedua
"Apa?! Kamu nggak bisa seenaknya pecat aku kayak gini dong, Lex!" Susan melempar map berisikan laporan yang hendak diberikan kepada Alex, ketika laki-laki itu menggaungkan sebuah pemecatan atas dirinya. "Apa pernah kerjaanku berantakan? Nggak pernah kan? Kamu jangan bawa-bawa masalah pribadi ke kantor dong, Alex!"Alex berdecih, tak memahami, bagaimana bisa Susan melontarkan ucapan tersebut yang sebenarnya lebih cocok ditujukan pada diri wanita itu sendiri. Selama ini yang selalu menempatkan urusan pribadi, bahkan di kantor sekalipun ialah Susan. Wanita itu melupakan formalitasnya melebihi dulu, bahkan gencar mendatangi Alex di sela pekerjaannya."Kamu yang memulai, Susan. Tidakkah kamu sadar bahwa selama ini kamu selalu melewati batas? Sekarang saya memutuskan untuk menyudahi kamu agar tidak mengganggu pekerjaan dan rumah tangga saya lagi, Susan. Tapi tenang saja, saya tidak sepenuhnya memecat kamu. Hanya pindah ke kantor cabang yang ada di kota sebelah. Saya masih sedikit berbaik ha
Empat tahun setelah kelahiran Nayra, Alex dan Reina mendapatkan kabar bahwa mereka sedang mengandung anak kedua. Alex yang sudah dilanda bahagia, kian senang saat mendapati istri manjanya itu akan memberikan anak lagi.Ah, tapi tidak juga. Sekarang Reina sudah tak semanja dulu. Sejak melahirkan Nayra, rasanya Reina menjadi sosok lain yang mampu menghangatkan hati orang hanya dengan melihatnya saja. Ibu. Ya—Reina telah berubah menjadi seorang ibu yang secara perlahan meningkatkan kepedulian serta tanggungjawabnya untuk merawat dan membesarkan bayi mungil mereka.Pada beberapa kesempatan, Alex terpana. Dia seperti menikahi sosok Reina yang berbeda dari yang sebelumnya. Sebab Reina yang dilihatnya setiap hari jelas berbeda dari Reina yang biasa bergelayut manja padanya. Sempat pada beberapa malam, Alex mendapati istrinya itu menangis usai menidurkan Nayra. Detik itu, Alex mencari apa saja yang dialami seorang ibu ketika baru melahirkan. Ternyata, ada yang dinamakan baby blues. Pada satu
Pagi hari yang damai, Reina sedang merajut di teras rumahnya. Alex telah pergi ke kantor setengah jam yang lalu, maka Reina memanfaatkan waktu tersebut untuk meningkatkan keahlian merajutnya sebelum berkontak dengan Felia dari rumah konveksi.Kehamilannya telah memasuki minggu ke-8. Belakangan Reina jadi susah bergerak, lebih mudah kelelahan. Maka dari itu, Reina memutuskan untuk duduk kalem sembari merajut sesuatu yang bisa mendistraksi pikirannya dari hal-hal buruk.Melupakan ponselnya yang tertinggal di kamar, Reina beranjak untuk meminta Alex memberikan benang rajut yang baru. Kalau tidak diingatkan sekarang, atau paling tidak menyisipkan pesan, suaminya itu akan lupa. Kesibukan yang melanda perusahaan turunan dari sang papa sedang kelewat sibuk. Bahkan sudah dua minggu ini, Alex pulang larut malam."Di mana ya?" Reina mengedar pandang sesampainya di kamar. Terakhir kali, dia menyembunyikan ponsel di salah satu laci nakas samping tempat tidur, sebab tak mau diganggu saat sedang be
Kejutan yang dipersiapkan Alex bukan hanya yang Reina alami seharian ini saja. Melainkan, suaminya itu tengah menyodorkan layar ponselnya yang memperlihatkan pembayaran dua buah tiket penerbangan ke Singapura. Reina menganga sehingga Alex harus menutup mulut istrinya itu secara perlahan. "Mas? Tadinya aku yang mau kasih kejutan, tapi malah Mas yang kasih kejutan dulu ke aku." Reina memindai tiap kata yang tertera pada layar ponsel sang suami. "Kok mendadak sih, Mas?"Alex mengendikkan bahu. Walaupun tidak bisa fokus lantaran penampilan Reina saat ini terlalu menggoda, dia berusaha untuk menjawab. "Benar kata Ibu, Reina. Ada benarnya kalau kita berbulan madu selagi perut kamu belum terlalu besar. Sebenarnya Mas nggak masalah, kalau kamu mau berbulan madu saat menginjak trimester ketiga. Cuma takutnya Mas yang merasa nyaman dengan bulan madu itu, tapi enggak buat kamu."Reina mengelus perutnya yang berada di balik balutan gaun malam tipis—omong-omong, dia baru membelinya sore ini denga
Reina tidak pernah ingat jika suaminya itu memiliki spasi tanpa atap pada ruangan khusus yang dimiliki di lantai dua. Ciuman keduanya yang berada di tangga harus terputus, sebab Tara melihat dari kejauhan dan berseru akan melemparkan piring kalau tidak mencari ruang terlebih dulu untuk melakukannya."Mas?" Reina berhenti melangkah. "Ini semua, Mas yang mempersiapkannya?"Alex mengendikkan bahu. "Enggak tau ya? Memangnya Mas bisa mempersiapkan semua ini di sela kesibukan yang menyerang Mas di kantor?"Reina mencebikkan bibirnya. Seingatnya, ruangan terbuka ini tak pernah ada. Ditilik dari cat kayu yang melapisi sebuah set meja bundar dan sepasang kursi pada tengah bagian, semuanya terlihat baru saja selesai dibangun. Begitu juga dengan sofa panjang berwarna cokelat yang terendus aroma barang baru saat Reina melewatinya."Ah satu lagi," Alex mendekat, lalu meletakkan kedua tangannya pada pinggang Reina. "Apa kamu tau seberapa cemasnya Mas selama beberapa hari ini, Sayang? Mas nggak bisa
"Maaf, Reina."Reina memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya. Terkesan tidak sopan bila dia mengalihkan pandang selagi Gilang mengatakan sesuatu dengan bersungguh-sungguh. Belum selesai, Gilang melanjutkan kalimat yang berasal dari hati paling dalam."Seperti yang kamu lihat, aku juga menjadi bagian dari rencana yang diperbuat oleh Pak Alex dan dua sahabatmu itu."Tadinya Reina mau mengumpat, bahwa dua sahabatnya itu turut menjadi tim perencanaan. Namun dia urung, sebab masih berada dalam atmosfer lain yang Gilang ciptakan. Dan entah mengapa, dia merasakan satu titik kelegaan yang mengisi selubung di antaranya dan Gilang. Reina tak merasa terancam seperti dulu lagi. Situasi sudah berbeda, sehingga Reina tak perlu tertekan."Maaf karena sudah membuat kamu kesal belakangan ini, Reina. Hanya itu satu-satunya cara, supaya aku juga bisa melihat betapa besar kesungguhan yang kamu punya atas cinta suami kamu." Ucap Gilang. "Yah, tapi asal kamu tau, sebagian besar yang aku ucapkan itu
Reina mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Barangkali saja salah mendengar, Reina menajamkan pendengaran, memastikan bahwa suara yang baru didengarnya merupakan khayalan belaka. Satu menit tak tersiar suara apa pun, Reina mengembuskan napas perlahan."Ternyata memang cuma khayalanku aja," wanita itu tersenyum kecut, seraya mengelus perutnya. "Pasti gara-gara semalam kurang tidur.""Apa? Kamu kurang tidur?"Reina terlonjak. Suara itu kembali menyapa telinga, namun kini dia berbalik, menghadap seseorang yang berdiri tepat di belakang sofa. Untuk beberapa saat, Reina tak bisa memercayai penglihatannya. Dunia seakan berhenti berputar, membuat Reina kepayahan untuk berkata-kata, sedangkan kedua matanya mulai memburam dengan sendirinya.Seseorang yang berdiri di belakang sofa lantas bergerak pelan, menghampiri Reina yang mematung dengan penuh kelegaan. Dalam satu tarikan napas, Alex memeluk Reina—sangat erat. Reina bergeming. Belum mampu mencerna segalanya dengan cepat, lantaran dia merasa ba
Serangkaian malam yang tak mudah untuk dilewati lagi. Gambaran mengenai Evelynn yang berusaha menggoda Alex dalam balutan lingerie merah menyala terus menghantui bagaikan kaset rusak. Reina melirik jam dinding. Terbangun pukul tiga dini hari, padahal dia baru memejamkan mata satu jam sebelumnya. Mungkin lingkar matanya sudah seperti panda. Reina tidak mau bercermin kalau begini caranya."Jam delapan ...."Reina bergumam pelan sembari mengingat jadwal penerbangan yang akan Alex dan Evelynn lakukan. Masih tersisa lima jam. Wanita itu terheran-heran, adakah cara agar dua manusia tersebut membatalkan perjalanan udara mereka nanti?Tangannya yang semula hendak meraih ponsel, berubah haluan jadi menutup mulutnya yang menguap lebar-lebar. Tidak ada pilihan. Dia harus tertidur lagi barang sebentar. Demi kebaikan pikiran serta bayinya yang kelelahan di dalam perut, Reina harus mengistirahatkan diri.Reina membaringkan tubuh, tetapi sudut matanya menangkap hasil rajutan yang berada di atas meja
Makan siang kali itu benar-benar menjatuhkan suasana hati Reina hingga ke dasar bumi sekaligus. Tetap saja, meski pada mulanya Alex sudah berbaik hati untuk mengajaknya makan bersama, pada akhirnya yang tampak menikmati sesi tersebut ialah Alex dan Evelynn. Keduanya berbicara seakan tidak ada hari esok. Bahkan yang membuat Reina ingin membanting piring, ketika suaminya menanyakan apa saja yang disukai oleh model cantik itu, begitu juga sebaliknya.Reina yang semula kelaparan, jadi tidak terlalu berminat untuk melahap bebek penyet yang menggugah selera itu. Terutama dengan sejumput pemandangan menyebalkan yang tersaji di hadapannya, Reina hanya mampu melahap sekadarnya demi sang anak yang berada di dalam perutnya.Saat Alex dan Evelynn telah menandaskan makanan masing-masing, keduanya langsung beranjak dan pamit begitu cepat. Reina menganga, tak membayangkan bahwa dia baru saja ditinggal—walaupun yang membayar tetap Alex. Rasanya luar biasa menjengkelkan. Bahkan Alex enggan menanyakan
"Egois?"Gilang memiringkan kepala, sedangkan wanita hamil di depannya itu mengangguk penuh kepastian. Selama beberapa detik, keduanya tak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Hanya deru napas masing-masing yang bersahutan seolah melempar amarah melalui udara di sekitar mereka.Reina hendak menyuruh laki-laki itu untuk menyingkir, lantaran tak perlu membicarakan hal lain lagi. Akan tetapi, Gilang malah mendecih disertai seutas senyum yang mengundang kernyitan pada dahi Reina. "Oke!"Lagi-lagi, Reina dibuat tak paham. Bertanya pun sudah terlalu malas, jadi dia membiarkan Gilang bertingkah semau laki-laki itu saja. Terlebih, dia ingin sekali keluar untuk mencari udara segar."Sepertinya semua sudah jelas." Gilang manggut-manggut tanpa diketahui apa penyebabnya. "Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Reina? Rasanya lega sekali setelah tau keadaan kamu baik-baik saja. Dan ... perasaanmu masih baik-baik saja."Reina memicingkan mata. "Perasaanku baik-baik saja? Apa maksudnya?"Gilang menggelen