Reina menggigit bibir bawahnya seraya mencengkeram selimut yang menyelubungi sang suami. Bukan malam seperti ini yang dinantikannya. Dia berharap suaminya itu akan tersenyum senang setelah melihat kejutan yang dibuatnya. Tetapi dirinya malah mendapati sang suami pulang diantar wanita lain, dalam keadaan setengah sadar.Seseorang mengetuk pintu kamar, menyadarkan Reina untuk membukanya. Berdirilah Nora dengan tatapan cemas yang tiada berakhir. "Alex belum sadar, Nak?"Reina menggeleng pelan. "Belum, Bu. Ibu mau masuk?""Tidak usah, Ibu cuma bertanya karena khawatir lihat dia pulang sama Susan. Duh! Apa pula yang dilakukan wanita itu sama Alex? Nak! Apa pun yang terjadi, jangan marah dulu ya? Tanya dulu yang sebenarnya sama Alex, mungkin Susan sedang melancarkan tipu muslihatnya. Kamu pasti tau kalau Susan itu masih ngejar-ngejar Alex. Jadi tolong sabar dulu ya, Reina Sayang? Apalagi dalam keadaan seperti ini."Reina meraih tangan Nora yang menyentuh perut ratanya. "Terima kasih, Bu. Te
Reina sedang meninjau model pakaian baru yang akan diluncurkan dalam kurun waktu dua pekan lagi. Selagi meminta bantuan Nora, diperlihatkan beberapa perpaduan warna yang cocok.Saat itu, Nora membuatkan segelas jus jambu untuknya. "Astaga, Ibu! Nggak perlu repot-repot begini, kan bisa minta tolong sama Bi Ijah.""Tidak apa-apa, Nak. Kalau di rumah, jarang-jarang Ibu bisa bergerak kayak sekarang. Ibu terlalu banyak nonton TV. Apalagi, sekarang Ibu lagi senang-senangnya karena tau menantu kesayangan Ibu ini hamil."Reina mengulum senyum. Sejujurnya, dia sendiri pun senang akan kenyataan yang satu itu. Sebentar lagi, dirinya akan menjadi seorang ibu. Tetapi mengingat betapa kekanakan sifatnya, Reina kerap mempertanyakan diri sendiri.Semua perempuan bisa mengandung dan melahirkan, tetapi tidak semua perempuan bisa menjadi seorang ibu yang sebenarnya. Kalimat itu terus bergaung, menghantui pikirannya yang tak kunjung usai perihal kemampuannya dalam berumahtangga.Mungkin, jika Susan yang
"Video itu tidak benar, Reina."Keheningan menyelimuti disertai kecamuk perasaan yang merajalela. Reina berusaha untuk tetap tenang, mengamati iris hitam milik Alex yang selama ini merupakan titik fokus kesukaannya. Kemantapan nada bicara suaminya tak perlu diragukan. Tetapi—"Reina, apakah kamu tidak memercayai Mas?"Yah, bagaimana bisa Reina masih terpaku pada kebohongan yang bisa saja diperbuat oleh Susan hanya demi menghancurkan rumah tangganya? Katanya mau menjadi istri yang baik, tetapi untuk memercayai suaminya saja masih harus berpikir dua kali.Reina mengulum bibirnya yang tertekuk ke bawah. Alex menatapnya penuh arti, seakan meminta kepercayaan yang dengan bodohnya masih Reina kekang terhadap suami sempurnanya itu."Maaf, Mas. Maaf karena aku meragukan Mas Alex. Tapi jujur, aku kaget banget, Mas. Pas lihat video itu, aku jadi nggak bisa berpikir jernih. Mobil, baju, Mbak Susan, semua yang ada di dalam video itu bikin pikiranku kacau." Reina menutup wajahnya menggunakan kedua
"Apa?! Kamu nggak bisa seenaknya pecat aku kayak gini dong, Lex!" Susan melempar map berisikan laporan yang hendak diberikan kepada Alex, ketika laki-laki itu menggaungkan sebuah pemecatan atas dirinya. "Apa pernah kerjaanku berantakan? Nggak pernah kan? Kamu jangan bawa-bawa masalah pribadi ke kantor dong, Alex!"Alex berdecih, tak memahami, bagaimana bisa Susan melontarkan ucapan tersebut yang sebenarnya lebih cocok ditujukan pada diri wanita itu sendiri. Selama ini yang selalu menempatkan urusan pribadi, bahkan di kantor sekalipun ialah Susan. Wanita itu melupakan formalitasnya melebihi dulu, bahkan gencar mendatangi Alex di sela pekerjaannya."Kamu yang memulai, Susan. Tidakkah kamu sadar bahwa selama ini kamu selalu melewati batas? Sekarang saya memutuskan untuk menyudahi kamu agar tidak mengganggu pekerjaan dan rumah tangga saya lagi, Susan. Tapi tenang saja, saya tidak sepenuhnya memecat kamu. Hanya pindah ke kantor cabang yang ada di kota sebelah. Saya masih sedikit berbaik ha
"Astaga," Alex berdecak kesal setelah melirik arlojinya. Seharusnya dia pulang tepat waktu, berkencan dengan Reina seperti janji yang diumbarnya tadi pagi. Namun entah bagaimana bisa, salah satu petinggi yang kerap berhubungan dengan Hindrawan malah mengajukan pertemuan. Semestinya tidak ada yang aneh. Hanya saja, ketika dirinya beserta Pak Tirta berada di perjalanan menuju salah satu restorannya, sebuah truk kencang melaju begitu cepat menembus rambu lalu lintas pada sisi lainnya.Beruntung tidak terjadi luka yang cukup serius. Tetapi mengingat dia harus terbaring di IGD bersama Pak Tirta untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, membuatnya tak mampu pulang cepat. Pak Tirta belum sadar. Alex harus menunggu pria tua itu sebelum keluarganya datang. Sayangnya, seluruh keluarga Pak Tirta memiliki acara penting di luar kota yang perjalanan pulangnya memakan cukup banyak waktu.Di sampingnya, Yohan membantu Alex untuk duduk. "Pak Alex seharusnya jangan duduk dulu!""Seharusnya saya sudah
Keringat dingin memenuhi kening Reina. Perlahan-lahan, langkah yang tertuai tertuju pada suatu ruangan. Reina mendengar sebuah perintah dalam bisikan yang diberikan kepada Pak Beni."Silakan pergi, Pak. Uangnya sudah saya letakkan di mobil. Saya lebihkan seperti biasa.""Baik, terima kasih, Pak!"Reina menggigit bibir bawahnya. Pak Beni, sopir yang dipercayainya itu ternyata merupakan mata-mata yang ditempatkan di rumahnya, berhasil mengambil kepercayaan Alex dan Reina, bahkan beberapa kali menemani Pak Tono berjaga saat malam. Tidak taunya, Pak Beni adalah kurir khusus dari seseorang yang tengah mencengkeramnya bagaikan tahanan saat ini.Dalam keadaan menutup mata, Reina merasakan adanya kegelapan besar yang menerjangnya dari tiap sudut. Ruangan atau tempat apa pun yang tengah disambanginya ini jelas memiliki maksud buruk. Reina sampai kepayahan untuk menelan ludahnya sendiri lantaran bisa saja memercikkan suara tak diharapkan.Reina tersentak saat penutup kepalanya dilepas secara ti
"REINA!!!""Mas Alex!"Reina tersenyum lega. Tanpa berpikir panjang, dihampirinya sang suami dan berlindung di balik tubuh laki-laki itu. Saat menggenggam tangan kiri Alex, dia menyadari adanya goresan dengan memar yang tak ada tadi pagi."Akhirnya kamu datang juga, Alex." Yohan menempatkan kedua lengannya di balik tubuh. Melangkah santai, tak takut sedikit pun dengan kedatangan Alex yang seakan memang sudah dinanti-nanti.Alex mengepalkan kedua tangan. Rautnya diberondongi kekecewaan yang perlahan muncul ke permukaan setelah mengamati ruangan yang dimasukinya itu sekilas. Yohan adalah orang misterius yang selama ini terobsesi dengan Reina. Betapa bodohnya Alex yang tak mampu memperkirakan orang kepercayaannya sebagai orang dengan akses paling banyak kedua di perusahaan—yang bisa dengan mudah membelokkan semua fakta.Itulah mengapa foto antara dirinya dan Susan bisa didapat dengan mudah. Bahkan bisa meletakkan kotak misterius di mana saja. Kalau dipikir lagi, kotak menjijikkan pertama
Tiga hari kemudian, Alex mengantarkan Reina untuk melakukan pemeriksaan di rumah sakit. Kondisi janinnya sehat, walaupun Reina tampak tersiksa dengan mual-mual yang dideranya. Mereka keluar dari ruang pemeriksaan. Setelah menunggu proses administrasi dan penebusan obat, keduanya memutuskan untuk makan siang di salah satu restoran milik Alex. "Mas Alex nggak kerja?" tanya Reina, menyejajari langkah sang suami menuju tempat parkir rumah sakit."Ke restoran juga termasuk kerja, Reina. Biasanya, Mas selalu di kantor dan menyuruh Yohan untuk memeriksa semua cabang yang ada." Alex mengulum bibirnya sendiri setelah menyebutkan nama tersebut. Reina terdiam. Pemakaman Yohan dilaksanakan malam saat kejadian itu pula. Dikarenakan kondisi Reina yang dihinggapi syok akibat penculikan dan meninggalnya Yohan, gadis itu mendapat keringanan untuk tak menghadirinya. Hanya Alex dan Tara yang mengamati prosesi pemakaman Yohan.Mengingat Tara, entah mengapa Reina tak mau bertemu secara langsung dengan s
Empat tahun setelah kelahiran Nayra, Alex dan Reina mendapatkan kabar bahwa mereka sedang mengandung anak kedua. Alex yang sudah dilanda bahagia, kian senang saat mendapati istri manjanya itu akan memberikan anak lagi.Ah, tapi tidak juga. Sekarang Reina sudah tak semanja dulu. Sejak melahirkan Nayra, rasanya Reina menjadi sosok lain yang mampu menghangatkan hati orang hanya dengan melihatnya saja. Ibu. Ya—Reina telah berubah menjadi seorang ibu yang secara perlahan meningkatkan kepedulian serta tanggungjawabnya untuk merawat dan membesarkan bayi mungil mereka.Pada beberapa kesempatan, Alex terpana. Dia seperti menikahi sosok Reina yang berbeda dari yang sebelumnya. Sebab Reina yang dilihatnya setiap hari jelas berbeda dari Reina yang biasa bergelayut manja padanya. Sempat pada beberapa malam, Alex mendapati istrinya itu menangis usai menidurkan Nayra. Detik itu, Alex mencari apa saja yang dialami seorang ibu ketika baru melahirkan. Ternyata, ada yang dinamakan baby blues. Pada satu
Pagi hari yang damai, Reina sedang merajut di teras rumahnya. Alex telah pergi ke kantor setengah jam yang lalu, maka Reina memanfaatkan waktu tersebut untuk meningkatkan keahlian merajutnya sebelum berkontak dengan Felia dari rumah konveksi.Kehamilannya telah memasuki minggu ke-8. Belakangan Reina jadi susah bergerak, lebih mudah kelelahan. Maka dari itu, Reina memutuskan untuk duduk kalem sembari merajut sesuatu yang bisa mendistraksi pikirannya dari hal-hal buruk.Melupakan ponselnya yang tertinggal di kamar, Reina beranjak untuk meminta Alex memberikan benang rajut yang baru. Kalau tidak diingatkan sekarang, atau paling tidak menyisipkan pesan, suaminya itu akan lupa. Kesibukan yang melanda perusahaan turunan dari sang papa sedang kelewat sibuk. Bahkan sudah dua minggu ini, Alex pulang larut malam."Di mana ya?" Reina mengedar pandang sesampainya di kamar. Terakhir kali, dia menyembunyikan ponsel di salah satu laci nakas samping tempat tidur, sebab tak mau diganggu saat sedang be
Kejutan yang dipersiapkan Alex bukan hanya yang Reina alami seharian ini saja. Melainkan, suaminya itu tengah menyodorkan layar ponselnya yang memperlihatkan pembayaran dua buah tiket penerbangan ke Singapura. Reina menganga sehingga Alex harus menutup mulut istrinya itu secara perlahan. "Mas? Tadinya aku yang mau kasih kejutan, tapi malah Mas yang kasih kejutan dulu ke aku." Reina memindai tiap kata yang tertera pada layar ponsel sang suami. "Kok mendadak sih, Mas?"Alex mengendikkan bahu. Walaupun tidak bisa fokus lantaran penampilan Reina saat ini terlalu menggoda, dia berusaha untuk menjawab. "Benar kata Ibu, Reina. Ada benarnya kalau kita berbulan madu selagi perut kamu belum terlalu besar. Sebenarnya Mas nggak masalah, kalau kamu mau berbulan madu saat menginjak trimester ketiga. Cuma takutnya Mas yang merasa nyaman dengan bulan madu itu, tapi enggak buat kamu."Reina mengelus perutnya yang berada di balik balutan gaun malam tipis—omong-omong, dia baru membelinya sore ini denga
Reina tidak pernah ingat jika suaminya itu memiliki spasi tanpa atap pada ruangan khusus yang dimiliki di lantai dua. Ciuman keduanya yang berada di tangga harus terputus, sebab Tara melihat dari kejauhan dan berseru akan melemparkan piring kalau tidak mencari ruang terlebih dulu untuk melakukannya."Mas?" Reina berhenti melangkah. "Ini semua, Mas yang mempersiapkannya?"Alex mengendikkan bahu. "Enggak tau ya? Memangnya Mas bisa mempersiapkan semua ini di sela kesibukan yang menyerang Mas di kantor?"Reina mencebikkan bibirnya. Seingatnya, ruangan terbuka ini tak pernah ada. Ditilik dari cat kayu yang melapisi sebuah set meja bundar dan sepasang kursi pada tengah bagian, semuanya terlihat baru saja selesai dibangun. Begitu juga dengan sofa panjang berwarna cokelat yang terendus aroma barang baru saat Reina melewatinya."Ah satu lagi," Alex mendekat, lalu meletakkan kedua tangannya pada pinggang Reina. "Apa kamu tau seberapa cemasnya Mas selama beberapa hari ini, Sayang? Mas nggak bisa
"Maaf, Reina."Reina memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya. Terkesan tidak sopan bila dia mengalihkan pandang selagi Gilang mengatakan sesuatu dengan bersungguh-sungguh. Belum selesai, Gilang melanjutkan kalimat yang berasal dari hati paling dalam."Seperti yang kamu lihat, aku juga menjadi bagian dari rencana yang diperbuat oleh Pak Alex dan dua sahabatmu itu."Tadinya Reina mau mengumpat, bahwa dua sahabatnya itu turut menjadi tim perencanaan. Namun dia urung, sebab masih berada dalam atmosfer lain yang Gilang ciptakan. Dan entah mengapa, dia merasakan satu titik kelegaan yang mengisi selubung di antaranya dan Gilang. Reina tak merasa terancam seperti dulu lagi. Situasi sudah berbeda, sehingga Reina tak perlu tertekan."Maaf karena sudah membuat kamu kesal belakangan ini, Reina. Hanya itu satu-satunya cara, supaya aku juga bisa melihat betapa besar kesungguhan yang kamu punya atas cinta suami kamu." Ucap Gilang. "Yah, tapi asal kamu tau, sebagian besar yang aku ucapkan itu
Reina mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Barangkali saja salah mendengar, Reina menajamkan pendengaran, memastikan bahwa suara yang baru didengarnya merupakan khayalan belaka. Satu menit tak tersiar suara apa pun, Reina mengembuskan napas perlahan."Ternyata memang cuma khayalanku aja," wanita itu tersenyum kecut, seraya mengelus perutnya. "Pasti gara-gara semalam kurang tidur.""Apa? Kamu kurang tidur?"Reina terlonjak. Suara itu kembali menyapa telinga, namun kini dia berbalik, menghadap seseorang yang berdiri tepat di belakang sofa. Untuk beberapa saat, Reina tak bisa memercayai penglihatannya. Dunia seakan berhenti berputar, membuat Reina kepayahan untuk berkata-kata, sedangkan kedua matanya mulai memburam dengan sendirinya.Seseorang yang berdiri di belakang sofa lantas bergerak pelan, menghampiri Reina yang mematung dengan penuh kelegaan. Dalam satu tarikan napas, Alex memeluk Reina—sangat erat. Reina bergeming. Belum mampu mencerna segalanya dengan cepat, lantaran dia merasa ba
Serangkaian malam yang tak mudah untuk dilewati lagi. Gambaran mengenai Evelynn yang berusaha menggoda Alex dalam balutan lingerie merah menyala terus menghantui bagaikan kaset rusak. Reina melirik jam dinding. Terbangun pukul tiga dini hari, padahal dia baru memejamkan mata satu jam sebelumnya. Mungkin lingkar matanya sudah seperti panda. Reina tidak mau bercermin kalau begini caranya."Jam delapan ...."Reina bergumam pelan sembari mengingat jadwal penerbangan yang akan Alex dan Evelynn lakukan. Masih tersisa lima jam. Wanita itu terheran-heran, adakah cara agar dua manusia tersebut membatalkan perjalanan udara mereka nanti?Tangannya yang semula hendak meraih ponsel, berubah haluan jadi menutup mulutnya yang menguap lebar-lebar. Tidak ada pilihan. Dia harus tertidur lagi barang sebentar. Demi kebaikan pikiran serta bayinya yang kelelahan di dalam perut, Reina harus mengistirahatkan diri.Reina membaringkan tubuh, tetapi sudut matanya menangkap hasil rajutan yang berada di atas meja
Makan siang kali itu benar-benar menjatuhkan suasana hati Reina hingga ke dasar bumi sekaligus. Tetap saja, meski pada mulanya Alex sudah berbaik hati untuk mengajaknya makan bersama, pada akhirnya yang tampak menikmati sesi tersebut ialah Alex dan Evelynn. Keduanya berbicara seakan tidak ada hari esok. Bahkan yang membuat Reina ingin membanting piring, ketika suaminya menanyakan apa saja yang disukai oleh model cantik itu, begitu juga sebaliknya.Reina yang semula kelaparan, jadi tidak terlalu berminat untuk melahap bebek penyet yang menggugah selera itu. Terutama dengan sejumput pemandangan menyebalkan yang tersaji di hadapannya, Reina hanya mampu melahap sekadarnya demi sang anak yang berada di dalam perutnya.Saat Alex dan Evelynn telah menandaskan makanan masing-masing, keduanya langsung beranjak dan pamit begitu cepat. Reina menganga, tak membayangkan bahwa dia baru saja ditinggal—walaupun yang membayar tetap Alex. Rasanya luar biasa menjengkelkan. Bahkan Alex enggan menanyakan
"Egois?"Gilang memiringkan kepala, sedangkan wanita hamil di depannya itu mengangguk penuh kepastian. Selama beberapa detik, keduanya tak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Hanya deru napas masing-masing yang bersahutan seolah melempar amarah melalui udara di sekitar mereka.Reina hendak menyuruh laki-laki itu untuk menyingkir, lantaran tak perlu membicarakan hal lain lagi. Akan tetapi, Gilang malah mendecih disertai seutas senyum yang mengundang kernyitan pada dahi Reina. "Oke!"Lagi-lagi, Reina dibuat tak paham. Bertanya pun sudah terlalu malas, jadi dia membiarkan Gilang bertingkah semau laki-laki itu saja. Terlebih, dia ingin sekali keluar untuk mencari udara segar."Sepertinya semua sudah jelas." Gilang manggut-manggut tanpa diketahui apa penyebabnya. "Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Reina? Rasanya lega sekali setelah tau keadaan kamu baik-baik saja. Dan ... perasaanmu masih baik-baik saja."Reina memicingkan mata. "Perasaanku baik-baik saja? Apa maksudnya?"Gilang menggelen